I

Written © Moonlight-1222
Story © Moonlight-1222

*


Derbyshire, Inggris
April, 1857

Lengkingan panjang seorang perempuan merambat ke alam mimpi Diana yang seketika terhapus dalam ingatannya setelah ia membuka mata. Birunya menatap sayu pada langit-langit sutera marun tempat tidur berkanopinya, sementara histeria perempuan itu masih terdengar. Oh, keluhnya, Anastasia sepertinya sudah mendapatkan hadiah pagi harinya.

"STEV!"

Diana memijat pangkal hidungnya mendengar jeritan amarah itu. Teressa tampaknya juga sudah menemukan hadiah paginya. Menghela napas, ia menyibak selimutnya untuk memastikan hadiah pagi hari yang telah disiapkan oleh Stephen. Kosong, ia hanya menemukan sepasang kakinya. Oke, tidak ada makhluk mati yang biasanya menciumi kakinya ataupun tertidur di sampingnya. Aneh.

"Kali ini apa rencanamu, Stev?" monolognya tenang. Ia turun dari tempat tidurnya hanya untuk terlonjak saat sesuatu yang lengket menyentuh telapak kakinya. Ia menatap bosan pada apa yang baru saja diinjaknya. "Jadi hari ini giliranku yang mendapatkan belut," gumamnya sebelum mengelap telapak kakinya dengan selimut lalu hendak turun dari sisi yang lain, tapi urung karena puluhan belut ternyata juga sudah mendominasi tempat itu, ia beralih ke sisi depan hanya untuk menemukan hal yang sama. Belut yang didapatnya ternyata jauh lebih parah.

Pintu kamarnya dibuka, menampilkan si pelaku yang bersandar penuh kemenangan disana. "Diana kita yang dipuja oleh puluhan belut. Our queen," sarkasmenya sebelum gelak tawa menjengkelkannya pecah.

"Oh, our villain, Steffany. Kneel before your queen," balas Diana tak kalah sarkastik sebelum berdiri dan melompat dari tempat tidurnya.

Stephen melongo melihat kelakuan ajaib adik pendiamnya itu. "Kau memang tidak menyenangkan," komentarnya penuh kekesalan setelah menerima senyum meremehkan Diana yang berdiri anggun dengan dagu terangkat.

"Ho-ho-ho." Gadis muda itu tertawa menirukan salah seorang aktor opera yang memerankan tokoh penjahat yang ditontonnya tiga hari yang lalu, tapi dengan gaya anggun khas lady--tangan yang menutup bagian mulut selayaknya kipas bulu.

"My Lord, My Lady."

Christie, pelayan pribadi Diana berdiri di belakang tubuh menjulang Stephen dengan kepala tertunduk.

"Masuklah Christie, jangan pedulikan Steffany."

Diana tertawa kecil membaca masam di wajah Stephen saat berlalu dari bingkai kayu pintu kamarnya.

***

"Papa! Stev harus dihukum! Dia benar-benar sudah keterlaluan!"

Stephen tergelak saat Teressa masih saja terus mengadukan semua kelakuannya pagi ini dengan Lord Louvain. Berbeda dengan Diana yang mendapatkan puluhan mayat belut lengkap dengan lendirnya, karena Teressa sudah mendapatkannya dua hari yang lalu--selama seharian penuh putri kedua Rosvell itu terus merendam kakinya dalam bejana yang berisikan berbotol-botol aroma[1] yang baunya membuat Diana ingin segera menghilang dari Chester Hall.

Lain Teressa, lain juga reaksi Anastasia yang seminggu lalu mendapatkan sambutan pagi dari para belut, pagi itu dipenuhi dengan lengkingannya yang bersahut-sahutan bersama tawa berderai Stephen. Padahal mereka hanya mendapatkan sepuluh mayat belut. Seandainya mereka mendapatkan belut sebanyak Diana, ah, kepala Diana mendadak pusing membayangkan reaksi dramatisir kedua adiknya itu.

Pagi ini hadiah dari Stephen untuk Teressa berupa noda darah pada gaun-gaun dan perhiasannya: semuanya baru saja dikirimkan dari London lima hari yang lalu untuk persiapan Season dan sudah disembunyikan dengan sangat rapat, tapi na'as, hidung Stephen selalu punya cara untuk membaui jejak kesenangannya. Alhasil, kemarahan Teressa pun meningkat, jeritan kemarahannya memenuhi langit-langit dan menyusuri tiap-tiap sudut ruangan Chester Hall.

Sementara Anastasia yang malang masih tampak pucat dan lemas akibat hadiah pagi harinya--sesuatu yang paling ditakutinya: cicak--sepuluh mayat cicak dengan ekor terpisah memelototinya di atas selimut. Pantas saja hanya terdengar satu kali jeritan panjangnya yang biasanya selalu bersahut-sahutan. Sepertinya bungsu Rosvell itu hampir saja pingsan tadi.

