VII b
Author : Moonlight-1222
.
Ruangan itu berisi tempat tidur besi yang berbaris rapi dan di bagi menjadi dua sisi yang saling berhadapan. Selimut-selimut putih ditarik sampai ke dada dengan kepala bersandar di bantal masing-masing. Mereka tertidur nyaman sekali. Diana meninggalkan bingkai pintu. Sepatunya terayun pelan demi meminimalisir gangguan pada jalinan mimpi mereka.
Bersandar di bingkai pintu, Stephen tidak meninggalkan punggung Diana yang sudah duduk di sebuah kursi kayu di samping tempat tidur anak perempuan berambut cokelat. Tangannya terangkat untuk mengusap dahinya. Tatapan adiknya yang tenang dan penuh kasih itu tetap tak mampu menyembunyikan kesedihannya.
Tak lama dia berdiri dan melangkah ke luar. Stephen melihat birunya yang berkaca-kaca. "Kami permisi, Mrs. Collins, Ms. Taylor," suaranya tercekat saat berbicara dengan dua orang dari Vitus House itu. Dia menahan tangisnya.
"Terima kasih banyak atas kunjungannya, My Lord, My Lady. Saya, anak-anak dan semua pekerja di Vitus House sungguh berterima kasih atas kemurahan hati Lord Louvain."
Diana meraih tangan wanita tua itu dan menggenggamnya. "Saya--" Ia tercekat. "Saya akan sering datang kemari."
"Silahkan, Ma'am. Kami dan anak-anak sangat menantikannya."
Diana hanya mengangguk singkat.
Mereka meninggalkan koridor, menjauhi pintu-pintu kamar, menyusuri anak-anak tangga, dan Diana berhenti saat melihat sebuah taman di sampingnya. "Taman yang indah."
Mrs. Collins tersenyum. "Saya mengucapkan terima kasih mewakili Mr. Flinch, tukang kebun di Vitus House ini. Kami sangat tersanjung. Bila tidak keberatan, silahkan melihat-lihat." Wanita itu memahami bahwa sang lady sudah tidak dapat meneruskan pandangan kaleidoskopnya lagi. Pasti sesak sekali menahan tangis seperti itu.
Kedua wanita itu menghilang di balik pilar. Stephen mengiringi langkah Diana sampai ke sebuah kursi kayu. Mengambil duduk di sampingnya dan merentangkan tangan. "Kemarilah."
Air mata itu menderas saat Diana menjatuhkan tubuhnya ke dada bidang Stephen. "Kejam," mulainya dalam isaknya. "Dia begitu kecil. Begitu rapuh. Seharusnya-seharusnya kau melihatnya, Stev." Isaknya terus saja mengganggu. Suaranya putus-putus. "Rahangnya..., rahang-rahangnya menonjol keluar. Tirus sekali. Seperti tengkorak-seperti tengkorak."
Stephen mengusap-ngusap punggung Diana. "Tenanglah. Bocah malang itu sudah mendapatkan perawatan medis. Doakan saja kesembuhannya."
"Tapi-tapi tubuhnya, tubuhnya masih sangat menyedihkan." Ia terbatuk oleh isaknya.
"Semuanya membutuhkan proses, Dia. Tenang saja, pelakunya juga sudah menerima hukumannya."
Diana semakin tergugu. Tangannya mencengkram erat pakaian Stephen--siap membuatnya semakin kusut dan basah. Stephen tidak tega melihat tangisan Diana. Bagaimanapun juga alasan Diana mengunjungi Vitus House untuk meringankan kemelut hatinya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Diana selalu mencari ketenangan dengan mengunjungi anak-anak di St. Rosvell setiap kali dirundung masalah. Tapi malangnya dia malah menambah dukanya ditempat ini.
Stephen melempar birunya pada langit malam yang bersih dari gemerlap para bintang. Mereka membiarkan bulan leluasa menebarkan cahayanya yang sepucat dan sedingin mayat. Kesedihan Diana membuat semua keindahan alam terlihat suram. Kemudian isak tangis itu menjadi sayup-sayup dan terdengar hanya sesekali. Adiknya sudah mulai tenang.
"Stev."
Sebuah 'hm?' diberikan Stephen.
