XXII (22)

Copyright : Moonlight-1222

Update setelah vote mencapai minimal 200 votes. Semua komentar tentang cerita ini ditunggu :)
Silahkan follow Moon dan baca cerita yang lain juga. Makasih :)

.
.
.

Untuk ke sekian kalinya Stephen mengajak Diana memanjat pohon apel di kebun belakang Chester Hall---sebenarnya dia tidak memiliki pilihan saat Diana terus mengekorinya.
Gadis kecil berusia sembilan tahun itu tampak kesulitan mengimbangi kecepatan lari sang kakak yang terpaut empat tahun darinya. Terlebih lagi Stephen adalah laki-laki---yang tentu saja tidak mengenakan gaun. Meski begitu, ia tetap berusaha mengejar kakaknya tanpa lelah.

Kemudian suara Lady Louvain yang nyaring mengagetkan kedua bocah Rosvell yang tengah menikmati apel di atas pohon itu. Keduanya panik. Tak menduga kalau tamu ibu mereka selesai lebih cepat---dari biasanya. Stephen melempar apelnya seraya melompat turun bersama, dan hendak langsung lari kalau saja suara cempreng Diana tidak menghentikannya.

"Steffany! Tunggu! Steffany!"

"Menyebalkan," gerutunya dengan ekspresi masam. "Sudah berapa kali kubilang jangan memanggilku seperti itu! Stev! Stev!" Teriaknya sebal.

"Steffany!"

Argh. Stephen menyerah. "Apa yang kau lakukan! Cepatlah turun!" Bentaknya saat Diana masih berada di dahan. Ia menjadi semakin kesal tatkala melihat wajah sang adik yang menahan tangis.
"Tidak bisa," Diana mulai merengek saat Stephen masih tak perduli dengan kesulitannya. "Ini tinggi sekali." Ia baru menyadari posisinya setelah melihat ke bawah---bahkan setelah menghabiskan dua apel.

"Merepotkan," keluhnya setelah berdecak. "Ini salahmu yang terus naik padahal sudah kuperingatkan untuk tetap berada di tempatmu biasa." Adalah dahan paling rendah yang jaraknya kurang lebih satu meter dari tanah.

"Lain kali jangan ikuti aku lagi. Bermain saja dengan semua bonekamu."

Membaca kekesalan Stephen, tangis Diana pecah. Apalagi Stephen berniat pergi dan membuatnya dimarahi ibu mereka sendirian. Tapi ketika melihat Stephen merentangkan tangan dengan wajah masam, Diana tahu bahwa sang kakak tidak akan pernah tega pada dirinya.

"Cepat lompat!"

Stephen sukses menangkap Diana yang tersenyum sampai ke telinga. Meski bibirnya yang terbuka terus menggerutu, tapi pertanyaan 'Tidak ada yang luka?" sebelum menurunkan Diana, membuat gadis kecil itu senang tiada terkira. Padahal ia jelas melihat ekspresi Stephen yang mengerenyit---menahan sakit---saat menangkapnya.

Keesokan harinya ada memar di kedua lengan Stephen yang membuatnya kesulitan menggerakkannya sampai beberapa hari ke depan. Stephen memang sering menjahili Diana dan kerap membuatnya menangis, tapi dia juga sangat perhatian dan sayang padanya---begitupun pada Teressa dan Anastasia. Hal itulah yang membuat Diana tidak ragu untuk melompat saat itu.

Ah, sepasang permata birunya tenggelam demi mengakhiri salah satu ingatan manisnya. Diana biasanya selalu tersenyum setiap kali mengingat peristiwa itu, tapi kali ini yang datang hanyalah rasa muak dan kecewa.

Bagaimana pun kenangan masa lalu hanya bisa tinggal di masa lalu.

OOOOO

London adalah bentuk peradaban maju yang diciptakan melalui pengetahuan yang sudah berkembang. Gedung-gedung megah nan tinggi yang tidak bisa ditemukan di desa, yang sayangnya menyimpan banyak hal ironi. Karena di setiap perubahan akan selalu ada orang-orang kecil di baliknya. Mereka yang bekerja keras, yang hanya dihargai beberapa peny dan shilling.

