Sepuluh
Mendengar penuturan ibunya, Radit menghela napas. Sesekali ia melirik pada Tiara yang membantu Mbok Warni membereskan meja.
"Radit, ibu serius soal cucu, Nak," sambung ibunya lagi.
Bu Rahmi menahan Tiara untuk membantu Mbok Warni. Ia memberi isyarat agar menantunya itu duduk. Perempuan itu tersenyum lalu duduk di samping sang mertua.
"Ibu memintamu ke sini bukan untuk sibuk di dapur, Tiara. Ibu ingin tahu apa kalian bahagia? Apa Radit bersikap baik padamu?" tanya Bu Rahmi mengusap punggung tangan Tiara.
"Baik, Bu. Mas Radit bersikap baik kok," jawabnya membalas tatapan Bu Rahmi.
Perempuan paruh baya itu mengulas senyum sembari mengucap syukur.
"Tiara, mungkin kamu sudah tahu keinginan ibu. Apa tidak terburu-buru jika ibu bertanya setelah pernikahan kalian berjalan enam bulan?"
Tiara yang paham maksud ibunya mengangguk.
"Lalu kamu, Radit. Kamu tidak bermasalah kan?"
Ditanya hal itu membuat Radit menggeleng cepat.
"Bermasalah apa, Bu?"
Rayhan yang sejak tadi diam menikmati orange juice menahan tawa. Ia bangkit dari duduk mendekat ke Radit seraya berbisik, "Alat reproduksi punya Mas sehat kan?" Setelah mengucapkan itu, Rayhan mengayun langkah meninggalkan ruang makan dengan tawa meledak.
Wajah Radit menegang sekaligus memerah, ia tak menyangka ibunya bertanya soal itu.
"Radit nggak bermasalah soal itu, Bu. Lagian mungkin belum waktunya aja. Baru juga enam bulan," elaknya kali ini kembali melirik sang istri.
"Radit, Tiara ... setiap orang tua akan bahagia saat putra putri mereka menikah, dan kebahagiaan itu akan berlipat saat tahu mereka memiliki cucu. Demikian pula dengan ibu. Jadi jangan kesal ya, kalau ibu sering bertanya hal ini," tutur Bu Rahmi menatap keduanya bergantian.
"Ibu sudah tidak muda lagi dan sebelum ibu pulang ... ibu ingin sekali melihat kalian memiliki anak dan ibu memiliki cucu pertama ibu."
"Bu, maaf kalau kami belum bisa mewujudkan keinginan ibu. Mungkin saja Allah memang belum mengizinkan kami untuk dianugerahi buah hati. Ibu jangan sedih ya," ujar Tiara mencoba memberi pengertian pada Bu Rahmi.
Sambil tersenyum perempuan itu mengangguk.
"Semoga Allah segera memberi jawaban atas keinginan ibu," ungkapnya kemudian di aminkan lirih oleh Radit.
"Ibu, Tiara lihat anggrek ibu hampir semuanya berbunga. Boleh Tiara lihat koleksi bunga ibu?" Perempuan berkulit kuning langsat itu mengalihkan pembicaraan.
Mendengar permintaan menantunya, ia mengulas senyum lalu mengangguk.
"Ayo, ibu tunjukkan koleksi anggrek ibu yang lain juga." Sambil beranjak ia mengulurkan tangan meraih lengan Tiara.
Kedua perempuan berbeda generasi itu meninggalkan Radit sendiri di ruang makan. Ia menyadari bahwa akan sulit mewujudkan impian ibunya.
Pria itu mulai berandai-andai jika saja hubungan dia dan Tiara tidak sedingin ini mungkin akan mudah untuknya, tapi tentu saja hal itu adalah sebuah angan. Karena dia juga yang mengawali membangun tembok pembatas diantara dirinya dan Tiara. Dia juga yang setiap saat menolak perempuan itu meski ia tahu Tiara tak lelah mencoba bersikap baik padanya.
Ada sesak menelusup meski dirinya tahu terlambat, saat ia menyaksikan kedekatan Tiara dengan Ardan. Bahkan kini ia pun merasa frustrasi saat melihat Rayhan tengah berbagi tawa dengan istrinya. Sayup terdengar mereka berbagi cerita. Denting suara gitar menyapa pendengarannya. Mengalun indah menyapa telinga instrumen Beethoven, Fur Elise sukses membuat Radit bangkit mendekat ke arah suara.
Dari balik jendela ia melihat ibu dan Rayhan tengah menikmati petikan gitar dari Tiara. Perempuan berpiyama marun itu terlihat begitu menghayati setiap petikan gitarnya. Sesekali ia tersenyum menatap orang di depannya, kemudian kembali menghayati setiap nada yang keluar dari alat musik petik di pangkuannya.
Sempurna Tiara mengakhiri petikan dawainya yang kemudian disambut tepuk tangan oleh Rayhan dan ibu mertuanya. Masih berdiri di balik jendela bibir Radit ikut mengembang. Kedua tangannya ikut bertepuk untuk sang istri, lalu melangkah bergabung bersama yang lainnya di teras.
"Kamu nggak pernah cerita kalau bisa memetik gitar sebagus ini, Tiara?" Radit mengambil tempat di sebelah istrinya.
"Loh? Enam bulan bersama, Mas nggak tahu kalau Mbak Tiara bisa memainkan gitar dengan bagus?" ungkap Rayhan dengan mata menyelidik.
