#3 Lelaki Penjaga Wanita

“Karena tak sembarang orang dapat mendekati dan menyentuhmu. Wahai muslimah jagalah dirimu dari rayuan dan tangan-tangan jahil para pria.” ~Raihan.

**

“Fa, proyek apotek yang di Semarang kapan?” tanya Ikbal selaku CTO (Chief Technology Officer) Mind Technology.

Afifah yang duduk berhadapan dengan Ikbal, mengangkat kepalanya dari hadapan laptop menuju Ikbal.

“Minggu depan Mas,” jawab Afifah setelah membuka buku agenda Mind Tech.

“Yang berangkat Mas Raihan, Mas Ikbal, Zaki, sama Bilal,” lanjut Afifah.

“Loh, kamu nggak ikut Fa?” kaget Ikbal tak percaya. “Dimana-mana Sekretaris itu akan ikut bosnya kemana aja.”

“Nggak usah ikut! Lagi pula nanti dia cewek sendirian. Raina nggak bisa ikut juga, ada kuliah dia,” jawab Raihan dingin dan ketus setelah menutup ruangannya. Ia duduk di tempat yang biasa ia tempati selain di ruangannya.

“Nggak asyik lu, Rai,” protes Ikbal.

“Ayolah Fa ikut aja,” bujuk Ikbal yang tak rela bila Afifah tak ikut.

“Nggak! Bukan mahrom titik,” ucap Raihan kembali dengan nada ketus dan dingin.

Afifah menatap Ikbal kemudian berbicara tanpa suara, “Udah ikutin aja,” dan tak lupa mengangkat jari telunjuknya di bibir pada akhir kalimat.

“Trus siapa yang nyiapin sarapan?” tanya Ikbal memelas.

“Bisa kali beli sendiri,” ucap si ice man –Raihan– tanpa menatap Ikbal yang masih fokus dengan pekerjaannya menatap layar berwarna hitam dengan deretan kata berwarna-warni.

Ikbal mengerucutkan bibirnya mendengar penuturan Raihan. Ikbal masih memikirkan cara untuk mengajak serta Afifah.

“Dokumentasi program,” gumam Ikbal pelan.

Pasti dengan cara ini si CEO akan luluh,’ pikirnya.

“Fa, kamu tahu kan, dokumentasi program itu sangatlah penting bagi arsip kita. Seperti UAT (User Acceptance Test), Berita Acara, BRD (Business Requirement Document), FSD (Functional Specification Document),” jelas Ikbal.

“Yap, betul sekali,” jawab Afifah santai.

“Nah, kalo kamu nggak ikut, terus siapa yang bakal ngerjainnya?” tanya Ikbal dengan mimik wajah dibuat sesendu mungkin. Berharap Raihan mengabulkannya. “Tahu sendirikan kalo lelaki itu malas dan nggak rapih.”

Done!” ucap Afifah mengagetkan Ikbal. Sedari tadi pandangan Ikbal mengarah ke samping kiri dari tempat duduknya. Ditambah kedua tangannya menumpu dagu.

“Justru itu, biar kamu bisa belajar. Biar tertib administrasi kita,” ucap Raihan tegas. Perlu kalian ketahui bahwa perusahan tempat mereka bekerja adalah sebuah start up kecil yang sedang dirintis, jadi wajar bila orang-orang yang berada di sana memiliki double job atau bahasa kerennya multi talenta. Ikbal menjatuhkan rahangnya. Ekspektasi yang diinginkannya malah justru berbanding terbalik dengan realita yang terjadi.

“Noh, Afifah udah nyiapin semua dokumen yang dibutuhkan. Kamu tinggal ngisi aja nanti,” lanjut Raihan.
Ikbal beralih pandang ke Afifah menuntut penjelasan.

“Seperti yang bos bilang, udah aku siapin Mas,” jelas Afifah.

“Noh, dengerin,” sahut Raihan ketus.

“Lu dari tadi ketus mulu jawabnya Rai. Lagi dapet? Sensi amat.”

