Diandra Alleira
Namaku, Diandra Alleira. Nama yang indah untuk seseorang yang seharusnya indah. Namun, bagiku tidaklah indah. Karena itu adalah namaku dan aku jauh dari kata indah. Bukan berarti aku buruk rupa, hanya saja aku tak seindah namaku.
Panggil saja aku, Dian. Aku tidaklah cantik walau banyak yang mengatakan aku cukup manis. Aku juga tidak pintar, jika yang di maksud adalah tentang sastra dan seni, aku mengakui bahwa cukup pintar di kedua bidang tersebut.
Aku juga tidak populer. Aku bukanlah The Most Wanted Girl di sekolah. Aku hanyalah gadis biasa, bukan pelajar istimewa, yang hanya memiliki dua sahabat, Silmi Lestari dan Maya Chairania. Kedua sahabat yang mengetahui penyakitku.
Tapi aku cukup populer jika kau ingin mengetahui bahwa kepopuleranku sudah tidak diragukan lagi di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Para Dokter, Suster, bahkan pasien di sana tidak ada yang tidak mengenalku. Karena bisa dikatakan Rumah Sakit tersebut adalah rumah keduaku dan orang-orang yang berada di sana sudah seperti keluargaku.
Ceklek. Pintu kamarku terbuka dan aku melihat mama di ambang pintu.
“Sayang, kamu sudah siap? Hari ini kita harus ke rumah sakit,” kata Aulia, Mamaku.
“Iya Mah, Dian sudah siap,” jawabku kemudian beranjak keluar dari kamar.
Aku dan mama menuju garasi dan menaiki mobil. Lalu berangkat menuju ke rumah sakit.
Di perjalanan aku membuka grup whatssap “Bestfriend” yang member nya adalah aku dan kedua sahabatku, Silmi dan Maya.
Diandra : Woyy. Woyy. Woyy.
Silmi : Apa? Apa? Apa?
Diandra : Hari ini gue ke rumah sakit, izin ya genksss :*
Maya : Ah elah! Kenapa gak bilang sih? Kan biar gue bisa temenin.
Silmi : Ah elah! Kenapa gak bilang sih? Kan biar gue bisa temenin. (2)
Diandra : Preettt! Mau nenemin apa bolos sekolah?
Maya : Bolos sekolah.
Silmi : Bolos sekolah. (2)
Diandra : Asu lah kalian memang sahabat ter-bangsat -_-
Maya : Tapi sayang kan?
Silmi : Tapi sayang kan? (2)
Maya : eh lo sil copy paste aja daritadi! Kreatif dikit kek -_-
Silmi : Males :p
Diandra : Au ah. Gue off bye!
Silmi : Lah mau kemana?
Maya : Ke hatimuuu.
Silmi : Gue kaga nanya lo may -_-
Maya : Bodo amat :p
Aku keluar dari grup percakapan whatssap dan tertawa kecil membaca chat kedua sahabatku.
“Dian, kamu ada yang mau dibeli gak?” tanya Mama.
“Hmm gak ada sih Mah,” jawabku, “oh iya mah! Nanti mampir ke toko buah ya? Dan indomaret! Dian mau beli buah buat Kakek Albar dan mainan buat Adek Vano,” lanjutku.
“Oke. Oke. Kirain kamu lupa beliin buat mereka,” kata Mama.
“Hampir lupa Mah,” ujarku menyengir.
Kakek Albar adalah pasien di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Beliau sudah seperti sosok Ayah sekaligus Kakek bagiku. Papa meninggal 10 tahun yang lalu karena penyakit jantung yang dideritanya. Aku adalah anak satu-satunya, yang mewarisi penyakit Papa. Saat kecil dulu aku sempat dirawat inap cukup lama di Rumah Sakit dan Kakek Albar satu-satunya pasien yang sangat akrab denganku. Seperti... pengganti Papa saat itu.
Sedangkan Adek vano adalah juniorku di Rumah Sakit. Dia belum lama menjadi pasien di Rumah Sakit. Usianya masih 5 tahun. Melihatnya harus tinggal di rumah sakit mengingatkanku dulu saat kecil. Jadi, aku suka membelikannya mainan dan kami menjadi akrab. Aku yang tidak punya saudara menganggapnya seperti adikku sendiri.
Mama berhenti di sebuah toko buah yang di sampingnya ada Indomaret. Seperti biasa, ketika aku ke Rumah Sakit untuk check-up, aku membeli buah di toko tersebut.
