Bab 4 - Ancaman atau Keputusan

Shopee : Mellyana Mel/ mellyanadhianisfa21

***

Muslimah memiliki kehormatan tinggi jika kamu mampu menjaganya dengan baik.

-Selamat membaca Diaku Imamku -

***

Bel istirahat kedua berbunyi nyaring, guru mata pelajaran bahasa Indonesia pun mengucap salam untuk mengakhiri pembelajaran. Aisya menyengol bahu kiri Fira yang masih asik berkirim pesan dengan seseorang.

"Hust, ikut gue ke kantin gak?"

Fira tidak langsung merespon, ia senyum-senyum tak menentu sambil mengetik dilayar ponsel.

"Woy, ikut kagak?" tanya Aisya naik satu oktaf.

Fira menatap Aisya sekilas, lalu fokus lagi ke layar smartphone. "Hah? Kemana?"

"Ke kantin."

Sahabat Aisya itu mengunci ponsel kamudian menyisir rambut dengan jemari tangan. "Yaudah, ayo."

"Pinjem HP dong." Baru Aisya menyentuk ponsel, gadis itu langsung menariknya lantas memasukan ke saku baju.

"Pelit banget sih lo sekarang!"

Fira menyengir kuda.

Kantin Mbak Pipit ramai oleh siswa kelas sebelas. Hal itu membuat Fira ogah-ogahan, apalagi berdesakan dengan lelaki kucel yang habis olahraga. Pasti keringatnya bau!

"Gue gak jadi deh."

"Kenapa?"

"Tuh," pandangan Fira menjuru kepada anak kelas sebelas yang masih mengenakan seragam oleh raga.

Aisya menekuk lengan tangan dengan gaya sok-sokan. "Ah, itu mah keciiil." Kemudian ia maju ke depan.

"Woy, minggir!" serunya kepada gerombolan lelaki yang berdesakan mengambil pesanan soto. Semua mata yang ada di kantin menatap Aisya ilfeel, cewek kok kaya gitu!

"Minggir gak lo?" tegur Aisya galak.

"Santai dong, Cantik." Namanya Burhan, dia pimpinan geng motor jadul dulu kelas sebelas. Di sekolah Aisya gang cowok terbagi tiga golongan. Pertama, bermobil. Kedua, bermotor yang harganya puluhan hingga ratusan juta, dan yang ketiga motor zaman dulu yang kerap disingkat jadoel.

Aisya semakin menaikan lekuan langan baju. "Apa lo berani sama gue?!" Mata Aisya menatap Burhan tajam, setajam silet.

Gerombolan Burhan meyaksikan adu mulut keduanya. Mereka yakin ini akan menjadi tontonan bernilai tinggi. Dari kejauhan Fira terus meneriaki Aisya agar mundur saja. Namanya juga Fira, paling takut dengan perkelahian. Bisa dibilang dia itu cewek banget, sementara Aisya cewek jadi-jadian.

"Cewek cantik kok galak, sini dong sama Abang aja. Mau pesen apa, soto kan?" Burhan menarik kursi, menepuk pelan agar Aisya mau duduk di sana.

Aisya meludah di depan Burhan. Lelaki itu lantas berdiri, matanya memerah, darahnya sudah mendidih. Tiba-tiba tangan lelaki itu menampar pipi Aisya keras. Tidak tinggal diam, Aisya pun mengeluarkan jurus bela diri yang dulu pernah ia tekuni. Berkelahian terjadi, teman Burhan berusaha memisahkan, sedangkan Fira berteriak meminta tolong.

Radit datang dari ruang OSIS. Dia segera memangil satpam. Hanya dalam hitungan menit, satpam sekolah datang untuk memisahkan Burhan dan Aisya. Sisi kanan bibir Burhan mengeluarkan darah, pukulan Aisya tidak kalah kuat dengan pukulan laki-laki.

Setelah mereka terpisah, Bu Lina membawa Aisya ke ruang Bimbingan konseling.

"Sebenarnya ada apa antara kamu dan Burhan?" tanya Bu Lina lembut, dengan bahasa yang lebih bersahabat, karena BK bukan polisi sekolah, melainkan sahabat siswa.

"Gak ada apa-apa," jawab Aisya singkat.

Bu Lina menggeng lemah seraya menatap Radit. Lelaki itu hanya merunduk malu.

"Gak akan ada asap kalau gak ada api."

"Apinya Burhan bukan saya."

"Iya. Kenapa? Kenapa bisa terjadi perkelahian?"

"Burhan ngerendahin saya."

Bu Lina membenarkan duduknya. "Muslimah memiliki kehormatan tinggi jika kamu mampu menjaganya dengan baik."

