#5 Afifah dan Logikanya

"Lelaki berhak memilih, sedangkan wanita berhak menolak."

**

"Nggak tidur apa Fa? Mata kayak panda gitu," ucap Raihan ketus saat Afifah hendak duduk di ruang makan.

"Belum juga duduk, udah nyerocos aje," jawab Afifah kesal dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi.

"Paling abis ngedate semalaman sama si biru," timpal Aidan. Afifah menatap tajam Aidan yang duduk di sebelah kanannya.

"Bang Ian sih, kalo ngasih tugas yang kira-kira dong. Kasihan kan Kak Afifahnya," bela Raina –adik kandung Raihan. Afifah beralih pandang ke Raina dan tersenyum akan belaannya itu.

"Yee, dianya aja yang kelewat semangat," jawab Raihan tak ingin disalahkan. Afifah mengendus kesal.

"Tumben kalian udah pada stand by di rumah?" tanya Afifah.

Ketiga pasang mata menatap Afifah dengan pandangan bingung. Jelas saja Raihan dan Raina sudah berada di rumah kediaman Pak Ammar. Memang itulah kebiasan mereka. Makan bersama di saat jam makan.

"Matanya coba dibuka Fa. Kayak gini," jawab Raihan menanggapi pertanyaan Afifah sembari memperagakan kedua tangan membuka lebar-lebar kedua indera penglihatannya.

"Makanya abis bangun tidur itu mandi dulu. Jangan langsung nyelonong ke meja makan," ejek Raihan kembali.

"Sana cuci muka!" perintah Raihan dengan menunjuk dagunya ke arah wastafel dekat dapur.

Afifah menghembuskan nafasnya kasar. Malas beradu argumen dengan si Ice Man. Ia memilih segera beranjak menuju wastafel. Jika saja Afifah masih mempunyai tenaga, pagi ini Raihan sudah menjadi daging cincang.

"Tumben pagi ini Bunda nggak dengar keributan kalian," ucap Airan –Bunda Afifah dan Aidan– ketika selesai menata menu sarapan pagi.

Sebelum Raihan membuka mulut, Afifah terlebih dahulu menanggapi Airin.

"Libur dulu Bun, lagi nggak ada pasokan tenaga buat nanggapi dia," ujar Afifah sembari melirik tajam ke arah Raihan.

"Hanya sekedar menanggapi ucapakanku saja sampai ada liburnya," balas Raihan. "Bilang aja kehabisan kata-kata."

"Mungkin," jawab Afifah dingin. Aidan dan Raina terkekeh melihat perdebat kecil mereka.

Ingin rasanya Afifah melemparkan sesuatu ke arah Raihan, namun hal itu sangatlah tak mungkin. Raihan lebih tua 3 tahun darinya. Pasti Ammar dan Airin akan memarahi anak gadisnya itu. Karena dianggap tak sopan dengan orang yang lebih tua.

"Memangnya habis mengerjakan apa semalam Kak? Sampai kurang tidur begitu?" tanya Ammar khawatir.

**

Unknown
Aku bilang ke kakakku, Insya Allah udah ada calonnya.
Nama calonnya Afifah Anindya Kayyisah.

Melihat nama lengkapnya tercetak jelas di balik layar ponsel. Afifah mengerjapkan matanya berkali-kali.

Afifah
Kamu serius Fatih?

Unknown
Aku serius Afifah.

Tangan Afifah mulai dingin, fokusnya mengerjakan website sudah buyar. Belum sempat Afifah menormalkan kembali pikirannya. Suara getar ponselnya kembali berbunyi.

Unknown
Untuk apa aku melihat karakter dari tanda tanganmu?
Dan meminta temanku membacanya.

Afifah
Aku kira hanya untuk main-main saja.

Unknown
Karena aku mengagumimu, Afifah.
Kamu hadir sangat rasa kesepian ini melanda dan terlebih aku membutuhkan sosok penyemangat di negeri minoritas muslimnya ini.

Afifah
Aku kira teman-temanmu juga banyak yang memberikan semangat.

Unknown
Beda rasanya Fa.

Deg!
Afifah melupakan satu hal. Fatih adalah seorang pria dan Afifah adalah seorang wanita, bagaimanapun juga bila seorang wanita memberikan perhatian walau sedikit saja kepada lawan jenis dan dalam waktu yang berkelanjutan, bisa jadi akan muncul rasa-rasa yang tak seharusnya bersemayam di dalam hati.

Afifah
Kamu butuh jawaban aku sekarang?

Unknown
Yes.

**

Afifah melepaskan kacamatanya di atas meja. Menutup laptopnya tanpa mengklik tombol shut down. Dokumen-dokumen penting seperti proposal penawaran sistem dan desain tampilan website masih berserakan di atas meja. Bahkan kopi kesukaannya pun masih tersisa seperempatnya.

Kacau. Ya, saat ini pikiran Afifah sedang kacau. Ia mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur. Namun tidak dengan pikirannya. Potongan-potongan percakapannya dengan Fatih masih berkeliaran dengan bebasnya di otak. Bagaikan siaran yang terus diputar ulang.