Radit sejenak terdiam, ia tak tahu harus berkata apa.
"Mas Radit sibuk, Ray. Aku juga jarang main gitar, karena lebih memilih mambaca," terang Tiara seraya tersenyum.
Tampak Radit menghela napas lega. Ia mengangguk mengiyakan keterangan sang istri. Namun, rupanya Bu Rahmi justru tidak puas dengan keterangan itu. Perempuan bermata sendu itu mengalihkan pandangan ke putranya.
"Sesibuk apa sih kamu, Radit? Sampai kehebatan istrimu kamu tidak tahu?"
"Eum ... kan Ibu dengar sendiri tadi kalau Tiara jarang memainkan gitar di rumah," elaknya.
Sang ibu tersenyum tipis. Sebagai seorang ibu dia tahu ada yang kurang beres pada rumah tangga anaknya. Namun, ia belum mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Perempuan itu hanya sebatas menduga-duga karena gesture dari keduanya seolah kaku dan tidak seperti layaknya seorang suami istri.
"Radit, jadi apa lagi yang tidak kamu ketahui tentang Tiara?"
Pertanyaan ibunya membuat Radit tak berkutik. Ia bahkan baru tahu hobi membaca Tiara saat masuk ke kamar pribadinya saat itu. Bersyukur dia ingat gelang terbuat dari batu yang ia beli di pusat oleh-okeh sesaat sebelum mereka berangkat.
"Radit sudah tahu semua kok, Bu. Ibu jangan menginterogasi Radit begitu dong. Tiara, aku tahu kamu suka perhiasan dari batu-batuan yang kemarin kita beli kan?" Tatapannya lembut pada sang istri.
Perempuan itu tersenyum menanggapi.
"Ada di kamar. Nanti aku pakai," tuturnya membalas tatapan Radit.
***
Malam menjelang, tapi Tiara enggan beranjak dari ruang tengah. Ia memilih bercengkerama dengan Rayhan setelah memastikan ibu mertuanya terlelap. Sementara Radit ikut bergabung dengan keduanya meski lebih banyak diam. Ia bahkan kehilangan kata-kata saat melihat kedekatan Rayhan dan sang istri.
"Jadi Mbak Tiara selain punya Beethoven punya siapa lagi yang Mbak bisa untuk musik klasik?" Rayhan memetik lirih gitarnya.
"Sebastian Bach! Tapi nggak banyak yang Mbak bisa," jelasnya antusias sesekali dengan isyarat tangan.
Radit terlihat tak nyaman berada di tengah-tengah keduanya. Berulang kali ia melihat arloji, lalu kemudian beralih ke ponselnya. Hal itu tak luput dari penglihatan Rayhan.
"Mbak Tiara pasti nggak tahu, Mas Radit sebenarnya bisa kok main gitar. Ya kan, Mas?"
Tiara menoleh ke sang suami yang duduk di seberangnya.
"Ya meski nggak secanggih Mbak Tiara," sambung Rayhan lagi. "Coba deh, Mas!" Pria berambut sedikit tebal itu menyerahkan alat musik petik itu pada Radit.
Dengan senyum tipis ia menerimanya.
"Kamu mau dengar aku memainkan lagu apa, Tiara?" tanyanya hangat.
Tatapan pria itu sukses membuat Tiara tersipu. Hal itu juga yang akhirnya membuat Rayhan memutuskan untuk menjauh.
"Udah deh, aku melipir ya. Nggak enak aja nungguin orang pacaran gini!" kelakarnya seraya beranjak dari duduk kemudian melangkah menuju kamar.
Terdengar tawa Radit mengiringi langkah sang adik. Sementara Tiara hanya tersenyum tipis. Melihat senyum sang istri hati Radit menghangat. Matanya seolah enggan berpaling.
"Kamu pasti suka lagu ini," tuturnya lembut.
Pria itu mulai memainkan nada mendayu dari lagu yang menjadi soundtrack film Titanic. Mata indah Tiara mengerjap kagum mendengar alunan musik yang dimainkan suaminya. Tampak sesekali ia memejamkan mata meresapi setiap nada yang keluar dari alat musik itu.
Hingga Radit selesai, Tiara masih terkagum-kagum dengan kemampuan sang suami. Perempuan itu bertepuk tangan lalu bertanya, "Kamu kenapa nggak pernah memainkan di rumah? Kan ada gitar juga di sana?"
"Mungkin aku terlalu memikirkan hal lain jadi ...."
Wajah Tiara berubah muram. Dia paham siapa dan apa yang dimaksud suaminya. Kilas bahagia Radit dan Indria kembali tersaji tanpa permisi.
"Aku tahu, Mas terlalu sibuk," potongnya.
"Mas, kalau aku dirasa menjadi beban dalam hidup Mas. Sudah saatnya kita ambil jalan masing-masing," tuturnya lirih.
"Kamu bicara apa, Tiara?" tangkis Radit.
"Mas nggak perlu mempertahankan rumah tangga yang rumit ini. Seperti yang aku bilang, Mas bebas mengambil apa yang jadi hak Mas dan aku ...."
"Tunggu! Barusan kamu bilang aku bebas mengambil hakku?" tanyanya menatap sang istri. Pria itu bangkit mendekat lalu mengulurkan tangan mengajak Tiara beranjak dari tempat itu.
Dengan tatapan penuh tanya Tiara mengikuti keinginan suaminya.
"Ikut aku!"
***
Eh, ada yang salah bicara keknya 😁😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top