23 (Last)
Copyright : Moonlight-1222
Terima kasih untuk semua dukungannya. Terima kasih :)
*maaf molornya lama #tundukdalam. Chapter yg panjang dan revisi berulang2 huhu. 3300an words, semoga kalian puas dengan ending buku satu ini :)
.
.
.
“Ini untukmu.” Buket baby breath yang terus digenggam erat Diana selama proses pernikahan berpindah ke tangan Mary.
“Terima kasih, Dia.” Wajah Mary memancarkan sukacita, tidak menyadari sinar kekecewaan yang memancar dari biru Diana. “Semoga kau bahagia dengan pernikahanmu.”
Bibir Diana tertarik kaku sebelum memberi gadis itu pelukan. “Mary,” mulainya datar. “Orang yang berbohong seperti berjalan di bawah cahaya petir. Dia berpikir dustanya bisa menyelamatkannya, padahal itu jelas permainan yang berbahaya.”
Diana melepaskan pelukannya untuk menikmati kekagetan di wajah Mary---yang sudah pucat. Kali ini tarikan bibirnya melebar. “Maaf, Mary. Tapi kau sudah mengecewakanku. Selamat tinggal. Anggap saja bunga ini adalah cinta terakhirku untukmu.”
Diana berlalu. Meninggalkan Mary yang mulai meneteskan air mata. Dalam pandangan kabur, sosok Diana berjalan perlahan menuju suami dan orangtuanya. Lord dan Lady Louvain memeluk puteri dan menantu mereka untuk yang terakhir kalinya sebelum pintu kereta memisahkan mereka.
Sebelum benar-benar berlalu, Diana melempar lirikan pada Stephen yang berdiri kaku di belakang orangtua mereka. Kakaknya sudah seperti patung, tidak berbicara apalagi menatapnya. Entah itu rasa bersalah atau kebahagiaan, Diana tidak perduli lagi. Baginya sekarang Stephen hanyalah orang asing.
Sementara Logan..., pria itu tampak tenang. Dia bahkan tersenyum lebar di sisi Stephen. Ya. Diana sadar. Dia harus berhenti mendambakan pria itu.
Tapi...
Lihatlah. Semua orang yang hadir di pernikahan mereka terus melempar tatapan iri dan kagum pada Diana. Iya. Seakan melihat sang Lady Rosvell berada dalam dunia dongeng yang indah---karena semua kehidupan sempurnanya. Tapi mereka melupakan bahwa banyak dongeng yang memiliki kisah kelam.
Tentu saja milik Diana kini menjadi salah satunya, karena Pangeran tampan yang menyelamatkan puteri tidak pernah seorang iblis. Bahkan wajah yang terpantul di cermin tampak lebih baik dari aslinya. Bukankah yang terlihat di permukaan itu selalu menipu?
OOOOO
Kamar yang sama, tapi status Diana sudah berubah. Dari seorang puteri marquess menjadi marchioness. Raphael tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Pernikahan terjadi tiga hari kemudian. Persiapan dilaksanakan seolah tanpa beban meski sederhana. Semua orang seakan memaklumi alasan pernikahan buru-buru ini.
Mereka tidak mempermasalahkan dua pernikahan dalam keluarga Rosvell yang masih dalam suasana berkabung. Sejauh yang didengar Diana dari para bibi dan undangan: "Tunangan Teressa, Sir Davinci, tidak memiliki banyak waktu di London. Sementara kedua mempelai, Diana dan Raphael sama-sama sakit. Tidak ada salahnya menikahkan mereka lebih cepat sebelum berakhir seperti Anastasia yang malang."
Tidak ubahnya seperti menonton calon mayat menikah, huh? Diana merasa sangat sakit mendengarnya.
Hal lain yang paling dibenci Diana adalah topeng Lady Wilford. Dia mencium kedua pipi Diana bersama senyuman cerah, seakan tidak lupa pada luka di leher Diana. Interaksi yang membuatnya sangat muak. Bahkan tangannya ingin mendorong mertuanya itu. Lalu membeberkan semua rahasia keluarga Lemington pada semua tamu undangan.
“Kau sangat cantik.” Raphael akhirnya berhasil melemparkan pujian pada Diana.