"Aku sudah memikirkannya. Sudah cukup--sangat--lama. Tapi aku masih meragu karena aku masih tidak memiliki kebebasan untuk bepergian. Tapi kini semuanya sudah menjadi jelas setelah mendengar kata-kata mami," ucapan Diana sayu dan masih putus-putus akibat isaknya.
Ia melanjutkan isi hatinya saat Stephen masih membisu. "Kau sudah mengetahui perasaanku tanpa harus kuutarakan padamu, Stev. Aku mencintai Logan dan ingin hidup bersamanya. Saat kau sudah mewarisi gelar utama papa nanti, kau pasti akan memberikan restumu pada kami, kan? Jadi, selama menunggu hari itu tiba, aku akan menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan sosial seperti ini."
Masih belum ada sambutan dari Stephen.
Diana mengangkat wajahnya untuk menatap Stephen yang memandang langit. "Bukankah kau juga akan menikahi kekasihmu yang merupakan orang biasa?" Birunya yang basah penuh pengharapan. "Kumohon, Stev. Hanya kau satu-satunya yang mampu menolongku."
Suasana masih hening. Diana mulai menangis dalam diam karena terus dihadapkan dengan kebisuan Stephen.
"Apa Logan juga mencintaimu?" Stephen menyerah dan buka suara. Sepenuhnya sangat terganggu dengan air mata adiknya kali ini. Diana jarang menangis untuk hal yang bersifat pribadi. Ia menatap Diana dan mencari kepastian dalam sepasang birunya yang berduka.
"Kami..., kami tidak pernah membicarakan ini." Diana menolak kontak mata lebih lama. "Tapi Logan pasti memiliki perasaan yang sama denganku. Dia hanya merasa rendah diri karena perbedaan status kami."
"Dia, kau tidak bisa menentukan perasaan seseorang berdasarkan perspektif-mu."
Diana menunduk dan tidak melanjutkan percakapan mereka. Terdiam dan terus menyeka air matanya. Sementara Stephen, suasana hatinya hanya bertambah buruk. Adiknya memang sudah memikirkan kemungkinan demi kemungkinan. Tapi hanya beberapa. Tidak semuanya dan ini berlaku untuk kemungkinan baru. Inilah penyebab kemalangan terburuknya nanti.
Ia menyentuh bahu Diana, hatinya berbisik penuh amarah dan kepiluan, Diana, oh, Dia kecilku yang malang.
"Baiklah, aku menyetujuinya. Tapi aku mempunyai sebuah permintaan. Seandainya Logan tidak mencintaimu, maka kau harus menikahi Wilford."
ooOoo
Raphael mengantarkan Lady Adelicia Russel ke tempat duduknya selesai mereka berdansa. Ia tersenyum tipis demi membalas senyuman lebar dari bibi gadis muda itu yang langsung mendekat--mencoba mengakrabkan diri untuk bertukar beberapa kata, tapi Raphael tentu saja tidak akan membiarkannya. Ia langsung pergi menemui rekan dansanya yang selanjutnya, Miss Eleanor Griffith yang berada di sudut ruangan. Tersenyum seramah mungkin dengan rekan-rekan wanita itu sebelum menuntunnya ke lantai dansa.
Diana sudah mempermainkannya sebanyak dua kali. Pertama, mengingkari janji mereka untuk berdansa di kediamannya. Kedua, mengingkari pertemuan mereka di tempat ini. Belum lagi bila ia harus menghitung semua pembunuhan Diana atas jiwa manusianya. Jadi, jangan salahkan Raphael bila dengan senang hati mengacaukan kesepakatan mereka. Tidak ada langkah manis lagi. Ia sudah muak. Usahanya untuk memanusiakan dirinya selalu dicampakkan Diana. Ia menyadari bahwa Diana hanya mampu menjanjikan kepalsuan, dan hatinya yang memang tidak cukup besar untuk menampung kesabaran kini sudah meledak.
"Terima kasih, My Lord. Saya sungguh tersanjung dengan kemurahan hati Your Lordship."
Raphael menurunkan mata, menatap wajah Miss Griffith yang memerah. "Ini bukan hal besar. Seharusnya saya yang merasa tersanjung atas kesediaanmu berdansa dengan saya."
