Tiga
Agak Pendek dan typo masih betebaran. Semoga bisa dinikmati. Selamat membaca.
**
DARA keluar kota. Satya mendapat informasi itu secara tidak sengaja. Seorang pegawainya yang bernama Raihan menyebutkan nama Dara dalam rombongannya yang berangkat meninjau lokasi siang ini. Katanya dua hari. Jadi gadis itu baru akan kembali ke kantor senin depan. Satya menghitung dalam hati. Sekarang kamis. Jumat sore mereka baru akan kembali kembali ke Makassar. Sabtu libur.
Satya belum tahu bagaimana dia akan bicara dengan Dara. Ada beberapa skenario yang muncul di benaknya. Tapi tidak ada yang benar-benar diyakininya akan berhasil. Melihat reaksi Dara kemarin, pembicaraan mereka memang tidak akan mudah. Sorot ketakutan bercampur kebencian itu masih menyala-nyala. Dia tidak bisa menyalahkannya. Ada hal-hal yang memang tidak lekang dimakan waktu. Sama seperti rasa bersalahnya.
Pintu diketuk dan Bu Santi masuk dengan setumpuk map. "Ini file yang mungkin Bapak perlu ketahui. Proyek-proyek yang sedang dan akan kita kerjakan." Dia meletakkan map-map itu di atas meja Satya.
"Yang mana file proyek yang sedang ditinjau Pak Raihan..." Satya mencoba mengingat-ingat. "Di pare-pare?" Dia tidak sungguh-sungguh ingin tahu. Dia hanya mencari jalan untuk bicara tentang Dara pada Bu Santi tanpa membuat wanita itu curiga.
"Sebentar." Bu Santi menunduk dan mulai mencari di antara tumpukan map yang baru saja dibawanya. "Ini dia." Dia mengulurkan map berwarna merah pada Satya.
"Duduk dulu, Bu." Satya menunjuk kursi di depannya. Pembicaraan ini mungkin bisa lebih lama, dan membiarkan wanita setengah baya itu berdiri tidak sopan.
"Terima kasih." Bu Santi duduk dengan patuh. "Ada yang Bapak ingin tahu tentang proyek itu?"
"Siapa yang bertanggung jawab?"
"Arsiteknya Dara, dan Raihan yang mengerjakan pembangunannya."
Seperti keinginan Satya, nama Dara akhirnya disebut. Dia hanya perlu memancing lebih jauh. "Dara yang mengerjakan interior rumah yang akan kutempati?"
"Oh..." Bu Santi seperti teringat sesuatu. "Rumah Bapak akan dikerjakan Rita, Pak."
"Memangnya kenapa dengan Dara? Kata Bu Santi dia yang akan melakukannya, kan?"
"Rita juga bagus, Pak. Pak Satya tidak perlu khawatir," jawaban Bu Santi tidak sesuai keinginan Satya.
Dia tidak khawatir soal interior. Selama ada tempat tidur untuk meluruskan tubuhnya, dia tidak peduli soal tata letak perabot. Tidak saat ini. Dia tidak datang ke tempat ini untuk ribut soal interior rumah.
"Aku yakin Rita pasti bisa mengerjakannya dengan baik." Satya memberi senyum, menenangkan. "Dara sibuk, ya?" Dia mencoba cara lain.
"Iya, Pak. Sepulang dari Pare-pare dia mengambil cuti tahunan."
"Cuti?" Satya tidak suka mendengarnya. "Dara sudah merencanakan cutinya?" Dia sungguh tidak ingin terdengar seperti pimpinan yang ingin tahu semua urusan pribadi karyawannya. Tapi kali ini dia harus tahu. Dia tidak peduli lagi jika Bu Santi curiga karena kalimat-kalimatnya yang mendesak.
