VIII a
Author : Moonlight-1222
Note : Mengantisipasi para pembaca yang kebingungan dan mungkin lupa dengan alurnya karena siklus update Moon yang tak beraturan. Mulai chapter ini bila menemukan tulisan yang menunjukkan bab cerita seperti [Bab 2] itu sebagai petunjuk bahwa pembahasannya bisa dicek di halaman yang dimaksudkan.
ooOOoo
Meja digebrak, menghantarkan hantaman nyaring dalam kesunyian. “Apa kalian tahu pukul berapa ini!”
Awalnya suasana di ruangan itu senyap, meski tetap tak dapat menyembunyikan ketegangan yang mendiami udara. Lord Louvain menatap wajah Diana dan Stephen bergantian saat keduanya masuk dalam beberapa puluh detik. Diana terus menunduk di samping Stephen. Sementara Lady Louvain mengusap-ngusap bahu suaminya untuk meredakan amarahnya.
“Diana, awalnya papa tidak akan mempermasalahkan kepergianmu yang tanpa izin ke Vitus House. Berkat Stephen—tentunya. Tapi, Son, kenapa kau malah menghancurkan kepercayaanku? Bagaimana bisa kau mempertaruhkan reputasi adikmu dengan membiarkan dia kembali ke rumah pukul tiga dini hari? Apa saja yang sudah kau lakukan!”
Telinganya berdengung akibat nada tinggi dan bentakan itu. Stephen sudah mengetahui kalau akhirnya akan jadi seperti ini setelah mereka pulang nanti. “Terjadi kesalahan, Papa.” Ia menghela napas. Semua kesalahan pada akhirnya akan dilimpahkan padanya. Ia memang berniat pergi setelah mengantar Diana, tapi menjadi tidak tega harus membiarkan adiknya sendirian menerima amarah ayah mereka di waktu sedini ini. “Tapi sungguh, kami hanya berada di Vitus House dan lupa waktu. Itu saja. Kami tidak pergi selain ke Vitus House. Stephen berani bersumpah.” Ia mengangkat tangannya penuh kesungguhan.
Lord Louvain terdiam cukup lama sebelum bangkit dari duduknya. Wajahnya tampak lelah, kerutan di dahinya bercampur guratan senjanya. Ia belum istirahat sama sekali sejak kembali dari Safford House. Bahkan tak sempat berganti pakaian akibat cemas yang menggelegak. “Meski kata-katamu benar, tapi mata orang lain tidak akan mempercayainya. Kita tidak tahu siapa saja yang sudah melihat kalian.” Ia mencengkram erat bahu Stephen sebagai bentuk perintah mutlaknya. “Kau harus tetap berada di London dan ikut serta dalam beberapa acara season untuk menjernihkan masalah ini.”
Stephen membola. Bibirnya terbuka hendak melontarkan protes sengit, tapi sialnya yang keluar hanyalah kalimat persetujuan. Apa yang bisa dilakukannya saat reputasi adik tercintanya diambang kehancuran?
“Sekarang kalian beristirahatlah. Masih ada beberapa jam lagi sebelum sarapan.” Lady Louvain maju sebagai penengah. Tersenyum tipis kepada putera-puterinya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain membiarkan pelanggaran yang sudah dilakukan Diana. Amarah suaminya sudah cukup mewakili kekecewaannya.
“Stev,” panggil Lord Louvain. “Jangan lupa bahwa kau masih berhutang penjelasan dengan papa.”
“Baiklah-baiklah.” Stephen berpura-pura menguap sambil menyelesaikan tugas jemarinya dalam membuka pintu. Secepatnya kabur dari ruang kerja ayahnya. Sementara Diana mengekor di belakangnya masih dengan kepala tertunduk dan menutup pintu.
“Kacau. Semuanya kacau,” gerutunya saat ia merasakan lengan kemejanya ditarik. Ia menoleh dan masih mendapati Diana yang menunduk. “Ada apa? Berhentilah menangis. Semuanya sudah aman di bahuku. Pergilah istirahat,” ujarnya malas.
Tapi kalimat yang keluar dari bibir Diana adalah pertanyaan yang sama setelah ia kembali ke kereta. “Kau masih berhutang cerita padaku tentang apa yang terjadi saat kau menyelamatkan pria itu tadi?” Ia menahan diri untuk tidak mengumpat. Ia sudah lupa bahwa adiknya ini bukan tipe gadis lemah yang akan mengkerut ketakutan hanya dengan beberapa bentakan dari ayah mereka. Lihatlah, dia bahkan terlihat tenang, seolan tak terjadi apa-apa.
