VI (b)
Author : Moonlight-1222
***
Lady Wilford menatap pelik pada coach[1] keluarga Rosvell yang sudah meninggalkan gerbang Witton House. Saat mengetahui kalung puteri bungsu Lord Louvain yang menghilang tiba-tiba dari lehernya, nalurinya langsung bisa menebak siapa pelakunya. Tapi meski begitu ia masih berharap kalau kalung itu jatuh atau salah seorang pekerjanya yang sudah mengambilnya. Ini salah, bathinnya.
Ia bergegas masuk untuk menemui si pembuat onar dan menemukan Julia yang berada di antara anak-anak tangga dengan membawa sebuah teko. "Julia!"
"Ah." Julia terkaget karena seruan tiba-tiba itu. Ia menoleh, menemukan Lady Wilford yang menujunya dalam langkah lebar. "Ada apa, Madam?"
"Apa adikku ada di atas?"
Julia menunduk takut saat sepasang biru Lady Wilford menatapnya penuh amarah. "I-iya, Madam. Sir Hugh saat ini berada di kamar Lord Wilford."
Keterlaluan. Bukan hanya putranya saja yang sudah membuat kerusuhan, sekarang adiknya pun menambahkan masalah di atas bahunya. Tidak adakah pria normal di sekitarnya? Hari ini ia menyesali keputusan yang diambilnya lima tahun lalu--keputusannya untuk ke luar dari pintu Axton Hall dan kembali ke hadapan publik.
Harusnya ia biarkan saja SEMUANYA hancur dalam kungkungan tembok Axton Hall. Seharusnya...
Julia yang tertinggal di belakang memperhatikan punggung Lady Wilford yang sudah berada di anak tangga teratas dengan cemas. Wanita itu memerintahkannya untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Kau menghalangi jalan."
Raphael sudah berdiri di belakang Julia dengan ekspresi kelam--untuk kedua kalinya dikejutkan oleh keluarga Lemington. Bila dalam keadaan gelap, Julia pasti tidak akan mengenali pria itu--majikannya itu persis seperti hantu.
"Menyingkirlah."
Tersentak oleh perintah dingin itu, Julia langsung menarik diri dengan kepala tertunduk-tunduk. Tampaknya hari ini bukan hanya suasana hati Lady Wilford saja yang sedang buruk.
Pria itu mengambil langkah lebar, mempersempit beberapa anak tangga. Menyusuri koridor dan menatap semua lukisan pemandangan di dinding dengan muak--tinjunya mengepal saat suara Lady Wilford terdengar sayup-sayup dari arah kamarnya.
***
"Apa yang kau pikirkan!"
"Diamlah, Elizabeth. Kau mengganggu istirahatku." Hugh yang sedang berbaring di tempat tidur hanya memicingkan mata sebentar dan kembali memejamkan mata--sepenuhnya mengacuhkan kakak perempuannya.
Lady Wilford menggebrak meja. "Berhenti bermain-main, Hugh! Sekarang katakan dimana kau menyimpan kalung itu!"
"Kalung? Kalung apa maksudmu?" Masih dengan berpejam mata, Hugh melipat kedua tangannya di atas kepala.
Tinju sang lady mengepal, frustasi mendiami wajahnya. "Cukup satu Rosvell yang masuk ke dalam keluarga kita, Hugh." Ia mendekati pria itu dan duduk di tepian ranjang. "Tolong mengertilah. Ini demi Raphael agar bisa menjalani kehidupan normal." Birunya berkaca-kaca.
Hugh membuka mata, menatap dingin Elizabeth. "Anak iblis itu lagi," makinya.
"He is my son." Ada kemarahan dalam birunya yang memburam. "My Precious SON!"
Tinju Hugh mengepal. "Kuberi satu hal agar kau mengerti, Elizabeth. Aku sudah memberikan bidadariku untuk puteramu yang berharga itu. Tidakkah kau menghargai pengorbananku? Atau kau berniat melihat kami bersaing, begitukah?"
Sepasang biru Lady Wilford membola. "Apa maksudmu?"
"Kau pikir bagaimana bisa iblis kecilmu itu mengenal Diana sementara dia tidak pernah meninggalkan kamar ini ataupun ruangan sialan di depan sana setiap kali mengunjungi London?" Hugh tergelak melihat kekagetan yang bertambah di wajah kakaknya. "Apa kau sungguh berpikir kalau putera berhargamu itu jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Diana? Kau sungguh naif, Lilibeth." Wajahnya penuh cemo'ohan.
Lady Wilford terdiam, pupilnya bergetar. Ini salah. Adik dan puteranya tidak mungkin menginginkan gadis yang sama.
"Jadi kuputuskan untuk mengambil ganti bidadariku."
Ketakutan kian membayangi Lady Wilford. "Apa rencanamu sebenarnya, Hugh? Haruskah kau bermain tipu daya denganku?" Air matanya mengalir. "Raphael tidak pernah berbohong padaku. Kau jangan mencoba memanipulasiku."
