Enam
Suara Ardan menyapa dari seberang, membuat bibir Tiara mengembang sempurna.
"Kamu sudah baca dua buku?"
"Iya!" balasnya antusias.
"Baik, sepertinya aku harus segera mendengarkan isinya."
"Boleh! Tapi tidak dalam waktu dekat."
"Ah iya! Kami akan ke rumah mertua ya?"
"Iya."
"Oke, kabari kalau sudah kembali ya."
"Pasti!"
"See you, Tiara!"
"Bye, Ardan!"
Obrolan diputus. Kembali lengkung indah terukir di bibirnya. Hampir saja Tiara memekik saat ia berbalik melihat sang suami telah berada tepat di belakangnya. Aroma segar maskulin menguat dari tubuhnya. Pria itu menampakkan wajah dingin membuatnya membuat jarak.
"Ardan? Apa dia sering menelepon?" tanyanya.
Tiara menggeleng.
"Apa kalian sering bertemu?" Kembali Radit menyelidik.
Kembali perempuan itu menggeleng. Raditya menarik napas dalam-dalam. Ia merasa istrinya ketakutan.
"Kamu nggak perlu menatapku seperti itu. Aku bukan hantu, Tiara. Aku hanya bertanya sedekat apa kamu dengan Radit!"
"Kami hanya berteman. Radit memintaku untuk menceritakan isi buku yang kubaca," paparnya.
"Hanya itu?"
Kali ini Tiara mengangguk.
"Oke! Kamu sudah berkemas untuk besok?"
"Sudah."
"Bagus. Kalau begitu temani aku mencari oleh-oleh untuk Ibu."
Tiara memutar bola matanya mendengar ucapan Radit.
"A ... ku?"
"Iya, kamu! Masa aku ngajak Bik Tunik?"
Dengan senyum manis Tiara mengangguk. Ia memberi isyarat agar Radit keluar karena ia hendak berganti pakaian. Namun, Radit menolak, pria itu malah mengunci pintunya.
"Aku mau lihat lagi koleksi bukumu! Kamu kali mau ganti baju, ganti aja," tuturnya datar seraya berjalan mendekat deretan buku milik sang istri.
Tiara tertegun serba salah. Ia tetap berdiri di tempat semula dengan mata mengarah ke sang suami. Namun, sejenak kemudian ia bergerak ke lemari memilih baju, lalu membawanya ke kamar mandi. Sementara Radit yang mengetahui kebingungan sang istri hanya tersenyum miring.
***
Mengenakan celana denim hitam, t-shirt biru langit dengan rambut dibiarkan tergerai, Tiara keluar dari kamar mandi. Perempuan itu terlihat sangat menawan meski belum bermake-up. Radit menelan ludah melihatnya, saat Tiara menaikkan rambutnya sehingga terekspos leher jenjang milik sang istri.
"Tunggu!" serunya mendekat.
Tiara mengurungkan niat untuk mencepol rambut cokelatnya. Ia menoleh dan mundur seperti biasanya saat pria itu mendekat.
"Aku boleh minta sesuatu?"
"A ... pa?"
"Biarkan rambutmu tergerai! Aku hanya khawatir para pria di luar sana akan melotot melihat leher jenjangmu!"
Radit mundur memutar badan kemudian melangkah menuju pintu. Sebelum pria itu membuka, ia menoleh dan berkata, "Aku tunggu di mobil."
Kembali senyum kecil menghias bibir Tiara. Tak ingin suaminya lama menunggu cepat ia menyisir rambut, memoles lipstik tipis berwarna pink kemudian menyambar tas tangan favoritnya lalu beranjak pergi.
Di mobil telah menunggu Radit, pria itu santai di balik kemudi sambil mendengarkan musik. Mata pria itu mengikuti langkah Tiara hingga perempuan itu masuk mobil.
"Sudah siap?"
Tiara mengangguk pelan seraya menyungging senyum. Mobil meluncur pelan membelah jalanan sore itu.
"Kamu suka musik?" tanyanya memecah keheningan.
Tiara mengangguk tersenyum menoleh sekilas kemudian kembali menatap ke depan. Radit sesekali mencuri pandang sambil mengulum senyum. Ia tak mengerti hatinya saat ini.
Bila dikatakan mulai tertarik, mungkin bisa dikatakan begitu meski tentu saja tidak masalah karena perempuan itu miliknya. Jika dikatakan cemburu pada Ardan, bisa saja hal itu terjadi karena mendadak ia tak suka melihat lengkung indah di bibir Tiara saat bercengkrama dengan asistennya itu.
Namun, bukannya ia memiliki hati yang utuh untuk Indria? Mengingat Indria, Radit menarik napas dalam-dalam. Perempuan beranak satu yang telah menyita perhatiannya sejak awal bertemu itu. Kelembutan dan perhatian Indria membuat dirinya nyaman, tapi sayang kenyamanan itu tak bisa dia wujudkan untuk bersanding bersama.
