empat belas


Tiara tersenyum mendengar pujian Radit. Ia menatap pria itu kemudian menggeleng.

"Mas masih pucat. Sebaiknya kembali ke kamar," tuturnya bangkit dari duduk.

"Kamu nggak keberatan kalau aku minta ditemani, kan?" Pria itu bangkit mengekori Tiara.

Perempuan bermanik cokelat itu hanya tersenyum.

"Tiara."

"Ya?"

Temani aku ya," pintanya lagi.

Masih dengan senyum, Tiara mengangguk.

***

Ardan menatap dokter paruh baya di depannya. Menurut dokter kasus seperti yang terjadi pada Tiara sebenarnya tidak begitu berat. Artinya, meski tidak dilakukan implan, perempuan itu bisa hanya dengan menggunakan alat bantu. Apalagi Tiara bisa mendengar alat musik dengan baik, meski pada frekuensi tertentu.

"Karena syarat dari mereka yang melakukan implan koklea adalah, penderita tuli berat atau tuli total pada kedua telinga yang mengganggu kemampuan berbicara, tuli berat yang tidak terbantu dengan alat bantu dengar, memiliki kondisi kesehatan yang baik atau tidak menderita masalah kesehatan lain yang dapat meningkatkan risiko komplikasi operasi mata, memiliki motivasi yang baik untuk bisa mendengar serta mengerti keterbatasan dan risiko pemasangan implan koklea."

Ardan mendengarkan dengan saksama.

"Sementara teman Anda, menurut yang Anda ceritakan ... dia bisa berkomunikasi dan mendengar bukan? Meski tidak sempurna, tapi dia tidak pada kriteria parah."

"Lalu apa itu artinya teman saya tidak bisa melakukan implan koklea?"

Dengan bibir terangkat, pria ramah itu menjawab, "Tidak perlu. Dia bukan penderita yang parah. Dia hanya perlu terus melakukan terapi bicara agar bisa berkomunikasi dengan baik. Itu saja."

Bibir Ardan kembali mengembang. Meski dia tahu Tiara antusias soal ini, tetapi ia mengkhawatirkan jika perempuan itu harus dioperasi.

Setelah mendengar secara lengkap keterangan dokter, ia merasa puas dan tahu apa yang seharusnya dilakukan. Dengan mengucap terima kasih, Ardan meninggalkan ruang konsultasi itu. Pria ramah itu merogoh kantong bajunya menelepon Tiara.

Tak menunggu lama, panggilannya diterima. Terdengar suara perempuan itu dari seberang.

"Halo, Tiara. Aku punya kabar baik untukmu!"

"Kabar apa, Ardan?"

"Kamu tidak perlu dioperasi. Menurut dokter, apa yang kamu alami bukan sesuatu yang parah. Kamu hanya perlu terapi saja."

"Benarkah? Aku tidak seperti yang kupikirkan?"

"Tentu saja! Sekarang jangan sedih. Tersenyumlah!"

Terdengar tawa kecil di sana membuat Ardan ikut tertawa.

"Oke, sampai ketemu ya. Take care, Tiara!"

"Thanks, Ardan!"

Masih dengan senyum Ardan memasukkan kembali telepon genggamnya ke kantong lalu melangkah menuju area parkir.

***

Tiara mengembangkan senyumnya seraya meletakkan ponsel ke meja rias. Perempuan itu baru saja merapikan rambutnya. Matanya melirik Radit yang terlihat pulas. Tiara menatap lekat cincin yang melingkar indah di jarinya. Cincin yang disematkan tanpa cinta oleh pria yang kini tengah tertidur bergelung selimut.

Kelebat kenangan saat pernikahan masih lekat di memorinya. Wajah bahagia kedua orang tuanya masih begitu jelas tergambar.

"Kamu harus bahagia, Tiara Sayang."

Demikian orang tuanya berpesan saat itu.

"Iya, aku harus bahagia ... dan kamu pun harus bahagia, Radit," bisiknya lirih.

Perlahan Tiara bangkit meninggalkan kamar. Di ruang tengah dilihatnya Bu Rahmi tengah duduk sendiri. Perempuan paruh baya itu juga tengah menatapnya.

"Duduk sini, Tiara. Temani ibu," panggilnya. Senyum mengembang di bibir Tiara. Perempuan berbaju merah muda itu menghampiri sang mertua kemudian duduk di sampingnya.

"Bagaimana kondisi Radit, Nak?"

"Baik, Bu. Demamnya sudah turun dan sudah berkeringat," papar Tiara.

Bu Rahmi mengucap syukur lalu menatap menantunya.

"Tiara, setelah ibu tahu seperti apa kehidupan rumah tanggamu ... ibu benar-benar meminta maaf padamu," tutur  Bu Rahmi seraya mengusap bahunya. "Semua yang dikira dan diharap ternyata tak ubahnya seperti neraka di hidupmu, Nak. Maafkan ibu."

Tiara menarik napas panjang lalu tersenyum.

"Ibu tidak bersalah. Jika ibu bersalah itu artinya kedua orang tua saya juga bersalah." Dengan mengusap punggung tangan sang mertua, ia menggeleng.

"Ini murni karena ketidaktahuan kita sebagai manusia dan ... kekurangan yang saya miliki," tuturnya lirih sembari menunduk.

