Enam

Cek typo, ya. Selamat membaca, semoga bisa dinikmati.

**

DARA sedang membongkar tumpukan kertas di atas mejanya ketika Bu Santi masuk tanpa mengetuk. Dia hanya menggeleng sambil berdecak saat Dara memberinya senyum.

"Kamu benar-benar harus melakukan sesuatu dengan mejamu." Bu Santi mengembuskan napas. Terlihat putus asa.

Dara tahu. Mejanya memang luar biasa berantakan. "Nanti akan saya bereskan, Bu."

"Nanti kapan?" Bu Santi jelas tidak percaya. "Suruh OB saja yang melakukannya."

Justru Dara melarang para OB menyentuh meja kerjanya. Mereka boleh membersihkan lantai, mengisap habis debu, tapi tidak boleh memegang kertas di atas meja. Dia punya pengalaman buruk dengan OB yang membereskan ruangannya. Orang itu membersihkan ruangan sebersih-bersihnya. Semua kertas Dara yang di atas meja dibuang ke tempat sampah. Kertas yang berisi hasil kerjanya selama berminggu-minggu. Dan dia sudah memberi ultimatum para OB untuk tidak menyentuh kertas-kertas di ruangannya.

"Tinggalkan pekerjaanmu. Ikut aku ke pameran," Bu Santi rupanya tidak berniat memperpanjang urusan meja yang berantakan.

Oh, Tidak, Dara lebih suka mendengar Bu Santi mengomel di ruangannya seharian daripada pergi ke pameran. Dia tahu persis kalau laki-laki itu juga akan ke sana. Mereka memang sekantor, tapi Dara lebih suka menghindari pertemuan jika itu memungkinkan.

"Tapi saya harus menyelesaikan ini, Bu." Dara menyambar sehelai kertas secara acak dari atas meja. "Tidak bisa ditunda."

"Tidak ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda beberapa jam. Itu bukan pertemuan dengan klien."

Dara tahu dia butuh alasan yang lain untuk tinggal di kantor. " Mobil saya dipinjam Herman, Bu. Untuk membawa beberapa barang ke arena pameran." Itu tidak bohong. Mobilnya memang dipinjam. Bu Santi tidak bisa mengemudi . Dia biasanya diantar suaminya ke kantor. Dijemput kembali ketika pulang. Dara yakin Bu Santi mengajaknya supaya bisa menumpang.

"Mobil sudah siap di depan. Ayo!" Bu Santi terlihat tidak sabar.

"Taksi, Bu?" Tak urung Dara segera meraih tasnya. Dia tahu Bu Santi tidak akan melepasnya.

"Bukan. Mobil Pak Satya. Cepatlah. Jangan membuatnya menunggu."

"Apa?" Langkah Dara terhenti. Ini pasti mimpi buruk yang lain. Dia tidak mungkin terjebak bersama pria itu di mobil yang sama.

"Ateng tadi ikut Herman mengatur stand pameran," Bu Santi menyebut nama sopir laki-laki itu. "Tidak ada orang lain yang bisa mengemudi. Pak Satya bisa, tapi dia kan belum hafal jalan di sini. Hanya kamu yang tersisa, yang bisa menyopir."

Dara mengikuti Bu Santi yang berjalan cepat. Tapi jari-jarinya mulai bergetar. Tenang...tenang... Dia menarik napas panjang-panjang. Mengatur pernapasan selalu bisa mencegahnya dari serangan panik. Ini tidak mungkin lebih buruk dari pertemuan beberapa hari lalu. Selain beberapa liter air mata, dia baik-baik saja. Langkah awal selalu lebih sulit. Ini bukan apa-apa. Bukan apa-apa. Dara mengulang kalimat itu dalam hati. Berkali-kali. Seperti rapalan tolakbala. Sambil terus menarik napas.

Satya melihatnya mendekat. Wajah Dara yang minim riasan tampak pias. Pasti karena dia terpaksa harus ikut dengannya. Sebenarnya tadi Satya tidak bermaksud mengajaknya. Dia tahu butuh waktu bagi Dara untuk kembali terbiasa dengannya. Dengan kehadirannya. Bu Santi yang mengusulkan mengajak Dara karena mereka tidak punya sopir. Dan Wanita itu langsung pergi mencari Dara sebelum Satya sempat melarang.

