sembilan
Dengan rambut yang dibalut handuk dan piyama marun menutup tubuh, Tiara keluar dari kamar mandi. Hampir saja ia menjerit saat membuka pintu. Radit berdiri tepat di depannya menatap lekat dengan tangan dimasukkan ke kantung celana tiga perempatnya.
"Mas ... ngapain di sini?" tanyanya seraya mundur.
"Kamu nggak lihat aku nungguin?" Matanya masih membidik sang istri.
"Dari tadi Mas berdiri di sini?"
Alis Radit terangkat sebelah dengan senyum lebar.
"Tapi kenapa harus berdiri di depan pintu?" protes Tiara.
"Kalau cecak datang lagi gimana? Kamu teriak lagi? Nanti orang di rumah ini curiga aku telah melakukan sesuatu padamu," jawab Radit santai.
Manik mata pria itu turun melihat kancing bagian dada Tiara yang belum terkait sempurna. Menyadari sang suami menatapnya, cepat Tiara merapatkan merapatkan kancing piyama yang terbuka dengan kedua tangannya.
"Mas mau mandi? Permisi, beri aku jalan. Aku mau ...."
Radit minggir memberi ruang untuk Tiara keluar dari kamar mandi. Aroma segar menguar memanjakan penciumannya. Aroma cherry yang manis seolah benar-benar menggambarkan sosok Tiara. Perempuan yang memiliki kepribadian manis dan sederhana meski memiliki kemewahan.
"Eum ... Tiara!"
"Iya?"
Perempuan itu menoleh, mata cokelat dengan rambut basah yang baru saja ia gerai berhasil membuat Radit menelan ludah. Mendadak ia merasa pria bodoh saat melihat keindahan yang dimiliki Tiara.
"Ada apa, Mas?"
Lagi-lagi Radit menelan ludahnya dan berusaha menahan rasa yang tak biasa.
"Nggak apa-apa. Kamu istirahat di ranjang itu, jangan di sofa!" pesannya bergegas masuk ke kamar mandi.
Tiara tak menyahut, ia kembali mengeringkan rambutnya dan berhenti saat pesan masuk ke ponselnya. Bibirnya melebar membaca pesan dari Ardan.
[Sudah sampai?]
[Sudah]
[Syukurlah. Perjalanan menyenangkan?]
Tiara mengirimkan emoticon senyum.
Tak lama ia menerima foto buku biografi milik Helen Keller. Mata indah Tiara mengerjap kagum. Ia tahu siapa tokoh di buku itu. Buta dan tuli tak pernah menghentikannya untuk selalu berkarya, bahkan untuk menghasilkan buku.
Helen merupakan perempuan pertama yang tunanetra dan tunarungu, namun berhasil menjadi seorang penulis, aktivis politik, dan dosen.
Dia selalu dikenang sebagai contoh kekuatan besar terhadap advokasi bagi orang-orang dengan disabilitas.
[Buat kamu! Aku yakin kamu bisa lebih dari dia, aku yakin!] Demikian caption yang ditulis setelah foto.
Kembali ia mengirim emoticon senyum.
[Selamat bersenang-senang. Bukunya aku simpan, nanti kita ketemu lagi!]
[Terima kasih, Ardan]
Hati Tiara masih diliputi kebahagiaan saat Radit muncul di sebelahnya.
"Chatting sama siapa?" tanyanya ingin tahu.
"Ardan," jawabnya kemudian meletakkan ponsel ke meja rias.
"Lagi?" Terlihat wajah Radit berubah kesal.
"Maksudnya?" Tiara menjawab dengan isyarat dan mata penuh tanya.
"Dia lagi yang menghubungimu?" tegasnya masih dengan rahang mengeras.
"Iya. Dia membelikanku buku biografi Hellen Keller. Baru saja." Dengan senyum Tiara menceritakan tentang obrolannya dengan Ardan. Rahang kukuh Radit masih seperti tadi. Kali ini matanya pun terlihat kilat yang tak biasa.
"Sedekat itu kamu dengan dia?"
Masih dengan senyum Tiara mengangguk. Seolah tak ingin terus ditanya, ia melangkah ke ranjang.
"Aku lelah. Bisa aku beristirahat?"
Radit menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Tiara," panggilnya mendekat lalu duduk di bibir ranjang. Sementara Tiara mengurungkan diri untuk rebah.
"Kenapa?"
"Aku boleh meminta satu hal?"
"Apa?"
"Aku nggak suka kamu terlalu dekat dengan ...."
"Ardan? Kenapa?" potongnya cepat.
"Ya aku nggak suka aja! Kamu istriku kan?"
Tiara membuang napas kasar, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. Dirinya merasa diperlakukan tidak adil. Bagaimana mungkin Radit tidak suka jika dirinya bersama Ardan, sementara ia sendiri justru sibuk dengan Indria.
"Tiara."
"Dia temanku, Mas. Aku butuh orang yang bisa mendengar dan memahami. Maaf jika permintaan yang ini aku nggak bisa penuhi." Perempuan berkulit kuning langsat itu menggeleng dengan tangan yang bergerak menolak.
