XVI
Copyright : Moonlight-1222
Baca dulu sebelum vote atau vote dulu sebelum baca. Jangan lupa ya :)
.
.
.
Kabar kematian Anastasia menyebar cepat ke seluruh penjuru Inggris bagai wabah setelah semua halaman depan surat kabar membahas beritanya. Tak ada yang terlewat, semua orang berduka dan menyayangan usia pendek puteri bungsu dari Lord Louvain yang terkenal dermawan itu. Bahkan Chester Hall terus menerima surat dari anak-anak panti asuhan. Mereka berharap dapat sedikit meredakan kehilangan yang dialami oleh orang paling berjasa dalam hidup mereka.
Sayangnya hal itu tetap tidak akan pernah bisa menggantikan rasa kehilangan seorang ayah.
Diana menatap punggung Lord Louvain yang masih terduduk di samping makam Anastasia dalam keburaman air mata---yang terus mengalir dalam diam. Hanya tersisa keduanya di areal pemakaman keluarga Rosvell karena semua orang sudah kembali ke Chester Hall untuk beristirahat. Termasuk Lord Hartland yang wajahnya selalu murung bersama mata yang merah. Diana sangat iba melihat kondisinya. Kehilangan calon isteri bahkan sebelum pesta pertunangan dilaksanakan adalah pukulan tersulit yang harus diterima pria itu.
Kematian adalah perpisahan paling menyedihkan setelah perang dan perceraian, tapi itu adalah perjalanan terakhir semua makhluk hidup, bukan? Berhenti bersedih dan melangkah menuju masa depan adalah pilihan yang terbaik---setidaknya Diana ingin semua orang di sekitarnya tidak melihat kesedihannya yang berlipat ganda.
Ia gila dan adiknya meninggal, tentu ia tidak baik-baik saja.
Ia mengalihkan atensi pikirannya pada ayahnya yang masih terdiam. Tidak banyak yang menghadiri pemakaman Anastasia karena Lord Louvain tidak ingin semakin berduka ketika mendengar suara-suara kesedihan di sekitarnya. Hanya keluarga besar Rosvell, keluarga inti Lord Hartland, Sir Davinci, dan beberapa bangsawan yang dekat dengan keluarga Rosvell. Wilford dan ibunya tidak hadir karena mereka masih berada di Cheshire, perwakilan berasal dari adik Lady Wilford, Sir Hugh.
Dokter Phillip yang merupakan dokter keluarga Rosvell tidak menemukan gejala sakit ataupun tindak kekerasan pada jasad Anastasia. Kematian Anastasia dinyatakan wajar dan Lord Louvain yang terpukul dengan fakta puterinya yang benar-benar sudah meninggal langsung memutuskan kembali ke Derbyshire.
Sesampainya di Chester Hall, awalnya Diana berpikir sang ayah masih akan menyimpan jasad Anastasia, mungkin untuk selama satu minggu ke depan. Lalu mengadakan foto keluarga bersama Anastasia untuk terakhir kalinya. Tapi ternyata keesokan paginya sang adik sudah dimakamkan karena ayahnya tidak ingin terus terjebak dalam kesedihan.
Diana menyentuh bahu lebar Lord Louvain yang selalu terlihat kokoh, tapi kini seperti sudah kehilangan kekuatannya. “Papa, sebentar lagi malam.” Sudah berjam-jam mereka disini, tapi ayahnya seolah sudah menempel erat pada pijakannya.
Lembayung melebar di atas sana, memayungi kesedihan Lord Louvain. Wajah tegas sang marquess yang selalu terkesan kuat dalam kewibawaan itu sudah menjadi semakin layu dan lemah. Sepasang biru gelap yang biasa berselimut kepercayaan diri itu tiada hentinya basah.
Diana memeluk punggung sang ayah sambil menyandarkan kepala dan mengusapi lengannya. “Papa, biarkan Stacy istirahat." Air matanya merembes di jas hitam ayahnya. "Stacy pasti sedih melihat Papa seperti ini. Ayo kita kembali. Udara sudah semakin dingin, nanti Papa sakit.”
Tapi Lord Louvain tidak bergeming.
“Pa---”
“Dia, apa kau tahu hal yang paling menyakitkan bagi orangtua selain diabaikan anak-anaknya?”
Diana tidak menjawab dan hanya semakin tergugu di punggung sang ayah.
“Saat seorang ayah dan ibu mendapati anaknya meninggal lebih dulu dari mereka.” Lord Louvain terisak. “Stacy-ku masih begitu muda. Pelitaku dan ibumu setelah Stev, kau, dan Tessa. Aku---“ Ia tersedak air matanya.