"Masih lama gak sih, Bu?" Aisya gatal dengan ceramahan Lina.

"Aisya!" tegur Radit. Dia ingin sekali saja Aisya nurut. Lelaki itu tidak ingin namanya jatuh di depan guru gagara kekasihnya. Dia capek dikatai kok mau sih pacaran sama cewek jadi-jadian?

Gadis itu memandang Radit sekilas sambil mengusap pipinya yang masih terasa perih.

Lina beranjak dari duduk, mengambil map dari meja kerja. "Surat Peringatan dan panggilan untuk orang tua, kamu bisa belajar di rumah selama tiga hari. Renungkan kesalahanmu sepenuh hati, pikirkan apa yang harus dilakukan kedapannya agar kamu menjadi pribadi yang lebih baik."

"Terima kasih, Bu." Bukan Aisya yang mengucapkan terima kasih, tetapi Radit. Gadis itu justru pergi tanpa pamit setelah menerima map coklat berisi surat peringatan.

Radit mengejar Aisya yang sudah hilang di balik koridor. Saat berada dibelokan ternyata gadis itu duduk di kursi koridor. Dia tersenyum kepada Radit dan menyuruh laki-laki itu duduk.

Radit membuang napas kasar. "Sampai kapan?"

"Sampai kapan apa?"

"Mau kayak gini?"

"Gini gimana sih, Sayang?"

"Aku capek, Sya."

Aisya menaikan satu alisnya.

"Aku mau putus."

Kalimat Radit seperti petir disiang bolong. Menyambar kesadarannya hebat. Lelaki yang berstatus menjadi pacarnya hampir tiga tahun itu, memutuskan hubungannya, sepihak.

"Aku gak mau," tegas Aisya.

"Gak ada yang bisa kita pertahanin, Sya."

"Tapi kenapa?"

Radis menyentuh tangan Aisya, namun Aisya menolah—terlanjur kecewa dengan Radit. "Kamu akan mendapatkan yang lebih baik." Kemudian ia berlalu pergi.

Sedih, kecewa, gundah, penuh tanya itulah rasa dari sekian banyak rasa yang tidak bisa dia deskripsikan. Gadis itu menangis dikursi koridor dekat kelasnya. Satu tangannya mengusap air mata dan yang satunya meremas surat peringatan.

Dari balik koridor dari tempat Aisya berdiri, sesorang memandang gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan.

***

Aisya pulang dengan mata sembab, dengan malas ia melepas sepatu dari teras kemudian masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah tampak Hafis yang bersiap ke sekolah untuk extra kulikuler, di belakangnya Alysa membawa pakaian kotor untuk dicuci.

"Assalamualaikum..." Salam Aisya malas.

Hafis dan Alysa menjawab kompak. "Waalaikumsalam..."

"Kenapa, Kak?" Hafis sebenarnya pendiam, tapi sediam-diamnya Hafis ia tidak bisa mengabaikan sang kakak. Apalagi keadaan Aisya sepertinya sedang tidak baik.

"Gak papa," jawabnya singkat.

"Aisya!!!" Suara lantang Haris muncul dari lantai dua.

Gadis berhidung mancung itu menatap kehadiran sang papa. "Kenapa, Pa?" tanya Aisya to the point, malas basa-basi. Dia ingin segera mengunci pintu kamar, berdiam di kamar, sambil menangis atau membuang barang-barang pemberian Radit. Rasanya hidup tak berwarna lagi.

"Kamu berkelahi?"

Aisya mengganguk lemah.

"Kamu berpacaran?!" kali ini kalimat Haris sampai menggema ke seluruh ruang tengah. Kepala Aisya refleks menatap sang papa. Matanya membulat sempurna. Alysa berlari ke samping Haris, mengusap lembut punggung sang suami agar tidak emosi. "JAWAB PAPA!"

Peraturan di rumah ini adalah pacaran, dan jika Aisya dan Hafis sampai melakukan itu mereka akan segera dipenjara.

Aisya tidak bisa menjawab.

"Lulus SMA kamu masuk pesantren." Keputusan Haris final.

"Ayo, Pa, masuk," bujuk Alysa daripada emosi Haris semakin membludak.

Di ruang tengah Aisya masih mematung. Ia ingin dunia berhenti saja, banyak hal mengesalkan yang terjadi hari ini.

Hafis berlari kepada kakak satu-satunya. Tangannya memeluk tubuh Aisya yang masih membeku.

"Kakak." Walau hanya dengan satu panggilan, Aiysa paham maksud Hafis. Dia berlutut, lalu memeluk Hafis seraya menangis melepaskan segala kesedihan yang semakin menyesakan rongga dada.

Terima kasih sudah membaca Diaku Imamku

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top