Alasan Hidup

Setiap orang pasti memiliki alasan hidup. Begitu juga dengan Diandra, dia memiliki alasan yang membuatnya bertahan hidup dan itu adalah cinta pertamanya, Elang Pratama!

Bagi Dian, seorang Elang Pratama bukan hanya sekedar sosok cinta pertamanya, tapi sudah menjadi sumber kekuatan untuk melawan penyakitnya. Dan membuatnya bertekad untuk sembuh, meski pada akhirnya Dian tidak bisa melawan kematian yang akan menjemputnya.

Bukan keinginan Dian jatuh cinta pada Elang. Tapi laki-laki itu sendiri yang pertama kali masuk dalam kehidupan Dian. Masih teringat jelas dalam ingatan Dian, bagaimana pertama kali pertemuan mereka, saat itu usia mereka masih 7 tahun.

Diandra kecil sedang menggambar di taman depan Rumah Sakit. Menggambar adalah salah satu hal yang suka dilakukannya ketika dirinya harus di rawat inap di Rumah Sakit. Bakat seni memang sudah mengalir dalam dirinya, selain menggambar, Dian juga pandai bermain piano.

"Gambarnya bagus sekali." kata seorang anak laki-laki yang tiba-tiba saja sudah duduk bersama Dian dan melihat gambar Dian.

Dian yang kaget kontan langsung berdiri dari tempat duduknya kemudian anak laki-laki itu juga ikut berdiri.

"Aku Elang Pratama, nama kamu siapa?" ucap anak laki-laki itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangannya.

Dian hanya diam saja, menunduk sambil memeluk buku sketsa gambarnya.

"Aku suka gambar kamu, boleh aku tahu nama kamu?" ujar Elang yang masih mengulurkan tangannya ingin berkenalan.

"Aku.. Aku.." belum selesai Dian memperkenalkan dirinya tiba-tiba ada seorang wanita memanggil anak laki-laki itu.

Refleks Elang menoleh ke arah orang yang memanggilnya yang ternyata adalah Ibunya, kemudian Elang berbalik lagi ke arah Dian. Namun, Dian sudah tidak ada di hadapannya.

Dari kejauhan Elang melihat Dian tergesa-gesa berjalan memasuki Rumah Sakit.

"Aku bahkan belum tahu namanya." batin Elang dalam hati.

Dan ketika Elang hendak meninggalkan tempat itu tanpa sengaja dia melihat secarik kertas di atas bangku tempat Dian duduk tadi. Secarik kertas sketsa gambar Dian yang kemudian di ambil oleh Elang.

"Gambar yang indah, akan kusimpan gambar ini." gumam Elang sambil tersenyum tipis.

Elang pun beranjak meninggalkan taman dan menemui Ibunya yang memanggilnya tadi.

Semenjak pertemuan itu, Diandra diam-diam mencari tahu anak laki-laki itu, Elang Pratama. Untuk pertama kalinya, Dian diajak berbicara dengan seseorang selain Mamanya, Dokter, Suster dan Pasien-pasien Rumah Sakit yang dikenalnya. Juga untuk pertama kalinya, Dian begitu semangat untuk melakukan perawatan.

Begitu Dian tahu Elang Pratama adalah putra dari Dokter yang merawatnya, Dian semakin penasaran dan tertarik pada Elang. Hal itu yang membuatnya meminta Mamanya untuk memasukkannya ke sekolah biasa saat SMP, satu sekolah yang sama dengan Elang. Hingga sekarang Dian sudah duduk di kelas 3 SMA, di sekolah yang sama juga dengan Elang.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Aku beranjak memasuki Rumah Sakit ketika kulihat Elang sudah meninggalkan Rumah Sakit. Hal yang selalu kulakukan jika aku tahu Elang ke Rumah Sakit dan aku juga sedang berada di sana adalah bersembunyi darinya. Memandangnya dari jauh sudah cukup bagiku.

Elang tak pernah tahu kalau aku adalah pasien Rumah Sakit milik keluarganya. Elang mungkin juga tidak tahu bahwa Ayahnya adalah Dokter Jantungku. Di sekolah pun aku yakin, Elang tidak tahu keberadaanku. Setidaknya itu menurutku.

Aku melihat Mama duduk menungguku di ruang tunggu. Hatiku terasa sakit melihat Mamaku. Setelah kepergian Papa yang menyakitkan, Mama berjuang merawatku sendirian. Namun, kini Mama juga harus kehilanganku.

"Mah...," ujarku lembut kemudian aku duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.

"Dian..." Mama menahan serak tangisannya.

"Maafin Dian, Mah."

"Kenapa kamu minta maaf sayang?"

"Dian sudah nyusahin Mama dengan penyakit Dian ini. Ditambah lagi Dian tidak mau menuruti Mama untuk dirawat inap."