"Selama ini aku tidak pernah protes soal kedekatan Mas dengan perempuan lain bukan? Mas bebas melakukan apa pun kan?" sambungnya lagi. "Jadi biarkan aku memiliki seorang yang bisa memahamiku."
Radit mengacak rambut kemudian memangkas jarak. Matanya menatap intens pada Tiara.
"Aku memiliki alasan untuk itu. Indria ...."
"Mas, apa tidak sebaiknya Mas bicarakan ini langsung ke Ibu? Aku tidak keberatan kok," potongnya.
Tiara menggeser tubuhnya menjauh. Dengan tangan ia mengatakan seperti yang ia ucapkan di mobil tadi bahwa tidak perlu bertahan demi wasiat orang tuanya.
"Aku bisa sendiri!" tuturnya kembali menggeser lebih jauh tubuhnya.
Melihat sang istri menjauh seolah tak ingin disentuh, menjadikan semakin ingin mendekap. Cepat ia naik ke ranjang kemudian meraih tubuh Tiara lalu meraih bahu perempuan itu untuk didekap.
"Tiara, apa aku tidak boleh cemburu? Apa aku tidak memiliki kesempatan untuk dekat denganmu?"
Tiara tak menyahut, ia bergeming merasakan nyeri hati yang telah lama ia abaikan. Perempuan itu setiap detik selalu mencoba membuta- tulikan rasa demi bisa menunjukkan pada Radit bahwa dirinya sama sekali tidak terluka atas apa pun yang ia perbuat. Bayangan sorot gembira yang ia tangkap dari wajah Radit saat bersama Indria tercetak jelas di ingatan.
Radit masih memeluk tubuh sang istri, kembali aroma segar nan manis menguar perlahan menjadi candunya.
"Tiara."
Perempuan itu menoleh.
"Apa terlambat jika aku mengatakan jatuh cinta padamu?"
Perempuan itu mengurai pelukan dengan senyum mengembang ia menggeleng. Kembali dengan menggerakkan tangan ia mengungkapkan bahwa Radit tidak perlu merasa kasihan padanya. Ia juga mengatakan bahwa dirinya tahu Radit hanya terbawa perasaan dan suasana. Masih dengan senyuman, Tiara bertutur dia akan baik-baik saja meski Radit harus melepaskan dirinya.
"Cukup, Tiara!" Pria itu menahan lembut lengan istrinya.
Keduanya saling bertukar tatap saling menyelami ke kedalaman hati. Radit paham bagaimana Tiara mencoba melakukan yang terbaik untuknya, sedangkan dia merasa memang pria brengsek yang berlindung dibalik kekurangan sang istri yang sebenarnya jauh lebih sempurna darinya.
Pria itu juga tahu tatapan mata Tiara yang hangat berharap cintanya, dia bukan pria yang tak tahu bagaimana sorot mata penuh cinta dari seorang perempuan. Lembut ia menyibak rambut panjang Tiara yang mengganggu wajah cantiknya. Perlahan ia semakin mendekat.
Satu kecupan lama di bibir telah cukup mengisyaratkan bagaimana perasaan Tiara padanya. Perempuan sewangi cherry itu diam memejamkan mata tanpa berusaha menjauh seperti tadi.
***
Tiara mengemas piring hendak membantu Mbok Warni, tapi suara Bu Rahmi menahannya.
"Sayang, kamu nggak perlu capek begitu. Sudah biar Mbok Warni saja yang membereskan."
"Nggak capek kok, Bu. Hanya membantu supaya pekerjaan Mbok segera selesai," tuturnya sopan. Ibu mertuanya menggeleng. Ia tahu bahwa Tiara memiliki kepekaan yang tinggi. Sikap itu juga yang membuat perempuan itu kagum pada menantunya.
"Mbak Tiara ke sini itu bukan untuk lelah. Ibu justru ingin Mbak menikmati kebersamaan dengan Mbak di sini. Termasuk ...."
"Termasuk apa, Ray?" potong Radit yang sejak tadi menatap sang istri.
"Ingin tahu kapan Ibu punya cucu!" sambungnya seraya meneguk air mineral di depannya hingga tandas. "Betul begitu kan, Bu?"
Bu Rahmi tersenyum lebar. Ia mengangguk membalas tatapan Radit.
"Betul! Betul sekali apa yang dikatakan Rayhan, Radit. Ibu ingin mendengar kabar baik itu dan melihat menantu cantik ibu mengandung."
Radit yang tahu bakal ada obrolan seperti itu, mencoba santai menanggapi. Dengan senyum ia membalas ucapan ibunya.
"Rasanya masih belum cukup masa pacaran kami, jika harus segera memiliki seorang anak. Radit kan baru kenal Tiara saat kami menikah. Jadi ...."
"Enam bulan itu waktu yang cukup untuk kamu mengenal istrimu, Radit. Lagipula, usia ibu tidak bisa menunggu ... bagaimana kalau tiba-tiba Tuhan memanggil ibu?"
🍁🍁🍁
Masih nungguin kah? Hehe. Terima kasih sudah mampir ke kisah ini. Salam hangat 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top