Cinta Bersambut?
“Lang, boleh pinjem Dian sebentar gak?” tanya Angga.
Elang menoleh ke Dian yang hendak masuk ke mobilnya.
“Kaga boleh! Mau ngapain sih?” jawab Elang terdengar possesif.
“Elah si kampret! Pelit banget sih lu Lang!” Angga berdecak kesal. “Yan! Bisa ngomong sebentar gak?” lanjut Angga bertanya pada Dian, karena menurutnya percuma minta izin sama Elang. Lah! Emang siapa Elang?
Dian menatap Elang yang memberikan ekspresi dan tatapan untuk menyuruhnya menolak permintaan Angga.
“Lang, sebentar ya?” tanya Dian.
Elang mendesah. “Yauda, buruan! Gak pake lama!”
Dian dan Angga pun pergi agak menjauh dari mobil Elang, sedangkan Elang menunggu di dalam mobilnya.
“Ada apa, Ga?” tanya Dian.
“Lo kapan mau kenalin gue ke Silmi?”
“Oh itu, sabar kek! Gue juga baru keluar dari Rumah Sakit.”
“Maaf Yan, masalahnya hati gue udah gak sabar.”
“Cih! Iya tau deh yang lagi jatuh cinta.”
“Gue gak jatuh cinta Yan, setidaknya belum.”
“Ngaku aja sih!”
“Pokoknya Yan, gue juga gak bisa lama-lama simpan rahasia lo.”
“Oh ceritanya ngancem? Yauda sih, kasih tau aja Elang! Gue juga lagi sekarat gini bentar lagi di panggil Yang Maha Kuasa.”
“Yan! Gue gak suka lo ngomong kayak gitu!” Angga tiba-tiba membentak Dian.
“Ma-maaf Ga.” Dian merutuk dirinya sendiri telah mengucapkan kata-kata tersebut.
“Gue yang harusnya minta maaf Yan.” Angga menggaruk kepalanya. “Gue serius Yan sama sahabat lo dan rahasia lo aman sama gue.” lanjutnya.
“Iya gue tau lo serius Ga sama Silmi, gue pasti kenalin lo ke dia sekalian gue bakal bikin lo jalan sama dia. Gue janji.”
Angga mengangguk. “Oke Yan, kalau gitu gue permisi dulu. Ngeri gue liat tatapan Elang yang udah kayak mau lempar gue bom atom.”
Dian hanya tertawa mendengar perkataan Angga, dia pun kembali ke mobil Elang dan pulang bersamanya.
“Ada urusan apa si Angga?” tanya Elang penasaran.
“Eh itu… maaf Lang, gue gak bisa kasih tau.” jawab Dian.
Elang manggut-manggut. “Yauda ntar gue tanya Angga langsung.”
Deg! "Semoga Angga gak kebablasan ngomong." batin Dian.
Sepanjang perjalanan pulang, Elang dan Dian hanya diam saja di dalam mobil di iringi lagu I Don't Wanna Live Forever dari Zayn Malik featuring Taylor Swift (OST. Fifty Shades Darker) entah kenapa baik Elang maupun Dian jadi membisu mendengar lagu tersebut.
Mobil Elang akhirnya sampai di depan gerbang rumah Dian. Begitu pun dengan lagu tersebut, yang selesai berputar pada saat itu juga. Dian membuka seatbeltnya dan permisi pada Elang.
“Lang, terima kasih ya udah nganter pulang.” kata Dian berterima kasih.
“Santai aja Yan, kayak baru kali ini aja gue anter lo pulang.” sahut Elang.
Dian tersenyum dan ketika hendak membuka pintu mobil, tangan Elang menahannya.
“Yan, jangan enggak masuk sekolah lagi ya? Cukup dua minggu aja lo bikin gue kangen.” Elang kemudian menepuk puncak kepala Dian dengan lembut dan tersenyum ke Dian.
Kata-kata dan senyuman Elang membuat Dian mematung untuk sepersekian detik sebelum Elang akhirnya menyadarkannya.