Satya duduk di depan setelah Bu Santi memintanya masuk ke dalam mobil. Dia dapat melihat getaran tangan Dara saat memutar kunci kontak. Hatinya mendadak terasa sakit. Rasa yang kerap hadir setelah pertemuannya kembali dengan Dara. Dia sudah menduga gunung kebencian gadis ini kepadanya. Tapi tidak tahu bahwa seluruh tubuh Dara ikut tersiksa karena berada di dekatnya. Dia benar-benar sudah melukainya. Dalam.

"Kamu baik-baik saja?" Satya memutuskan bertanya. "Atau aku saja yang menyetir. Kamu bisa menunjukkan jalan." Masih banyak yang harus dia dan Dara selesaikan. Mengalami kecelakaan karena gadis itu tidak konsentrasi mengemudi tidak masuk dalam rencana yang sudah disusunnya.

"Saya tidak apa-apa, Pak," Dara menjawab formal. Pandangannya lurus ke depan. Mengawasi lalu lintas yang padat.

"Kamu kelihatan tidak sehat," Satya melanjutkan.

"Kamu sakit, Ra?" Bu Santi menyambung dari kursi belakang. "Tadi kamu baik-baik saja, kan?"

Dara menghela napas. Sungguh akan lebih baik kalau laki-laki di dekatnya ini diam saja. "Saya baik-baik saja, Bu. Hanya kurang tidur semalam."

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Nak. Kantor kita tidak akan tutup hanya karena kamu tidur delapan jam setiap malam," Bu Santi menggerutu, lalu tersenyum tipis saat menyadari ada Satya di situ. "Maaf, Pak. Dara sudah seharusnya diomeli. Entah apa yang dikejarnya dengan bekerja seperti itu. Saya tidak bermaksud menyuruhnya mengendurkan semangat kerjanya. Kantor kita butuh itu, tapi..."

"Aku mengerti." Satya memotong, tersenyum. Tidak ingin membuat Bu Santi salah tingkah. Jujur saja, dia senang melihat wanita itu tampak peduli pada Dara. Tidak mungkin mengganti apa yang sudah dihilangkannya dari Dara, tapi tahu ada orang yang berada di sisi Dara cukup melegakan.

Dara tidak ingin bicara tentang dirinya. Tidak di depan laki-laki itu. "Saya sehat kok, Bu. Sungguh."

"Kurangi kopimu. Mungkin tidurmu bisa lebih baik. Kamu bisa keracunan kafein."

Tidak pernah ada kasus keracunan kafein yang pernah Dara baca. Tapi dia diam saja. Membiarkan Bu Santi merasa senang tidak didebat.

Dara mengemudi dalam diam. Mencoba berkonsentrasi penuh. Mengabaikan aroma maskulin yang samar ditebar laki-laki itu. Membiarkan Bu Santi dan laki-laki itu mengobrol. Sama sekali tidak berniat menimpali. Terus-menerus menarik napas panjang secara teratur, untuk melegakan perasaan. Menghindari serangan panik yang sewaktu-waktu bisa muncul.

Dan dia menarik napas lega setelah memasuki area tempat pameran itu diselenggarakan. Dia menghentikan mobil di depan pintu. "Bapak dan Bu Santi turun dulu. Saya akan memarkir mobil dan menyusul." Dia butuh waktu menenangkan diri.

"Jangan mencari kopi lagi," kata Bu Santi. "Masih terlalu pagi untuk cangkir ketigamu. Aku tadi melihat kopimu di kantor sudah habis. Dan aku yakin kamu juga sudah minum kopi di rumah."

Dara memaksakan senyum. "Baik, Bu. Tidak ada kopi sampai nanti siang. Saya mengerti."

"Untuk kebaikanmu."

Dara segera membawa mobilnya ke tempat parkir setelah Bu Santi dan laki-laki itu keluar. Berlama-lama di sana sebelum menyusul keduanya masuk ke dalam gedung tempat pameran itu diadakan.

"Kata Bu Santi, kalian datang bersama Bos Besar," sambut Muti saat Dara tiba di sana. Pandangannya diarahkan pada Satya yang tampak asyik memperhatikan maket perumahan dan apartemen mereka yang dipamerkan. Pengunjung masih sepi. Wajar, masih pagi. "Jadi sudah kenalan secara pribadi?"

