XX (20)

Copyright : Moonlight-1222
Vote sebelum baca atau baca dulu baru vote. Jangan lupa :)
Bila berkenan silahkan follow Moon dan baca cerita yang lain juga. Makasih.

.
.
.

Chester Hall tidak pernah semuram ini meski dibangun pada abad pertengahan. Auranya yang murung seolah turut berduka atas kematian Anastasia. Dari kejauhan dan dibalik kaca jendela kereta, Diana terus memperhatikan bangunan tua yang kini sudah terasa sangat asing baginya. Seolah duka sudah menyapu bersih semua keceriaan yang sudah bertahan selama dua puluh enam tahun hidupnya.

Kereta berhenti tidak jauh dari areal pemakaman keluarga Rosvell setelah Diana lebih memilih untuk masuk melalui pintu belakang. Keduanya menyusuri tempat itu, melewati tanah yang menyimpan setiap tubuh manusia yang sudah berubah menjadi tulang-belulang itu dengan senyap.

"Kau menculikku di tempat ini, bukan?"

Raphael tidak memberi tanggapan. Diana memang tidak mengingat apapun saat terbangun di Axton Hall, seolah ada kabut yang menutupi kesadarannya. Tapi perlahan semua memori itu kembali. Malam itu ia mencium bunga lily dari tangan yang membekapnya, dan itu adalah aroma yang sama saat berada di kamar Raphael di Witton House. [Bab IIIb/3b]

Obat tidur yang mungkin memiliki efek samping melemahkan ingatan. Satu lagi fakta yang disadari Diana. Penculikan kemarin adalah usaha ketiga Raphael---dan berhasil.

Ia mencoba meredam amarah sambil menunjuk sebuah tanah yang menggunakan mortsafe. "Tubuh Anastasia tertidur disana," ujarnya kelu sebelum menatap Raphael yang tertunduk.

Apa kau bisa menghidupkannya? Tapi aku menginginkan dia benar-benar hidup. Tersenyum dan tertawa seperti Anastasia. Tidak seperti mayat hidup Sir Hugh. Tapi Diana hanya berani mengutarakan semua itu dalam hati. Raphael mungkin terlihat tenang, tapi kemarahannya malam itu sangat nyata. Sepertinya berkata seperti itu hanya akan membangkitkan amarah pria itu.

"Aku turut berduka."

Diana langsung melengos melihat ekspresi Raphael yang sedingin patung. Pria itu tidak memiliki perasaan, kata-kata itu hanya terlempar tanpa makna.

"Kenapa kuburannya diberi sangkar besi seperti itu? Apa keluargamu takut kalau adikmu nanti akan bangkit dari kematiannya?"

Seandainya pertanyaan polos itu dilemparkan saat berada di situasi normal, sudah pasti akan mengundang gelak tawa. "Really, Sir?" Diana menatap Raphael tak percaya. "Bagaimana bisa kau membiarkan dirimu terjebak dalam kebohongan seperti itu?"

"Aku menyelinap bersama Hugh dan kami melewati dua makam yang diberi pagar besi seperti itu di wilayah Aberdeenshire. Hugh memberitahuku kalau itu merupakan cara untuk mencegah orang yang sudah mati agar tidak bangkit kembali. Seperti mitos vampire."

"Sepertinya kau terlalu banyak membaca novel horror. Berapa usiamu saat ditipu seperti itu?"

"Lima belas."

Oh, Boy. Bagaimana bisa seorang iblis ditipu oleh manusia? Sungguh ironis.

"Scotland memang sangat terkenal dengan kasus pencurian mayat. Sangkar besi itu disebut mortsafe. Digunakan untuk melindungi tubuh orang yang sudah meninggal dari para pencuri mayat. Para body snatcher itu akan menjual mereka ke sekolah kedokteran untuk pelajaran anatomi. Meski tahun 1832 sudah ada undang-undang yang membahasnya, tapi para pencuri itu masih tetap melakukannya. Dari dulu keluargaku selalu memfasilitasi mortsafe untuk masyarakat disini. Pagar besi itu akan dilepas setelah tiga minggu karena tahap pembusukan mayat sudah selesai." [Body snatcher dimention di bab XII/12 saat membahas Duke Clayton]

"Tapi siapa yang berani mencuri jenazah keluarga Rosvell?"

