Tiga belas

Radit menarik napas panjang lalu mengusap wajahnya.

"Dia ... ah sudahlah! Aku nggak mau kamu ...."

"Katakan, Mas. Ceritakan saja. Toh aku yang memintanya, kan?"

Hening.

Kembali Raditya menarik napas seolah tengah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan hal sesungguhnya. Pria itu mendadak banyak berubah, jika duku dia akan terang-terangan berbicara soal Indria, tapi kini ia sangat takut mengatakan hal itu pada Tiara.

"Tiara, aku harap jangan minta aku untuk meninggalkanmu seperti yang ibu katakan padaku ya," mohonnya lagi.

"Baik, aku akan bercerita soal Indria, tapi kumohon jangan pergi."

Perempuan di sampingnya itu bergeming. Air matanya tak lagi menetes, tapi jelas kedua manik mata itu tersirat kesedihan yang mendalam.

Tak lama meluncurlah kisah tentang Indria. Perempuan yang begitu sangat ia ingin nikahi saat itu. Radit menceritakan perihal pertemuannya dengan perempuan beranak satu. Semua dengan gamblang ia tuturkan pada sang istri.

"Aku hampir saja membuat anaknya mati saat itu, tapi syukurlah semua baik-baik saja, dan ...."

"Mas mencintainya?" potong Tiara tersenyum getir menatap Radit.

"Bukan begitu ... aku ...."

"Nggak apa-apa, Mas. Aku bisa memahami semuanya. Sekarang sebaiknya Mas persiapkan saja semua berkas untuk mengurus proses perceraian."

Tiara beringsut dari duduk, tapi Radit menahan tangannya dan menarik pelan sehingga sang istri jatuh tepat di pangkuannya. Tak berjarak membuat degup jantung keduanya memiliki irama yang sama. Perlahan ia menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Tiara.

"Kumohon ... jangan meminta untuk itu."

Tiara menciba menjauh tapi Radit menahannya kuat.

"Mas mencintai Indria dan kasiahan padaku, kan? Aku bisa sendiri, Mas. Jangan khawatir soal itu. Apalagi ...."

"Apalagi apa?"

"Mas sangat bahagia di tengah-tengah mereka. Demikian juga dengan Indria juga anaknya ... kalian seperti sebuah keluarga utuh yang ...."

"Cukup! Dari mana kamu tahu itu?"

Tiara mencoba lagi untuk bangkit, dan kali ini pria itu membiarkannya menjauh. Dengan sedikit senyum Tiara menceritakan saat dirinya melihat Radit tengah di toko buku waktu itu.

"Aku sedang di tempat yang sama waktu itu."

Kembali Radit merasa sangat bersalah meski sebelumnya dia tidak pernah peduli soal itu.

"Itu ...."

"Kamu tidak perlu menjelaskan ke aku, karena aku sudah paham."

Radit bangkit mendekati sang istri lalu memeluknya erat. Sementara Tiara tak berdaya untuk menghindar. Perempuan itu memejamkan mata membiarkan air mata kembali luruh membasahi baju suaminya.

"Jangan teruskan! Tolong," tuturnya pelan sembari mengeratkan pelukan.

Tiara hanya diam, ia tidak lagi menanggapi ucapan Radit. Baginya mencintai tidak harus memiliki. Pun demikian dengan dirinya saat ini. Mungkin tampak bodoh, tapi ada hal yang mungkin diperlukan waktu untuk bisa memahami dan menerima. Meski dia sudah membuat keputusan untuk mundur dari cinta yang tidak bisa ia raih.

***

Tiga hari di rumah ibunya, seperti yang diucapkan Radit, hari ke tiga dia harus kembali bekerja. Namun, ia merasa enggan pergi hari itu. Entah karena masih ingin bersama Tiara atau alasan lain.

Pagi setelah membersihkan diri, Tiara merapikan rambutnya untuk menyiapkan sarapan sang suami. Terlihat Radit masih meringkuk di ranjang bergelung selimut. Sekilas ia melirik Radit lalu melangkah pelan menuju pintu. Baru saja perempuan itu hendak menegang kenop terdengar Radit memanggilnya. Kembali ia melangkah ke ranjang.

Kening Tiara mengerut menyadari suhu tubuh sang suami tinggi. Bibir Radit terlihat pucat dengan tubuh ditekuk seolah menahan gigil yang melanda dirinya.

"Mas Radit sakit?"

Radit bergeming, tangannya mencari jemari Tiara untuk digenggam. Mata pria itu terkatup mencari kenyamanan.

"Kita ke dokter ya."

Lemah pria itu menggeleng. Dengan suara lirih ia berucap, "Nggak perlu, aku hanya butuh ditemani."

Tiara menggeleng. Ia mengatakan akan mengambil makanan dan minuman hangat untuk Radit.

"Tunggu sebentar," ujarnya bergegas bangkit menuju pintu.

Di dapur, tampak Mbok Warni tengah menghadap kompor sedang dan ibu mertuanya duduk di ruang makan.

