Prolog
Written © Moonlight-1222
Story © Moonlight-1222
Cover © Moonlight-1222
Note : vote dulu baru baca atau baca dulu baru vote. Jangan lupa yah :)
Warning : Prolog tidak mencerminkan isi cerita. Ini kisahnya lebih berpusat pada kemanusiaan, keluarga dan misteri.
.
DIANA ROSVELL
.
Cheshire, Inggris
Juli, 1857
Diana terdiam mendapati kakinya menjejak di hadapan sebuah kastil berlapiskan emas dan batu mulia. Birunya menatap ganjil pada kemegahan yang ditampilkan oleh kastil tersebut. Entah kenapa penempatan bebatuan bernilai itu malah memberikan kesuraman dan kepalsuan, seolah tengah menutupi sesuatu yang jahat, yang bersembunyi di balik pintu emasnya yang bercahaya.
Dengan segala perasaan tak menyenangkan yang menggelayutinya, Diana memutuskan untuk pergi saat suara berkeriut menyambangi telinganya-pintu emas berukiran rumit yang berdiri angkuh itu membuka diri. Adrenalinnya naik ke kepala saat kegelapan pekat menatapnya dari balik pintu tersebut. Ternyata benar tak ada keindahan maupun kemegahan di dalam sana, tampilan luarnya hanyalah kamuflase untuk menjerat para korbannya.
Tanpa pikir panjang lagi, Diana mengangkat rok lebar gaun kelabunya dan berlari. Peluh yang bermain di kulitnya seolah menertawakan kelambatannya. Ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, kaki-kakinya pun tampak tegang akibat kencangnya ia berlari, tapi entah kenapa jarak dirinya dengan kegelapan di belakang sana tidak melebar dalam skala besar.
Apa yang terjadi? Apa-apaan ini?
Panik melandanya saat sulur-sulur kegelapan itu merangkak naik hendak menggapainya. Ia menambah kecepatan dan melihat sebuah gerbang besi berkarat di depan. Pintu keluar! Ia memekik dalam sunyinya malam membeku yang nyatanya tak dapat mendinginkan tubuhnya yang memanas bermandikan peluh. Tapi kegelapan itu tahu caranya untuk tetap mendapatkan dirinya.
Birunya membola saat kegelapan itu berpindah tempat, menghadang langkahnya, membesar angkuh bak monster di balik gerbang itu, yang entah kenapa warna tembaga karatnya sudah berubah menjadi merah pekat selayaknya darah. Tak ada jalan keluar. Ketakutannya malah menggiringnya berlari masuk ke dalam kastil meski hatinya menjerit tak ingin. Pintu berdebam tertutup dan ia terpenjara dalam kegelapan.
Saat hendak meraba, satu lengkingan pilu seorang pria yang memekakkan telinga menghancurkan dinding-dinding kegelapan itu, retak bak kepingan kaca hitam dan Diana membuka matanya hanya untuk menambahkan kekagetan di wajahnya. Ia tidak terbangun di tempat tidur berkanopinya, tapi terbangun di lantai batu yang dingin. Tidak melihat tirai sutera marun yang menggantung di tiap-tiap tiang tempat tidurnya, melainkan langit-langit batu yang tampak seperti gudang bawah tanah di Chester Hall.
Keremangan menghalangi pandangannya, cahaya yang dihantarkan padanya hanyalah dari sebentuk lilin di atas brass candlestick yang berpendar tidak jauh darinya. Apa yang terjadi? Ia memijat-mijat kepalanya yang terserang pusing saat ia berusaha duduk, bersamaan dengan rasa nyeri pada salah satu pergelangan kakinya.
Oh, Tuhan! Diana memekik dalam hati saat mendapati rantai besar yang membelenggunya, ujung rantai itu tertanam di lantai. Apa yang terjadi? Mungkinkah Diana masih terjebak dalam mimpinya. Ia mencubit pipinya, dan hampir saja menangis akibat rasa sakit yang mengejutkan seluruh inderanya-ia sepenuhnya dalam keadaan sadar.
Mengendalikan kepanikan dan ketakutannya, Diana berusaha melepaskan diri. Peluh membasuh kulitnya, dan putus asa menyambangi wajahnya saat gelang rantai setebal dua jari itu hanya memberikan luka setiap kali bergesekan dengan kulitnya. Apa yang terjadi? Ia masih terus bertanya dan mulai mengingat awal peristiwa yang membuatnya berada di tempat menyeramkan ini saat terdengar suara bariton yang dibuat-buat.
"Lihat, kau hanya memberikan luka di kaki mulusmu."
Kegelapan menyembunyikan sosok pria itu. "Siapa kau!" Diana berseru dengan amarah yang tak dapat disembunyikannya. "Beraninya kau melakukan hal ini padaku!"
Pria dalam kegelapan itu tertawa kecil dan terdengar sangat menyebalkan. "Menarik," ujarnya. "Kau tidak tahu betapa cantiknya wajahmu itu saat marah, Lady Diana."
Diana mengepalkan tinju-tinjunya, perkataan pria itu melecehkan harga dirinya dan sekelebat bayangan menjijikan menghantuinya, lalu ia tersadar bahwa pria itu hanyalah penculik murahan yang hanya menginginkan tebusan dari keluarganya. Dia tidak akan mendapatkan apa-apa selain kematian bila berani menyentuh dirinya. "Jaga bicaramu!" hardiknya. "Apa maumu! Uang! Katakan! Berapa saja akan kuberikan!"
Gelak tawa berat memenuhi tempat itu. "Uang? Aku bahkan lebih kaya dari keluargamu, My Lady."
