#7 After Confession

“Bila diminta untuk memilih apa yang sangat diinginkan sekarang, maka aku akan memilih bahumu. Bahu untukku bersandar, meluapkan segala keluh kesah selain pada-Nya. Sayangnya, kita tidak diperbolehkan untuk berandai-andai bukan? ~Afifah

**

Secangkir white cappuccino hangat tengah menemani aktifitas seorang wanita di meja kerjanya. Tatapannya sangatlah serius. Jari jemarinya lihai bergerak ke segala arah hingga menampilkan sebuah kata pada layar berwarna hitam. Layar yang selalu menemani hampir di sepanjang harinya.

Derasnya suara hujan tak mampu mengusik fokusnya. Bahkan percakapan teman sekantornya pun tak membuatnya berhenti hanya sekedar menanggapi. Sesekali ia mengerutkan keningnya. Tak puas dengan hasil pekerjaannya.

Perempuan itu menghela nafas, tangan kirinya bergerak untuk mengambil cangkir, namun tatapannya masih tertuju pada dua layar di depannya. Kini tangan kirinya mendekatkan benda itu pada tangan kanannya.

Saat cangkir itu mengenai bibirnya. Kedua alisnya saling bertautan dan pandangannya pun beralih mengarah ke dalam cangkir. Manik matanya kemudian memindai sekeliling ruangan. Hanya satu orang yang dicurigainya. Tatapannya mengunci pada sang target. Tajam.

Merasa ada yang memperhatikannya dengan tajam. Ia menghentikan sejenak pekerjaannya dan mengalihkan pandangannya menatap sosok perempuan. Alisnya terangkat satu. Si perempuan yang mengerti arti tatapan laki-laki itu segera memperlihatkan isi cangkir padanya.

Laki-laki itu malah menampilkan senyum bulan sabit di kedua matanya dan bergumam pelan, “Haus soalnya, hehehe.”

Si wanita yang mulai jengkel dengan kelakuan temannya itu, hanya bisa mengeraskan rahangnya. Dirinya tak ingin berdebat hanya karena masalah sepele. Sudah cukup hari-harinya dipenuhi dengan kejengkelan lainnya.

Wanita itu memejamkan sejenak matanya, mengontrol emosi. Beberapa hari ini emosinya mudah sekali naik.

“Biar aku yang buatkan lagi minumnya, Fa,” tawar si pelaku.

Afifah menatapnya sekilas.

Serious? Tumben Mas Ian mau ngeganti apa yang dia minum?’ batin Afifah.

“Serius aku Fa,” seolah Raihan tahu isi pikiran Afifah, “sini cangkirnya.”

Afifah masih tak bergeming.

“Yaudah, aku pake cangkir yang baru aja kalo gitu,” ucap Raihan saat akan melangkah menuju pantry.

“Ini,” jawab Afifah.

Selang 20 menit. Afifah baru menyadari bahwa cangkirnya kembali terisi. Pekerjaannya pun telah selesai. Ia mengambil cangkir itu dan meminumnya.

“Kok coklat sih Mas?” tanya Afifah yang sangat tak begitu menyukai minuman jenis coklat baik itu susu coklat, coklat hangat, apapun yang berbau coklat.

“Abis white cappucinonya. Kalo aku kasih moccacino, kopi hitam, atau white coffee. Kamu mana mau kan?” jelas Raihan tanpa penatap Afifah.

“Susu putih juga abis, belum Raina beli. Yang ada tinggal coklat sama teh. Tapi gulanya nggak ada. Kamu juga mana mau minum teh tawar. Air putih? Masa aku ganti minuman yang aku minum tadi dengan air putih, yang ada kamu bakal mencak-mencak.

“Orang masih ada kok. Tadi pagi perasaan masih banyak pas aku buat,” Afifah meragukan penjelasan Raihan.

“Lihat saja sana,” tantang Raihan. “Makanya jangan pake perasaan, kalo melihat sesuatu itu pakenya mata, Fa.”