Miss Griffith menggeleng. "Tidak-tidak, My Lord. Tindakan Your Lordship sungguh mulia. Mengulurkan jemari untuk menawarkan sebuah dansa pada perawan tua--wallflower--seperti saya. Your Lordship tidak tahu betapa bahagianya saya dan mereka." Kemudian matanya membola saat tersadar pada hal memalukan yang baru saja meluncur dari mulutnya. Ia sukses mempermalukan dirinya sendiri.
Raphael sebenarnya sedang tidak ingin bertukar kata lebih banyak lagi, tapi kata-kata polos yang diucapkan malu-malu dan terdengar cukup menyedihkan itu menggelitik lidahnya. "Terlepas dari niatan mereka yang hadir dengan tujuan pamer dan mencari calon pasangan, pesta dansa tetaplah sama dengan acara lainnya yang memiliki tujuan untuk bersosialisasi--dalam berdansa. Saya tidak akan membiarkan diri bergabung memperebutkan beberapa gadis disaat ada rekan dansa yang lain. Saya menghormati setiap wanita yang datang dan tidak mendiskriminasikannya." Jeda sesaat.
"Miss Griffith, seharusnya kamu tidak mengecilkan hati dengan memberi label perawan tua pada dirimu. Kamu berharga dan pantas mendapatkan pria yang menghormati dan menerimamu apa adanya."
Dengan kata lain, Raphael meminta wanita itu untuk tidak memilih pria yang hanya memandang wanita berdasarkan gelar, harta, dan koneksi yang dimilikinya saja. Entah dia mengerti atau tidak, Raphael tidak terlalu perduli. Dia hanya mengeluarkan pendapatnya saja.
Miss Griffith tertegun sebelum berkata dengan kesal. Sepenuhnya merasa tersinggung. "Saya mengakui semua kata-kata Your Lordship memang benar adanya. Tapi sebelumnya tolong maafkan saya atas sikap dan perkataan saya yang tidak sopan ini. Bukankah kehadiran Your Lordship disini untuk mencari calon istri? Selama ini Your Lordship menutup diri dari acara-acara seperti ini, dan muncul begitu saja--tiba-tiba. Bukankah alasannya sudah sangat jelas?"
Pria-pria sepertimu memang selalu seperti itu, tambahnya dalam hati dengan muak. Sebelum mengundangnya dan beberapa gadis yang serupa dengannya berdansa, pria itu sudah menulis namanya di kartu dansa Lady Rosvell dan Lady Anastasia--kecualikan Lady Russel yang mempesona tapi bernasib malang. Bahkan pada kemunculan perdananya di Witton House--kediamannya--kemarin malam, dia langsung berdansa dengan kedua puteri Lord Louvain itu. Tampaknya pernikahan antara keluarga Lemington dan Rosvell sudah tidak diragukan lagi.
Seulas senyum samar terbit di wajah Raphael. Eleanor Griffith ternyata cukup menarik. Dia bahkan berani menunjukkan sikap defensif padanya. Tapi sayangnya dia bukan Diana. "Maafkan saya bila kata-kata saya sudah menyakiti hatimu, Miss Griffith. Tapi saya disini memang bukan untuk mencari calon istri karena sesungguhnya saya sudah memiliki Lady Rosvell." Amarah di wajah Diana membayangi matanya.
Untuk sesaat Miss Griffith kehilangan kata-kata dan menjadi gugup setelah menyadari kekeliruannya. "Maafkan atas perbuatan tidak sopan saya, My Lord. Sungguh, saya sangat menyesal." Suaranya bergetar. "Dan selamat atas pertunangannya."
Diana memang tidak hadir di Safford House. Tapi Lady Rosvell hanya akan mengacu pada satu orang dalam keluarga itu: puteri tertua Marquess of Louvain. Seketika perasaan iri menggelayutinya. Seorang marquess menikahi puteri marquess. Sungguh sebuah kombinasi yang sempurna. Meski awan hitam Diana memang tidak bisa disandingkan dengan langit cerah-ceria kedua adiknya, dia tetaplah calon istri yang sempurna bagi keluarga kaya. Apalah daya dirinya yang hanya seorang puteri dari bangsawan yang tak bergelar dan tidak memiliki banyak harta untuk diwariskan.
Sungguh kemalangan baginya.
ooOoo
Suasana di dalam kereta hening. Baik Diana dan Stephen tidak ada yang berniat memulai pembicaraan. Keduanya terdiam untuk beberapa jam di taman Vitus House dan terlambat menyadari bahwa tengah malam sudah jatuh di atas kepala mereka. Kereta menabrak kabut, sementara roda dan tapal kuda membelah kesunyian malam. Menciptakan gema tersendiri di kota yang terlelap dan mendengkur.