"Dia baru mengatakannya tadi. Katanya ada acara keluarga di luar kota. Pasti acara penting karena dia tidak pernah mengambil cuti atau izin sebelumnya." Nada Bu Santi terdengar membela Dara. "Tadi dia terlihat kurang sehat. Dia memang butuh liburan. Pak Satya tidak perlu khawatir, Dara sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia tidak akan membiarkan pekerjaannya telantar karena cuti."
Satya tahu Dara berniat menghindarinya. Jelas sekali. Sejak awal dia paham jika ini tidak akan mudah. Penolakan itu akan dia terima. Jalannya untuk mendapatkan sebentuk maaf masih akan panjang.
**
Satya pertama kali melihat gadis itu di taman belakang sekolah. Duduk dengan buku yang terbuka di pangkuannya. Biasanya dia tidak ke sekolah sepagi itu, tapi keributan yang disebabkan kedua orangtuanya yang saling berteriak, membuatnya buru-buru meninggalkan rumah.
Gadis itu tidak menyadari kehadiran Satya. Sesaat, kepalanya yang menekuri buku lantas mendongak. Bukan untuk melihat sesuatu karena matanya terpejam. Dia seperti menikmati hangat sinar matahari pagi yang mengelus wajahnya.
Entah mengapa, pemandangan itu mengingatkan Satya pada gambar manga milik adiknya. Gambar seorang gadis berseragam dengan buku di pangkuannya. Kepalanya mendongak dengan mata terpejam, dan ada bias sinar matahari yang memantul di wajahnya. Sikap tubuh dan ekspresi gadis itu benar-benar seperti gambar dalam komik.
Itu bukan pemandangan biasa, tapi Satya segera melupakannya. Sampai ketika dia kembali melihatnya. Kali ini bukan di taman. Gadis itu duduk di halte bus, tidak jauh dari sekolah mereka. Kuciran rambut dan buku yang lagi-lagi berada di pangkuan gadis itu yang mengingatkannya. Gadis itu duduk membaca seolah dia berada di teras rumahnya sendiri. Tenang. Bahkan gerimis yang turun tidak mengganggunya.
Satya melambatkan motornya. Dan ketika hujan mendadak menderas, dia memutuskan untuk memarkir motor dan bergabung dengan beberapa orang lain yang berlari tergesa menuju halte bus. Tanpa membuka helm, dia terus mengawasi gadis itu.
Gadis itu baru mengalihkan tatap dari bukunya ketika halte itu mulai ramai dengan orang berteduh. Satya sedikit terpana saat melihat reaksinya ketika menatap hujan yang turun dengan deras. Tadi dia pasti tidak menyadarinya karena sibuk dengan bacaannya. Tidak seperti kebanyakan orang yang menampilkan wajah kesal, gadis itu tersenyum. Bukunya dimasukkan dalam ransel yang kemudian dipanggulnya. Lalu berdiri dan mencari tempat paling depan. Kedua tangannya lalu diulurkan menyambut tetesan air yang jatuh dari atap halte. Matanya berbinar dan senyum tak lepas dari bibirnya. Persis seperti anak kecil yang menemukan mainan kesayangannya yang hilang.
Saat itulah Satya terpesona. Pada gadis yang tersenyum pada hujan.
**
Satya tahu gadis itu satu sekolah dengannya, tapi menemukannya tidak mudah. Dia sengaja datang lebih awal selama tiga hari berturut-turut karena berharap dapat menjumpainya di taman belakang, tempat pertama kali Satya melihatnya. Nihil. Dia lalu mencoba kantin. Hampir semua siswa mengunjungi kantin saat istirahat, kan? Tapi gadis itu juga tidak terlihat.
Satya lalu menyerah. Dia merasa bodoh mencoba mencari seseorang yang tidak dikenalnya. Dia yang biasanya dikerumuni gadis-gadis, jelalatan tidak jelas memindai kerumunan berusaha mengenali seseorang. Apa kata dunia kalau sampai tahu?
