Dua
Hai, typo mungkin masih ada. Selamat membaca dan semoga bisa dinikmati.
**
Ada orang yang diciptakan dengan seindah-indahnya bentuk. Melihatnya membuatmu percaya bahwa dewa-dewa dalam mitologi Yunani benar-benar ada. Menatapnya seperti menyaksikan film romantis yang dibuat khusus untukmu. Seperti mendengar lagu cinta yang ditulis dan dilantunkan buatmu seorang. Jenis orang yang bagi Dara sama memikatnya bagai bintang di langit. Luar biasa menakjubkan, tapi tak terjangkau. Dan Dara percaya bahwa orang sesempurna itu hanya bisa dikagumi dan dipandangi dari jauh. Bukan orang yang harus didekati dan diperjuangkan untuk dimiliki.
Dan seperti pengagum rahasia lain, Dara hanya mengawasi tanpa berniat mendekat. Dia mengukur diri sendiri. Bila orang itu bagai bintang di langit, dia adalah sebutir pasir di pantai. Tak bisa dibedakan dari butiran pasir yang lain. Tidak ada istimewanya.
Bintang dan pasir. Seperti itulah jarak yang membelah mereka. Dan dia tahu batas antara mimpi dan kenyataan. Orang-orang seperti laki-laki itu adalah mimpi. Dan mimpi, seindah apa pun, tidak bisa menyeberang ke dunia nyata.
Ketika suatu saat takdir kemudian mempertemukan bintang dan pasir itu, Dara masih merasa yakin itu hanyalah kebetulan. Seperti bulan yang tiba-tiba melintas di antara matahari dan bumi. Gerhana sekejap. Bukan sesuatu yang abadi.
Dewa adalah pasangan para Dewi. Tidak bercampur dengan manusia. Percampuran hanya menghasilkan orang seperti Herkules. Tidak diakui di dunia Dewa, dan dianggap terlalu tinggi untuk manusia lain. Tidak pernah benar-benar diterima di mana pun.
Jadi, Dara berusaha tidak menganggap penting persinggungang mereka. Itu mungkin hari yang akan dikenangnya untuk waktu lama , tapi bagi laki-laki itu, peristiwa itu hanyalah suatu hari lain dalam hidupnya. Tak berarti apa-apa. Tapi siapa yang tahu jika ternyata pertemuan itu hanyalah awal dari kesedihan dan penderitaan yang akan dibawanya seumur hidup?
Seandainya dia bisa memperbaiki masa lalunya, dia akan menghapus hari di mana bintang itu muncul di depannya. Dia akan menggantinya dengan kenangan lain. Apa pun, selama itu tidak menenggelamkannya dalam kubangan air matanya sendiri. Tenggelam, tapi tak pernah sampai mati. Karena dia selalu diberi sisa nyawa untuk menyesali pertemuan itu. Selamanya.
**
DARA membaca lowongan pekerjaan itu dengan teliti. Tidak tersisa banyak setelah dia mencoret sebagian besar kolom yang tersedia. Memang sulit menemukan spesifikasi yang diinginkannya di halaman koran. Yang dicarinya bukan jenis pekerjaan yang akan diiklankan setiap hari.
Berhenti bekerja karena seorang laki-laki mungkin berlebihan. Tapi kalau bicara soal hati dan kenyamanan, semua akan masuk akal. Dan Dara tahu, laki-laki itu adalah sumber dari segenap ketidaknyamanannya. Terlebih lagi mereka akan bekerja di kantor yang sama. Lebih buruk lagi, dia adalah atasannya. Berinteraksi dengannya adalah hal terakhir yang Dara inginkan. Kalau pertemuan mereka sanggup dilakukannya setelah peristiwa itu, dia tidak akan membuang dirinya sejauh ini. Karena tadinya dia pikir memberi jarak pada kenangan adalah hal paling pintar yang pernah dilakukannya. Menjauh. Membebaskan dirinya dari semua yang berhubungan dengan masa lalu. Orang-orang di dalamnya. Terutama, laki-laki itu.