Vitus House cukup jauh dari Royal Tudor, alamat pulang dini hari sudah ditentukan. Diana dapat membayangkan kemarahan ibu dan ayahnya. Selain pergi tanpa izin dan pulang terlambat, kehadiran Stephen yang seharusnya membuatnya terselamatkan dari skandal malah memperburuk posisinya.
Tentu saja. Tidak semua orang mengenali wajah putera Lord Louvain yang sudah lama menutup diri dari dunia luar. Ingatkan pula betapa hitamnya warna malam dan lampu jalan yang bersinar remang-remang yang tidak membantu sama sekali. Sosok Stephen pasti akan kabur bagi siapapun.
Ini buruk! Benar-benar buruk! Diana tidak pernah merasa begitu bodoh seperti ini. Membiarkan dirinya terlena dalam kesedihan dan melupakan semuanya. Ia menghela napas bersama birunya yang masih terus mengawasi jalanan. London di malam hari tidak ubahnya seperti kota mati. Kemudian ia teringat dengan cerita Anastasia dan berita-berita yang menghiasi lembar Times: tentang pembunuhan yang terjadi di jalan-jalan kecil London yang berbatu dan berkabut.
Tindakan kriminal memang sering terjadi, terutama dikalangan kaum kelas bawah yang memang kehidupannya memprihatinkan. Ia mulai mencemaskan perjalanan mereka, bagaimana bila ada yang menghadang kereta mereka? Tapi--ekspresi Diana menjadi murung. Ia memang sangat menentang tindakan para pelaku yang merampas hak milik orang lain sampai tega menghilangkan sebuah nyawa. Tapi cemasnya tidak lebih besar dari rasa simpatinya pada fakta dibalik semua kejahatan itu. Ironis, dibalik peningkatan revolusi industri-nya yang memukau, masyarakat negeri ini masih tetap saja tidak mengalami pemerataan ekonomi.
Tiga kehidupan yang diciptakan oleh kesenjangan sosial dan membuatnya meradang. Kelas atas yang terdiri dari bangsawan kaya dan orang-orang kaya selalu terlihat baik-baik saja. Mereka makan dan hidup dengan layak dan berlebihan. Memang tidak semuanya menutup mata dengan keadaan kaum kelas bawah yang terdiri dari orang-orang miskin dan para pekerja kasar. Tapi terkadang jumlah mereka yang peduli dengan tulus bisa dihitung dengan jari. Sementara kaum kelas menengah dan dengan kemakmuran yang cukup baik memiliki dua pilihan: menjilat ke atas demi kehidupan yang jauh lebih baik atau tetap hidup bersama kesederhanaan sembari merangkul mereka yang kesulitan.
Kehidupan manusia memang mengerikan. Pagar sosial yang seharusnya tidak pernah ada, malah semakin tinggi dan mendarah daging di setiap napas kehidupan. Padahal jumlah harta yang dimiliki manusia tidak akan pernah menentukan derajatnya di mata Tuhan.
"Tidak pernah berubah. Baik dulu dan sekarang. Bahkan semakin maju peradaban, maka semakin tinggi pula perbedaannya."
Alis Stephen menyatu. "Apa yang kau bicarakan? Apa kau baru saja terlempar dari mimpimu?" Diana tidak menanggapi ejekannya, dia terus fokus dengan atensinya pada jalanan. Ia mendecak. "Sudah berapa kali kubilang untuk menutup tirai--"
Jeritan tertahan Diana mengagetkannya. "Ada apa?"
Diana tidak menjawab. Tangannya menutup mulutnya. Stephen melihat kemana mata adiknya membola dan membeku.
"Kita harus menolongnya."
"Ini sudah tengah malam." Stephen menutup paksa tirai. "Kita sedang dalam situasi yang tidak membenarkan untuk tindakan menghentikan kereta."
Diana menatap Stephen tak percaya dan menjadi berang. "Dia sendirian, tapi kau tidak sendirian. Ada Timothy. Tapi kau membiarkan dia mati di depan hidungmu sendiri. Aku tidak pernah tahu bahwa kau sudah menjadi sepengecut ini, Stev."