"Ada apa Tiara? Kamu sepertinya panik? Radit mana?" cecar Bu Rahmi.

"Mas Radit demam, Bu. Saya mau buatkan dia minuman hangat dan makanan untuk sarapan," jawabnya.

Bu Rahmi mengangguk.

"Sepertinya dia memang harus istirahat untuk beberapa waktu. Apa nggak masalah jika dia tidak berangkat kerja hari ini, Tiara?" tanyanya.

"Nggak apa-apa, Bu. Nanti Tiara hubungi Ardan orang kepercayaannya."

"Ya sudah, kalau nanti butuh apa-apa minta tolong sama Mbok Warni ya."

Tiara mengangguk. Cepat ia menyiapkan jahe hangat dan setangkup roti isi kesukaan sang suami lalu membawanya ke kamar.

"Aku bawakan minuman hangat, aku bantu duduk, Mas," ujarnya membantu suaminya duduk bersandar di kepala ranjang. Setelah Radit duduk, ia menyodorkan minuman yang dia buat tadi.

"Terima kasih, Tiara."

Perempuan berbaju biru panjang tanpa lengan itu tersenyum.

"Makan sandwichnya ya," tawar Tiara.

"Kamu mau menyuapkannya untukku?" pintanya.

Dengan senyum ia mengangguk lalu memotong roti isi lalu menyuapkan ke mulut sang suami. Radit tersenyum menatap hangat Tiara. Ada kebahagiaan yang tak bisa ia ungkap meski tubuhnya didera demam.

Tiara mencoba bersikap wajar walaupun tahu sang suami intens menatapnya. Saat suapan terakhir selesai, terdengar ponsel Radit berbunyi. Tiara melirik benda yang tergeletak di bantal dekat Radit. Terbaca jelas nama Indria di sana.

Tak menunggu lama, cepat Tiara mengemas nampan dan peralatan makan, lalu beringsut meninggalkan Radit yang tengah serba salah menatap istrinya.

"Halo, Indria."

"Halo, Mas. Maaf, aku harus meneleponmu." Terdengar sua lirih di sana.

"Ada apa? Apa yang terjadi pada Salma?"

"Hari ini jadwal dia kemo, dan dia ingin bertemu kamu, Mas."

Radit mengusap wajahnya kasar lalu menarik kembali selimut untuk menghangatkan tubuh.

"Maf, aku belum bisa kembali. Kondisi tubuh tidak memungkinkan untuk pergi."

"Mas sakit? Sakit apa, Mas? Sudah minum obat?" tanya Indria panik.

"Aku nggak apa-apa. Kalau udah baikan aku segera pulang. Sampaikan salam ke Salma."

"Iya, Mas. Hati-hati, jaga diri baik-baik. Eum ...."

"Ada apa?"

"Nggak apa-apa. Hanya ...."

"Hanya?"

"Bolehkah kami merindukanmu?"

Radit memijit pelipisnya kemudian berkata, "Indria ... ada yang ingin aku bicarakan sepulang dari sini. Sekarang aku harus banyak istirahat."

Tak lama obrolan mereka berakhir. Radit kembali merebahkan tubuhnya di pembaringan. Tampak dia mencari nomor telepon seseorang, lalu menghubunginya. Tak berapa lama seolah tak ingin diganggu, Radit meletakkan begitu saja ponselnya sebelum ia mengaktifkan mode pesawat.

***

Tiara duduk termenung di teras. Hatinya berkecamuk berbagai macam rasa. Sebagai seorang istri ia pantas cemburu, tapi apakah sebagai seorang yang tidak pernah dicintai dia juga berhak memiliki rasa itu? Pada akhirnya semua yang diimpikan harus disudahi. Ia tidak mampu lagi bertahan meski cinta itu kita membelit nuraninya.

Namun, ada perih saat merasakan perhatian dan perubahan sikap Radit belakangan ini. Sebagian hatinya ingin pergi, tapi sebagian yang lain ingin tetap tinggal.

Ponselnya bergetar, bibir Tiara melengkung membaca pesan dari Ardan. Pria baik itu bertanya kabar seperti biasa. Ardan bukan siapa-siapa baginya, pria bermata teduh itu datang seperti malaikat pelindungnya. Dia banyak membantu dan memberi masukan atas apa saja yang ia inginkan. Termasuk untuk bisa berkomunikasi dengan baik seperti orang normal pada umumnya.

Mendadak ada kerinduan pada kedua orang tuanya. Sendiri, itu yang dia rasakan kini. Dia bukan perempuan tegar, tapi keadaan yang membuatnya sadar bahwa dirinya harus bisa lebih mengerti dan menyadari seperti inilah hidup yang harus dijalani.

Sentuhan lembut di bahu, membuatnya menoleh.

"Mas Radit! Kenapa keluar? Mas harus kembali beristirahat, Mas." Cepat ia bangkit, tapi Radit menggeleng memberi isyarat agar ia tetap duduk.

"Aku udah baikan, berkat perhatianmu."

***



Terima kasih buat semua supportnya 🥰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top