“Pa-Papa...,” bisik Diana parau dalam isaknya. “Kematian datang kepada siapa saja. Tidak melihat apakah dia muda, tua, bayi, atau bahkan masih dalam kandungan sekalipun. Sampai kapanpun Stacy akan tetap menjadi pelita bagi Papa dan Mami karena Stacy akan tetap hidup dalam hati kita. Sekarang kita pulang, ya. Tessa, Stev, dan Mami pasti sangat khawatir.”
“Aku masih mengingat bagaimana tubuh mungilnya berada dalam dekapanku untuk pertama kalinya. Aku berpikir rasanya aku bisa melakukan apapun untuk melihatnya tumbuh sehat. Melihat kalian semua dewasa." Air mata itu sudah seperti kaca di wajahnya. "Seharusnya aku yang tua ini menggantikan Stacy---“
“Papa!” Diana kian terisak bersama pelukannya yang mengencang. Ia hampir saja meraung karena tersayat pengakuan sang ayah. “To-long. Tolong jangan berbicara seperti itu." Ia tergugu. "Bu-bukan hanya Stacy yang sedih mendengarnya, tapi Dia, Stev, dan Tessa. Mami juga pasti terpukul, anak-anak di St. Rosvell, dan panti asuhan lainnya juga." Suaranya putus-putus oleh isakannya. "Mereka semua bersedih melihat Papa serapuh ini. Papa tidak boleh seperti ini. Tolong, Pa." Ia meratap. "Tolong, relakan Stacy. Kami semua disini untuk Papa.”
Lord Louvain terdiam. Matanya bersorot dingin sebelum kembali terbasuh air mata. “Maafkan Papa. Ayo kita pulang.”
Diana melepaskan diri dan masih terisak pelan, sebelum berdiri bersama sang ayah yang merangkul dan mengecup puncak kepalanya. Keduanya meninggalkan areal pemakaman keluarga Rosvell yang sunyi bersama tatapan Hugh yang sedari tadi terus memperhatikan interaksi mereka dari salah satu jendela di Chester Hall---dengan mengukir seringai.
"Sebentar lagi malam datang. Sebenarnya aku masih tak menduga kalau akan secepat ini,” ujarnya sebelum tergelak kecil. “Lihatlah, bahkan bocah iblis itu sudah tidak sabar untuk mengambil bidadarinya,” tambahnya sambil menyorot dingin sosok Raphael yang bersembunyi di balik pohon. Sekilas ekspresinya sedikit mengeras sebelum kembali tergelak kecil, membuat siapa saja yang mendengarnya ingin memukul wajahnya---termasuk pria dalam kegelapan di belakangnya yang hanya bisa menahan tinjunya.
OOOOO
Diana terbangun setelah mendengar suara Stephen dengan seorang pria. Ternyata ia ketiduran saat melihat jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. Sehabis makan malam di kamar karena tidak ingin terjebak dengan suasana berkabung, ia menyelinap ke kamar Stephen dan mengurung diri dalam perpustakaan rahasia sang kakak. Ia berniat membaca ulang novel Zacry, tapi menjadi putus asa karena tidak menemukannya di manapun.
Wajahnya menjadi murung. Ia berdiri di atas pertentangan karena akal dan nuraninya terus berselisih paham. Hatinya mengakui kegilaannya, tapi logikanya berusaha memungkirinya. Di satu sisi ia merasa sedih dengan kepergian Anastasia, sementara di sisi lain ia merasa baik-baik saja karena kematian itu sudah mengakhiri penderitaan adiknya sebagai orang gila.
Kemudian ia dikagetkan dengan suara Stephen yang sedikit meninggi dengan beberapa umpatan. Ada apa Stephen sedang marah dengan siapa? Ia tidak bisa melihat karena mereka berada di ruang kerja Stephen. Jadi ia hanya mengintai keduanya dari celah lemari, tapi suasana malah berubah senyap.
Apa mereka sudah pergi?
Di gesernya lemari yang menjadi pintu perpustakaan Stephen. Ia berjinjit ke pintu ruang kerja Stephen dan berusaha mencuri dengar, tapi tak terdengar apapun. Ia membuka pintu, menutupnya, dan terdiam.
Ada ruang rahasia di tempat ini.
Hal itulah yang terpikirkan oleh Diana. Stephen dan teman prianya mungkin bisa masuk ke kamar tanpa disadari dirinya yang tertidur. Tapi mereka tidak bisa ke luar tanpa terlihat olehnya karena jalan menuju pintu utama harus melewati ruang kamar yang berhadapan dengan perpustakaan rahasia Stephen.