Diana hanya merespon dengan sebuah anggukan kecil. Ia hampir melupakan kalau pria itu duduk di sampingnya. Biasanya pujian suami sangat bernilai di mata sang isteri. Tapi bagi Diana, tidak berbeda seperti cibiran para bibinya.
Hanya Raphael yang menilai Diana cantik dengan semua kesuramannya. Meski semua lady, baik lajang dan janda menatap iri padanya, mereka juga menyembunyikan cibiran atas pilihan warna gaun pernikahannya.
Abu-abu kelam.
Lady Rosvell itu tampil berbeda dari fashion sang Ratu. Menggunakan gaun lama miliknya yang memiliki cukup renda---pada bagian pinggang dan ujung rok lebarnya. Sangat lusuh untuk pernikahan seorang puteri marquess kaya raya. Selain tidak ingin mengenakan gaun pernikahan milik ibunya dan tidak memiliki waktu lagi untuk membuat gaun pernikahan, Diana memang tidak berminat sama sekali untuk tampil memukau.
Hanya kerudung suteranya yang berwarna putih, yang merupakan milik ibunya. Tudung yang berhias renda dan mutiara itulah yang menyelamatkan penampilan lusuh Diana---setelah sang ibu berhasil memaksanya.
Setidaknya dia tetap bisa tampil anggun dan elegan bersama baby breath-nya. Daripada menciptakan kontroversi dengan tudung hitam.
“Bisakah aku membuka kerudungmu?” Pertanyaan itu meresahkan Diana. Ingin meminta sebuah ciuman? Atau...
“...Silahkan.”
"Diana tidak perlu takut. Aku adalah manusia."
Semakin Raphael menekankan dirinya adalah manusia, maka semakin terdengar menakutkan. Tidak ada manusia yang melabeli dirinya manusia saat wujudnya adalah manusia. Lagipula kenapa tiba-tiba mengatakan hal mengerikan seperti itu?
Sementara jari-jari pucat Raphael sudah meraih kain sutera yang menutupi wajah Diana. Sebenarnya ia masih bisa melihat wajah isterinya. Gerakannya terhenti.
Isteri...?
Ya. Raphael berhasil menikah.
Ada perasaan aneh dalam dadanya. Getaran yang sama setiap kali melihat ibunya tertawa. Mungkin inilah perasaan yang disebut oleh manusia sebagai kebahagiaan. Alih-alih melanjutkan membuka tudung Diana, ia malah menggenggam tangannya.
Raphael bisa merasakan pergolakan Diana melalui tangannya yang tegang. "Aku tahu kau ketakutan dengan sentuhanku. Tapi aku sangat ingin melakukannya. Memelukmu. Menggenggam tanganmu. Membelai rambut, dan wajahmu." Atensi Raphael turun ke bibir Diana. Ingin merasakan kehangatan itu lagi.
Sekujur tubuh Diana meremang. Semua kalimat Raphael bagai mimpi buruk. "Kau berjanji kita tidak akan memiliki anak. Kau harus menepatinya," suaranya bergetar.
"Aku tidak akan melanggar batas, Diana." Ia bertanya dalam hati. Kapan Diana bisa melihat dirinya seperti ibunya? "Hanya sentuhan-sentuhan kecil seperti itu. Aku bahkan tidak berani menciummu lagi. Tapi... kau akan membuatku tenang bila mengizinkanku melakukannya."
Diana mengigit bibir bawahnya. Raphael sungguh tidak tahu malu. Lebih baik tidak perlu berusaha terdengar seperti gentleman.
"Seseorang memberiku saran agar hubungan kita bisa membaik. Dia memintaku untuk melakukan sentuhan kecil setiap saat agar kau bisa terbiasa dengan kehadiranku."
Diana tidak percaya Raphael bisa mengatakan hal mengerikan itu setelah melihat ketakutannya. Bahkan hanya untuk membayangkan dirinya dan pria itu bersama seperti pasangan nyata pun tidak sanggup.
"Kau tahu aku takut padamu." Diana meloloskan tangannya dengan satu tarikan kuat. "Kumohon," lirihnya. "Berhenti membahasnya."
