Mengenal Diandra

Aku merebahkan diriku di atas kasur. Memejamkan mata. Senyum merekah terukir di bibirku mengingat perlakuan Elang tadi. Tak kusangka Elang menerima ajakanku untuk jalan dengannya hari Sabtu nanti.

Lo agresif banget Yan! Ngajakin Elang jalan!

Kututup mukaku dengan bantal kemudian berguling-gulingan tak karuan di atas kasur.

Tinggg!

Sebuah notif dari ponselku yang ternyata ada sebuah chat dari grup percakapan whatssap “Bestfriend”

Silmi : Dian! Gimana sama Elang? Cerita dongs :D

Maya : Sabar kenapa Sil? Kayaknya Dian masih hang out sama Elang.

Diandra : Gue udah pulang ayang ayangku :*

Maya : Njirrr jijik gue bacanya Yan -_-

Silmi : Sama sahabat sendiri jiji-an lo May -_-

Maya : Gue jijik sama bahasanya Dian, kampret! Bukan sama Dian!

Silmi : Se mau-mau nya lo aja deh May! Heu -_-

Diandra : Guyssssss, ntar malem ke rumah gue ya! Gue certain!

Silmi : Cerita di sini aja sih Yan! Kenapa harus ke rumah lu elah!

Maya : Ntar lo gagal paham kalau cerita di sini Sil!

Silmi : Ah elah! Yauda lo jemput gue May! Gak mau tau!

Maya : Lo naek gojek aja Sil! Gue gak bawa mobil.

Silmi : Lah lo naik apa ke rumah Dian?

Maya : Naek becak :p

Silmi : Kampret! Pokoknya jemput gue! Gak mau tau!

Maya : Bawel lo dasar kunti!

Silmi : Bodo!

Diandra : Yauda, ampun deh gini aja pake ribut elah! Ntar gue suruh Mang Ujang jemput kalian deh :*

Maya : Asyik!

Silmi : Asyik! Yuhuuuu!

Aku tertawa kecil membaca percakapan kedua sahabatku. Ah! Rasanya tak sabar menunggu malam tiba. Ingin kuceritakan semuanya kepada kedua sahabatku itu.

Aku pun bangkit dari kasurku hendak membersihkan diri. Namun, saat hampir sampai di depan pintu kamar mandi, tiba-tiba dada kiriku mulai terasa sesak, sedikit nyeri kurasakan.

Aku menghentikan langkahku. Memegang dada kiriku. Menghembuskan napas perlahan, tarik napas kemudian buang. Kulakukan berkali-kali.

Tenang Dian! Tenang! Jangan panik! Ini hanya serangan kecil!

Beberapa saat kemudian rasa sesak dan nyeri di dada kiriku berangsur menghilang. Keadaan mulai normal lagi. Syukurlah.

Malam pun tiba, aku menyuruh Mang Ujang menjemput kedua sahabatku itu. Dan ketika mereka sudah sampai di rumahku, aku menceritakan semuanya kepada mereka. Aku mengatakan kepada kedua sahabatku, bahwa aku bertekad dan akan berusaha mendapatkan hati Elang. Sebelum semuanya terlambat. Ya! Karena waktuku tinggal sebentar lagi.

Tepat jam 9 malam, kedua sahabatku permisi pulang, aku menyuruh Mang Ujang untuk mengantar mereka kembali ke rumah. Untungnya, di saat yang bersamaan Mama baru pulang dari urusan pekerjaannya. Maya dan Silmi pun berpamitan pulang. Namun sebelumnya, mereka menyemangatiku.

Good Luck ya Dian!” kata Maya dan Silmi bergantian. Aku mengangguk dan tersenyum kepada mereka.

Bukan tanpa alasan mereka menyemangatiku. Karena mereka tahu betul rencanaku yang ingin membuat Elang jatuh cinta padaku dan menjadi pacarku. Aku bersyukur sekali Elang masih mau mengenalku lebih jauh setelah kunyatakan cintaku dan menerima ajakanku jalan hari Sabtu. Setidaknya ini akan menjadi langkah awalku.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Keesokan paginya, Elang benar-benar menjemputku untuk berangkat ke sekolah bersama. Aku melihatnya di depan pintu gerbang rumahku saat hendak naik ke mobil Mamaku. Kali ini Elang membawa mobil bukan motor.

Untung bawa mobil, bukan motor. Bisa-bisa gue kena serangan jantung beneran!

