( DyBL - Bagian VI )
( ⚘ )
Kejadian mengenai Semesta yang melukai diri sendiri awalnya hendak disembunyikan oleh si kembar. Namun, upaya itu tak pernah terlaksana karena di ambang pintu, tepat di depan pisau yang Langit lemparkan, Kejora berdiri menyaksikan adegan mengharukan kedua remaja tersebut dengan air mata yang tak terbendung.
Kala itu, tanpa banyak bicara, Kejora menginstruksi mereka bergegas. Bersiap-siap untuk segera pergi ke rumah sakit agar Semesta cepat ditangani. Meski terlihat baik-baik saja sebab lukanya tak terlalu dalam, wajah pucat gadis tersebut mampu menciptakan segumpal kekhawatiran. Membuat Langit yang semula ingin menangani semua secara mandiri langsung berkubu dengan sang ibu.
Setelah malam penuh kenelangsaan yang bercampur dengan air mata, darah, dan keringat itu berlalu, Langit dan Kejora tak pernah luput mengawasi Semesta. Sekadar memastikan bahwa dara tersebut tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Tak lupa mereka juga menyalurkan energi positif agar Semesta lekas bebas dari masa traumanya.
"Kalau yang terakhir ini, siapa namanya?"
Semesta menunjuk ponsel Langit. Ia mendekat. Menempelkan dagunya di bahu pemuda tersebut, guna melihat dengan jelas foto yang terpampang di layar benda persegi panjang itu.
"Adrayan Radhyatsa. Panggilannya Rayan," jawab Langit.
Tadi saat Langit terkikik geli karena candaan sahabat-sahabatnya di grup obrolan, Semesta terlihat penasaran dan tertarik. Oleh karena itu, sekarang ia sedang memberi info tiap keping hal yang ingin Semesta ketahui mengenai enam lelaki tersebut.
"Kelihatannya kalem, ya."
Dengusan pelan lepas dari hidung Langit. "Dia termasuk yang paling berisik di antara kami."
"Oh, ya?" Semesta menarik diri. Mengangkat kaki ke atas sofa dan melipatnya di depan dada. "Dari foto itu kelihatan kalem kok."
Langit menaruh ponsel. Kemudian, mengambil gelas berisi jus sawo di atas meja. Menyesap cairan berwarna cokelat itu hingga tersisa tiga per empat. "Tunggu aja kalau kamu udah ketemu langsung."
"Emang bisa?" Semesta mengalihkan tatapan ke panorama di depan mereka. Menilik satu per satu rumah dan pohon yang berdiri kukuh di tempatnya. Dari balkon, pemandangan perumahan prestisius yang mereka tempati ini terlihat begitu asri.
"Bisalah." Sorot Langit mengikuti penglihatan Semesta. Punggungnya bersandar lebih dalam ke sofa yang tersedia di teras atas. "Mereka sering ke sini. Bunda aja kenal."
"Emangnya mereka mau ketemu aku?"
"Kenapa nggak?" Langit mengerling Semesta sekilas. "Mereka pernah lihat foto kamu. Waktu itu langsung pada pengin kenalan. Pacarnya Juna, Omera, juga mau ketemu sama kamu."
Alis Semesta tertaut. Ia menoleh ke arah Langit yang sudah setengah berbaring menatap angkasa di hadapan mereka. "Mereka lihat foto aku di mana?"
"Di HP aku. Waktu itu aku pake wallpaper foto kita pas liburan sama Opa-Oma dua tahun lalu." Langit melipat tangan di depan perut. Netranya yang semula terlihat tenang berubah tajam. "Tapi kalau mereka datang, usahain jangan deket-deket yang namanya Doni."
"Kenapa?"
"Dia ganjen."
"Ganjen?"
"Iya, katanya, mau gebet kamu. Jangan mau."
"Sekarang aku belum tertarik buat pacaran kok." Semesta terkekeh sebentar. Merasa lucu dengan sikap Langit yang protektif walaupun kepada sahabatnya. "Terus ... yang tadi pacarnya Juna ..., dia gimana?"
"Dia nggak pa-pa. Anaknya baik, friendly juga." Langit memfokuskan tatapan pada Semesta. Mengamati wajah gadis tersebut yang terlihat tertarik dengan satu-satunya sosok perempuan di pembicaraan mereka. "Mau kenalan sama Omera?"