“Yan? Lo gak turun? Apa mau ikut gue?” tanya Elang.
“Eh, iya, gue turun Lang.” Dian tersenyum malu.
Elang kemudian berpamitan dan memutar mobilnya. Dia tak langsung pulang ke rumah melainkan menuju rumah Angga. Ternyata Elang masih penasaran ada urusan apa antara Dian dengan sahabatnya itu.
Elang langsung menuju kamar Angga begitu sampai di rumah sahabatnya itu.
Braaakkk! Elang membuka pintu kamar Angga dengan agak kasar.
“Bangsat! Kaget gue!” hardik Angga.
Elang hanya terkekeh. Kemudian dia menuju kulkas mini yang ada di kamar Angga lalu mengambil soda.
“Lo ngapain ke sini Lang?” tanya Angga.
Elang menaikkan sebelah alisnya. “Jadi gue gak boleh ke sini nih?”
“Bukannya gitu, tumbenan aja pulang sekolah lo langsung kelayapan ke rumah gue.” Angga berdalih padahal dia curiga pasti Elang mau nanya sesuatu soal urusannya sama Dian.
Elang kembali terkekeh. “Gue penasaran Ga! Lo ada urusan apa sama Dian?”
Nah kan! Benar kecurigaan Angga!
“Lo penasaran banget apa Lang? Tenang aja, gue gak bakal ngerebut Dian dari lo!”
Elang langsung tersedak. “Maksud lo apa sih Ga? Dian bukan siapa-siapa gue!”
“Sekarang aja lo ngomong bukan siapa-siapa, enggak tau nanti?” Angga tertawa sinis.
“Bangke! Gue lagi ngebahas lo, kenapa jadi bahas gue sih?” Elang mendengus.
Angga tertawa. “Lo beneran pengen tau?” Elang mengangguk serius.
“Jadi gini, tapi lo janji jangan ketawa!” Angga memberikan ultimatum dan Elang kembali mengangguk serius. “Gue lagi pendekatan sama sahabatnya Dian, namanya Silmi.” lanjutnya.
Elang mengkerutkan keningnya. “Maksud lo, cewek yang nolak kenalan sama lo itu?”
Angga mengangguk kemudian mendesah lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
Elang melihat sahabatnya kemudian tertawa.
“Udah gue bilang jangan ketawa!” bentak Angga.
“Sorry, sorry.” Elang melanjutkan ketawanya lagi. Dia gak habis pikir, sahabatnya, seorang Angga Pahlevi yang di kenal bisa dengan mudah berkenalan dengan cewek manapun, akhirnya harus minta tolong seseorang untuk berkenalan dengan cewek yang di taksirnya.
Iya, Angga Pahlevi! Cewek manapun kecuali Silmi Lestari!
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Hari Sabtu pagi, sesuai janjinya sama Elang, Dian akan pergi kencan dengannya sebagai bayaran atas lukisan yang memakai wajahnya. Dian pun bersiap-siap, dia terlihat senang sekali. Tersenyum sumringah sambil menatap dirinya di cermin.
Ddrrrrttttt.... Ponsel Dian bergetar. Satu notifikasi chat Line dari Elang.
Elang : Yan, hari ini jadi kan?
Entah kenapa Dian ingin mengerjai Elang.
Diandra : Jadi ngapain?
Elang : Bayaran lukisan Yan? Kencan sama gue?
Diandra : Bayaran? Kencan?
Elang : Yan, please jangan PHP 😒
Elang : Gue udah siap nih mau jemput lo.
Diandra : Hihihihi 😁
Diandra : Maaf, gue sedikit amnesia✌
Elang : Ngelawak Yan?
Elang : Mana ada ceritanya ((sedikit amnesia)) 😑
Elang : Gue jemput lo sekarang Yan.
Elang : Siap-siap.
Diandra : Iya, Tuan Pratama!
Elang bergegas menuju rumah Dian dengan mobilnya. Lima belas menit kemudian Elang sampai, Dian yang sudah siap sedari tadi langsung berpamitan sama Mamanya lalu pergi bersama Elang.