Ia menuju meja kerja Stephen yang tidak memiliki beragam benda, hanya tempat pena, tinta, dan setumpuk dokumen. Setelah menyentuh semuanya dan tidak terjadi perubahan, tangannya mulai menginvasi semua sudut dan kaki meja tapi mendapati hasil yang sama.
Pencariannya beralih pada lemari kayu yang berisi buku-buku pengetahuan dan catatan-catatan estate. Ada pula sebuah teleskop, katana, miniature bola dunia, kompas, jam saku, dan beberapa tabung kaca untuk penelitian. Tapi semuanya mati, tidak bisa menggerakkan apapun.
Diana hendak beralih ke perapian yang berhadapan dengan meja kerja Stephen, tapi matanya yang turun ke lantai marmer menariknya. Kamar Stephen berada di lantai satu yang cukup memungkinkan untuk ruang rahasia bawah tanah. Tanpa membuang waktu dan menggunakan ujung sepatu, ia mulai mengetuk-ngetuk semua lantai. Ada satu lantai yang berbeda dan ditemukannya di bawah meja kerja. Suaranya yang keras menandakan adanya ruang kosong di baliknya. Tadi matanya sempat luput. Lebarnya cukup untuk memuat satu pria dewasa dengan kisi-kisinya yang memiliki celah kecil.
Ia berlutut, meletakkan jemarinya pada pinggiran penutup itu, dan menariknya. Ternyata tidak perlu tenaga yang besar karena benda itu langsung terangkat dengan mudah, padahal ia sudah berpikir akan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Meski begitu, ia cukup kewalahan saat memindahkannya. Tenaga seorang wanita memang tidak cocok untuk pekerjaan berat seperti ini.
Tampaklah kegelapan dalam bak sumur hitam. Diana mengambil sebuah brass candlesticks yang memiliki enam lilin di atas perapian dan terlihatlah sebuah tangga berbentuk spiral yang pijakannya terbuat dari kayu dengan susuran berbahan besi. Ternyata lebih dalam dari yang terlihat, tapi tanpa ragu Diana turun dan menapaki satu persatu anak-anak tangga itu.
Jumlahnya ada dua puluh enam, hitungnya setelah mencapai balok terakhir. Ruangannya berbentuk kotak dengan lebar sekitar enam meter. Tidak ada apapun selain sebuah koridor gelap. Tempatnya yang bersih dan tidak beraroma debu membuat Diana memahami bahwa ruang rahasia ini dirawat dengan baik.
Jalan rahasia memang bukan hal aneh bila di sebuah bangunan besar atau kuno. Fungsinya sebagai jalur penyelamatan, untuk persembunyian bila musuh menyerang, atau gudang cadangan makanan. Bahkan juga sebagai penjara bawah tanah. Tapi Diana tidak pernah perduli dengan tempat rahasia di Chester Hall, jadi ia tidak pernah berusaha untuk mencarinya. Ia juga memahami cara Stephen yang bisa sesuka hati masuk ke ruangan yang terkunci; seperti ke kamarnya, Teressa, dan Anastasia untuk melancarkan aksi jahilnya. (Bab 1) Tentu saja karena inilah jalannya.
Ia menembus kegelapan dan melanjutkan hitungannya dengan bertumpu pada lantai batu yang berbentuk kotak. Langkahnya terhenti pada hitungan keempat puluh delapan karena selain jalan di depannya, juga terdapat empat lorong di kanan dan kiri. Ini baru pintu depan, siapa yang tahu bila masih ada jalur berkelok di dalamnya.
Ketika Diana sibuk berpikir dan bimbang, sebuah cahaya terlihat di kejauhan dari lorong nomor satu di sisi kanannya. Ia panik dan meniup lilin lalu masuk ke lorong nomor dua. Ia berjongkok, merapatkan diri ke dinding dan berharap penuh dalam kecemasan agar tidak ketahuan oleh Stephen.
Langkah kaki itu mulai terdengar dan Diana semakin mengecilkan diri. Dua sosok melintas di hadapannya dan matanya langsung membola setelah mengenali mereka dari cahaya lilin yang dibawa oleh si laki-laki. Itu bukan Stephen dan teman prianya, melainkan Teressa dan Sir Davinci.
Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Teressa berani melakukan pertemuan diam-diam seperti ini—bahkan setelah pemakaman Anastasia? Emosinya memuncak. Berdua saja pada dini hari di tempat tersembunyi yang gelap dan tanpa pendamping. Apa Teressa tidak memahami dampak buruk dari perbuatannya? Keduanya memang sudah bertunangan, tapi itu tidak pernah menjadi izin untuk membenarkan tindakan amoral.