Raihan tak menanggapi ucapan rekan kerja sekaligus sahabatnya. Afifah memberikan kode kepada Ikbal agar tak memperpanjang suasana. Tak jauh dari mereka, Bilal dan Zaki mengamati dan terkadang mereka terkekeh akibat percakapan Raihan dan Ikbal.

Afifah menyerahkan map berisi dokumen-dokumen yang dibutuhkan selama di Semarang kepada Ikbal. Orang yang dituju hanya bisa mendecak kesal.

Kejadian seperti ini tak hanya sekali dua kali saja terjadi. Namun beberapa kali pernah terjadi bila mereka hendak pergi keluar kota tanpa ada seorang mahrom pun yang menemani Afifah. Hal itu membuat Ikbal uring-uringan. Pasalnya kehadiran Afifah bagaikan candu baginya. Perlu diingat, hanya untuk Ikbal.

Kalian mau tahu apa alasannya? Pertama, Ikbal adalah lelaki yang manja. Walau usianya sudah menginjak 27 tahun tapi kelakuannya itu seperti anak kecil yang segala sesuatu harus disiapkan oleh orang lain termasuk Afifah dan Raina. Hal ini yang membuat Raihan geram dan memintanya untuk segera menikah daripada mengganggu ketenangan adik-adiknya. Tapi selalu saja banyak alasan. Ingin yang seperti inilah, itulah. Harus beginilah, begitulah.

Kedua, Ikbal adalah seseorang yang malas. Apalagi bila moodnya datang melanda. Hampir semua rekan Mind Tech tak ada yang mampu membujuknya kecuali Afifah. Namun bila ada proyek, Ikbal sangatlah profesional. Hanya Afifah yang mampu menjinakan kemalasan Ikbal, apalagi jika bukan makanan. Walau teman-teman yang lain dapat melakukannya juga. Ikbal hanya akan luluh pada Afifah karena kelembutan dan kehangatannya. Karakter Afifah ini hanya akan tampak pada orang yang sudah dekat dengannya. Bila belum atau pertama kali bertemu sikapnya seperti si ice man itu. Dingin, jutek, dan seram.

“Ada yang mau kopi?” tawar Afifah pada rekan kerjanya. Semuanya menganggukan kepala. Kemudian dirinya menuju pantry.

**

“Mas, Mba, saya pulang duluan ya,” pamit Zaki. Orang yang disapa pun membalasnya dengan anggukan kepala dan lambaian tangan.

“Kamu nggak pulang Fa?” tanya Raihan yang heran dengan rekan kerjanya itu. Sudah waktunya pulang masih aja lengket sama si biru. Dan kalo ditanya pasti jawabannya, “Tanggung 15 menit lagi.”

Raihan menggelengkan kepalanya. Dirinya sudah tak bernafsu mengerjakan pekerjaannya. Hanya memandang ke satu arah. Dan gelisah menunggu waktu tepat pukul 17.00.
Di sisi lain, seseorang masih serius mengerjakan tugasnya. Beberapa kali jarinya menghasilkan bunyi nada yang entah nada jenis apa. Hinga tiba jarum jam menunjukkan pukul 17.00, ia telah merapihkan semua barang di meja kerjanya.

“Mas Ian, aku pulang dulu,” pamit Afifah kepada Raihan yang masih menatapnya dengan pandangan yang terpaku.

“Ah... Eu...”

“Gelagapan amat Mas, kayak ketahuan abis ngapain aja,” sahut Afifah yang masih sibuk memasukan barang-barangnya ke dalam tas ranselnya. Raihan menggaruk tengguknya yang tak gatal dan menjernihkan tenggorokannya dengan berdeham.

“Hati-hati pulangnya,” nasihat Raihan.

Afifah menaikan sebelah alisnya, “Nggak lagi sakit kan Mas?”

“Hah?”

“Tumben amat ngekhawatirin Aku?” heran Afifah.

