satu


Dear, Readers, maafkan aku yang sering selingkuh naskah 😁🙈

Btw minta komentar untuk kisah ini boleh? Komentar yang membangun pastinya.

***

Dua jam sudah Tiara duduk menatap wajah lewat pantulan cermin. Tak ada yang berubah, masih tetap sama. Perempuan berhidung mancung itu tetap tak bisa berkata-kata seperti Indria perempuan yang sering disebut Radit sebagai rumah.

Banyak yang berkata bahwa Tiara telah memiliki semua impian sebagai perempuan. Kaya, memiliki wajah warisan Ayah yang berkebangsaan Inggris dan Ibu asli Jawa membuat mereka berpikir bahwa perempuan itu benar-benar merasa bahagia. Terlebih setelah ia  telah menikah dengan Raditya, pria yang memiliki banyak pesona.

Mereka tidak tahu atau mungkin lebih tepatnya pura-pura tidak tahu bahwa Tiara seorang yang mengalami kesulitan berkomunikasi dan  seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari suami sendiri.

Hal itu terjadi semenjak bulan pertama menikah. Tiara sadar, Radit hanya setengah hati menikah dengannya. Sebab mustahil jika pria sempurna seperti Raditya Pamungkas sudi memperistri dirinya seorang perempuan bisu.

Bukan tanpa alasan ia berpikir seperti demikian.  Dua bulan sebelum kedua orang tua Tiara meninggal karena kecelakaan, ia dan Radit menikah. Radit tidak pernah sekalipun mengajaknya berbincang atau sekedar membalas tatapannya kecuali ketika ia dan Radit berada satu ruangan dengan ayah dan ibunya.

Pria bermata tajam itu menjadi menantu kebanggaan sang mertua. Padanya Ayah Tiara memberikan kepercayaan penuh untuk mengelola  bisnis properti keluarga.

Baik orang tua Radit dan orang tua Tiara sama-sama sepakat dan bahagia dengan pernikahan itu. Namun, mereka tidak pernah tahu luka batin yang dirasakan perempuan berkulit kuning langsat itu. Tiara memilih diam dan bercengkrama dengan buku hariannya.

Ayah Radit yang mulanya memiliki ide untuk menikahkan putranya dengan Tiara. Saat itu beliau tengah sakit keras dan merasa banyak berhutang budi pada Pak Pieter --- ayah Tiara.

Dari kisah Bu Rahmi -- ibu Radit mereka tak bisa bengkit dari keterpurukan jika tidak dibantu Pak Pieter. Maka dari itu keluarga mereka sangat senang ketika ayahnya setuju dengan pinangan keluarga Radit.

Hingga akhirnya sebelum Pak Herman meninggal, mereka dinikahkan dengan pesta besar-besaran. Semua kolega kedua keluarga diundang. Tiara terlihat memesona dengan gaun pengantin berwarna putih dan hiasan mahkota mungil di kepalanya.

Demikian pula dengan Radit. Pria itu tak kalah gagah dengan setelan jas hitam. Senyumnya menyapa setiap undangan yang hadir seolah berbahagia dengan pernikahan itu.

Tiara dan Radit tidak pernah bertemu lama atau bercakap-cakap sebelumnya. Mereka berdua hanya bertemu sebentar saat acara pertunangan mereka. Itu pun Radit hanya tersenyum tipis saat ia menyelipkan cincin di jari manis Tiara.

Setelah menikah, mereka diberi hadiah tiket bulan madu ke pulau Lombok. Namun, hal itu dibatalkan karena ayah Radit mendadak anfal hingga akhirnya pria bijak itu meninggal.

Jangan bayangkan soal malam pertama. Radit bahkan enggan seranjang dengan dirinya. Pria itu hanya menatap Tiara sekilas kemudian merebahkan diri di sofa. Sementara Tiara mencoba terlelap dalam pelukan lara.

Tak ada kehangatan dari Radit seperti yang ia tampakkan saat di hadapan orang tua Tiara. Dia sangat pintar bersandiwara. Meski begitu, Tiara tak hendak protes. Ia selalu mencoba bersikap baik di depan Radit.

Tiara selalu menyiapkan segala kebutuhan suaminya meski tak pernah dianggap. Hati kecilnya berharap kelak sang suami benar-benar bisa menerima kekurangannya.

Sebuah peristiwa besar mengubah setitik harap menjadi neraka. Kedua orang tua Tiara meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat. Sejak itu Radit seolah semakin menjaga jarak meski tak pernah saling berkata-kata, tapi sikapnya terlihat enggan duduk bersama dengan sang istri.

"Kamu bisa pindah di kamar sebelah, 'kan!" ucapnya saat malam menjelang.