Jujur saja, saat naik motor bersama Elang kemarin, aku menahan detak jantungku agar tetap stabil. Apalagi dengan posisiku yang harus memeluk Elang dari belakang.

“Itu siapa Yan? Kamu mau berangkat sekolah sama temen kamu?” tanya Mama.

“Iya Mah, itu temen Dian yang kemarin nganterin Dian pulang sekolah,” jawabku.

“Selamat pagi tante, saya Elang Pratama, mau jemput Dian berangkat sekolah, kalau boleh?” tanya Elang sopan.

“Oh tentu saja boleh. Nama kamu tadi siapa? Elang Pratama?” tanya Mamaku.

“Iya tante, Elang Pratama.”

“Nama kamu terdengar familiar.”

“Mungkin nama saya pasaran tante.”

“Ah! Bisa aja kamu!” Mama dan Elang tertawa bersamaan.

Aku yang sedari tadi diam saja, menatap was-was ke arah Mamaku.

Semoga saja Mama enggak sadar kalau Elang anaknya Dokter Akbar.

“Loh Dian? Kamu kok diam aja? Itu Elang uda nungguin kamu?” ujar Mama.

Aku tersentak. “Ah! Iya mah! Kalau gitu Dian permisi dulu ya Mah! Assalamu’alaikum.” Aku mencium punggung tangan Mama dan berpamitan.

“Wa’alaikumussalam. Hati-hati ya sayang, obat kamu sudah dibawa kan? Jangan lupa nanti di minum abis makan siang.”

Deg! Ya ampun Mamah! Ngapain sih ingetin masalah obat!

“Udah kok Mah! Iya nanti Dian minum,” kataku cepat. Kemudian menarik tangan Elang menuju mobilnya.

Aku dan Elang akhirnya berangkat ke sekolah bersama. Dari tadi Elang melihatku penasaran, bukannya aku tidak sadar. Aku yakin betul Elang pasti ingin bertanya soal obat. Jadi aku sebisa mungkin tak menatapnya.

“Dian, lo sakit?” Tiba-tiba Elang bertanya.

Nah kan! Elang pasti penasaran deh!

“Eh? Enggak kok! Itu tadi maksud nyokap gue, obat vitamin! Iya! Vitamin!” jawabku mengelak.

Elang hanya mengangguk-angguk. Untuk beberapa detik masih menatapku curiga.

Aku mengelus dadaku pelan lalu memalingkan muka dari Elang. Fyuuuh! Untungnya!

Elang kemudian menyalakan MP3 mobilnya. Aku mulai mendengarkan lagu-lagunya yang ternyata aku tahu betul itu adalah musik Jazz dari Manhattan Transfer, Fourplay dan Kenny Rogers.

Apa Elang suka musik Jazz juga?

Aku penasaran jadi aku tidak tahan bertanya padanya.

“Elang,” panggilku.

“Iya,” sahut Elang sambil tetap fokus menyetir.

“Lo suka musik Jazz?” tanyaku.

Elang melirikku. “Kok tau?” Elang balik bertanya.

“Itu… MP3 lo isinya Manhattan Transfer, Fourplay dan Kenny Rogers. Mereka kan musisi Jazz,” jawabku.

“Lo suka musik Jazz juga?” Elang malah bertanya lagi.

Aku mengangguk. “Sebenarnya sih, karena seseorang menyarankan gue untuk mendengarkan musik Jazz, lama-lama gue jadi suka.”

Ya! Dokter Akbar menyarankan aku untuk mendengarkan musik Jazz. Katanya alunan musik Jazz yang pelan dan lembut bagus untuk kesehatan bagi pasien yang punya riwayat penyakit jantung seperti diriku.

“Gue suka musik Jazz karena kebiasaan bokap gue yang selalu memutar musik Jazz di rumah, lama-lama gue juga jadi suka.” Elang menjelaskan bagaimana dia juga menyukai musik Jazz.

Aku mengangguk-angguk.

Dian! Lo gimana sih! Tentu saja Elang suka musik Jazz kan dia anaknya Dokter Akbar!

“Kapan-kapan kita nonton Java Jazz Festival yuk?” ajak Elang.

Aku kaget mendengar ajakan Elang tapi dengan cepat aku menjawabnya.

“Boleh,” kataku senang.

Tapi tunggu! Java Jazz Festival kan semacam konser musik! Apa Mama bakal kasih izin? Karena penyakitku ini rentan banget jika aku sudah kecapean.