“Kenapa? Nggak boleh?”

“Halah, bilang aja grogi mau ketemu client kan?” goda Afifah.

“Eum?” tanya Raihan heran dan bingung.

“Udah tenang aja, kan di temenin Mas Ikbal ini. Clientnya bukan cewek ini kan? Nggak usah grogi gitu lah, Mas Ian,” tenang Afifah.

“Yee… Sembarangan. Aku nggak pernah grogi sama client," bela Raihan. Afifah memincingkan matanya.

“Apa?” tanya Raihan yang tak suka dipandang seperti itu. Afifah sekarang malah menunjuk dirinya.

“Apa? Apa? Emang kenyataannya kan?”

“Jaket.”

“Nggak nyambung kamu Fa.”

“Siniin jaket Aku, mau balik keburu ujan,” perintah Afifah. Tadi siang Raihan meminjam jaket dan motor Afifah karena ingin membeli keperluan Mind Tech.

“Oh, ngomong yang jelas dong Fa,” seru Raihan tak mau disalahkan.

“Segitu udah dikasih kodenya juga,” sanggah Afifah tak mau kalah.

“Ya mana ngerti aku dengan kode kamu itu.”

“Jadi programmer masa nggak ngerti dengan kode sih?”

“Beda kali, kode wanita dan kode komputer.”

“Bilang aja malas mikir,” sanggah Afifah. “Udah ah, mau pulang. Sini jaketnya.”

Raihan memberikan jaket yang masih dikenakannya kepada Afifah. Afifah menerima dan memakai jaketnya kemudian berancang-ancang meninggalkan Raihan.

“Mas Ian, nggak usah grogi ngadepin clientnya ntar,” goda Afifah, “bye ~~

Raihan yang sadar maksud Afifah langsung meneriaki namanya, “A F I F A H...” walau sang pemilik nama sudah hilang dari balik pintu.

“YA!!! Rai berisik banget, ganggu orang tidur aja sih!” sewot Ikbal.

“Cup cup cup... Tidur lagi gih.”
Ikbal mengerucutkan bibirnya.

“Kenapa nggak sama Afifah aja sih ketemu clientnya?” tanya Ikbal yang masih tak rela Raihan mengganggu waktu istirahatnya.

“Nggak lah!”

“Karena bukan mahrom?”

“Yap,” Raihan tertawa hambar. “Tau sendiri orang yang bakal kita temui cowok semua?”

“Kalian udah lama kenal dan banyak yang mengira Afifah itu adikmu bukan Raina.”

‘Kamu nggak akan mengerti dengan apa yang aku alami, Bal,’ gumam Raihan dalam hati.

“Hahaha, kita sama-sama ice makanya banyak yang mengira saudara,” timpal Raihan dengan menampilkan eye smilenya. “Dan emang kita saudara sih.”

What? Jadi bapak kamu sama Afifah, satu bapak?” tanya Ikbal kaget mendengar penuturan Raihan.

“Ikbal... Ikbal...” Raihan menggelengkan kepalanya heran mendengar pertanyaan sang sahabat.

“Kamu kenal aku sama Afifah berapa lama, Bal?”

Ikbal merentangkan kelima jarinya ke hadapan Raihan, “Selama itu aku baru tahu kalian seayah? Ya ampun..” Ikbal menepuk keningnya.

“Hush, kalo ngomong tuh ya.”

“Bener kan?”

“Bener bener ke blinger,” jawab Raihan ketus. “Maksud aku itu kita emang saudara. Saudara seiman. Hahaha.”

Ikbal terdiam beberapa menit. Kemudian menyadari apa yang baru saja Raihan ucapkan. “RAIHAN...”

“Lola juga ya kamu ternyata, Bal,” ledek Raihan. Ikbal makin mengkerucutkan bibirnya.

**

Di perjalanan menuju rumah. Afifah melihat sosok seorang lelaki seperti Zaki sedang berjalan masih agak dekat dengan kantor.