"Papa!"

"Hm?" Tanpa berpaling muka pada Teressa, Lord Louvain hanya terus mengolesi selai bluberry ke rotinya dengan santai.

Lady Louvain menengahi emosi Teressa dengan lembut. "Teressa, my princess, bukankah tiga hari lagi kita akan ke London, jadi tidak perlu mempermasalahkan gaunmu lagi, sayang. Siang ini juga mami akan mengirimkan telegram pada Madam Laura untuk membuatkan gaun baru dengan bahan yang sama."

Sepasang biru Teressa Langsung berbinar meski masih tampak kesal. Tanpa kata dia duduk dengan tenang dan mulai menikmati rotinya dengan anggun. Season pertama Teressa dan Anastasia akan dimulai. Pergi ke London sama dengan terbebas dari kejahilan Stephen karena sulung Rosvell itu sama sekali tidak tertarik dengan Season ataupun hal-hal yang berhubungan dengan para bangsawan. Mereka akan menginap selama Season berlangsung, setidaknya sebulan atau dua bulan tidak mendapatkan darah dan mayat hewan hasil buah tangan Stephen akan sangat membantu untuk menenangkan mental, terutama bagi Anastasia.

"Stev, berhentilah menyentuh gaun dan perhiasan Teressa," ujar sang marchioness lemah, tampak lelah.

"Itu sulit, Mami, karena hanya kedua hal itu yang paling bisa membuat ekspresi Teressa semakin menyenangkan."

"Ste--"

Teriakan Teressa terpotong saat Stephen tiba-tiba berdiri dari duduknya sembari melayangkan tatapan penuh kemenangan pada Diana yang tengah menikmati sarapannya acuh tak acuh, yang langsung membola menyadari kemana arah pikiran liar Stephen.

"No!" Semua Rosvell di meja makan terkaget mendengar teriakan Diana untuk pertama kalinya, kecuali Stephen yang tertawa evil sebelum berlari meninggalkan meja makan.

"Stev!" Diana mengejar Stephen bak orang sinting untuk pertama kalinya. "Jangan mereka! Jangan buku-bukuku! Stev!"

Jeritan Diana pun menjadi angin lalu, Rosvell yang tertinggal melanjutkan sarapan mereka dengan tenang. Meski sesekali terdengar suara sang marchioness yang masih berusaha memaksa Anastasia untuk membuka mulutnya. Yah, sulit menemukan pagi yang tenang di keluarga Rosvell. Semua keributan dan pelanggaran tata krama merupakan hal biasa, meski masih akan tabu untuk dunia luar, tapi tak mengapa karena dinding Chester Hall tahu caranya menutup diri.

***

Diana mengantongi kunci perpustakaan, beruntung ia selangkah lebih cepat dari kakak jahilnya--yang menurutnya sudah gila--itu. Dengan angkuh ia melewati Stephen yang tampak tenang.

"Diana adikku yang tampak pintar tapi sebenarnya tidak. Membuka pintu itu tidak harus selalu dengan kunci," ujar Stephen remeh sambil lalu.

Diana pasrah dan menyerah karena Stephen memang memiliki cara untuk masuk ke ruangan manapun. "Stev, bukankah karena buku juga merupakan kesukaanmu, jadi kau menahan dirimu untuk tidak menjahiliku menggunakan mereka. Lalu kenapa sekarang?"

Stephen menghela napas. "Anggaplah karena aku sudah bosan melihat ekspresimu itu. Setidaknya menjerit dan menangislah seperti Anastasia atau marah-marah seperti Teressa--itu akan lebih baik. Lihatlah, ekspresi dan kelakuanmu tadi benar-benar sangat menyenangkan."

Diana memutar bola matanya sebelum berkata dengan frustasi, "Astaga, Stev. Kau sudah dua puluh delapan tahun dan seorang viscount. Tidak bisakah kepribadianmu membaik? Kau sudah bukan lagi kanak-kanak usia delapan tahun."

"My dear sister, usia, gelar, dan kepribadianku itu bukan masalah besar karena aku adalah seorang ilmuwan yang akan mengubah dunia." Stephen tergelak menyebalkan setelah memuntahkan jawaban ngawur.

Sinting, batin Diana. Kakaknya itu memang sudah menjelma menjadi ilmuwan sinting. Lihat saja penelitian-penelitian tak masuk akal yang akhir-akhir ini dilakoni Stephen, masuk ke ruangan yang dilabeli stephen sebagai laboratorium itu sama saja dengan uji nyali. Orangtuanya membiarkan kelakuan nyeleneh Stephen sebagai usaha mereka untuk menahannya agar tetap berada di Chester Hall karena statusnya yang sebagai pewaris.

"Oke, Stev." Diana memutuskan menyerah. "Akan kulakukan apapun agar mereka selamat. Katakan."

"Akhirnya, Lady Diana pun takluk." Stephen memegangi perutnya, berpura menahan tawa.