Jangan berpikir terlalu jauh, Dian! Mama pasti ngizinin!

“Nah, kita sudah sampai di sekolah,” ujar Elang yang sedang memarkirkan mobilnya.

Dan aku baru tersadar kalau kami memang sudah sampai di sekolah.

“Lang, makasih ya udah jemput gue ke sekolah.”

“Gak masalah, Yan. Gimana kalau mulai sekarang lo berangkat dan pulang sekolah bareng gue? Mau gak?”

Aku langsung mengangguk. “Mau Lang, mau!”

Aku benar-benar tidak menyangka bisa secepat ini dekat dengan Elang.

“Yauda aku turun duluan ya, Lang.”

“Eh tunggu!” cegat Elang.

Reflek aku menoleh ke arah Elang. Kemudian Elang mengarahkan tangannya ke atas kepalaku. Aku pikir dia akan mengacak rambutku. Namun, ternyata dia merapihkan rambutku. Menyikirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahku dan menariknya ke belakang telingaku.

Aku benar-benar tersipu malu dengan perlakuan Elang, pasti mukaku kini memerah lagi. Aku tersenyum sambil menatap Elang malu-malu.

Dan pagi itu bagiku adalah pagi terindah yang pernah aku rasakan bersama Elang. Agak lebay sih! Tapi tidak menurutku, karena aku merasa sepertinya Tuhan sedang ingin mengabulkan permintaan terakhirku sebelum DIA memanggilku.

Aku memasuki kelas, kulihat kedua sahabatku yang sedang bersenda gurau. Seketika hatiku sendu melihat mereka.

Maaf ya, Maya dan Silmi karena gue harus meninggalkan kalian duluan.

“Dian! Berdiri aja! Sini duduk sayangku,” teriak Silmi.

“Ih Silmi! Jangan ayang ayang deh! jijik gue dengernya!” timpal Maya.

Aku tersenyum melihat mereka. Kemudian mendekati mereka dan duduk bersama mereka.

“Yan, hari Sabtu jadi jalan sama Elang?” tanya Silmi.

Aku mengangguk. “Jadi kok,” jawabku tersenyum.

“Cieee first date dong ini,” goda Maya.

“Pepetin terus si Elang, Yan! Jangan kasih kendor,” sambung Silmi.

“Etdah Sil! Lo kata apaan dah jangan kasih kendor!”

“Maksud gue jangan sampai di tikung May, lo tau sendiri kan Elang banyak yang ngantri.”

“Salah satunya lo kan Sil?”

“Iya salah satunya gue!”

“Jahanam banget lo ya jadi sahabat! Lo tega nikung Dian?”

“Ya enggak tega lah! Gue yakin malah Dian yang nikung gue! Hiks.”

“Derita lo mah itu Sil!”

“Jahat banget sih lo, May!”

“Bodo! Se-mau mau gue lah.”

Aku hanya tertawa geli melihat tingkah kedua sahabatku itu yang saling meledek. Dan sekali lagi aku merasa sendu di hatiku. Mengingat tinggal sebentar lagi aku bisa merasakan kebersamaan dengan mereka.

Tuhan, semoga Maya dan Silmi bisa menjadi sahabatku nanti di surga.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Hari Sabtu aku akhirnya pergi jalan dengan Elang. Untungnya Mama mengizinkanku setelah tahu aku akan pergi dengan Elang. Hatiku sungguh senang sekali, berbunga-bunga dengan segala macam kupu-kupu berterbangan. Ini pertama kalinya aku jalan bersama Elang setelah sekian lama aku memendam rasa kepadanya.

“Kita mau jalan kemana, Yan?” tanya Elang saat di perjalanan.

Aku memang belum memberitahu Elang mau kemana.

“Gue mau ke suatu tempat, Lang.”

“Ke mana?”

“Mm.. ke daerah Manggarai.”

Elang mengerutkan keningnya. “Manggarai? Terminal Manggarai maksud lo?”

Aku mengangguk. “Iya Lang, daerah situ.”

Elang tak bertanya lagi. Walau masih terlihat bingung, akhirnya dia membawa mobilnya ke daerah Terminal Manggarai.

“Udah sampai nih, Yan. Ngapain sih ke sini?” tanya Elang setelah memarkirkan mobilnya di parkiran PasaRaya yang ada di dekat situ.