“Kita mau kemana Lang?” tanya Dian.
“Gue mau ngajak lo ke suatu tempat Yan, lo pasti suka.” jawab Elang.
“Kemana sih?”
“Wait and see.”
Elang tersenyum sumringah, terlihat bahagia sekali.
“Lang, lo kayaknya senang banget deh jalan sama gue.” tanya Dian heran.
“Gue juga gak tau bisa senang begini Yan. Intinya, ini bukan sekedar jalan sama lo, tapi ini kencan pertama kita.” Elang tersenyum menggoda Dian.
Deg! Jantung Dian berdebar-debar. Untung bukan serangan jantung!
“Lang? Lo sehat?” tanya Dian yang mencoba menetralisir keadaannya sendiri.
Elang mengangguk. “Gue sehat banget Yan! Kenapa?”
“Gak, cuma mau ingetin. Kalau kencan ini bayaran dari lukisan.” jawab Dian sambil memutar bola matanya ke atas.
“Biar cuma bayaran Yan, judulnya tetap kencan.” sahut Elang.
Dian hanya bisa terdiam. Tak mau lagi mendebat. Bisa-bisa Elang enggak akan habisnya membuat jantungnya berdebar-debar. Dian menatap lekat wajah Elang.
"Perkataan kamu bagaikan obat buat jantungku. Seketika aku merasa jantungku sehat hanya dengan mendengar ucapanmu. Namun, terkadang aku merasa perkataanmu bisa menjadi racun di pembuluh darah jantungku. Pelan tapi pasti, bisa membuatku terkena serangan jantung." gumam Dian dalam hati.
Mereka akhirnya sampai di Jakarta Convention Center yang sedang mengadakan acara Pameran Lukisan Terbesar di Indonesia.
“Ini….” Dian menganga membaca spanduk besar di depan Jakarta Convention Center.
“Iya Yan, ini pameran lukisan terbesar di Indonesia.” ujar Elang.
Dian menatap Elang senang, tak sadar bibirnya tersenyum.
“Gue beli tiket masuk dulu ya?” Dian mengangguk.
Setelah membeli tiket masuk, Elang mengajak Dian masuk ke dalam pameran sambil menggandeng tangan Dian tiba-tiba, sontak Dian kaget lalu menatap Elang.
“Biar lo gak ilang, ntar gue kangen.” Elang tersenyum ke Dian.
Demi Tuhan Elang! Jangan bikin Dian serangan jantung!
Mereka mengitari pameran lukisan tersebut. Ada banyak karya-karya lukisan dari pelukis terkenal dalam negeri. Dian senang sekali, tanpa sadar Elang menatapnya dengan tatapan yang tak bisa di artikan.
Di pameran lukisan itu juga ada stand yang menawarkan pengunjung untuk mencoba melukis. Elang mengajak Dian ke stand tersebut.
“Yan, lukis gue dong di sini.”
Dian memicingkan matanya. “Tapi kali ini lo yang bayar ya?”
Elang terkekeh dan mengangguk.
“Lang jangan banyak bergerak ya, nanti gambarnya bergerak-gerak.” ujar Dian saat hendak mulai melukis Elang.
“Gambarnya bergerak gimana Yan?” tanya Elang bingung.
“Udah deh Lang pokoknya jangan banyak gerak.” tegas Dian.
Sepuluh menit kemudian Dian selesai melukis Elang. Seseorang yang melihat lukisan Dian berkomentar.
“Lukisan kamu terlihat hidup. Jelas sekali kamu melukisanya dengan perasaan yang dalam. Perasaan cinta yang sesungguhnya tak bisa di lukiskan. Kamu sungguh berbakat.” orang tersebut tersenyum kepada Dian. “Boleh saya simpan lukisan kamu?” lanjutnya bertanya.
Dian yang masih tidak bisa mencerna apa yang di ucapkan orang tersebut hanya mengangguk.