"Kita mau beli oleh-oleh?" Tiara menoleh pada Radit, karena ia merasa toko yang mereka tuju sudah lewat.
Menyadari kesalahannya, Radit tertawa kecil seraya menepuk dahi.
"Oke, kita putar balik," ucapnya masih tertawa. Wajah Tiara berubah berseri melihat tawa lepas sang suami. Ia bahagia menatap wajah Radit yang bisa tertawa saat bersamanya.
Mereka turun dan berjalan bersama masuk ke pusat oleh-oleh.
"Kamu pilihkan apa saja untuk Ibu juga untuk Nino, aku ke sana sebentar." Pria itu menunjuk bagian souvernir. Tiara mengangguk, ia melangkah ke bagian makanan kecil. Perempuan itu ingat bahwa ibu mertuanya sangat menyukai penganan manis sementara Rayhan adik iparnya penyuka gurih. Tak menunggu lama keranjang belanjaannya sudah penuh, segera Tiara menuju kasir.
"Sudah selesai?" Radit tiba-tiba muncul di sebelahnya.
Tiara mengangguk. Setelah membayar keduanya meninggalkan tempat itu.
"Aku tadi membeli sesuatu untukmu!" ujar Radit pada Tiara. Pria itu berkata tanpa menoleh, ia cukup kesulitan dengan riuhnya lalu lintas menjelang senja itu.
"Apa?"
"Maaf kalau selama ini aku tidak tahu apa-apa tentangmu. Bahkan kegemaranmu aku buta! Maafkan aku," ungkapnya.
Tiara mengulas senyuman.
"Kamu suka pernak-pernik dari batu-batuan ya?"
Perempuan itu mengangguk.
"Nanti kamu bisa coba di rumah. Oh iya, jadi selama ini kamu yang memasak untukku?"
"Iya."
"Makasih. Aku nggak nyangka kamu pintar masak," ungkap Radit masih fokus mengemudi.
"Ibu mengajariku sejak aku sekolah," terangnya.
Radit mengangguk. Diam-diam ia mengagumi kepintaran istrinya.
"Nanti malam kamu masak untuk makan malam ya!"
Tak menyangka sang suami akan makan malam di rumah, wajah Tiara berseri. Karena tak pernah pria itu memintanya.
"Mau dimasakin apa?"
"Apa aja! Sebab aku pikir apa yang kamu masak pasti enak!"
Kali ini Tiara benar-benar merasa bahagia. Sepanjang pernikahannya, perempuan itu tidak pernah sebahagia ini.
Dipuji dan diminta langsung memasak oleh sang suami adalah kebanggaan. Meski hati kecilnya sadar bahwa bisa saja sikap Radit berubah secepat ia berkata, tapi ia tak akan menyia-nyiakan bahagia yang di rasa saat ini.
Memiliki seseorang yang melindungi dan menyayangi setelah orang tuanya adalah impian terbesarnya. Hati kecil Tiara berharap perubahan yang ditunjukkan Radit benar adanya walaupun dia sadar ada seseorang bernama Indria yang telah lama memenuhi hati dan pikiran sang suami.
***
Ardan membaca artikel kesehatan yang berhubungan dengan kondisi Tiara. Ia menemukan jalan keluar untuk kondisi perempuan itu. Ada teknologi kedokteran yang bisa membantu masalah yang dialami Tiara. Mata pria itu berbinar, ia merasa bahagia dan tak sabar untuk segera mengabarkan berita ini pada Tiara.
"Kamu akan segera sembuh, Tiara! Kamu akan bisa mendengar desir angin, gemericik air dan bisa mengucapkan apa pun dengan jelas!" gumamnya dengan senyum.
Ardan membagikan link itu ke nomor Tiara, kemudian mengirim emoticon senyum.
[Aku harap kita bisa konsultasi ke dokter sepulangmu dari rumah mertua!]
Pesan terkirim. Ardan menghela napas dalam-dalam. Ia merasa ingin melepaskan Tiara dari kesan buruk yang diciptakan Radit suaminya.
Sebenarnya dirinya merasa punya keinginan agar Radit lebih bisa menghargai Tiara. Ia tahu, bagaimana mendiang bosnya dulu begitu menyayangi putrinya, dan jika ternyata sekarang Radit tidak bisa menyayangi anak perempuan Pak Pieter itu, ia merasa ada yang harus diubah.
Getar ponselnya membuat Ardan menoleh.
[Makasih, Ardan! Aku jadi nggak sabar pingin konsultasi lebih jauh soal artikel ini!]
Pesan Tiara mengukir senyum di bibir Ardan.
[Sama-sama, Tiara! Sudah malam, sekarang kamu tidur!] balasnya.
Tiara mengirimkan emoticon senyum. Ardan menghela napas kemudian meletakkan kembali gadgetnya ke meja. Pria itu melirik jam tangannya tepat pukul dua belas. Ia segera bangkit menuju pembaringan untuk beristirahat.
🍁🍁
Halo ... masih suka? Boleh share komentarnya yaa💖
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top