"...Bagaimana bisa manusia yang belum terikat pernikahan bisa bebas melakukannya?" Raphael menatap tangannya yang sudah kosong. "Sementara aku bahkan tidak bisa menyentuh isteriku sendiri. Tidak ada dosa. Tidak ada skandal. Tidak ada bayi malang di luar pernikahan. Tapi aku tetap tidak bisa menyentuhnya." Matanya terpejam bersama tinju yang mengepal erat. Urat-urat di tangannya terlihat jelas melalui kulit pucatnya. "Aku tidak meminta lebih, hanya sentuhan kecil.”
"Lakukanlah." Diana tidak bisa menciut menyadari amarah Raphael. Sedikit sentuhan tidak akan membunuhnya, bukan?
Tapi jawaban Diana sudah tidak bisa lagi melegakan Raphael. "Jangan setuju hanya untuk menghindari amarahku.” Tenggorokannya naik turun akibat rasa panas dalam dada.
Ia menutup wajah dengan semua jemarinya ketika amarah semakin membakar tubuhnya. “Bila posisi kita dibalik, apa kau bisa bertahan?” Suaranya yang lirih masih mampu terdengar Diana.
“Berhenti membuatku marah. Kau salah bila berpikir penolakanmu bisa menyakitiku. Itu hanya membakar amarahku. Membunuh keinginanku untuk menjadi manusia. Jangan mengingatkanku dengan jati diriku yang terkutuk. Kau pasti tidak akan seperti ini bila aku manusia sempurna. Mami juga tidak akan pernah berakhir seperti itu!”
Diana gemetaran saat Raphael berdiri. Dia sudah sangat ketakutan sampai seluruh tubuhnya mati rasa, tapi pria itu malah bergegas ke luar kamar. Pintu yang terbanting meluruh bersama air matanya.
“Apa yang sudah kulakukan?” Jemarinya yang bergetar menyentuh wajahnya yang sama dingin dengan kulitnya. Mengerikan. Ia bisa melihat mata Raphael bersinar sekilas. Sangat mengerikan. Diana tahu dampak buruk dari perbuatannya. Tapi dia tidak bisa begitu saja menyerah.
Kulit luar yang indah tapi bernanah di dalam hanya membawa kesengsaraan.
OOOOO
Ternyata benar.
Diana shock sekali saat berhasil menemukan pintu rahasia di kamar Raphael. Tubuhnya menggigil ketakutan ketika terbayang dirinya yang pernah tertidur di kamar ini: tidur yang lelap karena pengaruh aroma lily di bantal.
Air matanya bercampur emosi. Seharusnya malam itu Raphael sudah melakukan hal buruk. Tapi mungkin karena keluarganya berada di atap yang sama, pria itu mengurungkan niat jahatnya.
Mengerikan. Percobaan pertama dan kedua gagal, tapi yang ketiga berhasil berkat bantuan... Stephen.
Diraihnya lilin di atas perapian sebelum bergegas menyusuri lorong rahasia itu. Mungkin saja bisa menemukan jalur untuk melarikan diri. Ia akan pergi sejauh-jauhnya. Mungkin membuat kematian palsu agar tidak ada yang bisa mengganggu hidupnya lagi.
Diana muak. Sudah sangat muak dengan hidupnya.
Tapi...
Kenapa seperti ini?
Ia tidak bisa percaya. Rasanya baru dua puluh detik berjalan dalam lorong ini, tapi sudah berhadapan dengan pintu ke luar. Tidak ada jalur lain. Ini hanya satu arah yang menuju ke... sebuah kamar.
Beberapa lilin yang tersebar di lantai membuatnya bisa melihat kanvas lukisan di mana-mana. Sebuah ranjang hitam tampil terkucilkan dalam keremangan. Ia sudah hendak melangkah maju saat sosok Raphael tertangkap matanya.
Refleks, Diana meniup lilin untuk bersembunyi dalam kegelapan. Jadi lorong ini adalah pintu penghubung? Diamatinya pergerakan pria itu secara cermat---sambil menyembunyikan amarah pada fakta Raphael yang bisa leluasa masuk ke kamar yang di tempatinya sekarang.
Diana urung berbalik saat terlambat menyadari kalau Raphael sedang membuka kemejanya. Ia hanya bisa melihat punggung pria itu, lalu tiba-tiba saja kain yang melapisi kulitnya sudah jatuh ke lantai.