Dara tidak ingin menanggapi godaan Muti. Dia mengambil tempat di salah satu kursi yang ada di situ. Jauh dari laki-laki itu. Tidak bisa sejauh yang diinginkannya karena luas booth mereka hanya sekitar tiga kali empat meter.

"Kelihatannya kamu butuh kopi," Muti melanjutkan saat Dara tidak menanggapinya. "Ateng sudah kusuruh membeli kopi tadi. Tunggu saja, sebentar lagi dia akan datang."

"Bu Santi memintaku tidak menyentuh kopi sampai lewat jam makan siang," jawab Dara masam.

"Apa Bu Santi tahu kalau ikatan batinmu dengan kafein sudah terlalu dalam untuk dipisahkan?" Muti tersenyum jahil. "Kamu akan patah hati tanpa kafein beberapa jam. Eh, itu Ateng datang. Aku akan mengambilkan kopi hitammu. Tunggu di sini. Bu Santi tidak akan mengomelimu di sini. Lagi pula, dia tidak pernah benar-benar marah padamu. Kamu pegawai kesayangannya."

"Terima kasih." Dara menerima gelas kertas yang disodorkan Muti. Dihirupnya aroma kental kafein itu. Menenangkan. Dia memang sudah kecanduan.

Gelas itu baru saja diangkat Dara mendekati mulut untuk disesap ketika tiba-tiba berpindah tangan.

"Kamu tidak diizinkan minum kopi sampai nanti sore, kan?" Satya yang mengambil gelas dari tangan Dara berkata pelan. Isi gelas itu disesapnya. Dia lantas berbalik pergi. Tidak menunggu respon Dara.

Dara terenyak. Dia tidak melihat laki-laki itu mendekat. Mungkin karena sibuk bicara dengan Muti.

"Itu tadi apa?" Muti membelalak. "Dia mengambil kopimu!"

"Lalu?" Dara tidak ingin membicarakannya. Muti sangat bersemangat bila bicara tentang laki-laki itu.

"Dia tadi menolak saat kutawari. Apakah kalian sudah seakrab itu? Maksudku, itu tadi bukan sesuatu yang akan dilakukan seorang bos pada karyawannya, kan?" Muti sibuk menganalisis. "Sikap tubuhnya tidak canggung padamu. Kalian bertemu di luar jam kerja dan aku tidak tahu?"

"Saat dia masuk, aku cuti," Dara menjawab malas. "Baru masuk tiga hari lalu. Kapan aku bertemu dengannya? Menurutmu aku mau tertemu Bos di luar jam kerja tanpa bicara soal pekerjaan?"

"Aku mencium sesuatu di sini." Muti mengarahkan jari telunjuk dan jari tengah ke matanya, lalu mengarahkannya pada Dara. "Aku akan mengawasimu. Mengawasi kalian. Aku tidak tahu apa gunanya, tapi aku akan melakukannya."

**

"KARENA aku sudah putus dengan Erina, aku sudah boleh jalan denganmu?" Bintang itu menatap Dara penuh harap. Tatapan yang membuat jantung Dara berdegup kencang. Rasanya tidak masuk akal. Bintang itu tidak mengatakannya secara langsung, tapi Dara tahu maksudnya. Dia melepas Erina untuk Dara. Bayangkan itu!

Dara tidak menjawab. Tapi Bintang juga tidak buruh jawaban untuk menjadi bayangannya. Dia ada di manapun Dara berada, selain di dalam kelas saat belajar. Kelak, Dara akan menyesali dirinya yang tidak bisa membaca tanda. Di dunia nyata, Bintang tidak akan menjumpai Pasir untuk menyatakan cinta. Bintang tinggal di atas sana. Di tempat yang sangat tinggi. Dari sana dia bisa mengawasi bumi. Melihat keindahan yang menarik hatinya. Dan sudah jelas, itu bukan sebutir pasir yang tidak bisa dibedakan dengan lautan pasir lainnya di tepi pantai. Seharusnya dia sudah menduga kalau Bintang itu punya niat tertentu yang tidak ada hubungannya dengan cinta padanya.

Ketika dia menyadarinya, semua sudah terlambat. Sangat terlambat, karena dia sudah kehilangan jiwanya. Hanya karena pesona pendar palsu yang menggoda. Pengorbanan yang sia-sia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top