"Berapa kali kau harus mengejarku dengan pertanyaan yang sama sampai kau puas, Dia?" Stephen berbisik dengan marah. Sudah tak dapat menyembunyikan kekesalannya lagi. "Sudah kukatakan pemabuk itu sudah aman. Haruskah kuceritakan pula kalau dia bahkan langsung kembali mabuk setelah si pemukulnya kutumbangkan? Harusnya kuhajar juga dia bersama teman breng*eknya itu."
"Baiklah. Maafkan aku. Aku yang salah, tapi kau tidak perlu mengumpat." Diana jengkel. "Tapi, apa hanya itu saja?"
Stephen menggeram kecil, birunya mendatar. “Aku lelah Dia,” ujarnya dingin. Suasana hatinya buruk. Sangat buruk. “Apa kau tidak dengar tadi? Berkatmu aku harus terjebak dengan semua hal yang kubenci. Istirahatlah dan berhenti menggangguku.
Aku membutuhkan istirahat untuk mendinginkan kepalaku.” Ia berlalu dalam langkah panjang, meninggalkan Diana dalam kegelapan pikirannya.
ooOOoo
Demi Tuhan. Sungguh. Diana tidak bisa tidur. Otaknya masih dan terus saja memutar kronologi peristiwa tadi. Bermula ketika ia memutuskan mengintip keluar untuk menikmati pemandangan malam yang sepi dan suram, kemudian tanpa sengaja dua orang pria tertangkap birunya dalam keremangan. Posisi keduanya cukup menegangkan, si korban sampai terduduk di jalan sementara si pelaku berkali-kali melayangkan pukulan ke wajahnya.
Hanya itu. Hanya peristiwa itu saja. Ia tidak mendapati sosok lain selain keduanya di tempat itu.
Siapa sebenarnya sosok hitam misterius itu? Siapa yang ada dibaliknya? Dia bisa saja pria atau wanita. Warna hitam yang dikenakannya adalah kamuflase yang sempurna di bawah langit malam. Besar kemungkinan dia sedang memperhatikan kedua pria yang sedang bertikai itu. Bersembunyi layaknya predator. Meski belum jelas, tapi lambaian tangan itu kemungkinan merujuk pada hal negatif. Dia melakukannya untuk menggoda Diana. Untuk memberitahu bahwa Diana sudah masuk ke dalam daftar merah si hitam misterius itu.
Juga ingin memperlihatkan bahwa dia bisa datang dan pergi tanpa diketahui siapapun. Stephen. Kakaknya itu bahkan tidak menyadari keberadaan si hitam asing itu. Padahal ia sudah ketakutan dengan skenario terburuk yang mendiami kepalanya saat melihat sosoknya dibelakang Stephen. Dia bisa saja membunuh Stephen sebelum Diana sempat mencegahnya, tapi dia tidak melakukannya.
Keresahan itu kian menghantuinya. Meski ia tidak melihat rupa si hitam itu, ia tetap bisa dibilang saksi. Saat ini keamanannya berada dalam posisi abu-abu. Tapi, bukankah keadaannya sangat temaram dan berkabut. Dia tidak mungkin mengenalinya. Lagipula kereta yang digunakannya tidak memiliki tanda pengenal sama sekali. Polos dan berwarna hitam kecokelatan. Tidak ubahnya seperti kereta sewaan pada umumnya.
Ia terdiam cukup lama dalam kegelisahan sebelum meraih lilin di nakas dan ke luar kamar. Menyusuri koridor yang hanya diterangi oleh beberapa binar lilin yang temaram. Kaki-kakinya yang pucat menuruni anak-anak tangga bersama ujung gaun tidur putihnya yang menyapu karpet pualam. Ia sampai di dasar tangga, menuju sebuah koridor gelap di sudut aula, melewati ruang menggambar dan berakhir di depan pintu perpustakaan.
Setelah menutup pintu, ia menuju rak yang berisi koleksi surat kabar. Mengambil tanggal terbaru yang berada ditumpukan paling atas. Kemudian membawanya bersama lilinnya ke meja terdekat. Sejauh ini ia sudah melewatkan dua belas surat kabar harian dan dua surat kabar mingguan. Tapi disana tidak ada lagi pembahasan tentang pembunuhan yang terjadi di jalan-jalan kecil London setelah pelakunya berhasil ditangkap. Hanya ada berita kematian seorang penyanyi Opera, beberapa kasus kecil di pabrik, tiga berita orang hilang, dan selebihnya berisi isu politik.
Ia mengingat pembahasan kecilnya bersama ayahnya tentang penangkapan pelaku pembunuhan keji itu. Sang culprit bernama Laurence Ford, seorang pekerja pabrik gula. Modusnya cukup sadis. Perut mereka robek setelah ditusuk pisau berkali-kali. Total lima belas korban dalam kasusnya. Semua korbannya adalah acak dan tidak memiliki keterkaitan satu sama lain, motifnya murni perampokan yang berujung pada pembunuhan. Seminggu setelah ditangkap, dia dijatuhi hukuman mati dengan digantung.