Ia cukup shock. Tapi itu sebelum melihat...
Berasal dari mana semua garis panjang menghitam yang kontras dengan kulit pucat pria itu? Itu... terlalu banyak. Sangat. Diana bahkan tidak bisa menghitungnya lagi---akibat jejak kecil yang tumpang tindih dengan yang besar.
Semua bekas itu adalah bukti dari kulit yang mengelupas. Kulit yang terkoyak paksa.
...bukti penyiksaan. Mirip seperti luka bakar, tapi juga seperti bekas cambukan. Membekas di sekujur kulit bagian atas Raphael dan berwarna hitam kecokelatan, sangat kontras dengan kulit pucatnya.
Mengerikan. Tidak ada kulit yang bersih selain leher, wajah, dan... pergelangan tangan sampai ke ruas jari. Berarti hanya menyisakan tempat yang terlihat saat mengenakan pakaian saja.
Bagaimana bisa seorang bangsawan memiliki banyak bekas luka mengerikan seperti itu? Siapa yang tega melakukan kekejian itu padanya?
"...Kau tidak tidur?"
Bagai kelinci diterkam singa, Diana kehilangan kekuatan tubuhnya. Wajahnya lebih dari pucat. Seharusnya ia tidak melupakan kemampuan pria itu yang bisa melihat dalam kegelapan.
“Keluarlah." Raphael berbalik untuk berhadapan dengan Diana. Ia bisa melihat garis ketakutan di wajah perempuan itu sementara tangannya yang memegang tiang lilin gemetaran. "Aku tidak marah karena kau menemukan pintu rahasia yang menghubungkan kamarku dengan tempat ini dan menyelinap kemari.”
Diana meninggalkan kegelapan dalam langkah pelan. Tersendat-sendat karena lututnya yang lemas. Ketakutan menerornya lebih banyak dari buasanya. “...Aku tidak bermaksud untuk---”
“Kemarilah.”
Diana menelan ludah melihat uluran tangan Raphael. “Aku di sini saja.”
“Kenapa?" Tatapannya dingin. "Apa kau kemari untuk minta maaf? Aku sudah tidak marah lagi dengan perbuatanmu beberapa jam yang lalu.”
Tidak ada pilihan selain menerima uluran tangan Raphael. Dan ketika pria itu berniat mencium dahinya...
"Apa-apa yang terjadi denganmu?"...Diana mencari pengalihan. Birunya berkaca-kaca, mengamati Raphael yang sedang menatapnya datar. Berharap pria itu akan memilih...
"Ini?"
Diana menahan kelegaan karena Raphael memilih menanggapinya. Dia menyusuri garis panjang di tangannya, sementara Diana mengerenyitkan dahi karena tiba-tiba merasa ngilu. Sejujurnya Diana merasa sangat seram karena tubuh Raphael seperti berlubang-lubang. Bahkan kulit budak saja lebih bersih darinya.
"...Hukuman karena aku bertindak seperti manusia."
Apa?
"Siapa... yang menghukummu?" Suaranya bergetar. Daripada hukuman, itu lebih seperti penganiayaan.
"Lord Lemington. Marquess of Wilford kelima."
"Jadi semua ini dari..." Diana tercekat akibat ketidakpercayaannya. "...ayahmu?"
"Iya. Tapi jangan memanggilnya seperti itu lagi. Mami tidak menyukainya."
"Tapi... kenapa?" Tangan Diana gemetaran saat terangkat untuk menyentuh kulit Raphael. Ketika hampir menyentuh sayatan panjang pada bahu sampai pergelangan tangan pria itu, dia tidak sanggup dan menariknya.
"Karena aku sudah bersikap seperti manusia." Raphael mengamati ekspresi terluka Diana---yang seperti ibunya.
"Apa maksudnya---itu?"
"Iblis tidak boleh menangis ataupun merasakan sakit. Tapi aku terus melakukannya dari sejak lahir karena darah manusiaku lebih banyak dari darah iblisku. Hal wajar bila kau sudah menjadi bagian dari banyak generasi."
Gila! "Ja-jadi semua ini dilakukan sejak kau bayi?"
