Bab 2 - Persidangan Menyebalkan

Selamat membaca Diaku Imamku

***

Gadis belasan tahun itu mendapat pandangan aneh dari seisi penghuni kantor guru. Benar saja, catatan kriminal di sekolah selama 3 bulan saja sudah menumpuk setinggi Gunung Everest. Dua puluh point didapatkan dari ketahuan cabut jam pelajaran, terlambat, bolos sekolah, menaiki pagar sekolah, bolos upacara, tidak mengenakan atribut lengkap, bermain ponsel saat jam pelajaran berlangsung, sampai yang terparah melawan guru.

Dan pagi ini, ia sudah berdiri ditengah-tengah ruang guru untuk mempertanggung jawabkan ulahnya; meninju guru pengganti Fisika hingga pipi beliau memar kebiruan. Kejadian itu terjadi saat si guru killer menyeret Aisya ke ruang BK. Begitu sampai ditempat sepi tiba-tiba Aisya meninju guru itu. Alhasil sekarang dia berdiri di depan guru-guru.

"Bajumu terlalu kecil. Kamu pakai baju adekmu ya?" Tangan Bu Lina menyilang di depan dada.

"Adek gue cowok Bu."

"Sama guru kalau bicara yang sopan. Saya, gue, gue!"

"Kamu kalau sama guru yang sopan. Sudah kamu apakan Pak Alif? " Itu suara Bu Ratna-wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.

Gadis bernama Aisya Ayyana itu melihat sekeliling ruangan. Tidak memperdulikan perkataan Bu Lina dan Bu Ratna.

"Ini surat untuk orang tuamu," kata Bu Lina sangking bingungnya bagaimana lagi cara mengatasi kenakalan gadis berkulit kuning langsat itu.

Tanpa permisi, Aisya meninggalkan ruang guru sembari mengambil amplop coklat untuk orang tuanya. Amplop coklat yang sudah seperti makanan sehari-hari.

Ia memutar bola mata jengah ketika dihadiahi tatapan tidak suka dari para guru. Tatapan memvonis Aisya tidak punya etika.

Aisya mana peduli kata orang, apa yang membuatnya bahagia, akan ia lakukan. Tanpa memperdulikan nilai dan norma maupun baik buruknya.

Di kelas, guru pengampu mata pelajaran kedua mempersilahkan Aisya duduk setelah gadis bermata coklat itu menyerahkan lembar kecil dari BK-Kertas izin masuk kelas.

Aisya duduk malas, menatap keluar jendela lalu menyumpal telinganya dengan earphone. Berhubung memakai hijab guru itu pasti tidak tahu kalau Aisya menyumpal tekinga dengan barang yang sering dijadikan incaran oleh para guru.

Dari kejauhan, Aisya merayapi lapangan basket. Tempat favorit Radit, kapten basket yang menjadi cinta pertamanya.

Sepasang mata Aisya berbinar begitu berhasil menemukan sosok yang ia cari. Lelaki itu tersenyum ke arahnya. Senyuman memabukan yang selalu mebuat hati gadis itu berbunga-bunga.

Seantero sekolah sudah tahu siapa Aisya dan siapa Radit. Keduanya menjadi pasangan paling diidam-idamkan oleh para remaja SMA. Mereka dapat menjalin hubungan hormonis beberapa tahun, walau keduanya bagai hitam dan putih.

Sudah menjadi rahasia umum jika Radit adalah anak yang baik. Berbalik 180 derajat dengan sifat Aisya. Jabatan ketua OSIS menambah kesan kece pada lelaki itu. Tidak hanya supel, Radit juga pandai. Juara Olimpiade Sains Internasional di Australia tahun lalu. Sangat jauh dari Aisya yang selalu mendapatkan nilai merah di rapot.

"Pak, gue mau izin ketemu Radit di lapangan basket." Aisya melangkah meninggalkan kelas.

"Saya tidak mengizinkan kamu keluar."

Aisya membalikkan badan. "Serah deh, gue gak peduli Pak. Yang penting gue udah izin. Soal ngizinin atau enggak, itu hak Bapak. Ets, tapi jangan ditulis alfa di buku absen. Gue izin Pak. Gue izin ya. I Z I N."

Pak Ridwan naik pitam. "Duduk Aisya!"

"Gini loh Pak. Ibarat maaf, yang dimintai maaf mau memaafkan atau enggak, itu urusan dia. Yang terpenting, pihak satunya sudah menggugurkan kewajiban untuk meminta maaf. Nah, gue juga gitu Pak, menunaikan kewajiban untuk izin kepada guru ketika ingin pergi dari kelas, soal ngizinin atau enggak. Bodo deh." Aisya meninggalkan kelas tanpa permisi. Berlari kecil menuju kantin sekolah.