Adalah kasus Ford yang diceritakan Diana pada Anastasia untuk menenangkannya kala itu. [Bab 2]
Kemudian dari kejauhan terdengar suara pintu-pintu yang dibuka dan ditutup serta langkah-langkah kaki. Suasana yang sunyi membuat telinganya jauh lebih peka. Ia melihat jarum pendek emas pada jam pendulum di perpustakaan yang hampir menuju angka lima dan terburu-buru mengembalikan semua surat kabar ke posisi semula. Para pelayan sudah memulai tugas mereka. Ia meniup lilinnya sebelum membuka pintu hati-hati dan bergegas kembali ke kamarnya sebelum tertangkap mata oleh mereka dalam balutan gaun tidurnya.
Ia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kepalanya penuh oleh hipotesa kusut. Ford adalah salah satu dari sekian banyaknya penjahat yang pernah menggemparkan London dan Inggris. Setelah penangkapannya memang sudah tak terdengar lagi tentang pembunuhan serupa. Tapi...--Ini memang mengerikan. Dunia ini memang selalu mengerikan, tapi dengan kehadiran si hitam misterius yang berkeliaran di malam-malam kelam seakan menambahkan kengerian yang memang sudah lebih dulu menguasai.
Menyewa detektif sepertinya adalah tindakan paling benar saat ini. Tindakan surveillance harus dilaksanakan. Mungkin usahanya ini bisa membantu mengurangi beberapa kejahatan dan juga... menjamin keselamatannya.
ooOOoo
Sarapan kali ini jauh lebih riang dari hari-hari kemarin. Tentu saja, siapa lagi yang bisa menjadi pemicu dalam mengusir kekakuan kalau bukan Stephen. Teressa yang kaget melihat Stephen di ruang makan benar-benar menciptakan kegaduhan. Dia berceloteh tentang ketidakberuntungannya di pagi ini sampai hari selanjutnya karena kehadiran Stephen. Sementara Anastasia langsung pucat pasi. Dia pasti sudah membayangkan beberapa kejahilan Stephen di pagi berikutnya.
Setelah sarapan berakhir, Lord dan Lady Louvain menuju ruang kerja bersama Stephen. Sepertinya ayah dan ibunya ingin memperjelas alasan Stephen muncul tiba-tiba di London. Sementara Diana kembali ke perpustakaan bersama Teressa dan Anastasia yang mengikutinya. Sebenarnya ia hendak menulis surat pada Logan, meminta pria itu menemui seorang detektif untuk menyelidiki kasusnya. Tapi dengan kedua adiknya yang menjadi ekornya, ia harus bersabar menunggu keduanya bosan dan meninggalkannya.
“Apa semalam kau dimarahi papa?”
Diana tersenyum simpul seraya melirik Teressa yang berpura-pura memilih buku di dekatnya. Kemudian meraih buku dengan acak dan duduk di couch dekat jendela. “Untuk apa mempertanyakan hal yang sudah jelas?”
Teressa terdiam. Tampaknya membicarakan masalah semalam bukanlah hal yang tepat. Ia mengambil duduk di hadapan Diana dan tersenyum cerah. “Seharusnya kau datang ke Safford House. Kau tidak tahu betapa kecewanya Wilford saat kau tidak hadir. Tapi dia benar-benar pria yang sangat sopan. Tindakannya mencerminkan bagaimana seharusnya perilaku seorang pria sejati. Dia terlihat sangat mengagumkan ketika lebih memilih berdansa dengan beberapa gadis yang kesulitan mendapatkan perhatian.”
Diana terdiam, jemarinya yang sedang membolak-balik buku mengambang. Ia melupakan kesepakatannya dengan Raphael. Seharusnya mereka bertemu di Safford House. Ia sudah menjanjikan akan mendekatkan Wilford dan Lady Russel disana. Tapi karena masalahnya dengan ibunya, ia sudah melupakannya. Ia jadi merasa sangat bersalah dengan pria itu.
“Dia bahkan tidak melirik gadis muda lainnya. Padahal Mary Scott dan Amelia Bedford terlihat jelas mencuri pandang padanya—berharap dia akan menawarkan diri dengan mereka. Kau tahu kan, keduanya termasuk sebagai bintang season tahun ini. Kartu dansa mereka selalu penuh. Wilford benar-benar mencuri atensi semua orang, dia memang memiliki daya tarik tersendiri. Sangat membanggakan bisa memiliki kakak ipar sepertinya.”