"Tidak. Kehidupanku saat bayi sangat tenang. Tapi kebenciannya pada pertumbuhanku yang lebih condong ke jiwa manusia membuatnya memisahkanku dari Mami. Dia merasa pilihannya mendekatkanku dengan Mami adalah kesalahan besar. Saat itu usiaku dua tahun dan hukuman pertamaku adalah kegelapan di ruang bawah tanah. Aku sangat takut gelap. Tapi aku tidak bisa menangis karena dia akan memukulku."
Mengerikan.
"Beranjak lima tahun, dia mulai mencambuk, memukul, mencekik, dan melemparku. Satu kali dia pernah memukulku dengan lempengan kaca. Kau lihat luka-luka kecil di punggungku. Ini adalah bekas kaca yang menancap di sana. Semakin kencang tangisanku, maka semakin banyak dia menghajarku. Sekarang tidak ada lagi rasa sakit meski kau mengiris kulitku sampai ke tulang."
Sampai akhirnya... perasaan manusiamu juga mati?
"Apa kau menangis, Diana?" Raphael menyentuh basah di bawah mata Diana.
Sangat kejam.
"Jangan menangis melihat keadaanku." Ditutupnya mata Diana menggunakan telapak tangannya. "Jangan seperti Mami yang meratapi nasibku dan itu membangkitkan amarahku. Aku sudah membuatnya menderita, tapi dia tetap memilih merawatku. Dia tidak perduli kalau ada darah mengerikan dalam diriku. Dia hanya perduli bahwa aku adalah puteranya."
Air mata Diana mengalir deras. "Kau terdengar marah, tapi juga seakan berharap aku bisa seperti ibumu. Kau sendiri yang mengatakan tidak masalah tanpa anak."
Aku... semakin tidak ingin puteraku menderita seperti ayahnya. Tidak ada yang bisa menjanjikan Raphael tidak akan berubah seperti ayahnya.
"...Viviane adalah anak kita." Raphael menyerah. Diana dan ibunya memang berbeda. Ia mencium matanya sebelum menatapnya. "Mau ikut denganku?"
Deg! "Kemana?" Ke neraka?
"Bukan tempat yang buruk." Ia ingin tersenyum agar Diana merasa aman, bila saja senyumannya tidak menyeramkan.
Mereka menyusuri kegelapan koridor. Diana yang buta hanya bisa pasrah pada genggaman Raphael.
"Apa yang kita lakukan di sini?" Setelah beberapa puluh detik berjalan, mereka berhenti dan berdiri dalam kegelapan. Diana bisa merasakan tangannya berkeringat dan sangat ingin melepaskan diri, tapi genggaman Raphael seakan sudah menempel dengan kulitnya. Apa yang sebenarnya ingin dilakukannya!
"Orang itu membawa kemarahan karena aku sudah membunuh tubuh manusianya. Jiwaku tidak akan mati, tapi tubuh ini bisa."
Raphael mengamati Diana yang terkejut. Birunya membola dengan sangat cantik. Memberitahu rahasia ini pada manusia yang belum bisa menerima dirinya adalah tindakan bunuh diri. Tapi berbeda bila Raphael berharap Diana membunuhnya. Ibunya akan mati suatu hari nanti. Ia tidak bisa hidup lama tanpa seseorang yang bisa membimbingnya.
Raphael tidak ingin kehilangan sisa manusianya karena kesepian.
"Sebelum pergi, dia memperingatiku untuk selalu menjaga hal berharga dalam hidupku."
Diana merinding. Memiliki hubungan dengan keluarga iblis tidak pernah membias dalam kepalanya. Bahkan ia masih merasa kisah Raphael tidak nyata. Tapi dirinya malah semakin tenggelam jauh. Tiba-tiba dentang sayup dari jam dua belas malam merasuk ke pendengarannya saat samar-sama cahaya jatuh ke matanya---ketika suara gerendel pintu bergema pelan. Ia masuk bersama keraguan sebelum menjadi tertegun.
"Jadi aku selalu kemari sebelum atau tepat pukul dua belas. Untuk menjaga Mami sampai pukul satu nanti.” Raphael mengusap wajah Lady Wilford dan Viviane sambil menatap Diana. “Sekarang hal berhargaku bertambah dua. Viviane dan Diana.”