Gelak tawa Hugh hanya menambah ketakutan sang lady. "Kau tidak boleh melakukan ini, Hugh. Kau tidak boleh." Ia meratap. "Kau hanya akan merusak kehidupan Raphael. Kau lihat, dia sudah berusaha untuk berubah. Dia bisa mengontrol emosinya, dia bisa bersabar. Raphael ingin memulai kehidupan normalnya. Kau tidak boleh menghancurkannya. Kumohon, Hugh."
Hugh turun dari tempat tidur dan mendengus penuh kemuakan. "Ini keputusan mutlakku, Elizabeth. Pergilah. Kalau kau masih ingin membahas ini lebih lanjut, kupastikan esok pagi kau akan mendengar berita paling mengagumkan." Senyum palsu menghiasi wajahnya.
Sepasang bahu wanita itu turun. Kekuatannya seketika mencair. Dalam langkah gontai meninggalkan Hugh bersama air mata yang menderas.
Raphael sebenarnya berada di dalam kamar, masuk dari pintu yang terbuka, Hugh bahkan melihatnya. Ia bersembunyi di sebuah sudut tergelap-tempat di mana ia mendengarkan percakapan Diana dan kedua adiknya. "Haruskah kau membual seperti itu?" tanyanya datar. "Omong kosongmu hanya menyakitinya."
Hugh tergelak hambar bersama tatapan yang mendingin. "Percayalah, kehadiranmu jauh lebih menyakitkan hatinya. Seharusnya Elizabeth tidak memberikan nama itu padamu. Aku benar-benar muak setiap kali mendengarnya."
Aura Hugh sudah berbeda. Tatapannya sama persis dengan orang itu. Hilang sudah sosok paman yang selama ini diyakininya selalu memperhatikannya. Raphael mengerti bahwa selama ini kata 'iblis' yang disematkan Hugh padanya bukanlah sebuah candaan. "Kau berpura-pura menyayangiku--selama ini," ujarnya datar. Wajahnya tak beriak sama sekali-tetap dingin.
"Tentu saja. Bagaimana bisa aku menyayangi anak iblis sepertimu. Kau bahkan sudah membuatnya menderita sejak masih dalam kandungan." Tinjunya mengepal. "Lalu sekarang kau berniat menambah penderitaannya dengan menikahi Diana yang tidak seperti lady pada umumnya. Menikahinya sama saja dengan membongkar perilaku iblismu!" Hugh melotot dengan segenap kemarahannya.
Ia sedang beristirahat di kamar Raphael setelah sebelumnya tak sengaja dari balkon mendapati Raphael dan Diana yang tengah berjalan-jalan di taman. Meski tidak dapat mendengar percakapan mereka, tapi membaca kekelaman di wajah Raphael membuatnya mengerti bahwa hubungan keduanya tidak akan berjalan lancar. Kemudian di luar terdengar suara Julia, gadis pelayan itu sengaja membesarkan volume suaranya.
Julia yang pintar dan setia sudah memberikan kode untuknya.
Menyembunyikan diri di sudut gelap di tempat Raphael tadi bersembunyi; menyimak semua percakapan Diana dan Julia, membuatnya memahami bahwa Diana bukanlah gadis yang tepat untuk menjadi pajangan dalam keluarga Lemington. Menjadi bumerang bagi keluarga kakaknya, itulah peran Diana nantinya. Terberkatilah Elizabeth dengan segala kebodohannya.
"Aku memang anak iblis." Raphael menunduk, tinjunya mengepal. "Tapi kau tidak ubahnya seperti iblis. Kau tidak pantas menjadi adiknya."
Kesekian kalinya Hugh tergelak. "Kemana semua rasa terima kasihmu padaku? Pada orang yang sudah membantu iblismu sampai kekenyangan. Kalau bukan karena Elizabeth, kau tidak akan bisa hidup sampai detik ini. Apa masih bisa kau mengatakan aku tidak pantas menjadi adiknya?"
Tinju Raphael kian erat, menatap Hugh yang hendak ke luar. "Justru karena itulah kau tidak pantas. Dia menyayangiku dengan tulus apapun keadaanku--tidak seperti kau yang bertopeng."
"Apa kau sedang mencoba mencari pintu ke neraka? Sudah bosan menetap di bumi? Berniat menyusulnya, huh?" Hugh berhenti di ambang pintu. Otot-otot bahunya tegang. "Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mendekati Diana, tapi pada dasarnya iblis itu mahkluk hina yang tidak tahu diri, tentu saja akan percuma. Jadi tutup mulutmu saat aku masih mengingat posisiku sebagai adik Elizabeth." Ia ke luar dari kamar dengan membawa semua emosinya. Aku tidak perduli. Hancurlah dan membusuklah di neraka bersamanya.
***
Menembus kegelapan, Raphael menyusuri koridor sayap kiri lantai tiga. Terbiasa dalam gelap membuatnya tidak kesulitan melangkah. Dibandingkan bermandikan cahaya, ia lebih memilih tenggelam dalam kegelapan--cahaya hanya membuat matanya silau. Membuka sebuah pintu dan masuk ke dalamnya. Lima lilin di atas brass candlestick menerangi ruang kamar itu. Selalu... sama.
