sebelas


Tiara menahan napas ketika pintu kamar dikunci oleh Radit. Ia mencoba mengatur detak jantung yang bertalu saat pria itu mendekatkan wajahnya. Perempuan itu mundur perlahan hingga tubuhnya menempel di dinding.

"Kenapa? Kamu masih takut dengan suamimu sendiri?" bisik Radit lembut dengan jemari menyingkirkan rambut yang berserak di kening Tiara.

Dengan menahan napas Tiara menggeleng pelan.

"Kamu bilang aku bebas mengambil hakku, kan?" tuturnya lagi. "Mungkin ini saatnya aku memintanya."

"Kamu ... mau apa?" tanya Tiara mencoba tenang meski hampir saja ia memekik saat bibir Radit menempel di lehernya.

"Aku mau kamu," balasnya terengah.

"Aku ...." Tiara tak lagi bisa meneruskan kalimatnya karena bibir Radit telah membungkamnya.

Perempuan beraroma cherry itu kali ini mencoba melepaskan diri, tapi lagi-lagi dirinya harus diam dalam kungkungan sang suami. Tiara benar-benar tak ingin pria itu meminta haknya karena untuk memenuhi keinginan sang ibu.

Suara ketukan membuat Tiara dan Radit menoleh bersamaan ke arah pintu.

"Mas Radit, Ibu, Mas! Ibu!" Terdengar suara panik dari Rayhan.

Menyadari ada yang tidak beres pada ibunya, bergegas Radit mundur merapikan rambut dengan tangannya, kemudian memberi isyarat agar Tiara merapikan kancing baju yang telah terbuka hingga bagian dada itu.

"Kita ke kamar ibu," ajaknya melangkah cepat.

Setibanya di kamar, mereka berdua melihat kondisi ibunya tengah memejamkan matanya rapat dengan bibir tak berhenti merapal nama Allah.

"Bu?" Radit mendekat mengusap punggung tangan keriput sang ibu. "Ibu kenapa?"

Bu Rahmi tak membuka mata. Sementara Rayhan hanya duduk diam di sudut kamar. Mata pria itu terlihat berkaca-kaca dengan wajah emosional.

"Ibu kenapa, Ray? Kita bawa ke dokter sekarang!"

"Ibu nggak mau, Mas. Ibu tadi hampir jatuh di depan kamar mandi!" jawab Rayhan bangkit dari duduk mendekati sang kakak.

"Mas! Ikut aku!" Rayhan menarik lengan Radit mengajak sang kakak untuk keluar dari kamar ibu mereka.

"Mbak, titip Ibu sebentar ya." Rayhan menatap Tiara dengan senyum. Perempuan itu mengangguk lalu duduk di bibir ranjang sang mertua.

Lembut ia mengusap kening perempuan paruh baya yang tengah berbaring dengan mata terpejam itu.

"Ibu," bisiknya.

Perlahan Bu Rahmi membuka mata. Ada senyum getir terpeta di bibirnya. Tak lama mata itu berkaca-kaca. Diraihnya tangan Tiara seraya meminta maaf. Melihat ibu mertuanya bersikap seperti itu, Tiara mengernyitkan dahi kemudian bertanya, "Ibu kenapa minta maaf?"

"Tiara Sayang, maafkan anak Ibu yang tidak bisa membahagiakanmu. Maafkan Ibu ya, Nak. Ternyata yang ibu khawatirkan terjadi. Kamu tidak bahagia hidup bersama Radit."

Kali ini Tiara menyipitkan mata menatap mertuanya. Ia menerka-nerka apa yang diketahui oleh ibu Radit itu. Benar saja, meluncurlah cerita bahwa Bu Rahmi mendengar percakapan dirinya dan Radit beberapa saat yang lalu.

Tiara menelan ludah. Ia sama sekali tidak menyangka jika ibu mertuanya mendengar obrolan antara dia dan Radit di ruang tengah tadi.

"Ibu ...."

"Kamu nggak bahagia, Tiara? Kenapa kamu nggak cerita ke ibu? Kenapa kamu sembunyikan itu sendiri?" cecarnya masih dengan mata berkaca-kaca.

"Ibu bicara apa, Bu?"

"Kamu jangan menutupi semuanya, Nak. Ibu sudah tahu apa yang terjadi pada rumah tangga kalian. Apa Radit memiliki perempuan lain?"

Tiara terdiam, tenggorokannya seolah kering seketika. Ia tak lagi bisa menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Dadanya berkecamuk sedih seolah berebut keluar bersama dengan air mata yang membasahi pipi tanpa permisi.

Perlahan Bu Rahmi bangkit dibantu Tiara. Ia bersandar di ranjang kemudian memberi isyarat agar Tiara memeluknya.

Tiara luruh dalam tangis, ia seolah menemukan kembali kehangatan seorang ibu yang lama ia rindukan. Dalam dekapan Bu Rahmi perempuan berkaki jenjang itu menumpahkan air matanya. Ingin dia menyembunyikan luka, tapi Tiara sudah lelah berpura-pura.