Diana bisa merasakan jemari Raphael merayap ke pinggangnya. Memeluknya dengan sangat erat sampai tubuh mereka tak berjarak. Matanya tertunduk saat tengkuknya meremang menerima tatapan Raphael. Bukan tatapan cinta tapi mati.
“Aku akan mempertahankan kalian." Kalimat yang seharusnya terdengar manis, malah memberi perasaan horror pada Diana. Ini gila! Di satu sisi Diana merasa luluh mendengar semua kisah sedih Raphael, tapi di sisi lain ia sangat ingin membunuhnya.
OOOOO
“Ada hadiah atas nama Anda, Madam.” Pagi-pagi sekali, Mr. Liam, kepala pelayan Witton House memberikan nampan perak berisi kotak tipis yang dibalut kain hitam ke kamar. Diana bangun dengan wajah mengerikan karena tidur dalam ketakutan---setelah Raphael memeluknya sepanjang malam.
“Dari siapa?”
“Mr. Pedster, Miss Peto, dan Miss Valles.”
Dahi Diana mengerenyit. Ada tiga kotak yang semuanya berlapis kain hitam. Henry Pedster, Rossa Peto, dan Talissa Tiana Valles adalah nama pengirimnya. Semuanya berukuran sama dan terlihat seperti... buku.
"Apa kau mengenal mereka?" Tanya Raphael yang sudah berdiri di samping Diana. "Hadiah ini datang ke Witton House sehari sebelum pernikahan." Ia melihat Liam. "Kau bisa pergi."
"Saya permisi."
Diana menggeleng seraya memperhatikan punggung Mr. Liam. Raphael sudah memberitahu bahwa semua pekerja manusia di keluarga Lemington tidak ada yang mengetahui jati diri Raphael ataupun para Lord terdahulu, termasuk Julia.
"Keluargaku tidak memiliki kenalan dengan nama keluarga Pedster. Mengenai keluarga baronet, Peto, kami tidak terlalu dekat sampai puterinya mengirimiku hadiah." Ia berpikir apa Sir Peto memiliki puteri bernama Rossa. "Lalu Valles, Papa tidak terlalu banyak mengenal keluarga Perancis. Maksudku sama seperti kasus Peto."
Raphael mengamati kebingungan di wajah Diana. Ternyata dia masih belum menyadarinya. "Coba kau buka hadiahnya."
Diana melakukannya. Ia membuka kado pertama dari Mr. Pedster. "Zac's Tale," gumamnya tak percaya.
"Kau menyukainya? Aku juga memilikinya."
Diana tidak mengindahkan perkataan Raphael, hanya langsung membuka hadiah dari Peto dan Valles. Kemudian menjadi berang ketika menemukan buku yang sama. "Apa-apaan ini?" Dibantingnya ketiga hadiah itu. Siapa yang berani mempermainkannya seperti ini? Satu-satunya yang mengetahui penyakitnya hanya Stephen.
Raphael memungut semua buku itu dan akan membukanya kalau saja tidak direbut Diana. "Jangan," cegahnya saat isterinya itu hendak melempar semuanya ke perapian.
"Ini semua adalah ulah Stephen." Suara Diana meninggi. "Tidak ada yang mengetahui penyakitku selain dia."
"Aku mungkin tidak mengenal Bosley. Tapi aku bisa melihat bahwa dia adalah seorang kakak yang sangat perduli dengan semua adik-adiknya."
Diana mendengus. "Tentu saja kau membelanya, Wilford. Aku tidak akan berada di sini kalau bukan karena bantuannya. Apa aku benar, Sir?"
"Kenapa kau marah hanya karena dia mengirimkan buku ini?" Diana tidak bisa berpikir jernih karena emosi. Raphael harus memancingnya lagi. "Bukankah kisah Zac sangat mengagumkan?"
“Mengagumkan?” Telinga Diana panas. Beraninya meremehkan penyakit seseorang!
“Iya. Dia bisa menyembunyikan penyakitnya dengan sangat baik. Dia bahkan mendapatkan pasangan yang bisa menerima kekurangannya. Meski akhirnya tragis, setidaknya dia masih bisa merasakan kebahagiaan."
Tinjunya mengepal erat. "Mungkin hanya kau yang menganggap kisah Zacry mengagumkan. Ini memang hanya kisah fiksi, tapi ada banyak Zacry di luar sana dan kehidupan mereka jauh dari kata layak."