“Yan, kok lo kasih sih lukisannya ke bapak-bapak itu?” tanya Elang.
“Maaf Lang, itung-itung sedekah.” jawab Dian.
Elang mendesah. “Yauda, kita makan siang yuk?”
Dian mengangguk. “Eh tapi gue bawa bekal.”
Elang tersenyum ke Dian. “Gue juga bawa bekal kok.”
Dian melongo. Apa-apaan! Elang juga ikut-ikutan bawa bekal!
Mereka akhirnya makan siang di dalam mobil dengan bekal masing-masing. Dan setelah makan siang Elang melanjutkan kencannya dengan Dian. Mereka menuju Aula Simfoni Jakarta di daerah Kemayoran.
Lagi lagi Dian terkesima saat melihat spanduk di depan gedung tersebut yang tertulis sebuah Konser Klasik Jakarta Philharmonic Orchestra.
“Gue bayar lukisannya nonton konser ini, gak apa-apa kan?” tanya Elang berbisik.
Dian menoleh ke Elang dengan tatapan tak percaya, dia pun mengangguk senang.
“Yuk masuk! Gue udah ada undangannya.” ajak Elang.
“Lo kok bisa dapat undangannya?” tanya Dian.
“Sebenarnya, undangannya atas nama bokap sama nyokap gue. Mereka tuh tamu tetap VIP setiap Jakarta Philharmonic Orchestra mengadakan konser. Berhubung nyokap gue masih di luar kota dan bokap gue gak mau pergi kalau gak sama nyokap gue, yah daripada mubazir mending kita berdua yang nonton kan?” Elang menjelaskan ke Dian.
Dian manggut-manggut tanda paham. Baru ingat kalau keluarga Elang adalah keluarga Dokter yang cukup berpengaruh di Indonesia. Mereka berdua pun masuk ke dalam gedung Aula Simfoni Jakarta.
Elang sudah beberapa kali menghadiri konser Jakarta Philharmonic Orchestra. Namun, berbeda bagi Dian, ini pertama kalinya Dian menonton konser klasik. Dian begitu terpesona dengan aksi panggung Jakarta Philharmonic Orchestra. Matanya berbinar, senyumnya merekah, Dian menghayati setiap alunan musik dari konser tersebut.
Elang yang memperhatikan Dian sepanjang konser tanpa sadar tersenyum dan kembali merasakan sensasi aneh itu lagi. Tapi kali ini tak lagi merasakan De Javu, melainkan perasaan ingin memiliki seorang Diandra Alleira.
Elang tiba-tiba menggenggam tangan Dian. Reflek Dian menoleh dan menatap Elang. Mereka saling bertatapan dan tanpa sadar menyatukan perasaan mereka. Mungkin Elang belum menyadari, setiap perlakuan dan perkataannya bisa memberikan dampak yang cukup besar pada Dian. Sebuah efek maha dahsyat yang membuat Dian bertanya-tanya. Apakah Elang sudah menyambut cintanya?
Selepas dari konser Jakarta Philharmonic Orchestra, Elang mengantar Dian pulang. Mereka tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Begitu sampai di depan pintu gerbang rumah Dian. mereka berdua terdiam sejenak, keduanya masih teringat kejadian di konser tadi dan perasaan yang muncul di hati keduanya.
“Lang, gue turun dulu ya.” Dian akhirnya berbicara dan hendak pamit. Tapi Elang kemudian menahan Dian.
“Yan, terima kasih ya buat hari ini. Gue senang banget.” Elang tersenyum.
“Gue juga senang banget Lang.” Dian membalas senyum Elang.
“Gue senang kalau lo senang juga Yan.” Elang tanpa sadar mengelus lembut pipi Dian.
Dian tersipu malu kemudian turun dari mobil. Dian masih berdiri di depan pintu gerbang rumahnya sambil melihat mobil Elang yang pergi menjauh.
"Elang. Andai saja lo tahu, waktu gue tinggal sedikit." ucap Dian dalam hati.
ⱷⱷⱷⱷⱷ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top