Setelah melewatinya, Afifah yakin itu Zaki. Dari balik kaca spion motor ia mengecek kebenarannya. Kemudian Afifah menepikan kendaraannya menunggu Zaki lewat.

“Ki, mau pulang ke arah sana kan?” tunjuk Afifah pada Zaki.

“Iya Mbak.”

“Bareng aja Ki, kita searah kok,” tawar Afifah.

“Nggak usah Mbak, udah deket kok,” tolak Zaki halus takut merepotkan.

“Udah nggak apa-apa, lagi pula nggak ada angkot di daerah sini, mana masih jauh,” jelas Afifah. Zaki masih menimbang-nimbang.

“Boleh deh Mbak, makasih banyak loh Mbak,” akhirnya Zaki memutuskan.

Saat Zaki hendak menaiki kursi penumpang, Afifah menghentikan tindakannya.

“Eits, kamu yang nyetir tapi ya,” pinta Afifah. “Ini helm nya.”

“Mbak aja yang pake helmnya,” tolak Zaki.

Akhirnya mereka pergi berdua dengan satu motor.

“Kamu pulang pergi?” tanya Afifah.

“Iya Mbak, hehe.”

“Nggak nyoba ngekost aja? Lumayan jauh juga loh. Rumahmu dengan kantor.”

“Nggak apa-apa Mbak. Namanya juga perjuangan,” jawab Zaki positif. Afifah tersenyum mendengarnya.

Tak berapa lama, Zaki menepikan dan menghentikan motor yang dikendarainya.

“Sekali lama, makasih ya Mbak.”

“Sama-sama Ki, hati-hati Ki,” pamit Afifah.

**

Drrt... Drrt...

Terdengar bunyi getar suara hp milik Afifah. Ia dengan malas mengambilnya.

‘Paling si ice man,’ batin Afifah.

Afifah membuka pola kunci yang ada di layar smartphonenya. Ia mengusapkan jarinya membentuk pola angka 7. Dan terbukalah. Di situ terdapat 3 buah pesan di whatsapp. Viola! Nama Raihan muncul paling atas dari pesan-pesan yang masuk kemudian diikuti Raina dan nomor yang tak dikenal.

Pertama Afifah membuka pesan dari Raina. Pasti isi pesannya menanyakan keberadaan sang abang. Again, dugaan Afifah tepat.

My Little COO
Kak, Abang Ian kok belum pulang? Raina sendirian 😢

“Kebiasan tuh bocah, nggak ngasih kabar ke adiknya,” kesal Afifah setelah membaca chat dari Raina.

Afifah
Ke rumah aja Na.
Abang Ian lagi ketemu client.
Udah makan belum?

My Little COO
Belum 😥😢
Siap Kak, segera meluncur.

Afifah
Jangan lupa kunci semua pintu. Okay, Kakak siapin makanan.

Setelah itu Afifah membuka chat dari Raihan.

Ice Man
Udah sampe rumah?

Afifah
Dikira keluyuran kemana?

Ice Man
Kali nyangkut di tengah jalan.

Afifah
Dikira layangan nyangkut di pohon 😑
Kamu nggak ngasih kabar ke Raina kalo pulang telat, Mas?

Ice Man
Astagfirullah, lupa aku Fa.
Bisa temenin Raina nggak Fa?
Baru meeting sama client jam 19.30.

Afifah
Lupamu itu loh 😒
Raina udah aku minta ke rumah aja lagian dia belum makan juga.
Tega amat kamu Mas sama adik sendiri
ㅋㅋㅋㅋ

Ice Man
Ya maaf, memori aku sepertinya harus di ganti.
Nggak usah pake tulisan cacing napa.

Afifah
Iyalah udah usang, beli yang baru gih.
Ditambah pake processor yang terbaru
ㅋㅋㅋㅋ
Biarin wee, mau pake tulisan cacing kek, alien kek, suka-suka aku.

Ice Man
Hadeuh... 😕
Tadi pulang sendiri?