"Zacry bisa menjadi anagram dari crazy." Raphael menyentuh bahu Diana yang tegang. "Tapi definisi gila bagiku adalah saat kau memilih buruk padahal masih mampu berpikir bahwa itu tidak benar. Manusia yang berbuat jahat tanpa kehilangan akalnya adalah orang gila sebenarnya. Dan kau tidak seperti itu, Diana."
Diana menatap Raphael tak percaya. Perasaan haru seolah membasuh amarahnya. Pria itu memberikan hal yang paling diinginkannya: diterima apa adanya. Tapi kenapa harus Raphael yang menerima kekurangannya? Kenapa Raphael harus iblis? Zacry dan iblis, terdengar lebih dari mimpi buruk. Tapi... air matanya jatuh saat tangannya malah bergerak memeluk pria itu. Ia bersandar tanpa rasa takut dan keraguan. Mungkin... ada cara untuk memperbaiki diri Raphael.
"...Membunuh keinginanku untuk menjadi manusia."
"...karena darah manusiaku lebih banyak dari darah iblisku."
Mungkin... sebenarnya raphael bisa menjadi manusia sempurna dengan mengembalikan perasaannya.
"Terima kasih, Diana." Raphael tidak berhenti menciumi kepala Diana ketika menjadi sangat tidak sabar untuk melihat masa depan karena perempuan itu tersenyum sangat tulus padanya.
Ya. Diana akan mencoba melakukannya: bersikap lunak demi mengubah Raphael. Dia hanya keturunan iblis... yang juga manusia. Selain demi bertahan hidup, ini juga demi kebaikan Viviane. Tapi bila Raphael tidak bisa berubah, Diana akan... membunuh tubuh manusianya.
"Diana," Raphael hampir lupa dengan tujuan awalnya membahas Zacry. "Apa ada Ryder dalam nama Stephen?"
"Iya," timpal Diana lirih sebelum terhenyak saat nama Henry Pedster terlintas dalam kepalanya. God! Henry Pedster... adalah Stephen Ryder. Kenapa ia bisa melewatkan itu? Emosi yang menguasainya memperlambat respon otaknya. Jadi buku terkutuk ini benar darinya!
Sementara Raphael sudah membuka salah satu buku dari Stephen. Bibirnya membentuk senyum tipis saat menemukan tulisan tangan di lembar pertamanya. Diusapnya kepala Diana penuh kelembutan. "Buku ini memiliki banyak hal menarik. Bukankah Bosley benar-benar kakak yang baik?"
Raphael sudah bertekad. Diana harus mengetahui yang sebenarnya---sebagai tanda terima kasih karena sudah membuka hati.
"Apa maksudmu?" Suara Diana meninggi. Iblis memang hanya bisa menilai baik orang jahat.
Tidak ada jawaban, pria itu hanya menyodorkan buku tersebut. Diana meraihnya dan membaca catatan kecil Stephen. "Zacry Verdiane." Ia keheranan karena nama Zac hanya Zacry. Kemudian melanjutkannya, "Aku menyukai anagram karena dia mampu menyembunyikan kebenaran, bahkan dalam sebuah nama sekalipun. Sebuah nama menyimpan makna, tapi anagram menyimpan kebenaran."
Dahinya mengerenyit. Ini tulisan baru mengingat dulu tidak ada. Kemudian matanya membola. Keterkejutan yang merambat ke wajahnya membentuk ekspresi aneh yang mengerikan. Diana terlalu shock sampai merasa lantai yang dipijaknya bergoyang.
Ini...
Stephen. Apa maksud semua ini!
.
.
.
||End||
Jadi gimana? Komentar sangat ditunggu buat yang terakhir ini :)
Sebenarnya Moon merasa selalu ada yang kurang, jadi beberapa kali direvisi.
Intinya buku 1 ditutup dengan Diana yang memutuskan melunak dengan Raphael. Dan terbukanya beberapa rahasia penting (ada yang tahu?)
Diunggu lanjutannya di buku dua, ya. :) Sepertinya akan tamat di buku 2.
Maafkan semua kekurangan dan kebingungannya. Scarlett & Lord Etton dan Prince's Wife juga sudah update silahkan mampir. Terima kasih. Love you All.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top