Diana berdecak tak suka. "Cepat katakan apa maumu."

"Baiklah." Stephen berhenti tertawa, air mukanya seketika berubah serius. "Aku ingin kau menemukan seorang gadis seusiaku yang bernama Isabelle di Derbyshire ini, tapi bukan berasal dari kalangan atas. Bagaimana?"

Diana menutup mulutnya. "Stev," ujarnya tak percaya, mendekat pada sang kakak dan berbisik, "Apa maksudmu? Apa dia kekasihmu? Papa akan marah seandainya kau menikah dengan orang biasa."

"Karena itu..." Stephen mengedipkan matanya. "Ini rahasia di antara kita."

Diana kembali berdecak. "Kenapa bukan kau sendiri yang mencarinya? Kau tahu aku bukan pria sepertimu yang bebas berkeliaran di luar sana."

"Adikku sayang, para gadis akan menggila melihat diriku, dan itu akan membuat kepalaku pusing."

Gemas, Diana menyikut perut Stephen yang tergelak. "Tetap saja aku tidak bisa."

"Kau bisa, adikku. Kau bisa meminta bantuan Mary-mu." Stephen tersenyum miring. "Kau tahu apa yang aku maksud, kan?"

Stephen melangkah pergi meninggalkan Diana yang tertegun. Helaan napas berat dua kali ia hembuskan sembari menghentak-hentak sepatunya, beruntung sang marchioness sedang tidak ada di dekatnya saat ini, bisa-bisa telinganya panas karena ceramah tata krama. Ia bergumam yang lebih terdengar seperti keluhan saat menatap pintu perpustakaan, "Sepertinya aku memang harus menghubungi Mary."

Diana menghilang di ujung koridor, menyisakan Stephen di ujung koridor lainnya, tengah bersembunyi di balik dinding--tidak benar-benar pergi. "Yah, adikku. Bantulah kakakmu ini menemukan gadis itu," kata-katanya yang diucapkan dalam nada sedih penuh damba itu sayangnya tidak bersatu dengan pancaran dingin sepasang birunya.

***

Diana menyelinap ke istal setelah menulis sepucuk surat untuk Mary, sahabat sekaligus saudaranya yang dikenalnya saat berusia tujuh tahun. Ia pertama kali bertemu Mary di St. Rosvell, panti asuhan milik keluarganya. Mary sebaya dengan Diana, dan saat ini sudah menjadi salah satu pengurus di St. Rosvell.

"Logan," panggil Diana pada seorang pria berkulit kecokelatan yang tengah membasuh badan Demon, kuda hitam kesayangan Stephen. Logan langsung menyudahi pekerjaannya dan berlari ke arah Diana yang mengintip dari balik dinding kandang jerami.

"Ada apa, My Lady?"

Diana tersenyum masam pada pria berambut hitam ikal itu. "Hei, apa yang kukatakan bila hanya ada kita berdua?"

Wajah cokelat Logan sedikit bersemu malu. "Iya, ada apa, Di-Diana?"

"Nah, itu jauh terdengar lebih baik. Tapi lain kali cobalah untuk tidak gugup, oke."

Logan mengangguk pelan, patuh dan tidak berani menatap mata biru Diana yang secerah langit.

Diana memberikan surat yang disimpannya dibalik lengan gaunnya. "Berikan ini pada Mary."

Logan menerima surat itu dan langsung menyimpannya di kantong celana katunnya. "Setelah Lord Stephen membawa Demon, aku akan langsung memberikannya pada Mary."

"Ini." Diana mengangsurkan buntalan katun. "Beberapa roti untuk bekalmu ke St. Rosvell. Hati-hati di jalan." Ia tersenyum hangat.

Logan mengangguk pelan sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, selalu menjadi salah tingkah saat mendapatkan senyum indah Diana yang sangat jarang gadis itu perlihatkan. Bersama Mary, keduanya merupakan anak-anak dari St. Rosvell yang sebaya dengan Diana. Bisa dibilang ketiganya sahabat kecil. Awalnya terasa menyenangkan berteman dengan Diana meski dia seorang lady, tapi, setelah mereka menginjak dewasa entah kenapa perasaan canggung itu timbul dan kian membesar. Logan selalu kebingungan untuk bersikap di hadapan Diana.

"Aku pergi dulu. Semangat bekerja."

Logan memperhatikan punggung mungil Diana yang menghilang di balik dinding kayu bersama senyum hangat gadis itu yang memudar di udara meski masih terukir jelas dalam ingatannya.

֍

Note : 1. Keluarga kerajaan Inggris dan para bangsawan tidak menyebut parfum tapi aroma.

...................

Hello. Ini chapter pertamanya yang sudah mengalami revisi. Selamat membaca. Terima kasih untuk dukungan kalian di chapter awal. Jangan lupa tekan vote dan komen tentang cerita ini ya. Terima kasih^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top