“Sudah belinya?” tanya mama.
“Sudah mah, buah buat Kakek Albar dan mainan buat Adek Vano,” kataku sambil menunjukkan belanjaanku.
Kami melanjutkan perjalanan kami ke Rumah Sakit. Dan sekitar satu setengah jam kemudian kami sampai di Rumah Sakit Khusus Jantung Harapan Kita.
“Selamat pagi Suster Mira,” sapa mamaku kepada salah satu Suster yang sudah sangat kami kenal.
“Eh Ibu Aulia, hari ini jadwal check-up Diandra ya?”
“Iya Suster, Dokter Akbar sudah datang?”
“Sudah datang dari 30 menit yang lalu, tapi sedang menangani pasien. Ibu Aulia dan Diandra tunggu sebentar lagi ya?”
“Iya Suster, kami akan menunggu.”
Aku dan mamaku pun menuju ruang tunggu dan menunggu giliranku Check-up.
“Mah, Dian ke kamar Kakek Albar sama Adek Vano dulu ya? Mau kasih buah sama mainannya,” kataku.
“Oke, jangan lama-lama ya sayang.”
“Sip Mah.”
Aku bergegas ke kamar Kakek Albar yang terletak di lantai bawah. Kakek Albar menyambutku senang, dia menyuruhku menghampirinya nanti setelah Check-up dan aku meng-iyakan. Kemudian aku menuju ke kamar Adek Vano yang terletak di lantai tiga. Sesampai di sana, ternyata si Adek sedang tertidur. Aku tidak tega membangunkannya, jadi aku taruh saja mainannya di atas meja samping tempat tidurnya dengan catatan kecil di sebuah kertas.
-Dari Kak Dian, mainan buat kamu :)
Aku bergegas kembali lagi ke ruang tunggu. Namun, tiba-tiba dadaku terasa sedikit sesak, sudah beberapa hari ini suka seperti ini. Aku mencoba tenang dan menarik napas pelan sambil meremas dada kiriku. Jangan kena serangan sekarang, Ya Allah, aku mohon. Beberapa menit kemudian rasa sesaknya berangsur menghilang. Alhamdulillah.
“Mah? Sudah giliran Dian belum?” tanyaku.
“Belum sayang.”
“Syukurlah.”
"Diandra Alleira dipersilahkan masuk kamar 205 untuk check-up."
Sebuah panggilan atas namaku untuk Check-up, aku dan Mama masuk ke kamar 205.
“Selamat pagi Dokter Akbar,” sapaku.
“Selamat pagi Diandra dan Ibu Aulia, silahkan duduk,” ucap Dokter Akbar mempersilahkan kami duduk kemudian memeriksa beberapa catatan tentang kesehatanku dan rontgen jantungku beberapa hari yang lalu.
Dokter Akbar Wiratama, salah satu Dokter Spesialis Jantung terbaik di Indonesia. Dan juga pemilik dari Rumah Sakit Khusus Jantung Harapan Kita. Istrinya juga seorang Dokter, tapi Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Dokter Akbar dan Papa adalah sahabat. Ayah dari Dokter Akbar dulu yang merawat Papa. Dan setelah Papa meninggal, Dokter Akbar berjanji untuk merawatku.
“Hmm, Nak Dian, Bisa saya periksa kamu dulu? Silahkan naik ke atas tempat tidur ini,” tanya Dokter Akbar.
Aku mengangguk, lalu naik ke atas tempat tidur. Dokter Akbar memeriksa diriku seperti biasanya saat Check-up.
“Nak Dian, apa pagi ini ada keluhan? Apa kamu ada merasa sesak? Atau nyeri di dada kiri kamu?” tanya Dokter Akbar, cukup serius dengan tatapan intens kepadaku.
“Tadi pagi sempat terasa sesak Dok, dan beberapa hari ini terkadang sesak dan nyeri,” jawabku.
Dokter Akbar mengangguk tanda paham kemudian menatapku dan Mamaku bergantian.
“Ibu Aulia... ” Dokter Akbar memulai pembicaraan, “kondisi Nak Dian semakin hari semakin memburuk. Jantungnya semakin melemah seiring bertambah usianya. Saya khawatir Nak Dian... tidak akan sanggup bertahan,” lanjutnya menjelaskan.
APA???