Melangkah ke tempat tidur, berdiri disana dan menatap wajah lelap ibunya. Ekspresi wanita itu tampak tidak nyaman-ujung alisnya berkerut. Sinar lilin yang jatuh di wajahnya membuatnya tampak pucat--seperti mayat dalam peti, tapi dadanya yang naik-turun secara teratur menandakan adanya sebuah kehidupan.
Ia tidak perlu khawatir.
Jemarinya terangkat dan menyentuh dahi wanita itu yang penuh kerutan, mengusapnya perlahan. Mimpi itu datang lagi. Pengakuan Hugh tampaknya membuat orang itu semakin menginginkanku untuk mengikutinya. Harusnya aku tahu, selain kau, tidak ada yang menginginkanku. Seharusnya kau membiarkan orang itu membawaku waktu itu, dengan begitu kau tidak akan serapuh ini.
Ibu jarinya terus mengusap dahi dan ujung alis ibunya sampai ekspresi rileks mendiami wajah letihnya. "Kau bilang peristiwa itu merupakan kenangan kelam yang menyedihkan, tapi aku tidak menangis sepertimu setiap kali mengingatnya." Ia menemukan jejak basah di antara bulu mata ibunya.
"Apa kau menangis karena perkataan Hugh atau teringat peristiwa itu?" Jarinya turun ke pipi ibunya yang terasa lembab. "Aku juga ingin mencoba menangis setiap mengingatnya, tapi aku tidak mengerti caranya--meski aku selalu memperhatikan bagaimana cairan itu turun dari matamu, aku tetap tidak bisa memahaminya." Ekspresi dan nadanya tetap sebeku es.
Tentu saja. Orang itu sudah melarangku untuk melakukannya.
"Aku tak pernah menduga kalau kau akan begitu senang melihatku menahan amarahku." Jemarinya terus mengusap pelan pipi lembab yang sudah terasa kendur itu. "Tentu saja aku harus bersabar. Bukankah kau terus mengatakan agar aku tidak mengikuti api di dalam tubuhku."
Aku tidak ingin melihatmu yang sedang menangis pada wajah Diana--bila aku melakukannya.
"Aku... merasa begitu menginginkan Diana. Aku tidak mengerti perasaan ini datang dari mana." Sorotnya tetap dingin. "Tapi aku akan menggunakan semua cara untuk meraihnya." Mungkin hal ini akan membuat kehidupanku menjadi semakin normal--dan surga bisa menerimaku. "Tapi keinginan ini membuatmu kesulitan, meski begitu kau tetap mendukungku. Apa ini karena kau ibuku?"
Aku selalu dan terus bertanya. Seandainya orang itu memilih orang lain dan bukannya kau, tentunya aku tidak akan hidup dalam rupa dan nama ini. Mungkinkah perlakuan yang kuterima dari orang lain itu akan sama denganmu? Akankah orang lain itu tidak membenci sosokku?
Atau semua--perlakuan baik yang kuterima--ini hanya karena kau yang menjadi ibuku?
Jarinya turun menyusuri sudut bibir wanita itu. "Kau selalu tersenyum padaku, aku sangat ingin membalasnya, tapi--lagi-lagi--aku tidak mengerti caranya--aku tidak tahu cara tersenyum sehangat itu."
Bukan senyum sepertimu yang kurekam dalam orang itu.
"Aku ingin terus menjaga senyumanmu, tapi aku juga tetap ingin menyimpan Diana. Apa yang harus kulakukan? Haruskah kita bertiga meninggalkan Inggris agar bisa hidup bersama?"
Mungkin dengan kita menjauh, kau akan melupakan kenangan buruk ini.
Ibunya sedikit menggeliat. Raphael membeku, tapi wanita itu tidak terbangun. Kemudian ia terburu ke luar, kembali ke koridor sayap kanan dan ke dalam ruangan di depan kamarnya. Kegelapan memang menyembunyikan rupa tempat itu, tapi ruangan itu terlihat jelas melalui matanya: seharusnya sangat berantakan, seharusnya seperti habis diamuk badai. Kanvas-kanvas berukuran besar-kecil dan cipratan cat yang seharusnya menyebar ke segala penjuru saat ditinggalkannya kini kembali rapi sedia kala--seperti hari-hari penuh amarahnya yang lain.
Orang itu tidak akan pernah meninggalkannya.
***
Note:
1. Coach : Kereta roda empat dengan tampilan tertutup yang ditarik dua ekor kuda atau lebih.
Ini chap selanjutnya, selamat membaca dan maaf lama. Kebetulan karena Moon telat mengucapkan selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadhan bagi yang menjalankannya, jadi Moon ganti dengan Semoga Puasanya Hari Ini Lancar. Aamiin. Jangan lupa vote dan komennya hehe, bila ada pertanyaan silahkan tulis di kolom komen yah. Makasih banyak dan selamat beraktifitas. Love You All.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top