Hati-hati, Diana mengejar bayangan keduanya dan menyadari kalau Teressa menggunakan pakaian bepergian. Tidak bisa dibiarkan, geramnya sambil terus menjaga jarak agar tidak ketahuan. Koridor itu berakhir dengan anak-anak tangga dengan sebuah pintu kayu terbuka sebagai penutupnya, dan Diana mengenalinya sebagai salah satu makam leluhurnya.
Kurang ajar. Apa kau yang memberitahu tempat ini pada Davinci, Stev? batinnya penuh emosi sambil menunggu di balik pintu. Memperhatikan Davinci yang mendorong pintu dan ke luar bersama Teressa yang hanya diam. Tessa, sebenarnya apa yang kau pikirkan? geramnya sambil mendekat saat pria itu menutup pintu---tapi tidak rapat dan itu memudahkannya untuk ke luar. Padahal ia cukup khawatir tidak bisa membuka pintu besi yang terlihat berat itu.
Oh. Angin malam yang dingin memeluknya sementara pemakaman yang gelap dan tua menyambangi birunya. Pepohonan besar yang mengelilingi tempat ini malah memberi kesan mengerikan dan suram. Ia sepenuhnya ditelan kegelapan karena lilinnya yang sudah mati, jadi hanya bisa mengandalkan cahaya dari lilin Sir Davinci. Kemudian tubuhnya kian meremang saat merasa ada yang memperhatikannya dari balik makam-makam. Tapi segera ditepisnya karena Teressa dan Sir Davinci hampir menghilang dari jangkauannya.
Diana bergegas mengejar keduanya dan menjadi panik saat melihat sebuah kereta di pintu masuk makam. “TE—“
Diana membola horror saat teriakannya dipotong oleh telapak tangan yang membekap mulutnya bersama aroma lily. Tubuhnya dipeluk erat dari belakang dan terangkat. Malangnya dirinya yang kaget malah menjatuhkan tempat lilin yang bisa menjadi senjata untuknya. Ia ketakutan dan sangat panik. Menggeram, berusaha memanggil Teressa sambil memukul-mukul lengan yang melingkupinya dan menghentakkan kakinya yang melayang di udara---sepenuhnya melepaskan diri dari sosok gelap yang menjeratnya.
Tangan ini milik pria tapi dia jelas bukan Stephen. Diana tahu itu.
Selanjutnya aroma lily yang sudah tercium itu semakin menyebar ke rongga pernapasannya dan melumpuhkan perlawanannya. Samar, ia memperhatikan bagaimana Teressa dituntun naik ke kereta oleh Davinci---dan pergi.
Teressa jangan pergi..., batinnya lirih dan mulai menangis. Tangannya yang masih berusaha melepaskan diri kini jatuh tak berdaya seiring kesadarannya yang memudar. Ini jelas bukan kau, Stev, karena lily bukan aroma kesuka—anmu...
Orang itu yang tidak lain adalah Raphael langsung menggendong Diana. “Sebenarnya mengambilmu dari kamarmu jauh lebih nyaman daripada bertemu di makam. Sayangnya aku mengharapkan kau termakan jebakan,” bisiknya parau.
Ia singkirkan helai-helai rambut yang menutupi wajah Diana dan menghidu rambut gadis itu sambil berbisik, "Aku dan Viviane sangat membutuhkanmu, tapi kenapa kau malah berniat pergi? Kau terus memaksaku bertindak jahat. Aku tidak menginginkan ini. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku sungguh menyesal. Dia, seandainya kau tidak duduk di tempat itu dengan ekspresi seperti itu, mungkin kau tidak akan pernah terjebak denganku. Maaf, tapi aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Kemudian Raphael bergegas meninggalkan areal pemakaman setelah menunduk satu kali pada sebuah jendela gelap di Chester Hall. Beberapa meter di belakang Raphael dan Diana, seorang pria sedang sibuk menggali sebuah makam baru. Punggungnya kian menghilang ke bawah seiring tanah yang berkurang. Sementara Stephen hanya menatap dingin peristiwa yang menimpa adik-adik perempuannya dalam bayangan.
OOOOO
Hola? Lama ya? Maaf, masih lumayan sibuk jadi mungkin semua cerita akan molor. Tapi Moon akan tetap usahakan update, ya.
Oke, enggak banyak cuap2. Tulis semua tanya kalian di kolom komentar, ya.
Jangan lupa vote dan juga komennya. Untuk semua komen yang belum bisa Moon balas, maaf ya. Makasih banyak untuk semua dukungannya selama ini. Love You All^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top