Belum lagi cerobong asap dari pabrik-pabrik, mengepulkan asap hitam yang mengotori udara. Masyarakat desa berbondong-bondong ke kota, berharap dapat hidup lebih baik. Padahal hanya menambah lingkungan kumuh di setiap sudut kota-kota besar. Jalan-jalan kecil berbatu yang gelap kerap menjadi lokasi kejahatan, dimana tinggal keluarga-keluarga mereka---dalam kehidupan yang memprihatinkan.

Akan selalu jauh dari indahnya kehidupan kaum kelas atas. Seperti dunia yang berbeda. Seolah berada di dua tempat yang tidak menyatu. Semuanya dipisahkan oleh status sosial yang diciptakan manusia. Semakin dipikirkan, maka semakin menyedihkan. Meski Lord Louvain dan komunitasnya sudah berusaha memperjuangkan kesejahteraan mereka, tetap saja semua ada batasnya.

Seandainya mereka juga memiliki kesadaran diri bahwa kehidupan di desa tidaklah buruk. Menjadi petani dan peternak lebih membahagiakan daripada pekerja pabrik yang rentan dengan penyakit dan kematian. Bahkan akibat himpitan ekonomi, anak-anak mereka harus ikut bekerja. Bayaran tidak seberapa yang menyimpan maut.

Diana tidak membenci perubahan, ia hanya tidak menyukai ketidakadilan yang selalu berada di belakangnya. Tapi tidak akan ada yang berubah dengan kata seandainya---kalau manusia terus melihat ke atas.

Kata seandainya juga tak berlaku untuk nasib Diana saat ini. Ia mengamati Raphael yang tidur dipangkuannya. Bulu mata panjang menyembunyikan sepasang biru bersorot mati. Lekuk wajah rupawan yang terlalu manusiawi untuk dikatakan sebagai perwujudan iblis. Apa dia nyata?

Diana memukul pipinya. Meyakinkan diri bahwa semua yang ada pada diri Raphael adalah tipuan. Tujuannya hanya ada satu, bertemu orangtuanya dan Teressa. Kalaupun terlambat mencegah kepergian Teressa, ia masih bisa menceritakan semua kejahatan Raphael.

Ayahnya pasti akan memihaknya. Dia pasti akan mempercayai semua perkataannya. Setelah itu, ia bisa membongkar rahasia Stephen. Senyumnya terpantul di jendela yang membias cahaya matahari. Silau, tapi tetap bisa menangkap secercah harapan kebebasan yang berkilau dalam sepasang birunya.

OOOOO

Ekspresi kaget sang kepala pelayan sudah menjawab semua tanya yang mengendap di lidahnya ketika Diana berada di balik pintu yang terbuka. Tidak ada kereta di belakangnya dan tanpa siapapun. Lady Rosvell sepenuhnya sendirian.

"Menyingkir."

Nada dingin itu menyusutkan semua keberanian Robert. Meski berstatus pelayan dan majikan, Diana biasanya selalu menghormatinya sebagai orang tua.

"Dimana Papa dan Mami? Di kamar? Ruang kerja?"

"Ruang kerja, My Lady," sahut Robert pelan. Diana memang tampak tenang, tapi birunya yang meledak-ledak sudah menggambarkan amarahnya.

"Teressa..." Langkahnya terhenti. "Apa dia sudah pergi bersama Davinci?"

"Iya. My Lady."

"Aku tidak apa, Robert." Diana tersenyum, berusaha memudarkan kekhawatiran di wajah Robert. Kepala pelayan tua itu tidak bertanya. Tentu saja karena takut salah memilih kata. "Tinggalkan aku."

"Saya permisi."

Diana menghela napas, berusaha menepis kekecewaan atas kepergian Teressa. Cepat sekali. Selain demi membantunya membongkar kejahatan Raphael, ia juga ingin melihat sang adik untuk terakhir kalinya. Italia dan Inggris bukan jarak antar kota yang bisa dikunjungi kapan saja.