"Enggak sayang, kamu tidak pernah nyusahin Mama. Kamu adalah kesayangan Mama, belahan jiwa Mama. Jika memang kamu tidak mau dirawat inap, Mama hargai keputusan kamu."

"Mah, sekali lagi maafin Dian Mah," ujarku mulai menangis, "Dian harap Mama bisa mengerti, jika memang hidup Dian tinggal sebentar lagi, Dian tidak mau menghabiskannya di Rumah Sakit," lanjutku dan tanpa sadar aku sudah menangis.

"Iya sayang, Mama akan coba mengerti. Yang terpenting kamu tetap menjaga kesehatan kamu, dan kamu bahagia, tidak menyesali sedikit pun dari sisa hidup kamu yang tinggal sebentar lagi," ucap Mama menangis kemudian memelukku erat. Tangisan kami berdua pun pecah dalam pelukan.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Mamaku kini. Aku sendiri merasa sakit yang luar biasa di hatiku mendengar bahwa hidupku tidak lama lagi. Apalagi Mama? Dia yang sudah mengandungku selama 9 bulan, melahirkanku dengan taruhan nyawanya, merawatku dengan kasih sayang tak terhingga. Namun, Mama hanya sebentar bisa bersamaku. 17 tahun adalah waktu yang sebentar untuk bersama orang yang di cintai, yang memiliki riwayat penyakit mematikan seperti diriku.

Aku dan Mamaku kembali menemui Dokter Akbar untuk memberitahu keputusan kami.

"Jadi, bagaimana dengan keputusan kalian? Apakah Nak Diandra setuju untuk di rawat inap intensif?" tanya Dokter Akbar.

Aku menggeleng kemudian menunduk. Mama yang memahami keputusanku akhirnya angkat bicara.

"Begini Dok, karena Dian ingin tetap bersekolah seperti biasa, jadi saya memutuskan untuk menghormati keputusan Dian. Saya pikir, untuk menolak perawatan intensif yang Dokter tawarkan untuk Dian," kata Mamaku menjelaskan.

Dokter Akbar menghela napas lalu mengangguk tanda paham.

"Baiklah, kalau memang ini sudah keputusan kalian, saya tidak bisa merubahnya lagi. Hanya saja saya ingin perjanjian dengan Dian, jika sewaktu-waktu Dian terkena serangan, saya ingin Dian langsung dirawat intensif!" tegas Dokter Akbar.

Aku mengangguk tanda setuju. Mama tersenyum padaku.

"Baiklah Dok, kalau begitu kami permisi dulu. Terima kasih sekali untuk waktunya hari ini, Dokter Akbar," ujar Mamaku berpamitan pada Dokter Akbar.

"Sudah kewajiban saya Ibu Aulia, karena Nak Dian adalah tanggung jawab saya. Jangan lupa diambil obatnya ya yang sudah saya resepkan," kata Dokter Akbar.

Kami pun berpamitan. Tidak lupa aku mengambil obatku yang sudah di resepkan di Apotek Rumah Sakit.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Malamnya aku mengajak kedua sahabatku, Silmi dan Maya menginap di rumahku untuk membicarakan vonis Dokter jantungku yang menyatakan hidupku tidak lama lagi. Untungnya besok hari sabtu dan tidak ada kegiatan sekolah. Jadi mereka tidak masalah menginap di rumahku.

"Yan, gimana check-up ke Rumah Sakit hari ini?" tanya Silmi.

"Itu yang mau gue omongin guys," aku menghela napas dalam, "Dokter bilang hidup gue gak lama lagi," lanjutku hati-hati.

"Ih Yan! Lo mah jangan becanda deh!" pekik Silmi.

"Iya Yan! Apa sih ngomongnya kayak gitu! Lo sehat begini juga!" Maya tak kalah menimpali.

"Gue serius guys! SE-RI-US!" tegasku.

"Tapi Yan, asli gue gak percaya ah! Lo pasti bohong kan?" ujar Silmi yang di ikuti anggukan dari Maya.

"Gue gak bohong. Ngapain juga sih gue bohong hal beginian?" kataku yang mulai serasa sesak karena menahan tangis. Untungnya bukan sesak karena serangan.

"Jadi, lo beneran serius Yan?" tanya Maya lagi saking tak percayanya.

"Iya," jawabku tersenyum tipis dan tanpa sadar air mata sudah menetes di pipiku.

"DIAAAAANNN!!!!!" teriak Silmi yang langsung berhamburan memelukku.

"Astaghfirullah Sil! Biasa aja kali!" hardik Maya.

"Dian! lo gak boleh pergi duluan! Lo harus sehat terus Yan! Gue gak rela kalau kehilangan sahabat kayak lo!" pekik Silmi menangis tak peduli dengan hardikan Maya.