'Pertengahan bulan tahun depan.'

"Mengapa kau harus mengatakannya sekarang? Satu tahun itu waktu yang lama, bahkan bisa saja hatimu akan berpaling pada perempuan lain begitupun aku," ucap Afifah.

'Aku mengagumimu.'

'Nama calonnya Afifah Anindya Kayyisah.'

'Kamu butuh jawaban aku sekarang?'

'Yes'

"Mengapa aku memberikan jawaban kepadamu disaat aku pun ragu dengan perasaan yang kumiliki," ungkap Afifah sembari pandangannya menatap langit-langit kamar.

Malam itu, Afifah bergulat dengan pikirannya. Bila dirinya tak memberikan jawaban seperti yang diharapkan Fatih. Mungkin Fatih akan jatuh tersungkur. Studi masternya akan berantakan. Afifah tidak menginginkan hal itu. Ia sedikit tahu tentang keadaan Fatih di Negeri Formosa dari diskusi-diskusi singkat antara mereka. Bagaimana rasa kesepiannya, sosialisasinya dengan orang-orang yang beranekaragam budaya dan kebiasaan. Hingga ujian ketaatannya pada Sang Pemberi Rezeki.

Afifah mencoba menutup matanya untuk terlelap. Namun tak bisa. Berbagai posisi sudah dicobanya. Sayang nihil. Rasa kantuknya benar-benar hilang. Menguap di tengah dinginnya malam. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudhu. Shalat Qiyamullail. Menenangkan dirinya. Mengadu kepada Sang Pemilik Hati.

Air matanya kini turun dengan derasnya. Isakannya mulai terdengar. Bahunya sedikit berguncang. Kedua tangannya tetap menengadah.

"Ya Rabbi, apa yang selama ini hamba takutkan akhirnya terjadi juga. Selama ini hamba selalu menepis segala rasa yang mengindikasikan bahwa Fatih memiliki rasa yang berbeda dari pertanyaan-pertanyaan yang diberikannya. Hamba selalu menganggapnya hanya sebagai sebuah pertanyaan biasa dari seorang teman. Ternyata Fatih tidak. Rasa cinta itu memanglah fitrah, hamba tak bisa menyalahkan Fatih atas rasa yang telah tumbuh di hatinya. Namun hamba takut, bisa rasa itu lama bersemayam malah akan menjadi sebuah noda di hatinya. Mengotori hatinya, mengurangi amal ibadahnya kepadaMu. Mohon bimbing dirinya untuk tetap berlabuh padaMu terlebih dahulu. Mohon lindungi dirinya. Jauhkan dirinya dari bayangan semu akan hamba," ucap Afifah yang dibarengi dengan linangan air mata.

"Dan bila memang Fatih adalah seseorang yang Kau tunjuk untuk menjadi pendamping hidup hamba. Yang akan menggenapkan agama hambaMu ini. Tolong mudahkan prosesnya, gantilah seseorang yang selalu hamba sebut namanya dalam setiap doa pada sosok Fatih. Jagalah perasaan kami hingga waktu benar-benar mempertemukan kami. Hanya kepadamu hamba berserah diri dan memohon petunjuk. Karena Engkau sebaik-baik pemberi solusi."

Setelahnya Afifah mengambil mushaf berwarna biru dan membaca ayat-ayatNya. Mencoba menenangkan hati dan pikiran yang sedang berkecamuk. Hingga tak terasa adzan subuh pun berkumandang. Karena Afifah masih memiliki wudhu, ia pun segera menunaikan ibadah shalat subuh.

Niatnya Afifah tak ingin tidur, karena sebentar lagi matahari pun akan menampakkan sinarnya. Ia kembali menyibukkan diri dengan merapihkan dokumen-dokumen penting yang semalam masih bertebaran di atas meja. Menyiapkan semua keperluan untuk hari ini. Ketika dirinya menuju kasur untuk mengambil ponsel, tubuhnya seperti tertarik dengan kasur. Meminta jatahnya. Dan akhirnya, Afifah pun terlelap di pagi hari.

**

'Tidak mungkin bukan? Aku mengatakan bahwa aku tidak tidur karena ucapan Fatih? Dihadapan Mas Ian dan Raina?' batin Afifah.

"Itu Yah, ngerjain website tapi ditengah jalan logikanya keputus terus nggak nemu-nemu ide untuk memecahkan masalahnya, jadi kepikiran terus deh, hehehe."

"Bantu tuh Bang," timpal Raina.

"Nanti juga bisa sendiri," ucap Raihan dingin. Afifah menatapnya tajam.

"Auu.." teriak Raihan.

"Oopss, sorry... Sengaja," ucap Afifah santai. Ia sengaja menendang kaki kanan Raihan dari bawah meja makan. Karena posisi duduk mereka berhadapan memudahkan Afifah membalas ucapan dingin Raihan.

"Sudah... Sudah... Cepat habiskan sarapannya," ucap Airin menengahi. Afifah menyeringai penuh kemenangan. Raihan mengendus kesal. Raina dan Aidan terkekeh.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top