Afifah segera menuju pantry, mengecek kebenaran. Saat keluar dari ruangan itu, dirinya masih diliputi dengan tanda tanya. Dimanakah keberadaan white cappuccino kesukaannya? Pasalnya Raina tak mungkin melupakan kopi kesukaannya itu.

“Gimana?” tanya Raihan saat mendapati wajah kebingungan Afifah.

“Nggak ada, abis,” jawab Afifah lesu.

See?” Raihan menanggapi perkataan Afifah. Afifah mengangkat bahu.

Daripada pusing memikirkan keberadaan white cappuccino. Afifah mendekat ke arah Ikbal.

“Sibuk Mas?” tanya Afifah yang sudah duduk di sebelah kiri Ikbal.

“Oh… Enggak kok, kenapa Fa?”

“Hehe, main PES yuk atau nggak Counter Strike,” pinta Afifah. Ikbal segera mengambil joystick yang berada di dalam laci meja kerjanya.

“PES aja ya, kalo Counter Strike nggak seru kalo nggak pake suara,” bisik Ikbal agar tak terdengar Raihan yang berada di sisi kanannya agak serong.
Afifah membentuk huruf o pada jari tangannya.

Sementara Raihan yang sedikit mendengar bisikan-bisikan kecil. Segera memiringkan tubuhnya ke sebelah kiri. Menatap dua makhluk yang sedang memegang joystick sembari sesekali tertawa.

“Mana kerjaan kalian?” sahut Raihan sengaja membuyarkan konsentrasi mereka.

“Udah aku simpan di folder sharing,” ucap Afifah dan Ikbal bersamaan tanpa menatap sang penanya.

“Kurang jauh Fa,” komentar Raihan melihat jarak tempat duduk antara Afifah dan Ikbal yang begitu dekat menurut pandangan Raihan.

“Udah satu meter Mas Ian,” jawab Afifah yang masih asyik bermain PES.

“Kurang jauh,” tambah Raihan.
Afifah melirik sekilas Raihan kemudian menarik kursinya sedikit lebih jauh dari sebelumnya.

“Puas?” tanya Afifah.

“Masih kurang. Sampai deket pintu pantry.”

Afifah yang mendengar ocehan Raihan. Segera mempause games yang dimainkannya. Menatap tajam Raihan. Dan sedikit membanting joystick yang dipegangnya ke atas meja. Kemudian berlalu meninggalkan mereka.

“Mau kemana?” Raihan kembali bersuara.

“Wudhu, biar setan-setannya pada hilang,” jawab Afifah.

“Lu, iseng banget sih jadi orang Rai,” sahut Ikbal. Raihan mengangkat kedua bahunya tak acuh. Ikbal menggelengkan kepalanya.

**

“Jemput Raina dulu ya, nggak apa-apa kan?” tanya Raihan dari balik kemudi mobil yang dikendarainya.

Raina mendapat informasi kuliah dadakan jam 10 pagi hingga sore. Jadi sesaat baru tiba di kantor, Raihan segera mengantar adik kesayangannya itu menuju kampus yang berada di Kota Udang. Sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Mangga.

Karena arah dan kampus Raina satu arah, maka Raihan lebih memilih menjemput Raina terlebih dahulu. Sebab bila harus mengantar Afifah dulu, maka Raina akan lama menunggu.

“Hemm,” jawab Afifah singkat.

Mobilpun melaju membelah derasnya hujan.

“Lagi banyak pikiran?”

"Enggak kok," jawab Afifah singkat, pandangannya menatap lurus jalanan di depan.

"Ayah udah cerita," kali ini Raihan memulai perbincangan dengan nada yang lebih lembut.

"Emang ya, nggak bakal ada rahasia lagi diantara keluarga kita," jawab Afifah sarkastik.

"Afifah... Bukan gitu maksudnya Ayah," bela Raihan karena sudah tahu arah perbincangan yang Afifah maksud.