"Diana?" Lady Louvain sontak terkejut melihat kedatangan puteri tertuanya dari balik pintu. Ia meletakkan sulamannya dan berniat mendekat kalau saja Diana tidak mendahuluinya.

"Papa dan Mami harus mempercayai semua cerita Diana." Ia tidak perlu basa-basi.

"Apa maksudmu, Dia? Tapi bagaimana kau bisa berada di sini? Apa kau bersama Stephen?"

"Mami..." Ia menghela napas. Merasa kesal setiap kali mendengar nama Stephen. "Diana tidak mau menikah dengan... iblis."

"A-apa maksudmu, Sayang?" Wajah Lady Louvain pias. "Ke-kenapa harus menikah dengan sesuatu yang mengerikan seperti itu? Tentu saja kau tidak boleh menikah dengan iblis. Mami akan menghalanginya juga."

Senyum sedikit merekah di wajahnya. "Ya. Ya, Mami," suaranya bergetar karena bahagia. "Manusia tidak boleh menikah dengan sesuatu yang mengerikan seperti itu. Tapi calon yang sudah Mami siapkan untuk Dia, Marquess of Wilford. Raphael dari keluarga Lemington adalah keturunan iblis. Mami harus membatalkannya."

"Diana," sergah Lady Louvain yang sempat tercengang. "Apa yang sedang kau bicarakan? Siapa yang memberitahumu hal tidak masuk akal seperti itu? Apa ini caramu untuk menolak Wilford? Dia, kau sendiri yang menyetujui pernikahan kalian."

"Mami... tidak percaya dengan Diana?" Lirihnya sebelum meledak. "Diana melihatnya sendiri, Mami!" Birunya melotot sebelum sorotnya berubah putus asa. "Tolong percaya dengan Diana, Mami. Diana bukan sedang mencari alasan. Selama tiga hari ini, Diana berada di Axton Hall karena Raphael sudah menculik Diana."

Lady Louvain tak tahu harus berbicara apa. Dia memijat dahinya sambil melirik suaminya yang mengisyaratkan padanya untuk tenang melalui matanya. Diraihnya sang puteri yang tampak linglung. "Duduk dulu," ujarnya sambil mengusap peluh di sekitar wajah dan leher Diana.

"Kalau kau sebegitu tidak inginnya menikah, tidak apa. Mami akan membatalkannya."

Semula Diana sudah bernapas lega, tapi kalimat tambahan dari ibunya mengecewakannya.

"Tapi apa yang terjadi padamu, Sayang? Tiga hari ini kau terus mengurung diri di kamar. Kau tidak pergi kemana-mana. Apa kau bermimpi buruk? Dimana kakakmu? Kenapa dia tidak masuk?"

Mereka tidak percaya dengannya.

"Kenapa kalian lebih percaya pada Stephen!" Diana lepas kendali. Bangkit dan menyingkirkan semua sentuhan ibunya. "Dia bekerja sama dengan Raphael!" Wajahnya merah padam akibat amarah yang meledak. Tak perduli dengan ekspresi kaget ibunya.

"Apa karena statusnya sebagai pewaris!" Matanya berkaca-kaca. "Tapi aku juga anak kalian! Aku puteri kalian! Aku berbicara sesungguhnya! Raphael menculikku dan menyekapku di Axton Hall! Dia juga adalah iblis! Dia bisa memanipulasi semuanya! Apa kalian juga sudah dimanipulasi olehnya!"

Plak!

"Sudah cukup. Jaga intonasi bicaramu, Diana. Adikmu meninggal dan satunya lagi pergi karena menikah. Teressa bahkan tidak bisa mengadakan pesta karena harus melangsungkan pernikahan dalam suasana berkabung. Jangan menambah masalah apapun. Jangan membuat ibumu semakin bersedih. Kau tidak ingin menikah dengan Wilford, lakukanlah. Kau sudah dewasa, bersikaplah selayaknya usiamu dan puteri tertua."