Afifah
Nggak kok.
Berdua tadi pulangnya.
Haha

Ice Man
Berdua?

Afifah
Iya tadi di jalan ketemu Zaki.
Dia jalan kaki, masih jauh untuk naik elf.
Aku tawarin sampe ke tempat elfnya.

Ice Man
Afifah kamu itu muslimah.
Nggak seharusnya kamu boncengan sama lelaki.

Afifah
Niat aku kan cuman nolongin aja Mas Ian.
Nggak ada maksud lain.

Ice Man
Itu menurut kamu.
Tapi bagi yang melihat kalian?
Sama aja kalian berdua-duaan walau ditempat yang ramai.
Alangkah baiknya bila niat yang baik dibarengi dengan tindakan yang baik pula.
Bukan maksud menggurui, kita sama-sama saling mengingatkan.

Afifah
Terimakasih kritik dan sarannya Mas Ian.
Kedepannya aku akan lebih hati-hati kembali dalam bertindak.

Ice Man
It's okay.

Afifah
😁

Setelah bertukar pesan dengan Raihan, Afifah masih memikirkan pesan dari Raihan. Ada benarnya juga bila niat yang baik dibarengi dengan tindakan yang baik pula. Bagaikan tamparan ucapan Raihan itu.

“Astagfirullah,” ucap Afifah.

Tinggal satu pesan yang belum terbaca. Baru hendak membuka pesan itu. Suara ketukan pintu terdengar. Afifah buru-buru keluar kamar menuju pintu depan rumahnya.

**

“Fa, aku mau white cappucino with choco granule,” ucap Raihan yang sudah berada di pantry. Afifah tak sadar bila dirinya tengah menuangkan air panas ke dalam cangkir.

“Innalillahi,” ucap Afifah kaget mendengar suara tiba-tiba dari Raihan.

“Aauu...” Pekik Afifah ketika air panas itu menyentuh kulitnya.

Raihan refleks mengambil tangan kiri Afifah menuju kran air. Ia mengalirkan air untuk meringankan rasa panas di punggung tangan Afifah. Afifah pun belum sepenuhnya tersadar dari bayang-bayang masa lalu itu.

Raihan masih terlihat khawatir. Matanya fokus menatap aliran air yang mengenai punggung tangan Afifah. Hingga Afifah membuyarkan fokusnya.

“Biasa aja kali megangnya. Kalo mau ngelampiasin kemarahan jangan tangan aku yang jadi korban,” omel Afifah karena Raihan semakin menguatkan cengkramannya.

“Pabo! (Bodoh!)” umpat Raihan segera melepaskan cengkramannya, “makanya kalo nuang air panas tuh jangan sambil ngelamun.”

“Cie.. Tumben ngomong pake bahasa Korea,” goda Afifah. “Lagian ngagetin aja. Tiba-tiba dateng kayak hantu.”

“Kamunya aja yang melamun.”

“Enak aja, siapa juga yang day dream,” bela Afifah.

“Kamu,” ucap Raihan dingin. “Jangan lupa kopi aku. White cappucino with choco granule.”

Belum sempat Afifah protes, Raihan telah meninggalkannya.

“Haish, tuh orang!” gerutu Afifah. “Masa aku lagi yang tukeran kopi sama dia, mochacino lagi.”

Pasalnya Afifah telah membuka kelima bungkus kopi ke dalam masing-masing cangkir. Sayang bila bubuk kopi yang telah dituangkan harus dibuang. Lebih baik untuk dirinya saja. Vanila latte untuk Zaki, kopi hitam untuk Ikbal, dan white coffee untuk Bilal.

“Buruan Fa nggak pake lama. Dan nggak pake ngelamun,” ingat Raihan sambil berteriak. “Kita ada briefing bareng anak-anak.”

“Aish, bawel,” gerutu Afifah.

“FA...” Panggil Raihan masih dengan berteriak.

“IYA.. LAGI JALAN,” sahut Afifah dengan berteriak pula.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top