Stephen meremas rambut pirangnya dan sedikit menggeram. "Apa yang kau ketahui tentang dunia dibalik ini, Dia?" Jemarinya mengepal. "Kau tidak tahu siapa mereka. Tidak ada manusia yang terjaga selarut ini di tengah jalan bila bukan penjahat dan pemabuk."
"Demi Tuhan, Stev. Apa hanya karena dia pendosa, jadi dia tidak berhak mendapatkan pertolongan? Kita tidak berhak menilainya. Kita tidak tahu apa yang sudah dijalaninya sampai menjadi seperti itu." Beberapa kali ia menemukan berita di sudut lembar Times yang membahas pemabuk yang mati dipinggir jalan. Bila bukan karena mati kedinginan, maka mati dirampok. Malangnya, sebagian dari mereka adalah para pekerja miskin dan pegawai rendahan yang terhimpit masalah.
Aku tahu, Dia. Tapi kau harus mengetahui bahwa kejahatan akan selalu terbaca oleh sesamanya, Stephen menambahkan dalam hati sebelum meninju-ninju atap penuh kekesalan. Kereta berhenti. Meraih tongkat cokelatnya dan membuka pintu tanpa menunggu Timothy lagi. Pemuda itu masih terserang bingung karena kereta yang berhenti di tengah jalan.
"Tetap di dalam," ultimatumnya dengan ekspresi kelam sebelum membanting pintu dan menguncinya.
"Awasi sekitar dan jangan biarkan lady kalian meninggalkan kereta. Kalian bisa pergi seandainya dalam sepuluh menit aku tidak kembali," kalimat bernada gahar itu diucapkannya pada Timothy dan si kusir.
Tunggu! Diana mendadak panik mendengar kata-kata Stephen. Ia membuka tirai lebar-lebar dan mendapati punggung Stephen yang berlari membelah keremangan. Berbelok lalu menghilang ke jalan kecil yang berkabut itu, dimana tadi dilihatnya seorang pria sedang dipukuli dan menjadi ketakutan mengingat kata-kata Stephen.
Ada apa sebenarnya? Bukankah mereka hanya para pemabuk?
Apa yang terjadi bila kakaknya tidak kembali dalam sepuluh menit?
Apa Stephen akan mati?
Tidak! Stephen tidak akan kalah kalau hanya melawan satu orang. Dia ahli dalam anggar dan menembak. Lagipula di dalam tongkatnya ada revolver dan pedang. Tapi..., Diana jadi frustasi sendiri. Ini semua salahnya bila terjadi sesuatu dengan Stephen. "Buka pintunya!"
"My Lady, tolong jangan panik. Tenanglah di dalam. Percayalah, Lord Bosley bisa mengatasinya." Timothy memasang matanya untuk memperhatikan sisi belakang, sementara dari atas sang kusir mengawasi sisi depan, kiri, dan kanan. Keduanya memegang revolver masing-masing dengan cemas dan ketakutan. Ada dua kematian yang sedang menunggu mereka. Mati ditangan penjahat London atau mati di tangan Viscount of Bosley bila terjadi sesuatu dengan Diana.
Keduanya tidak akan melupakan tatapan membunuh sang viscount saat menodongkan senjata api ke wajah mereka. Percayalah, perjalanan malam hari di tengah-tengah kejahatan yang meningkat seperti ini tidak ubahnya seperti kembali ke masa dimana jalanan masih dipenuhi pepohonan dengan bandit hutan yang mengintai. Sungguh mengerikan.
Mendengar balasan Timothy, Diana menyerah dan berusaha menenangkan dirinya dengan berdoa. Ia memahami tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Tak lama, seseorang berlari keluar dari tempat temaram dan berkabut itu, dan ia tidak dapat berhenti mengucapkan rasa syukurnya. Stephen kembali dalam keadaan baik-baik saja. Tapi...
Matanya membola.
...sesosok bayangan hitam berdiri tepat di belakang Stephen, tengah melambai padanya sebelum menghilang dalam kegelapan.
ooOo
Oke, ini chapter selanjutnya. Ini lama banget yah updatenya. Haha, maafkan. Makasih atas dukungannya selama ini. Selamat membaca, silahkan pertanyaan, kritik dan saran di kolom komentar. Jangan sungkan yah hehe. Juga jangan lupa votenya yah. Love You All.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top