Dia telah menghabiskan banyak waktu dan air mata di ruangan psikiaternya untuk mengatasi berbagai ketakutannya. Memang membantu banyak. Dia bahkan percaya jika dia sudah sembuh. Selain mimpi buruk yang masih kerap mengganggu, dia sudah menjalani harinya dengan normal.
Tapi keyakinan itu ternyata tidak benar. Dara merasa tangannya kembali gemetar ketika melihat laki-laki itu kemarin. Jantungnya memompa darah lebih cepat. Napasnya terasa berat, seolah persediaan oksigennya terserap kekuatan lain tak kasatmata. Semua perasaan negatif seperti menyerbu masuk dalam semua pori di tubuhnya. Perasaan yang membuatnya teringat sofa nyaman psikiaternya. Dia belum sembuh. Dia belum bisa mengatasi reaksi tubuhnya hanya karena melihat laki-laki itu.
Ini tidak adil, pikir Dara. Dia telah menghabiskan banyak waktu untuk mencoba menerima kenyataan. Bahwa hal buruk yang dialaminya hanya bagian dari masa lalu yang tidak mungkin diubah. Hanya perlu diikhlaskan. Psikiaternya mengatakan, setelah episode hancur dan penyangkalan, dia akan belajar menerima kenyataan dan kemudian melangkah maju. Dia sudah melakukan semua yang psikiaternya minta untuk dilakukan. Rasanya berhasil -kecuali mimpi buruk itu, tentu saja-sampai kemarin. Ketika semua usahanya terasa sia-sia. Dan dia perlahan meluncur kembali ke titik nadir. Kembali di masa itu. Kekelaman itu.
"Kamu sudah menentukan konsep interior untuk rumah Pak Satya?" Suara Bu Santi membuat Dara tergesa melipat korannya. Sambil berdiri, Dara menyembunyikan koran itu di belakang punggungnya. Tapi Bu Santi seperti tidak menyadari keterkejutannya. "Katanya kamu tidak perlu berkonsultasi dengannya. Lakukan sesuai keinginanmu. Dan," Bu Santi memberi jeda. "Dia belum menikah."
Tambahan itu informasi bukan hal yang ingin Dara ketahui saat ini. Dia sedang memikirkan hal lain. "Bu, bagaimana kalau Rina saja yang mengerjakannya?" dia mengeluarkan apa yang sejak kemarin mengganggu pikirannya. "Rina dapat mengerjakannya dengan baik," lanjut Dara cepat, saat melihat ekspresi ketidaksetujuan di wajah Bu Santi. "Saya harus meninjau lokasi di Pare-pare. Sudah direncanakan beberapa hari lalu dengan tim Pak Raihan. Menjadwalnya kembali akan menunda pekerjaan."
Bu Santi menarik napas sejenak sebelum mengangguk. "Baiklah. Akan kusuruh Rina yang mengerjakannya."
"Terima kasih, Bu." Dara ikut menarik napas panjang. Dengan alasan berbeda.
Rencana keluar kota memang sudah ditetapkan beberapa hari lalu. Tapi itu bukan alasan utama Dara menolak mengerjakan perintah Bu Santi. Dia menghindari pertemuan dengan laki-laki itu. Mengulur waktu. Semoga dia bisa menemukan pekerjaan lain sebelum mereka benar-benar berinteraksi. Meskipun rasanya mustahil.
"Kapan kalian akan berangkat?" suara Bu Santi terdengar lagi.
"Siang ini." Seharusnya besok, tapi Dara sudah meyakinkan Pak Raihan dan timnya untuk berangkat hari ini. Supaya dia punya alasan untuk menolak perintah Bu Santi.
"Sudah menghadap Pak Satya untuk membicarakan proyek di Pare-Pare itu? Aku belum sempat memberitahu detail seluruh proyek yang sedang kita kerjakan. Hanya garis besar seperti yang dibahas di meeting kemarin."
Dara meringis. "Pak Raihan yang akan melakukannya, Bu."
Bu Santi seperti baru tersadar kalau Dara tidak seantusias biasa bila bicara soal pekerjaan. "Kamu sakit? Kelihatannya pucat begitu. Kalau sakit, tidak usah pergi. Aku akan bicara dengan Raihan supaya menunda meninjau lokasi itu."