"Ayah cuman mau kamu bahagia. Kamu berhak memilih, bukan lagi karena rasa tanggungjawabmu padanya."

"Ayah, Bunda, bahkan Abang pun pasti senang mendengar kabar bahwa akan ada seseorang yang akan menggenapkan agamamu."

Mendengar kata Abang membuat Afifah menegang seketika. Tatapannya tiba-tiba kosong. Tangannya berubah menjadi dingin seketika.

Raihan yang menyadari perubahan raut muka Afifah segera meminta maaf. Dirinya kelepasan menyebutkan kata yang sangat dihindari olehnya.

"Fa, maaf aku nggak sengaja," sesal Raihan. Afifah hanya tersenyum menjawabnya.

Afifah benar-benar sudah tak memiliki tenaga lagi. Mungkin hari ini adalah puncaknya. Sebulan setelah Fatih mengungkapkan perasaannya. Afifah telah menceritakan hal itu pada keluarganya, terlebih Ayah dan Bunda Afifah.

Mendengar hal itu, sang ayah terlihat bahagia. Pertanyaan berulangpun kembali ditanyakannya. Lagi-lagi Afifah harus sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Sedangkan sang bunda berbanding terbalik. Dilihat dari raut wajahnya saja sudah menampakkan ketidaksetujuannya. Tak lain karena masalah pekerjaan Fatih. Fatih masih belum memiliki pekerjaan tetap sebab dirinya masih berstatus sebagai mahasiswa program master.

Selain masalah itu, pikiran Afifah pun harus terbagi lagi untuk adik-adiknya. Alya -adik pertamanya sebelum Aidan- hampir menyerah untuk menyelesaikan skripsinya.

Aidan, baru kali ini dirinya terlibat masalah di sekolah saat ujian sekolah berlangsung. Aidan ketahuan mencontek lewat ponsel yang dibawanya.

Akibat tingkah kedua adiknya itu membuat orang tua Afifah sedikit cekcok. Afifah harus bisa menjadi penengah diantara keduanya.

Belum lagi, keluarga besar dari pihak bundanya yang masih belum bisa menerima kenyataan tentang Afifah.

Dari hal itu semua, yang cukup menggangu adalah kehadiran sosok pemuda yang selalu disebutnya dalam doa muncul ke dalam mimpinya sebanyak 3 kali. Bukan. Bukan Fatih.

"Bila tak sanggup menyimpannya lebih baik keluarkan saja, Fa," saran Raihan.

"Tentunya mengeluarkan segala keluh kesahmu pada tempat yang tepat."

"Mengerti kan?"

Afifah hanya menganggukan kepalanya tanda mengerti.

"Apa yang kamu butuhkan sekarang? Lakukanlah bila itu membuatmu tenang," lanjut Raihan.

Afifah menatap sebentar Raihan kemudian beralih pandang menatap jendela samping kirinya.

'Aku membutuhkan bahumu. Entah siapapun itu. Mungkin aku akan selalu bersandar dibahumu selain pada-Nya tentunya,' batin Afifah dalam hati.

Kemudian dirinya memperbaiki posisi duduk yang lebih nyaman. Kedua tangannya disilangkan di bawah dada. Kedua indera penglihatannya pun perlahan ia pejamkan.

"Kok malah tidur sih Fa?" protes Raihan saat melihat Afifah sudah mulai terlelap.

"As you wish before."

"Ya kan nggak tidur juga kali," Raihan masih berada pada mode protesnya. "Mana masih lama ke kampus Rainanya lagi."

"Ya aku butuhnya tidur sekarang, Mas Ian."

"Yang ada malah aku juga ikutan ngantuk."

"Kan bisa putar murotall dari tape," saran Afifah.

"Tapi-" belum sempat Raihan menyelesaikan kata-katanya Afifah telah menghidupkan tape dari mobil Raihan yang mengeluarkan suara murottal surat Ar-Rahman.

**

08.07.2017
💻 Haru 📝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top