Maya pun ikutan memelukku dan Silmi. Kami bertiga tenggelam dalam tangisan.

"Gue akan selalu ada buat lo Yan! Gue janji sebagai sahabat!" ujar Maya.

"Terima kasih ya kalian, maaf kalau gue jahat harus ninggalin kalian duluan," kataku terharu.

"Diaaan! Udah Yan jangan di terusin!" Silmi berteriak sambil sesenggukan di pelukanku. Maya juga ikut memelukku dan Silmi.

Aku jadi merasa bersalah memberitahukan kedua sahabatku tentang masalah kesehatanku. Jujur, aku tidak mau membuat mereka merasa sedih. Setelah Mamaku, tambah lagi dua orang yang akan menangisi kepergianku nanti.

Setelah beberapa menit aku, Silmi dan Maya akhirnya melepaskan pelukan kami dan menghentikan tangisan kami. Walau sebenarnya kami bertiga masih ingin menangis. Bayangkan saja mengetahui sahabat hidupnya tidak akan lama lagi? Apa masih bisa berhenti menangis dengan memikirkannya?

"Ngomong-ngomong guys, gue mau cerita sesuatu tentang sebuah rahasia. Gue rasa harus menceritakan ini kepada kalian sebelum terlambat," kataku sumringah.

"Rahasia apaan Yan? Kok wajah lo berseri-seri gitu?" tanya Maya.

"Mmm... kalian tau kan Elang Pratama?" tanyaku yang di jawab anggukan oleh Silmi dan Maya, "dia... cinta pertama gue," lanjutku mengaku.

Uhukk. Uhukk. Silmi yang sedang minum sampai tersedak mendengarnya.

"Maksud lo, Elang Pratama temen sekolah kita kan? Cowok tampan, ter-pintar dan berprestasi di sekolah?" tanya Maya memastikan.

Aku mengangguk semringah dan berbinar-binar.

"Ya ampun Yan, sejak kapan lo jatuh cinta sama dia? Eh tapi bukannya dia naksir Sarah ya? Si cantik Ketua Cheerleaders itu?" tanya Silmi tanpa perasaan bersalah bahwa pertanyaannya itu sedikit melukai hati Dian. Maya pun menyenggol lengan Silmi memberi kode untuk diam.

"Iya bener, Elang Pratama yang naksir sama Sarah itu," kataku agak sedih, "tapi gue mau menyatakan perasaan gue ke Elang sebelum terlambat," lanjutku lalu terdiam.

"Dian, maaf...." Silmi jadi tak enak hati.

"Enggak Sil, Enggak apa-apa kok," kataku, "Gue udah suka Elang dari kecil, waktu itu gue ketemu sama dia pertama kali di Rumah Sakit, karena Elang gue jadi semangat melakukan perawatan dan bertekad sembuh, karena Elang juga gue memutuskan untuk sekolah biasa, masuk ke sekolah yang sama dengan dia. Elang itu udah seperti motivasi dan alasan gue hidup sampai sekarang. Gue gak bisa mastiin kapan gue jatuh cinta sama dia, tapi gue bisa pastiin dia adalah cinta pertama gue," lanjutku menjelaskan dengan menggebu-gebu.

"Gue gak tau Yan, kalau lo punya perasaan begitu dalam ke Elang. Selama ini kita gak pernah liat lo akrab sama Elang. Bahkan sekedar menyapa Elang aja kayaknya lo gak pernah deh," ujar Silmi.

"Iya, emang gue gak pernah nyapa Elang. Kalau dia ke Rumah Sakit aja gue selalu menghindar dan bersembunyi. Gue rasa Elang gak pernah tau kalau gue itu ada." Aku berhenti sejenak, menatap kedua sahabatku kemudian melanjutkan.

"Mangkanya gue berencana menyatakan perasaan gue ke dia. Gue mau pendekatan dan mengenal lebih dekat seorang Elang Pratama. Karena gue berharap, Elang mau menyambut perasaan gue dan mau jadi pacar gue sebelum gue pergi untuk selamanya," jelasku.

Silmi dan Maya terdiam sejenak mendengar penjelasanku. Kata-kata terakhirku sepertinya begitu menyakitkan untuk di dengar.

"Tapi, eh tunggu bentar, bentar, tadi lo bilang pertama kali ketemu Elang di Rumah Sakit? Terus Elang suka ke Rumah Sakit? Emang ngapain dia di Rumah Sakit?" tanya Maya penasaran.

Aku terkikik. "Kalian gak tau ya? Elang Pratama kan putra Dokter Akbar Wiratama, Dokter jantung gue!" kataku.

"APA!?!?!?!?" teriak Silmi dan Maya berbarengan.

ⱷⱷⱷⱷⱷ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top