Tiara menatap wajah sang suami penuh tanya.

"Kenapa aku harus pindah kamar?" tanyanya dengan kalimat patah-patah dan bahasa isyarat.

Pria itu membuang napas kasar.

"Sebaiknya kamu nggak perlu bertanya! Kamu tahu, 'kan? Aku lelah sepanjang hari mengurus perusahaan. Aku ingin istirahat! Bukan lihat kamu!"

Tiara tak menjawab, ia hanya menunduk kemudian menjauh meninggalkan kamar itu. Jangan tanya bagaimana kondisi hatinya. Tercabik bahkan mungkin hancur, tapi ia mencintai pria itu. Bodoh? Mungkin dia bodoh, tapi Radit adalah cinta pertamanya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat jemarinya lembut diraih pria itu dengan senyum menghiasi wajah.

***

Tinggal di rumah besar dengan fasilitas serba ada tak membuat hati Tiara tenang. Ia membatin benar kata Bik Tunik. Dirinya harus membuka diri dengan berjalan-jalan ke luar. Karena memang sejak kecil selalu dijaga agar tidak bergaul dengan orang yang tidak dikenal.

Kedua orang tuanya memiliki alasan untuk itu. Karena pernah suatu waktu saat kecil Tiara pulang bermain dengan berderai air mata. Teman-teman mengatainya bisu dan mereka enggan berteman dengannya.

Semenjak itulah Tiara tak pernah lagi diperbolehkan untuk keluar. Hanya Bik Tunik dan Sri anaknya yang menemani sepanjang hari.

Sejak kecil perempuan berhidung mancung itu sudah memakai alat bantu dengar. Ia bersyukur dengan rajin berlatih dan terapi dirinya bisa bercakap-cakap dengan bahasa isyarat dan suara yang keluar meski mungkin memuakkan bagi Radit.

Ketukan di pintu membuat lamunannya buyar. Sri tersenyum membawakan teh hangat. Perempuan itu sebaya dengan Tiara. Tiga bulan sudah anak Bik Tunik itu menikah. Dia sering bercerita tentang sang suami yang menurutnya sangat baik.

"Mas Ridho itu kalau pulang dari jualan, selalu membawakan aku jajanan pasar, Mbak! Ya walaupun cuma koci-koci, tapi itu bikin aku senang!" ungkapnya suatu hari.

Mendengar itu Tiara hanya tersenyum.

Tuhan, aku tahu adilMu dan adilku mungkin berbeda, tapi tak sudikah Engkau memberikan bahagia untukku? batinnya.

"Mbak, kok melamun?" Ia bertanya dengan wajah gembira. Tak lupa ia mengisyaratkan agar Tiara tidak boleh bersedih.

Sambil menggeleng perempuan berambut sebahu itu tersenyum.

"Diminum tehnya, Mbak." Sri menyorongkan cangkir padanya.

Tiara mengulas senyum menerima teh aroma melati itu.

"Mbak, semalam Mas Radit nggak pulang lagi?"

Perempuan bermata indah itu menggeleng pelan. Selama ini hanya dia dan Bik Tunik yang tahu ke mana suaminya jika tak pulang. Pria itu selalu bilang dia akan pulang ke rumah yang bisa membuatnya nyaman, dan itu bukan rumah ini.

"Mas Radit itu pekerja keras ya, Mbak. Nggak salah kalau mendiang ayah Mbak sayang pada Mas Radit," tutur Sri sambil merapikan tempat tidur.

Tiara bergeming. Ia menyesap teh hangat hingga tuntas lalu bangkit menuju lemari.

"Mbak mau ke mana?"

"Aku mau jalan-jalan, Sri. Tolong kamu bilang Pak No untuk siapkan mobilku."

"Baik, Mbak."

Mengenakan baju panjang selutut berwarna dusty pink dengan leher berpotongan rendah dan rambut dibiarkan bebas tergerai ia terlihat cantik meski hanya memakai make-up tipis.

Dengan tas tangan hitam berlogo H ia menyusuri anak tangga menuju pintu keluar. Pak No sudah menyiapkan Fortuner putih kesayangannya.

"Mbak mau pergi sendiri atau ...."

"Saya pergi sendiri, Pak." Ia menyungging senyum lalu memberi isyarat tanda terima kasih.

"Hati-hati, Mbak Tiara."

***

Perlahan perempuan itu membawa mobilnya. Tak ada tempat khusus yang ingin ia kunjungi, hanya saat ini ia ingin membuang pikiran buruk dan luka yang membelit nuraninya.

Halo, jumpa lagi dengan kisah baru yaa, hihi.

Suka ngga? Corat-coret dikomentar ya

Thank you 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top