Kematian Terindah
Hari ini, Elang membawa Dian ke Taman Mini. Dian terlihat sehat meski kondisinya dalam keadaan sekarat. Dian merengek dan merayu Elang agar membawanya ke Taman Mini. Entah kenapa Dian ingin sekali ke sana bersama Elang.
Elang yang tidak bisa menolak permintaan Dian akhirnya menuruti kemauan gadis itu. Lagipula Dian terlihat baik-baik saja bahkan sepertinya Dian sudah sehat kembali. Elang hanya berharap permintaan Dian kali ini bukan tanda perpisahan.
Dian meminta Elang membawanya menaiki kereta gantung. Meski Elang sudah menolak beberapa kali karena khawatir dengan kondisi Dian, akhirnya Elang menuruti juga kemauan Dian menaiki kereta gantung. Dian tampak senang sekali, seakan-akan baru pertama kali menaiki wahana tersebut.
"Lang, aku senang banget bisa naik kereta gantung lagi. Terima kasih ya sayang." Dian mengecup sekilas bibir Elang kemudian tersipu malu.
Elang hanya tersenyum melihat tingkah Dian. Dia jadi kembali teringat dengan insiden di mana dia tak sengaja mencium bibir Dian pertama kalinya.
"Kamu senang banget Yan, aku bahagia lihat kamu begini." ucap Elang lembut kemudian mengecup puncak kepala Dian.
Dian merangkul erat lengan Elang di dalam kereta gantung. Mereka berdua menikmati perasaan yang melebur jadi satu. Pagi itu, matahari yang bersinar cerah menyinari moment dua sepasang kekasih yang saling mencintai namun tanpa mereka sadari itu akan menjadi hal terakhir bagi kebersamaan mereka.
"Lang, maafin aku ya harus pergi meninggalkan kamu lebih dulu," Elang terdiam mendengar kata-kata Dian. "Aku harap kamu enggak marah."
"Aku enggak akan pernah bisa marah sama kamu Yan." batin Elang.
"Lang, aku ingin tidur sebentar, bangunkan aku kalau sudah sampai ya?" pinta Dian kepada Elang.
Elang tersenyum dan mengangguk.
Dian mengeratkan pelukannya di lengan Elang. Kemudian kepalanya bersender di bahu Elang. Dian tersenyum lalu tertidur dengan tenang.
Kereta gantung yang membawa Elang dan Dian terus berjalan hingga sampai di pemberhentian terakhir.
Elang membangunkan Dian perlahan, dia teringat permintaan Dian yang ingin dibangunkan begitu sampai. Namun, Dian tak kunjung bangun. Elang kemudian menggoyangkan perlahan bahu Dian. Tiba-tiba tangan Dian terlepas begitu saja dari lengannya, terjatuh dan terkulai. Kepala Dian lalu tertunduk lemah.
Elang menatap Dian. Ditegakkannya kembali kepala Dian. Diperiksanya denyut nadi Dian. Untuk beberapa saat, kemudian matanya terpejam. Elang menahan napas, dadanya sesak dan menderu. Elang menggelengkan kepalanya. Tidak Yan! Tidak!
Dengan secepat kilat Elang membawa Dian ke Rumah Sakit. Sepanjang perjalanan Elang terus menggenggam tangan Dian. Dia terus bergumam memanggil nama Dian dan terus berusaha membangunkan Dian.
"Kamu hanya tertidur Yan! Aku mohon buka mata kamu!" jerit Elang dalam hati.
Begitu sampai Rumah Sakit, Elang langsung membawa Dian ke Unit Gawat Darurat.
"Suster! Siapa saja! Tolong dia terkena serangan jantung!" teriak Elang sambil menggendong Dian ala Bridal Style.
Suster yang berjaga langsung mendatangi Elang. "Dian?" ujarnya.
Suster tersebut memeriksa Dian, mengecek denyut nadinya. Keningnya mengkerut kemudian dia menatap Elang bingung.
"Suster, tolong panggilkan Ayah saya, Dokter Akbar. Katakan Dian mengalami serangan jantung dan sekarang tidak sadarkan diri!"
"Tapi Dian..."
"Saya bilang panggilkan Ayah saya! Panggilkan Dokter Akbar sekarang juga!" hardik Elang.
"Ba-baiklah."
Suster tersebut kemudian menghubungi Dokter Akbar. Para suster lain yang melihat kejadian tersebut pun bertanya-tanya.
"Sus, bagaimana keadaan Dian?"
"Dian, tadi saya periksa nadinya sudah tidak berdenyut. Sepertinya Dian sudah meninggal."
Para Suster lain yang mendengar penjelasan tersebut terkejut tak menyangka.
"Yang benar Sus? Dian? Dian sudah meninggal?"
Suster itu mengangguk perlahan dengan raut muka sedih.