Diana tertegun. Benar sekali. Memangnya siapa yang berani mencuri di kediaman Rosvell? Lagipula mayat yang diambil selalu milik masyarakat miskin. Kemudian ekspresi bingung Diana berubah tegang saat menyadari sesuatu. Semua makam yang berbaris rapi dan dibalut dengan masonry ini adalah milik keluarga besar dan para pekerja setia keluarga Rosvell. Sementara keluarga inti para pewaris akan ditempatkan di mausoleum, dan sebagai puteri dari Lord Louvain yang sekarang, Anastasia seharusnya berada di sana.

Apa yang terjadi?

Raphael mengikuti langkah cepat Diana dengan perasaan lega karena sudah berhasil memancing gadis itu menyadari hal ganjil dalam kematian Anastasia. Raphael tidak mengerti kenapa melakukannya, tapi ia hanya merasa Diana berhak mengetahui beberapa kebenaran itu.

OOOOO

Diana belum pernah merasa sesedih ini. Bahkan fakta tentang ketidakwarasannya dan patah hati akibat penolakan Logan pun tidak sampai mengguncangnya sehebat ini. Bagaimana bisa tidak ada satupun dari keluarganya yang mencarinya. Bahkan tidak ada satupun dari mereka yang menyadari kalau dirinya sudah absen selama tiga hari.

Birunya berkaca-kaca. Ia mungkin terlihat kuat dan berani, tapi pengalamannya bersama Raphael tetap memberinya mimpi buruk. Ia sangat ketakutan. Bahkan dalam setiap detik terus dihantui dengan pikiran tentang Raphael yang tiba-tiba menyakitinya. Ia terus berharap dan berdoa kalau kemalangan itu tidak akan pernah menjadi hantu dalam hidupnya. Tapi...

"Diana, akhirnya kau ke luar juga dari kamarmu."

...perkataan Stephen menepis semua harapannya.

"Apa..." Ia kehilangan suara untuk beberapa detik karena ditelan rasa sesak. "...kau sungguh tidak mengetahui kemalangan yang sudah menimpaku?"

"Apa maksudmu?" Stephen meninggalkan semua dokumennya dan menghampiri Diana. "Apa kau sakit? Selama tiga hari kau mengurung diri di kamar. Aku akan memanggil---"

"Stev, apa kau serius!"

"Dia..." Stephen memeluk Diana yang tampak terguncang. "Aku paham kematian Anastasia yang tiba-tiba sudah mencabik kebahagiaan keluarga kita. Tapi setiap manusia akan mati. Kita harus merelakan Anastasia."

Diana mendorong Stephen. Kakaknya tidak sedang main-main. Tidak ada satupun dari keluarganya yang menyadari kalau dirinya hilang. Baiklah. Katakanlah kematian Anastasia adalah penyebabnya, tapi... "Apa tidak ada yang memeriksa kondisiku?"

"Diana, kami selalu menghormati keputusanmu yang selalu ingin menyendiri di kamarmu. Kau akan mengurung diri tanpa suara. Kemudian seperti yang sudah lalu, Mami dan Christie hanya akan meletakkan makanan dan minuman di depan pintu kamarmu."

Untuk sesaat Diana menyesali kebiasaan buruknya itu. Situasinya sungguh tidak menguntungkan. Tapi... "Makanan itu sama sekali tidak kusentuh."

"Apa maksudmu, Dia? Kau selalu mengembalikannya di depan pintu dalam keadaan kosong."

Tidak! Diana merasa seluruh tubuhnya lemas. "Itu bukan aku." Suaranya bergetar. "Ada orang lain dan itu pasti kaki tangan Wilford." Ia mencengkram kemeja Stephen. "Selama tiga hari ini aku tidak berada di kamarku. Aku berada di Cheshire. Di Axton Hall. Marquess of Wilford sudah menculikku dan sekarang ada disini."