Diana tercekat, sesaat kehilangan kata-kata akibat pikiran buruknya. "Apa kau ingin membunuhku?" tanyanya, nyaris berbisik akibat ketakutan yang sudah naik ke kepala.
"Membunuhmu?" Pria itu tergelak. "Apa kau benar-benar tidak bisa mengingat pria yang tiga minggu lalu kau patahkan hatinya, Lady Diana?"
Oh, Tuhan. Biru Diana kian berkaca-kaca, hatinya menjerit untuk tidak mempercayai ucapan pria itu, tapi suara pria itu yang kembali normal saat menyebut namanya membuat emosinya meledak akibat kekecewaan yang melandanya.
"Wilford!" Diana berseru. "Apa maumu! Lepaskan aku! Kau benar-benar pria brengsek!"
Langkah kaki terdengar keluar dari kegelapan, sebuah siluet panjang terbentuk oleh cahaya lilin, menampilkan sosok Raphael, Marquess of Wilford yang tampak kelam dan tengah menunduk menatap Diana yang menantangnya. Biru gadis itu tampak membara akibat api lilin yang terpantul disana. Raphael berjongkok, mengamati wajah Diana yang berpendar dalam keremangan. Cantik sekali. Niat tangannya yang terulur untuk menyentuh wajah porselen itu kandas saat Diana menarik kepalanya mundur.
"Jangan macam-macam!" gertak Diana semakin menajamkan tatapannya, berharap dapat memberikan sedikit ketakutan pada pria itu.
Raphael menyeringai, tatapan amarah dari sepasang bola biru indah seorang bidadari tidak akan membuatnya gentar. "Kau tahu, Diana." Gadis itu mengkerut tak suka mendapati namanya meluncur akrab dari pria yang sudah menculiknya. "Semakin kau menolakku maka semakin besar keinginanku untuk memilikimu."
"Lepaskan aku!" Diana menampar Raphael.
Sepasang abu dingin Raphael menggelap oleh amarah. Suaranya rendah saat berkata, "Kau memang cantik saat marah, Diana..." Raphael menarik jemari Diana dan melabuhkan kecupan singkat sebelum gadis itu menghempasnya. Tapi wajahmu saat tersenyum dan tertawa jauh lebih indah, tambahnya dalam hati.
Terkekeh menjengkelkan, wajah Raphael tertunduk. "Kau sudah menghancurkan jiwa Raphael yang kubangun hanya untukmu dan memilih untuk melihatku bertindak sebagai iblis, tahu begitu aku tidak perlu berusaha menjadi malaikat terhormat untuk mendapatkanmu, Diana." Ia menambahkan dengan menyorot dingin wajah terkejut Diana. "Mata yang indah, ekspresi terkejut yang sangat mengagumkan."
Raphael menangkap kedua pergelangan tangan Diana, mencengkramnya erat. Ia mengarahkah kedua telapak tangan Diana ke wajahnya, seolah terlihat Diana menangkup wajah pria itu. Tidak tinggal diam, Diana tentu saja berontak, tapi cengkraman Raphael tak bergeming. "Kau dengan tanpa hati merusak semuanya. Jadi, sudah merupakan tanggung jawabmu untuk menenangkan iblis ini," ujar Raphael dingin.
Air mata memburamkan wajah angkuh Raphael. "Siapa kau sebenarnya?" Suara Diana bergetar, lenyap sudah keberanian yang mati-matian dipertahankannya. "Maafkan aku seandainya penolakanku melukai harga dirimu, My Lord. Tolong lepaskan aku. Aku akan menganggap semua ini tidak pernah ter-"
Raphael menggeram, kian kuat mencengkram pergelangan tangan Diana, membuat gadis itu merintih. "Ini bukan masalah harga diri, Diana-ku. Ini masalah hatiku yang telah dicuri." Ia melonggrakan cengkramannya. "Aku tidak bisa hidup tanpa hatiku, kau tahu." Raphael lalu memeluk Diana yang ketakutan, menumpukan bibirnya di bahu terbuka gadis itu. "Tolong..., tolong jangan tinggalkan aku."
Diana tertegun sesaat mendengar nada Raphael yang bagai anak kecil kehilangan kasih sayang, sebelum matanya harus membola saat mendengar bisikan posesif pria itu-menghantarkan kengerian yang meremangkan tengkuknya. "Maafkan aku, bidadariku. Maafkan aku karena tidak dari dulu membuatmu seperti ini. Dengan begini kau akan selamanya berada di sisiku. Mencobalah pergi dariku, maka akan kupatahkan sayapmu agar kau tidak dapat terbang meninggalkanku. Atau bila nanti kau memang berhasil pergi, pada akhirnya aku akan tetap dapat menemukan dirimu. Kau tahu itu, kan?"
Lalu sesuatu di balik punggung Raphael membuat Diana mati lemas, sesuatu yang tersembunyi di balik kegelapan, menghantarkan anyir yang menyengat-yang terlambat disadarinya atau memang sudah diindahkannya karena terlalu fokus terhadap Raphael. Matanya memicing berusaha meyakinkan diri sebelum ketakutan itu memutus kesadarannya, jatuh lemas dalam dekapan Raphael yang wajahnya berhiaskan seringai keji.
Sesosok tubuh tanpa kepala terduduk di kursi kayu yang memerah anyir, di bawahnya tergolek kepala seorang pria dengan mata melotot dan lidah terjulur dalam kubangan merah. Pria itu, Diana mengenal pria malang itu.
֍
Selamat menikmati para pembaca Hai. Ini karya kedua Moon. Terima kasih untuk dukungannya di cerita Moon yang pertama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top