"Tapi kenapa Elang mengatakan seolah-olah Dian masih hidup?"
"Entahlah."
Para Suster yang berjaga kemudian menatap Elang yang masih saja berusaha membangunkan Dian yang sudah tidak bernyawa. Elang belum bisa menerima kepergian Dian.
Enggak beberapa lama kemudian, Dokter Akbar tiba di ruangan Unit Gawat Darurat. Dia langsung mendatangi Dian dan memeriksanya. Dokter Akbar menghela napas dan memejamkan mata.
"Suster, tolong bawa Dian ke kamar jenazah." ucap Dokter Akbar.
"Pah! Dian kenapa dibawa ke sana? Dian harusnya dibawa ke Ruang Perawatan Intesif! Dia masih belum sadarkan diri!" Elang panik.
"Elang, Dian sudah tiada..." Dokter Akbar mencoba menenangkan Elang.
"Enggak Pah! Dian hanya pingsan! Dia hanya belum sadar!"
"Elang! Jangan bersikap seperti ini!"
"Kalian mau bawa Dian kemana? Hentikan! Dian tidak boleh dibawa kemana pun!" teriak Elang panik saat melihat tempat tidur Dian diseret keluar dari ruangan Unit Gawat Darurat.
"Elang! Tenangkan dirimu!" Dokter Akbar mencoba menahan Elang yang hendak menghentikan para Suster membawa Dian ke kamar jenazah.
Elang memberontak. Dia mengejar Dian. terus memanggil-manggil nama Dian. Elang terdengar histeris saat Dian tetap saja tak kunjung bangun ketika hampir sampai di kamar jenazah.
"Yan! Aku mohon bangun Yan! Buka mata kamu!" bisik Elang lirih di telinga Dian, tanpa sadar airmatanya sudah jatuh kemudian Dian dibawa masuk ke kamar jenazah.
Elang terduduk di depan pintu kamar jenazah. Kepalanya tertunduk. Dadanya bergemuruh, dia menangis. Hatinya masih saja menjerit memanggil nama Dian.
Dokter Akbar melihat putranya dari jauh, dia kemudian menghubungi seseorang.
"Aulia?"
"Iya Dok, ini saya Aulia."
"Saya hanya ingin memberitahukan, bahwa Dian sudah tiada. Kamu yang tabah ya Aulia."
Tak ada suara dari seberang.
"Aulia? Kamu baik-baik saja?"
"Iya Dok, saya baik-baik saja. terima kasih sudah memberitahu, saya segera ke Rumah Sakit."
Tuuutt. Panggilan tertutup.
Aulia terduduk di kursi kantornya. Dia menatap lurus ke depan, tersenyum sambil menangis.
"Akhirnya penderitaan kamu berakhir, Nak." batinnya.
Aulia kemudian bergegas ke Rumah Sakit. Hari ini akan menjadi hari yang melelahkan untuknya. Dia akan melepaskan putrinya, anak semata wayangnya, ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Aulia sudah mempersiapkan diri sejak lama, bahkan sejak dia mengetahui Dian menderita penyakit jantung. Dia sadar, suatu hari nanti Dian akan pergi menemani suaminya. Aulia sudah siap dengan apa yang akan terjadi. Dia sudah paham bagaimana mengendalikan hatinya ketika kehilangan orang yang dicintai. Aulia sudah belajar dari kematian suaminya.
Begitu sampai di depan kamar jenazah, Aulia kaget melihat Elang terduduk di depan pintu. Dia tampak terlihat kacau.
"Elang?" sapa Aulia.
Elang menatap Aulia. "Tante, maafkan Elang. Dian terkena serangan dan dia belum sadarkan diri. Tapi mereka membawa Dian kesini."
Aulia mencoba mencerna perkataan Elang.
"Dian, tadi Dian dia hanya ingin tidur sebentar. Dia meminta saya untuk membangunkannya, tapi dia enggak bangun-bangun Tante, Dian enggak membuka matanya, dia masih saja tertidur." Elang terisak. Terlihat jelas wajahnya tampak kacau sekali.
Aulia kemudian memeluk Elang. Dia menenangkan Elang.
"Biarkan Dian tertidur, Nak. Biarkan dia tertidur untuk selamanya." bisik Aulia.
Elang menggeleng perlahan dan semakin terisak.
"Penderitaannya sudah berakhir, mari kita relakan Dian." ucap Aulia pelan tersenyum kepada Elang kemudian Aulia masuk ke dalam kamar jenazah.
Aulia berdiri di samping jenazah Dian, mengusap lembut wajahnya. Dian terlihat cantik dan selalu terlihat cantik bagi Aulia.