"Dia, apa maksudmu? Apa kau serius?"

Diana mulai menangis. "Aku belum pernah seserius ini, Stev. Aku akan membawamu pada Wilford. Tapi sebelum itu..." Ia mendorong Stephen dan langsung berlari ke bawah meja pria itu. Ia harus membawa bukti agar Wilford tidak memiliki alasan untuk menyangkal kejahatannya. Lagipula Stephen yang terlalu tenang pasti berpikir kalau Diana sedang berhalusinasi.

"Diana, apa yang sedang kau lakukan di bawah sana?"

Pertanyaan Stephen yang bingung semakin menghantam Diana dalam kemarahan setelah mendapati pintu rahasia itu tidak ada. "Dimana?" Geramnya. Dimana? Dimana pintu itu. Ia meraba-raba dan berubah panik karena lantai yang berbeda warna itu sudah lenyap, seolah dari awal tidak pernah ada.

"Diana, apa yang terjadi? Apanya yang dimana?"

"Jangan pura-pura bodoh!" Bentaknya sambil memukul lantai. "Dimana! Dimana pintu rahasia di bawah sini!"

"Pintu rahasia? Apa kau kembali berhalusinasi, Dia?"

Benar. Stephen memang menganggap semua racauannya sebagai manifestasi gangguan jiwa. Ia ke luar dari bawah meja dan menatap Stephen datar. "Stev, kenapa kau menutup pintu itu? Apa ini bentuk balas dendam darimu? Ternyata kau yang menjadi kaki tangannya."

"Balas dendam dan kaki tangan apa, Dia? Seperti yang kau lihat sendiri. Tidak pernah ada pintu rahasia di bawah meja kerjaku. Bagaimana bisa menutup hal yang tidak pernah ada."

"Kau bohong!" Diana semakin murka dan melempar semua dokumen Stephen ke lantai. "Aku menemukannya dan menyusuri tempat itu! Bahkan aku..." Ia terdiam dan akhirnya sadar sudah melewatkan satu fakta penting lain di malam itu. Aku bertemu Teressa dan Sir Davinci disana.

"Teressa! Dimana Teressa!"

"Diana, tenanglah dulu. Apa kau lupa kalau Teressa sudah pergi dengan Davinci. Kemarin mereka sudah menikah dan langsung berangkat ke London bersama Papa dan Mami."

"A-apa? Apa kau bilang!" Diana mencengkram kemeja Stephen dengan amarah yang membakar birunya. "Teressa dan Sir Davinci. Aku mengikuti mereka malam itu. Aku yakin. Aku yakin tidak berhalusinasi. Mereka-mereka..." Tangannya bergetar selama meracau. "...naik kereta dan aku mengejarnya sebelum pria gila itu menculikku. Ini semua pengaruh lily pria gila itu. Membuat semua memoriku berantakan seperti ini. Tapi-tapi Teressa bisa menjadi saksiku."

"Kau mau kemana?" Stephen menahan Diana yang semakin panik dengan ekspresi seperti orang gila. "Sebenarnya apa yang sedang kau bicarakan dari tadi? Kau---"

"Diam!" Ia menampar Stephen untuk melepaskan diri. "Aku sudah mengingatnya. Semuanya. Bagaimana bisa Davinci yang merupakan orang luar bisa mengetahui pintu rahasia di kediaman Rosvell. Tentu saja karena kau yang memberitahunya. Sepertinya kau juga sengaja memancingku untuk menyusuri pintu rahasia itu. Kau sengaja melakukan itu dan kegilaanku ini memberi kemudahan untukmu."

Jadi saat semuanya terbongkar, kau tinggal menutupinya dengan mengatakan aku gila. Semua itu hanyalah halusinasi---seperti tadi.