Ini pertama kalinya sang ayah melayangkan pukulan ke tubuhnya. Rasa panas ini memang tidak terlalu menyakitkan, tapi ketidakpercayaan mereka membuatnya meradang. Satu-satunya harapan yang bisa menolongnya juga meninggalkannya. Menyakitkan. Kalau seperti ini terus, kewarasannya benar-benar akan menghilang.

"Dia..." Ibunya meneteskan air mata dan hendak menyentuh pipinya yang memerah, tapi Diana memilih mundur.

"Stephen memiliki puteri tanpa sepengetahuan kalian."

"A-apa?"

"Iya, Mami." Diana menggenggam tangan ibunya. "Stephen memiliki puteri bernama Isabella dari perempuan bernama Gwendolyn. Puterinya baru berusia satu tahun. Stephen menggunakan nama Carls Gladdhin sebagai ayah anak itu. Carls Gladdhin adalah anagram dari Garland's child. Arti garland sendiri adalah karangan bunga atau mahkota. Sementara dalam bahasa Yunani dan Latin adalah Stephanos dan Stephanus. Itu adalah nama lain dari Stephen. Diana memang tidak memiliki bukti dan itu hanya sebatas asumsi. Tapi Diana akan membuktikan kalau itu adalah kebenaran."

Serangan fakta itu membuat Lady Louvain shock sampai terduduk lesu dan kehilangan lidah, tapi ayahnya yang terdiam tampak tenang.

"Bila itu kebenarannya, apa kalian tidak akan menghukumnya?" Suaranya bergetar. Ia menjauh dari ibunya seraya mengusap kasar air matanya yang jatuh.

"Tidak perlu membuktikan apapun. Papa memiliki perjanjian dengan Stephen. Papa akan menerima keluarga kecilnya dengan syarat dia tidak kabur dan menerima takdirnya sebagai marquess selanjutnya."

"Darling, jadi kau---" Ibunya menjadi semakin pucat.

"Iya, Stephen sudah menikah tanpa sepengetahuan kita." Lord Louvain merangkul isterinya yang siap limbung kapan saja.

"Oh." Diana benar-benar merasa kalah. "Jadi itu alasan Stephen tidak membantah saat Papa meminta untuk tinggal di London dan mengikuti semua acara season?" Sekarang semuanya menjadi jelas. Bagaimana Stephen yang biasanya bisa menemukan jalan keluar, malah membiarkan dirinya terjebak.

"Ini tidak adil..." Tinjunya terkepal erat dan pandangannya kian buram. "Semakin dipikirkan, semakin jelas ketidakadilannya. Papa membolehkan Stephen menikah dengan orang biasa, tapi aku harus menikah dengan status yang sama. Hanya karena Stephen pewaris dan Diana tidak?"

Kekecewaannya sudah mencapai batas. Mencekik lehernya. Air matanya berguguran. Keputusan datang kemari untuk meminta pertolongan adalah kesalahan besar karena keadilan memang tidak berpihak padanya---sedari awal.

"Diana mendengar semuanya. Percakapan kalian tentang masih ada marquess yang lajang. [Bab VII a (7a)]. Hanya karena Diana tidak memiliki pemasukan selain warisan dari Papa? Tapi Diana tidak membutuhkan marquess atau siapapun itu. Diana bisa mengatur harta Diana untuk kehidupan Diana bersama..."

"Logan?"

Diana membeku. Tidak menduga nama itu akan keluar dari bibir ayahnya.

"Papa tahu perasaanmu, Dia. Papa tidak buta. Papa melihatmu memperlakukan Logan sebagai pria sesungguhnya. Papa sudah meminta Logan untuk melamarmu di usiamu yang ke tujuh belas tahun. Tapi cintanya tidak sepertimu, Sayang. Dia hanya menganggapmu sebagai saudara dan sahabat."

Tidak mungkin. Pernyataan itu membuat jantung Diana seolah berhenti.