Anehnya, ketika Satya hampir melupakannya, gadis itu tiba-tiba melintas di dekat lapangan basket tempatnya berlatih. Benar dia. Kucir itu tidak berubah. Juga buku di tangannya. Satya melemparkan bola yang dipegangnya secara asal pada temannya sambil terus mengawasi gadis yang jalan sambil menunduk itu.
Teman Satya yang merasa ditinggalkan pada permainan one on one itu lantas mendekat. "Lihat apa sih?" tanyanya.
"Kamu kenal dia?" Mata Satya masih terarah pada gadis yang hampir mencapai koridor kelas.
"Adik kelas kita. Kalau nggak salah namanya Dara."
Satya menoleh cepat kepada temannya itu. "Dari mana kamu tahu namanya?"
"Yaelah, semua yang masuk kelompok paling nakal, paling ganteng atau cantik, dan paling pintar pasti terkenal," teman Satya itu menjawab dengan berbelit-belit.
"Dan dia termasuk kelompok paling pintar?" tebak Satya. Penampilannya tidak menunjukkan kalau gadis itu mampu melanggar peraturan sekolah. Dan Satya pasti mengenalnya kalau dia termasuk gadis paling cantik. Hampir semua --kecuali yang sudah punya pacar-- yang termasuk kelompok gadis paling cantik bergabung dalam groupies penggemarnya. Jenis gadis yang akan memberinya senyum dari telinga ke telinga setiap kali berpapasan. Dan mereka akan melakukan hal-hal menggelikan hanya untuk berpapasan dengannya.
"Rangking satu umum di kelas X." Teman Satya itu meninju lengan Satya pelan. "Lupakan dia. Orang seperti itu nggak asyik diajak main. Cewek pintar biasanya mengaanggap buku lebih seksi daripada kita."
Mata Satya terus mengikuti sampai akhirnya gadis itu menghilang ditelan tembok. "Nggak mungkin dia seperti itu. Semua cewek pasti suka cowok seperti kita."
Teman Satya tertawa. "Coba saja. Aku akan membayarkan makan siangmu sebulan penuh kalau berhasil mendapatkannya."
"Jadikan dua bulan," tawar Satya penuh keyakinan. Seberapa sulit sih mendapatkan seorang gadis?
Tawa teman Satya itu semakin keras. "Deal." Dia mengajak bersalaman sebagai tanda jadi. "Erina akan ngamuk kalau tahu kamu berburu lagi padahal kamu sudah jadian dengannya."
Satya ikut tergelak. "Kalau marah kan tinggal diputusin saja. Gampang, kan? Kita masih muda, Man. Dan masa muda itu harus dinikmati."
"Kamu gila, Man," sahut temannya. "Suatu saat kamu akan kena batunya. Hukum karma itu berlaku. Apa yang kamu tanam, itulah yang akan kamu panen."
Waktu itu Satya tergelak keras saat mendengar kata hukum karma itu. Dia tidak percaya hal konyol seperti itu. Tidak sampai dia mengalaminya sendiri. Saat ketika dia menyesali taruhan yang dibuatnya untuk mendapatkan gadis itu. Dara.
Seandainya dia tidak bertaruh, dia tidak akan mendekati Dara. Dan gadis itu akan melewati hari-harinya dengan tenang tanpa gangguan. Dia juga tidak akan jatuh cinta pada Dara. Karena dia tidak saja kalah taruhan, tapi juga telah melakukan hal bodoh yang tidak termaafkan.
Seandainya dia bisa memilih, dia akan melewatkan hari di mana dia melihat Dara untuk pertama kalinya. Karena kalau dia tidak melihatnya, gadis itu akan tetap menjadi gadis yang bermandikan sinar mentari. Gadis yang tersenyum pada hujan. Bukan gadis yang bersimbah air mata.
Tapi dia tidak bisa memilih. Masa lalu tidak bisa diubah. Dia hanya bisa berharap menambal kerusakan yang telah dibuatnya. Meskipun rasanya nyaris mustahil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top