Lagipula bagi Tiara tak ada bedanya jika ia tetap bersandiwara, toh kepedihan juga tetap menyapa. Satu-satunya dia memang harus jujur mengakui bahwa dirinya telah lama menyimpan luka.

Sementara di ruang tengah, Rayhan menatap sang kakak tajam. Ia sama sekali tidak menyangka jika Radit selama ini menyembunyikan kondisi rumah tangganya pada sang ibu.

"Ibu mendengar dan mengetahui semuanya! Kamu keterlaluan, Mas!"

Radit bersandar di punggung kursi seraya mengusap wajahnya.

"Lalu aku harus bagaimana? Aku tidak mencintainya dan aku ...."

"Mas selama ini tidak pernah menganggap Mbak Tiara sebagai istri?" potongnya. "Aku nggak menyangka selama ini memiliki seorang kakak yang tak ubahnya seperti pecundang!"

"Rayhan! Jaga mulutmu! Coba, pernahkah kamu berpikir menikah dengan seorang yang tidak ...."

"Tidak apa, Mas!" Kembali Rayhan memotong ucapan sang kakak. Matanya berkilat amarah menatap Radit.

Sama halnya dengan Radit, ia pun tidak kalah meradang mendengar penuturan adiknya.

"Seharusnya memang Mbak Tiara tidak pernah menikah denganmu, Mas! Dia bisa menemukan bahagia dengan pria yang lebih baik darimu!"

Rayhan bangkit dari duduknya meninggalkan Radit yang membisu.

***

Malam itu berjalan lambat. Peristiwa yang terjadi membuat hambar pertemuan itu. Tiara memilih tidur menemani mertuanya, sementara Radit tidur di sofa yang ada di ruang tamu.

Matahari pagi yang hangat membuat kulit kuning langsat Tiara semakin bersinar. Pagi itu ia, Bu Rahmi dan Rayhan menghabiskan waktu di halaman rumah merawat beberapa anggrek kesayangan Bu Rahmi.

"Kamu nggak kerja, Ray?" Tiara menggerakkan tangannya bertanya.

"Kerja, Mbak. Bisa dipecat nanti aku," jawabnya dengan tawa.

"Sudah sana siap-siap! Biar aku yang beresin semuanya." Tiara kembali memberi isyarat agar pria itu segera pergi.

Rayhan mengangguk kemudian masuk rumah.

"Mas, Ibu bilang nanti akan bicara denganmu. Kata Ibu ... Demi kebahagiaan dan kebaikan Mbak Tiara, ada baiknya Mas sudahi aja pernikahan itu!" cetus Rayhan saat melihat Radit baru saja hendak bergabung di halaman.

Pria berbadan tegap itu hanya melirik menanggapi. Seolah tak mendengar, ia melangkah mendekati sang ibu yang tengah duduk melihat Tiara merawat anggrek-anggreknya.

"Bu, Ibu udah nggak apa-apa?" sapanya duduk di samping Bu Rahmi.

Perempuan itu menoleh sekilas kemudian kembali memandang Tiara.

"Kamu sudah bikin ibu kecewa, Radit! Apa kami orang tuamu mengajarkan kamu seperti itu?" ungkapnya tanpa menatap sang putra.

"Bu, Radit ...."

"Kamu salah, Radit! Apa pun alasannya kamu salah! Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu bahkan tidak mengenal sebaik apa istrimu!"

Radit membuang napas kasar. Ia bahkan tak menyangka semuanya bisa terungkap dalam semalam, saat dirinya baru merasa ada yang beda di hatinya untuk Tiara.

"Apa yang ibu dengar semalam itu menyadarkan ibu bahwa kamu memang tidak pantas mendampingi perempuan sebaik dan secantik Tiara! Dia benar, dia berhak bebas dan memiliki kebahagiaan sendiri!"

"Ibu? Ibu bicara apa? Ibu mau Radit ...."

"Ibu mau Tiara bahagia! Jika dia tidak menemukan bahagia denganmu ... buat apa?" Ibunya menarik napas dalam-dalam. "Ibu hanya tidak ingin amanah ayahmu tak tersampaikan."

Perempuan berbaju ungu dengan bunga-bunga kecil itu menuturkan harapan sang ayah agar hubungan baik yang telah terbina itu terus dipupuk hingga anak cucu.

"Pun demikian dengan pesan ayah dan ibu istrimu. Mereka menaruh harapan besar dengan pernikahan kalian. Tapi jika kenyataannya seperti ini untuk apa diteruskan? Itu hanya akan membuat ibu menanggung beban berat karena tak bisa memenuhi keinginan itu," tuturnya panjang lebar.

"Jadi maksud ibu?"

"Ikuti saja apa yang diinginkan Tiara."

🍁🍁🍁

Halo, terima kasih sudah mampir dan setia membaca kisah ini.

Btw bolek Btw yuk ramaikan komentar, hehe 😁

Colek jika typo ya. Thank you 😘 salam hangat 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top