"Cinta kalian tidak sama, Sayang. Dia memang anak yatim-piatu. Bekerja sebagai kusir kereta di Chester Hall---atas pilihannya sendiri. Tapi dia juga bagian keluarga di St. Rosvell. Keluarga kita. Anak Papa dan Mami juga saudaramu. Papa tidak ingin memaksanya. Papa tidak ingin membuatnya berpikir bahwa masih ada perbedaan status di antara Papa dan dirinya. Keputusannya adalah miliknya dan Papa hanya bisa menyetujuinya."

Semuanya menjadi jelas. Diana mengusap air matanya. Ia tidak jelek. Ia memiliki masa muda sebagai salah satu bidadari season---seandainya ia tidak menghancurkannya secara sadar. Mungkin Logan sudah terlanjur nyaman bersamanya sebagai saudara dan sahabat, jadi sulit memandangnya sebagai pendamping hidup. Atau perasaan rendah diri yang membuat pria itu memilih mundur?

Tapi apapun alasan Logan, perasaan Diana tetap berakhir bertepuk sebelah tangan dan rasanya menyesakkan. Tidak ubahnya seperti pengkhianatan yang dilakukan Stephen. Orangtuanya tidak mempercayainya dan Mary membohonginya. Dan semua alasan mereka adalah Stephen. Sama seperti alasan bagaimana Raphael bisa mengejarnya. Semua karena Stephen.

Mimpi buruk ini karena Stephen.

Tidak ada hal di bumi ini yang terjadi tanpa alasan. Semuanya sudah direncanakan dengan baik. Tidak ada jalan ke luar untukmu, Diana.

"Baiklah, Diana akan mengikuti keinginan kalian untuk menikah dengan Raphael," ujarnya sendu. Hilang sudah semua kekuatannya untuk menolak Raphael. Melebur bersama semua fakta pahit yang diterimanya.

Stephen menang. Anastasia mati. Teressa sudah pergi dan dirinya yang gila menikahi iblis. Happy ending untuk semuanya. "Good day, My Lord."

"Diana!" Teriakan ibunya hanya memantul di punggungnya.

"Biarkan dia sendiri dulu."

Iya, My Lord. Biarkan puterimu sendirian bersama suami iblisnya.

Pintu tertutup dan Diana berhenti menangis. Orangtuanya hanya menganggap aneh perilakunya. Ia menyusuri koridor seperti mayat hidup. Menatap nanar Robert yang berdiri tidak jauh darinya.

"Beri pemberitahuan ke Witton House..." Demi menghindari skandal, Diana meminta Raphael pulang ke Axton Hall. Menunggu kabar darinya disana. Semula, ia akan memberi kabar buruk pada Raphael---yang kini hanya sebatas wacana. "...bahwa Diana Caesaria Anne Rosvell sudah siap menikah dengan Lord mereka. Tanggal pernikahan diserahkan pada pihak mempelai pria. Besok pun tidak masalah. Lebih cepat lebih baik."

Kemudian ia berlalu ke kamarnya dengan gontai. Meninggalkan Robert yang tercengang.

Fall from grace adalah akhir hidupku. Aku sudah jatuh. Lebih baik tenggelam semakin dalam daripada hidup sebagai beban. Ah. London bukan hanya sudah mengalami banyak perubahan, bahkan kehidupanku dan semua keluargaku pun berubah karena berada di tempat ini.

Tapi Diana, pertanyaan ini akan selalu datang menghantuimu: sejauh mana kau sanggup bertahan dari penyakitmu dan Raphael?

OOOOO

*Membaca komentar, tebakan kalian Stephen adalah Garland itu benar, tapi Moon tidak menemukan alasannya. Semoga bisa tercerahkan di chapter ini. Baiklah, sejauh ini bagaimana?

*Satu chapter lagi akan mengakhiri cerita ini. Belum tamat karena akan lanjut ke buku 2. Seperti yang sudah Moon jelaskan di catatan bab [XIII (13)], Diana Rosvell ini series. Bagi yang ingin melihat interaksi Diana dan Raphael akan lebih banyak di sana :)

Terima kasih. Hatfield Hall juga update hari ini. Silahkan mampir ke lapak Moon. Selamat beraktifitas & Love You All :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top