"Dian, putri kesayangan Mama. Istirahatlah dengan tenang, temui Papa kamu di sana. Mama ikhlas melepasmu Nak, kamu pasti sudah tidak menderita lagi sekarang." Aulia berbisik di telinga Dian kemudian mengecup dahi Dian dengan penuh kasih sayang.
"Elang sepertinya belum menerima kepergian kamu Nak, seandainya saja kamu bisa sekali lagi berpamitan dengannya dan meyakinkannya untuk merelakan kamu, mungkin akan lebih baik." Aulia tersenyum lalu mengelus lembut rambut Dian.
Beberapa lama kemudian Aulia keluar dari kamar jenazah bersama dengan jenazah Dian yang akan dibawa ke rumah duka dengan mobil jenazah.
Elang sekali lagi mengejar Dian, mencoba lagi dan lagi menyadarkan Dian. Memanggil namanya dan masih berharap Dian membuka matanya.
Dokter Akbar sekuat tenaga menahan Elang yang memberontak ingin mengikuti jenazah Dian masuk ke dalam mobil jenazah.
Aulia mencoba menenangkan Elang. Dia memeluk laki-laki itu. Mereka berdua menyatu dalam tangisan atas kepergian orang yang mereka cintai.
Dokter Akbar, Aulia dan Elang bergegas menuju Rumah Duka yang tidak lain adalah Rumah Dian. Elang hanya diam saja sepanjang perjalanan, dia masih belum bisa menerima kepergian Dian.
Rumah Dian sudah ramai dengan orang-orang yang melayat dan akan membantu persiapan pemakaman Dian. Terlihat kedua sahabat Dian, Maya dan Silmi juga Angga sudah berada di sana. Elang menghampiri mereka. Angga memeluk Elang mencoba memberikan kekuatan dan ketabahan kepada sahabatnya itu.
Jenazah Dian akhirnya sampai di rumah duka. Orang-orang semakin ramai berdatangan untuk melayat dan membantu persiapan pemakaman.
Begitu selesai dimandikan, jenazah Dian hendak dibawa ke Mesjid untuk dishalatkan.
Elang masih terduduk di depan rumah Dian. Pikirannya kacau. Hatinya tak karuan. Wajahnya terlihat sangat sendu dan sembab. Beberapa kali tetes airmata jatuh di pipinya. Tubuhnya terasa lemah, capek dan lelah. Seharian mencoba membangunkan Dian sangat menguras energi jiwa raganya.
"Lang, kita akan men-shalatkan Dian." ujar Angga menepuk pelan bahu Elang.
Elang mengangguk perlahan dan mencoba berdiri beranjak dari kursi namun tiba-tiba tubuhnya terhuyung hendak jatuh.
"Lang! Elang!" pekik Angga.
Elang samar-samar mendengar Angga memanggil namanya lalu semuanya menjadi gelap.
Elang ambruk dan tak sadarkan diri.
Cahaya putih nan silau menembus kedua matanya. Elang mencoba melihat sekeliling. Dia kini sedang berada di hamparan padang rumput dan sedang terduduk di atas puncak bukit. Disampingnya kini ada Dian yang sedang memeluk erat lengannya sambil menyenderkan kepalanya di bahunya.
"Dian?" gumam Elang.
Dian mengangkat kepalanya dan menoleh ke Elang. Dia tersenyum bahagia.
"Lang, aku bahagia sekali hari ini. Aku sudah tidak merasa sakit lagi, aku merasa jauh lebih sehat. Aku juga akan pergi jauh, kata DIA, aku akan bertemu Papah. Aku senang banget Lang. aku sudah rindu sekali sama Papah."
"Dian..." Elang tak bisa berkata-kata.
"Elang, aku kini sudah bahagia dan tidak merasa sakit lagi. Terima kasih ya, kamu sudah memberikan kematian paling indah buat aku." Dian menatap lekat mata Elang.
Elang melihat senyum terindah yang diberikan Dian, yang perlahan semakin memudar menyisakan bayangan putih. Elang mencoba menggapai Dian namun gadis itu semakin menghilang.
Elang terbangun, memutar-mutar kedua bola matanya, mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Dirinya pingsan!
Dia kini sedang berada di kamar Dian. Perlahan Elang beranjak dari kasur dan keluar dari kamar Dian. Rumah Dian tampak sepi, orang-orang sedang mengantarkan Dian ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Elang memutuskan pergi dari rumah Dian, dia tak menyusul ke pemakaman Dian melainkan pergi menjauh dan tak menengok kembali ke belakang. Elang tak mau mengunjungi Dian di rumah barunya, hatinya sakit! Untuk apa dia berkunjung jika Dian tak bisa menyambutnya?
Hati Elang masih belum bisa menerima kepergian Dian, tapi satu hal yang pasti dia ketahui.
Dian sudah tidak ada.
Diandra-nya sudah tiada.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top