Dara memaksakan senyum. "Hanya kurang tidur semalam, Bu. Tapi saya bisa tidur dalam perjalanan. Saya baik-baik saja."
"Jangan memaksakan diri. Kamu yang harus mengendalikan pekerjaan, bukan kamu yang diperbudak pekerjaan."
"Iya, Bu." Rasa haru seakan menyumbat tenggorokannya. Meskipun kadang keras bila menyangkut soal pekerjaan, Bu Santi selalu baik padanya. Mengingatkannya pada Mama.
Hufftt... Mama. Dara kembali menarik napas. Kali ini berat. Rasa bersalah segera merayapi hatinya. Tangannya bergetar. Getar yang sejak kemarin kembali akrab. Tidak, dia tidak boleh memikirkan Mama sekarang. Bukan waktu yang tepat. Kecemasannya akan berubah menjadi kepanikan. Sial, laki-laki itu benar-benar membuka luka lama.
"Hati-hati di jalan. Bilang sama Ijal supaya tidak ngebut." Bu Santi berbalik.
"Bu...." panggil Dara ragu-ragu.
"Ada apa?" Bu Santi berbalik.
"Saya akan mengambil cuti sepulang dari Pare-pare. "
"Berapa hari?" Alis Bu Santi berkerut. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya dia mendengar Dara bicara soal cuti setelah dia bekerja lebih dari dua tahun.
"Cuti tahunan."
"Kenapa mendadak?"
"Ada acara keluarga di luar kota, Bu." Padahal dia berencana mengurung diri di dalam rumah. Berusaha mencari jalan keluar yang akan membebaskannya dari laki-laki itu.
**
"Hei, aku juga suka buku ini. Buku favoritku." Buku di tangan Dara diangkat sehingga sampulnya terlihat jelas. Winnetou.
Dara mengangkat kepala, merasa terganggu dengan interupsi itu. Biasanya tidak pernah ada yang mengganggunya di perpustakaan, tempat dia menghabiskan waktu saat guru yang mengajar berhalangan hadir.
Bintang! Laki-laki yang baru saja berkomentar tentang bacaannya adalah Bintang-nya! Untuk sesaat, Dara terpaku. Mengerjap tak percaya.
"Old Suttherhand dan Winnetou adalah tokoh kesukaanku," Bintang itu berkicau tanpa menunggu Dara meresponnya. "Kakekku bilang aku berjiwa tua karena lebih menyukai bacaan seperti ini daripada komik Marvel saat masih SD."
Itu memang bukan bacaan untuk anak SD. Terlalu berat. Tapi Dara tidak ingin menanggapi. Dia masih takjub. Bintangitu bicara padanya. Sang Pasir.
"Sayangnya era Wild West sudah tidak sejaya dulu. Hollywood lebih tertarik pada tokoh Marvel yang punya kekuatan yang tidak masuk akal. Seseorang bisa memanjat tembok dan mengeluarkan jaring dari telapak tangannya karena digigit laba-bala? Yang benar saja! Menggelikan."
Dara masih diam.
"Kamu sudah baca Di Pelosok-Pelosok Balkan?"
Dara menggeleng.
"Baca deh. Kamu pasti akan menyukainya."
Dara mengangguk.
"Eh...." Bintang itu menatap Dara lekat. "Kamu tidak bisu, kan?"
Dara menggeleng.
"Kamu bisa bicara?"
Dara mengangguk lagi.
"Kalau begitu katakan sesuatu. Rasanya aneh bicara tanpa direspon."
Dara berdeham, melonggarkan tenggorokan yang rasanya tercekik. Kejadian ini bahkan terlalu liar bahkan untuk sekadar mimpi indah. "Kamu...kamu tidak masuk kelas?" Pertanyaan bodoh itu berhasil keluar juga dari mulut dara.
Bintang itu menggeleng dan meringis jahil. "Pak Rahim membuat logaritma membosankan. Aku keluar. Ngantuk."
Astaga, kenapa bintang itu tampak berkilau di mata Dara? Tanpa sadar dia memegang dada kirinya. Detaknya terasa lebih keras daripada biasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top