“Maksud Dokter Akbar? Putri saya umurnya tidak akan lama lagi?” tanya Mamaku dengan ekspresi terkejut.
Dokter Akbar mengangguk dan menatapku penuh kesedihan. Walau bagaimana pun, aku adalah putri sahabatnya dan sudah dia anggap sebagai putrinya sendiri.
“Saya menyarankan agar Nak Dian di rawat inap intensif, agar saya juga bisa memantaunya lebih baik,” kata Dokter Akbar.
Mama kemudian memandangku yang tak bergeming mendengar vonis bahwa hidupku tidak lama lagi.
“Tapi Dokter, bagaimana dengan donor jantung? Apakah tidak ada yang mau mendonorkan jantungnya untuk putri saya?” tanya Mama.
Terdengar kejam, karena jika ingin mendonorkan jantung, itu berarti kamu harus menukarnya dengan nyawamu bukan?
“Tidak semudah itu Ibu Aliya. Dan jika memang ada yang mau mendonorkan jantungnya, itu harus dipastikan kecocokannya untuk Nak Dian.” Dokter Akbar menjelaskan.
Yah, tentu saja tidak semudah itu. Aku sudah bertahun-tahun di daftar tunggu untuk donor jantung. Pernah aku mendapat kabar akan menerima donor jantung, tapi ternyata kecocokannya tidak sampai 50% untuk diriku. Aku hanya bisa pasrah.
“Jadi, sekarang harus bagaimana Dok? Jika memang rawat inap intensif adalah yang terbaik, saya akan menyetujuinya,” ucap Mama putus asa.
“TIDAK!!!” jeritku tiba-tiba, “Dian enggak mau di rawat inap lagi! Pokoknya Dian enggak setuju! Jika memang hidup Dian tinggal sebentar lagi, Dian tidak mau melewatinya di Rumah Sakit!” lanjutku histeris dan berlinang air mata.
Mataku kemudian tertuju pada sebuah pigura foto anak laki-laki di meja Dokter Akbar. Anak laki-laki yang menjadi alasanku tak mau di rawat inap dan memilih sekolah biasa alih-alih homeschooling.
Aku pun berlari keluar meninggalkan Mama dan Dokter Akbar dengan tangis yang tak bisa kutahan lagi. Aku bergegas menuju taman di depan Rumah Sakit tersebut. Rasa sesak muncul lagi, aku meremas dada kiriku sambil menangis.
Ya Allah, jangan sekarang aku mohon. Biarkan aku melewati masa SMA-ku, izinkan aku merayakan usia ke 17 dan berikan aku kesempatan bersama dia, seseorang yang menjadi alasanku untuk berjuang hidup selama ini.
Aku memohon seakan semuanya begitu terlambat untuk diucapkan. Sebentar lagi usiaku 17 tahun dan aku tak bisa membayangkan jika sisa hidupku harus berada di penjara yang bernama Rumah Sakit. Seharusnya aku seperti remaja lainnya, menikmati masa-masa pubertas, jatuh cinta, tanpa harus khawatir dengan sedikitnya waktu yang tersisa untuk hidupku. Aku bahkan belum menyatakan perasaanku pada cinta pertamaku, atau bisa dikatakan begitu.
Aku menangis dalam diam, menengadahkan kepalaku ke atas langit. Dan ketika kurasa semua sudah lebih tenang, juga rasa sesak di dadaku berangsur menghilang. Aku bangkit dari tempat dudukku, hendak kembali lagi ke dalam.
Namun, beberapa detik kemudian, aku melihat sosok yang sangat kukenali berjalan melewati taman. Sosok yang menjadi motivasiku. Energi yang membuatku bertahan hidup. Bagiku, dia cinta pertamaku. Meski dia tak pernah mengetahuinya, karena aku hanya mengaguminya dalam diam.
Setiap kali dia datang ke Rumah Sakit dan ketika aku ada di sana, aku hanya memandangnya dari jauh. Dia tak pernah tahu kehadiranku. Begitu pikirku. Meski dulu dia pernah menyapaku, memberikan senyumannya padaku, dan memperkenalkan dirinya padaku walau hanya sebentar. Karena aku tak memberinya kesempatan untuk mengenalku lebih jauh. Tapi saat itu, aku mulai mengenalnya lebih jauh, bahkan jauh lebih dekat tanpa dia sadari, sosok itu adalah Elang Pratama!
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top