"Keluar dari kelas lagi?" tanya Mbak Pipit pemilik kantin langanan Aisya saat kabur jam pelajaran. Mbak Pipit paling hafal sifat Aisya. Walau begitu ia tidak pernah menyerah menasihati Aisya. Mbak Pipit kasihan kalau Aisya dipanggil guru-guru. Pernah Aisya diseret Bu Lina dari kantin hingga ruang wakil kepada sekolah gagara ketahuan makan soto di kantin Mbak Pipit saat jam pelajaran Seni Rupa.

Aisya tidak menjawab. Dia hanya nyengir kuda tanpa dosa.

"Balik ke kelas aja. Nanti dimarahi Bu Lina lagi. Pelajaran siapa tadi?"

"Pak Ridwan, Mbak." Aisya mengambil begitu saja mendoan. Kalau di rumah pasti dia sudah diomeli Alysa karena makan sambil berdiri.

Mbak Pipit geleng-geleng kepala. "Makan sambil duduk."

"Udah habis Mbak. Semuanya berapa?"

"Lima ribu."

Aisya membayar dengan selembar uang sepuluh ribuan. Ia melepas jilbab didepan cermin untuk membenarkan tali rambut. Begitulah Aisya, belum bisa istiqomah mengenakan hijab, walau mulut Alysa sudah berbusa untuk menasihati.

"Kalau make hijab itu jangan dilepas pake, nanti dibicaran orang kedus, kerudung dusta."

"Haha... Makasih ya Mbak." Aisya tidak menangapi banyak nasihat Mbak Pipit. Tangannya memasukan uang kembalian ke dalam saku.

Usai membeli 2 botol air mineral, Aisya menghampiri Radit yang masih separing basket. Ia tersenyum ketika melihat Radit memasukan benda bulat berwarna orange itu ke dalam ring dengan indah.

"Radit." Aisya memanggil.

Wajah lelah Radit berangsur sumringah setelah mengetahui kehadiran sang kekasih, ia berlari ke arah Aisya.

"Untukmu."

"Thanks Sayang." Radit mengambil air meneral yang diberikan Aisya kemudian mengarahkan ke bibir merah nan tipisnya. Radit mengibaskan rambutnya yang basah akan keringat, kesan cool semakin terpancar dari wajah tampannya. Aisya terkekeh melihat tingkah sok cool Radit. Ia duduk di samping Aisya.

"Kok bisa di sini?"

"Gue kabur," Kekeh Aisya.

"Kebiasaan," Keluh Radit. "Jangan kabur terus udah kelas dua belas mau Ujian Nasional, gak takut soal essay?"

"Kan buat ngeliat kamu. Gak takut, takut itu sama Allah."

"Iya in aja, yang penting kamu bahagia."

"Cye, Radit romantis banget sih."

"Kabur kelas siapa?"

"Pak Ridwan."

"Nekat banget!"

"Haha."

"Aku harus olah raga lagi. Nanti dimarahi Pak Yuri." Pak Yuri adalah guru olahraga kelas dua belas, sebenarnya Pak Yuri bukan tipe guru galak, tetapi selaku murid kesayangan, Radit tidak enak berlaku seenak hati.

"Cye Radit sama Aisya," ejek Pak Yuri sambil terkekeh. Dari kejauhan teman cewek yang sekelas dengan Radit memandang keduanya tidak suka.

"Apa sih Pak." Pipi Aisya memerah.

"Dit itu temanmu yang cewek tolong diajari."

"Baik Pak. Siap."

Pak Yuri melangkah pergi menuju tengah lapangan.

"Sayang aku pergi dulu ya," pamitnya sambil tersenyum.

"Dada..." tangan Aisya melampai sambil tersenyum cerah. Setelah rindunya terobati gadis itu melanggang menuju kantin Mbak Pipit yang tak jauh dari lapangan basket. Kuah soto masakan Mbak Pipit sukses membuat cacingnya demo.

Ketika berbalik si guru killer menatapnya dingin. "Berjilbab kok pacaran!"

Aisya menatap kesal lelaki itu. "Hidup hidup gue! Gak usah banyak ngatur lo!" kemudian ia pergi meninggalkan Pak Alif.

Alif masih menatap gadis itu hingga hilang ditelan pintu kantin. Wajahnya datar.

"Pak Alif," sapa gerombolan siswa yang keganjenan melihat ketampanan Alif. Alif menjawab singkat sapaan lantas memasukan tangan ke dalam saku sambil berjalan menuju ruang guru.

Sampai disini apakah teman teman beson atau bagaiamana?

Jawab ya...

Jangan lupa vote juga :)

Terima kasih sudah membaca Diaku Imamku.

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top