Bu Rahmi menghela napas lalu kembali mengusap bahu Tiara.

"Tiara, kamu tidak memiliki kekurangan, Nak. Ibu tidak pernah melihat kekurangan padamu," tuturnya.

Senyum manis tercetak di bibir Tiara.

"Bu, jika saya dan Mas Radit bercerai ... apa Ibu tetap mau menganggap saya anak Ibu?"

Mendengar perkataan itu, mata tua Bu Rahmi berkaca-kaca. Ia mengangguk pelan.

"Kamu tetap jadi anak ibu. Tidak ada bedanya, Tiara."

Dada perempuan berambut cokelat itu terasa sesak, segera ia menghambur ke pelukan ibu mertuanya.

"Saya ingin Mas Radit bahagia, Bu," isaknya.

"Tiara, berhenti memikirkan Radit. Saatnya kamu memikirkan hidup dan kebahagiaanmu. Ibu ada bersamamu."

Istri Raditya itu tergugu dalam dekapan mertuanya. Sementara di sudut lain, seorang pria berdiri dengan wajah sudah ditebak. Tangannya mengepal dengan keringat membasahi keningnya.

Beberapa saat setelah Tiara keluar kamar, Radit mengendap-endap mengikuti perempuan itu. Ia tidak menyangka jika ibunya memiliki pikiran yang berbeda. Radit menahan kecewa, di sudut hatinya muncul perasaan takut kehilangan Tiara, sedangkan di sisi berbeda, ada rasa yang tak bisa diartikan ketika kelebat bayangan Indria melintas di matanya.

Tak ingin perasaannya meledak, gegas ia kembali ke kamar. Mendadak Radit merasa berada di ujung jalan. Terdengar jelas ucapan Tiara yang ingin berpisah darinya.

Melintas semua perbuatannya pada perempuan itu. Selama enam bulan pernikahan tak pernah sekalipun ia memberi bahagia, dan yak pernah sekalipun Tiara protes dengan semua itu. Justru dirinya seolah mempermainkan pernikahan yang seharusnya dipertahankan.

Radit mengusap wajahnya kasar. Dalam hati ia bertekad untuk tidak akan pernah melepas Tiara apa pun yang terjadi. Namun, lagi-lagi nuraninya seolah mengolok-olok meminta ia menelaah sejauh mana dirinya pernah memberikan kenyamanan bagi sang istri selama ini.

"Sial!" umpatnya seraya mengarahkan tangannya yang mengepal ke arah dinding.

Suara ponsel di nakas membuat Radit menoleh. Ia mengatur napas saat mengetahui identitas penelepon.

"Indria ... ada apa?"

"Maaf, Radit ... Salma kritis!"

Matanya membulat, ia tak lagi bisa berkata-kata karena si penelepon telah menutup pembicaraan.

***
Pagi-pagi sekali, Radit telah siap pergi. Sejak semalam Radit pelit bicara. Tak ingin membuat suaminya kesal, ia pun hanya diam dan memejamkan mata hingga pagi tiba.

Tiara melihat ada sesuatu yang disembunyikan pria itu, tetapi ia enggan untuk bertanya. Baginya, melihat Radit sehat kembali sudah cukup. Ia tak lagi membutuhkan perhatian atau sekadar sapaan hangat.

Setelah berpamitan dengan ibunya, Radit menatap Tiara lekat.

"Tiara, bisa kita bicara sebentar?"

Perempuan itu mengangguk.

"Ikut aku ke kamar!"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia mengikuti langkah Radit. Pria itu menutup pintu setelah mereka berada di kamar. Masih dengan tatapan intens, Radit menarik napas dalam-dalam seolah ingin menyimpan aroma cherry yang menguar dari tubuh Tiara, sebelum ia berangkat.

"Tiara ... aku dengar semua  pembicaraanmu kemarin dengan ibu." Radit mendaratkan tubuhnya ke sofa. "kamu benar-benar ingin memintaku untuk melepasmu?"

Tiara masih mematung tak jauh dari pintu. Tak hendak ia menatap paras suaminya, seolah tak ingin wajah itu menjadi abadi di kepalanya.

"Iya, Mas. Aku tidak pernah bisa menjadi rumah untukmu. Aku tidak pernah bisa memberi bahagia itu."

Radit membuang napas frustrasi.

"Aku tidak akan mengabulkan permintaan itu. Jika kamu mau, kamu bisa mengajukan permohonan itu sendiri."

Kali ini Tiara memberanikan diri menatap Radit. Ada kelam bersembunyi di balik mata pria itu.

"Kalau kamu mau bilang aku pria brengsek ... katakan saja! Aku tahu aku brengsek, tapi setidaknya aku ingin memperbaiki diri."

"Sudah terlalu lama kita tidak bahagia. Sudah terlalu lama Mas menjalani hidup seperti neraka seperti yang pernah Mas bilang ... aku nggak mau itu terus terjadi. Lalu sekarang kenapa Mas menahanku saat aku sudah membukakan pintu? Kenapa Mas seolah menarik ulur aku?" Tiara menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa, Mas? Tidak cukupkah enam bulan itu untuk kita merasa tersiksa?"

***

Haii ... Tiara kembali lagii .

semoga terhibur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top