Diana berusaha untuk tidak melemparkan tatapan datarnya setelah mendengar kalimat terakhir Teressa. “Jadi...” matanya masih berusaha menyisiri kata demi kata dalam ketidakfokusannya. “Dengan siapa saja dia berdansa?”
Senyum puas terpeta di wajah Teressa. Meski Diana tampak acuh, tapi telinganya selalu mendengarkan semua ceritanya dengan sangat baik. “Hanya denganku, Stacy, dan wanita-wanita yang biasanya duduk di sekitarmu. Diantara mereka yang paling menarik adalah Lady Russel, puteri dari Earl of Bittory.”
Apa? Biru Diana langsung meninggalkan tulisan-tulisan di buku dan menatap Teressa. “Apakah itu benar?”
“Iya. Hanya itu saja.” Teressa kemudian bertopang dagu sembari tersenyum jahil. “Kau tidak mungkin cemburu dengan Lady Russel, kan?”
Diana tersenyum hambar sebelum kembali pada bukunya. Mana mungkin ia cemburu. Ia justru merasa senang mengetahui Wilford mengambil inisiatif sendiri untuk berkenalan dengan calon istrinya. Sepertinya ia sudah memilihkan gadis yang tepat. Wilford menunjukkan kertertarikannya dengan Lady Russel. Dengan semua kekayaan keluarga Lemington, pria itu pasti tidak akan mempermasalahkan mas kawin dari Earl of Bittory. Lagipula Diana akan melimpahkan setengah dari kekayaan yang dimilikinya untuk gadis muda itu. Anggaplah sebagai ucapan terima kasih tak langsungnya dengan Adelicia karena sudah menjadi tamengnya.
Ia tersenyum puas. Sungguh puas. Tidak disangkanya kalau rencananya akan berjalan semulus ini. Sedikit lagi pertaliannya dengan Wilford akan teratasi. Sekarang tinggal memastikan perasaan Logan padanya. Setelah itu semuanya akan berbahagia. Kemudian ia bisa dengan tenang mencari kekasih Stephen yang hilang.
“Kenapa kau tersenyum-senyum seperti itu? Apa kau sedang merencanakan sesuatu?”
“Tessa, adikku yang paling cerewet dan selalu penuh tanya. Bagaimana hubunganmu dengan Sir Davinci? Bukankah semua orang sudah mengetahui hubungan kalian. Kapan tepatnya hari yang berbahagia itu akan diselenggarakan?”
Sasaran telak. Teressa merona. Ia terdiam malu dan melupakan kecurigaannya pada Diana.
“Mami belum memberitahu semua orang. Sepertinya mami tidak akan membicarakannya sampai undangan pertunangan disebarluaskan.”
Dahinya berkerut seraya melihat Anastasia yang duduk di tengah-tengah ruangan sebelum beralih pada Teressa yang masih bersemu dan sedang bersembunyi di balik bukunya. “Kenapa? Bukankah mami sangat menantikannya.” Ia masih mengingat dengan jelas keluhan demi keluhan sang marchioness setiap kali dia harus mendengarkan kabar pertunangan dari puteri teman-temannya.
“Suasana hati mami setelah bertengkar denganmu sangat buruk. Selama di Safford House dia lebih banyak diam.”
Diana menatap Teressa yang mengangguk berkali-kali, membenarkan kata-kata Anastasia. Ia jadi merasa bersalah. Ia sama sekali tidak bermaksud mengecewakan ibunya berkali-kali, tapi..., ia benar-benar tidak ingin menikahi Wilford. Sungguh. Bukanlah sebuah kemudahan memberikan hati yang sudah disimpan dan dijaga dengan baik-baik. Wilford merupakan pria baik. Siapapun gadis yang akan menjadi pasangan hidupnya pasti akan berbahagia. Tapi posisi itu bukan untuk Diana.
“Baiklah, aku menyetujuinya. Tapi aku mempunyai sebuah permintaan. Seandainya Logan tidak mencintaimu, maka kau harus menikahi Wilford.”
Perkataan Stephen kembali membayanginya. Kalimat itu yang menjadi penyebab keterlambatan mereka. Kalimat itu yang sudah membuatnya sakit hati dan linglung. Entah kenapa setelah memikirkannya lagi, ia semakin meyakini bahwa Stephen mengetahui fakta yang tidak terbaca olehnya. Dadanya berdenyut sakit saat membayangkan Logan tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.
Suasana hatinya memburuk, dan Robert merawatnya dengan sangat baik setelah memberitahukan kunjungan Wilford. Langit seharusnya cerah, tapi Diana melihat mendung di setiap awan.
ooOOoo
Ini chapter selanjutnya. Karena sudah malem moon langsung cukupkan saja yah. Selamat membaca, silahkan komen, kritik dan sarannya. Jangan lupa votenya dan makasih untuk semua dukungannya sampai sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top