Lapisan bening itu membenamkan birunya dalam kesedihan, sementara perasaan terkhianati mencuri detak jantungnya. "Apa kau tahu siapa Raphael? Kakak seperti apa dirimu yang tega mengorbankan adiknya pada..." seorang iblis.

"Apa maksudmu, Dia?"

Diana menghapus kasar air mata yang jatuh di pipinya. "Aku mempercayaimu, Stev."

"Dia..." Stephen terhuyung dan tidak sempat menghindar saat Diana meraih kotak tinta di meja dan melemparkannya dengan niat menyakiti.

"Ekspresi pura-pura bingungmu hanya membuatku muak." Senyumnya puas sekali saat menatap Stephen yang terkejut, pecahan kaca di lantai, dan darah yang mengalir dari dahi pria itu---yang bercampur cairan hitam. "Aku sangat menyesal. Seharusnya waktu itu aku memukul kepalamu sebelum mendorongmu," ujarnya datar sebelum meninggalkan semua kepalsuan Stephen yang meneriakkan namanya.

Kau memanggilku tapi tidak berusaha untuk mengejar. Breng*ek. Air matanya berguguran bersama semua amarah yang melesak di dada dan meluapkan semua kebencian yang sempat terkubur. Aku akan membalas semuanya, Stev. Aku akan membalasmu dan menutupinya dengan metodemu: mengamuk dan melukai orang adalah hal wajar bagi orang gila.

Mencapai perpustakaan, Diana langsung menetralkan semua amarah yang berkumpul di wajah dan perasaan terguncangnya. Ia meminta Raphael menunggunya di sana setelah mendapati suasana Chester Hall yang lengang.

"Aku harus ke London." Raphael langsung menutup buku yang dibacanya dan menghampiri Diana yang berdiri di bingkai pintu tanpa ekspresi. "Ada barang Teressa yang tertinggal. Kau bisa menungguku disini."

"Aku ikut denganmu."

"Aku tidak akan kabur."

"Bukan seperti itu." Raphael menyentuh bahu Diana. "Kau terlihat tidak baik. Wajahmu pucat. Apa kau sakit?"

"Aku baik-baik saja." Diana menahan diri untuk tidak menepis tangan Raphael yang hendak mencapai wajahnya. Membiarkan jemari pria itu leluasa menyusuri pipi dan rahangnya.

"Apa yang terjadi? Tidak bisakah kau memberitahuku? Aku mendengar---"

"Aku baik-baik saja." Diana menjatuhkan dahi ke dada Raphael. "Aku baik-baik saja dan berhasil terus baik-baik saja sebelum di titik ini."

Dan aku belum pernah semarah ini.

"Tapi kau tampak tidak baik-baik saja."

Raphael tertegun saat Diana mendongak dan menyusuri wajahnya dengan tatapan dingin. "My Lord..." Bibirnya tertarik ke satu sisi. "Aku wanita ke berapa yang memujimu tampan?" Ia berjinjit untuk menghidu leher Raphael. "Kita akan menikah dan memiliki putera yang setampan dirimu."

Raphael menarik diri atas perubahan sikap dan nada Diana yang tiba-tiba. Ia merasa tidak nyaman dan terbebani dengan dua hal itu...

"Maafkan aku."

Permintaan maaf saat ini tidak ubahnya seperti nyanyian satire para pecundang.

"Kenapa tiba-tiba?" Diana masih mempertahankan senyum tipisnya. "Ini bukan salahmu. Aku hanya merasa sedih karena Teressa pergi tanpa sepengetahuanku." Ia meraih jemari Raphael dan menggenggamnya. "Kita pergi ke London sekarang. Papa dan Mama juga berada disana."

...karena gadis itu seperti mati.

OOOOO

Loha~ gimana?
Selamat membaca. Jangan lupa vote dan juga komentarnya untuk cerita ini. Makasih, selamat beraktifitas.
Maaf juga masih banyak komentar yang belum bisa dibalas. Moon harap kalian tidak merasa enggan buat komentar karena Moon jarang bales komen. Moon suka baca-baca komentar kalian soalnya :)
Love You All.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top