Aku menuntun Elang menuju kali di seberang Halte Busway Manggarai. Kemudian menuruni anak tangga menuju ke sebuah Getek. Di sana ada pria tua penarik Getek yang sedang menunggu orang yang ingin menaiki Getek-nya.

“Gue selalu kepengen naik Getek, Lang. Penasaran gimana rasanya.” kataku menyengir.

Elang hanya melongo mendengar ucapanku.

“Yan? Lo gak serius kan? Getek?” tanya Elang.

“Gue serius Lang, temenin gue naik Getek ya!” jawabku. Sambil berjalan mendekati pria tua penarik getek. “Pak, kalau sekali nyeberang berapa ya Pak?” tanyaku.

“Lima ribu neng.” jawab Bapak itu.

“Jadi kalau bolak balik sepuluh ribu ya?”

Bapak itu mengangguk. Aku pun menyodorkan dua lembar sepuluh ribuan.

“Eh tunggu! Biar gue aja yang bayar!” cegat Elang, kemudian memberikan selembar uang lima puluh ribu ke Bapak itu.

“Duh! Mas, uangnya gede banget, gak ada kembalian.”

“Udah Lang, gue aja yang bayar, lagian uang gue, uang pas kok.” kataku.

Elang akhirnya mengalah. Gak apa-apa Lang. Ini karena gak ada uang kembalian, harga diri lo gak jatuh cuma gara-gara sekali di bayarin cewek.

“Ayo Lang! kita naik Getek!” Aku menarik Elang untuk ikut naik Getek.

Akhirnya untuk pertama kalinya aku naik Getek setelah sekian lama penasaran gimana rasanya naik Getek. Dan pertama kalinya naik Getek bersama gebetan! Romantis! Hahaha.

Sehabis dari naik Getek. Kami melanjutkan perjalanan kami siang itu.

“Sekarang mau kemana lagi, Yan?”

“Gue mau ke suatu tempat lagi, Lang. Gue mau nunjukkin lo sesuatu.”

Elang mengangguk. Apa lagi nih? Semoga enggak yang aneh-aneh.

“Nah, di sini Lang! Iya, di sini! Masuk aja!” Aku membawa Elang ke sebuah gedung tempat biasa aku les Piano. Di dalam gedung itu ada sebuah Teater kecil untuk pertunjukkan. “Pak, Teaternya enggak sedang dipake kan?” tanyaku kepada Satpam yang sudah sangat mengenalku.

“Eh neng Dian, ke mana aja? Kok gak pernah ke sini lagi? Teaternya lagi kosong kok,” jawab Satpam.

“Iya aku kan udah gak les di sini lagi Pak, tapi hari ini aku mau pake Teaternya sebentar, boleh kan Pak?”

“Oh tentu saja boleh, neng Dian kan anggota Klub di sini juga. Silahkan masuk, langsung aja ke Teaternya.”

“Oke Pak, makasih ya Pak.”

“Sama-sama neng.”

Aku kemudian menarik Elang mengajaknya masuk ke dalam gedung.

“Kita ngapain ke sini, Yan?” tanya Elang.

“Gue mau nunjukkin lo sesuatu, Lang,” jawabku.

Dan aku membawa Elang ke sebuah Teater kecil yang di tengah panggungnya ada sebuah Piano berukuran besar.

“Lo duduk di sini aja ya, Lang.” Aku mempersilahkan Elang duduk di barisan penonton agak di tengah. Elang mengangguk.

Perlahan aku menaiki panggung. Sebentar aku menoleh ke arah Elang yang sedang memperhatikanku kemudian aku tersenyum. Lalu aku memejamkan mata.

Lo pasti bisa Yan! Pasti bisa!

Aku membuka mataku perlahan dan mulai memainkan tuts tuts Piano. Terdengarlah lantunan merdu dari Piano yang aku mainkan.

Hari ini aku mempersembahkan sebuah lagu untuk Elang Lullaby by Claude Debussy lagu favoritku, yang mewakili perasaanku pada Elang.

Elang menikmati permainan Piano Dian. Ada rasa berdesir di hatinya ketika melihat Dian dengan anggun memainkan lagu tersebut dan perasaan De Javu.

Elang merasakan sesuatu yang berbeda. Sensasi yang tak pernah di rasakannya bahkan ketika bersama Sarah, cinta pertamanya.

Larut dengan alunan indah dan keanggunan Diandra memainkan Piano, tanpa sadar Elang bergumam. "Gue ingin mengenal lo lebih jauh, Diandra."

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top