"Boleh ...," jawab Semesta dengan senyum tertahan. Sepertinya antusias dengan ide yang Langit usulkan.
"Nanti aku bilang ke dia."
"Oke." Semesta menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Makasih, ya, Lang."
"Sama-sama." Langit memanjangkan tangan. Mengambil dan menyesap jusnya sampai tersisa setengah. "Kamu di rumah aja nggak bosen?"
Kepala Semesta bergerak ke kanan-kiri perlahan. "Nggak kok. Udah biasa."
"Mumpung aku sekarang ada waktu. Kalau kamu bosen, bilang aja. Nanti kita jalan-jalan," usul Langit sebelum menandaskan isi gelasnya.
Di hari Minggu ini, Langit diberi tanggung jawab oleh Kejora-yang harus bekerja-untuk menjaga Semesta. Mengingat peristiwa pekan lalu masih membekas di ingatan mereka, tak ada kata lengah untuk mengawasi dara itu, kendati jadwal di T'Sky Bakery padat dalam beberapa waktu ke depan.
"Kedengerannya asyik ..., tapi aku lagi pengin di rumah aja sama kamu." Semesta turut menempelkan punggung. Membalas pandangan Langit yang menaruh kembali wadah jus di atas meja. "Udah lama juga, 'kan, kita nggak di rumah bareng. Apalagi kamu sering sibuk urusan sekolah."
"Oke."
"Tapi aku juga mau jalan-jalan sama kamu. Itu lain kali, ya?"
Langit mengangguk-angguk. Lantas kembali memosisikan diri dengan nyaman di sofa. "Iya, bilang aja pas mau. Nanti aku bakal luangin waktu."
"Makasih, Lang."
Bertepatan dengan keluarnya suara Semesta, dering ponsel Langit menggema. Layar yang tadinya mati spontan memancarkan cahaya. Mempresentasikan beberapa pesan dari kontak yang baru ia dapat seminggu lalu.
Sejak berkolaborasi menyelematkan Semesta, hubungan dua pemuda tersebut mengerat. Pada awalnya percakapan di antara mereka hanya mengenai permasalahan tempo itu. Akan tetapi, lama-kelamaan tercipta obrolan seperti layaknya teman biasa. Hingga dengan waktu yang terbilang singkat tersebut, Langit menyadari bahwa Gerhana mempunyai rasa lebih dari teman untuk Semesta.
"Bang Gege mau ke sini, Ta," ucap Langit sekelar membaca balasan pesan Gerhana.
Indra penglihatan Semesta yang sedang memperhatikan kebun bagian depan rumah tersulih ke Langit. "Kak Gege? Kakak kelas aku?"
"Iya." Demi membebaskan sebuah penasaran yang mendiami benaknya, ia menyemburkan tanya, "Kamu beneran cuma temenan doang sama dia?"
"Iya." Semesta beranggut-anggut. Lalu berhenti dengan ekspresi yang tak dapat Langit terka maknanya. "Sebenernya ...."
Tubuh Langit menegap. Memasang gaya bersiap karena mendengar nada yang berbau pernyataan di kalimat Semesta. "Sebenernya apa?"
"Aku nggak yakin kami temenan atau nggak. Soalnya, menurut aku, selama ini cuma kayak hubungan kakak-adik kelas biasa," lesat Semesta tanpa percikan emosi, kecuali segaris kebingungan.
Langit mengembuskan napas pelan. Merasa sedikit lega dengan jawaban Semesta. Meski sesungguhnya anak laki-laki tersebut tak terlalu mempermasalahkan perasaan Gerhana sebab ia tak pernah berniat untuk mengekang si kembaran, terkecuali jika yang mendekati gadis tersebut merupakan para sahabatnya. Bayangan mengenai mereka yang mengencani Semesta saja sudah mengakibatkan Langit mual.
"Oh ... gitu?"
"Iya. Menurut kamu, kami temenan atau nggak?" tanya Semesta polos. Mempunyai kepribadian introver memang menyebabkan pengalaman pertemenan dara itu sangat minim. Apalagi kalau dengan lawan jenis.
"Temenan ...," sahut Langit sedikit tak yakin. Namun, ia tetap mengimbuh, "Lagian dia ngapain ke sini kalau bukan buat kamu, 'kan."
"I-iya juga sih." Pandangan Semesta kembali mengarah ke depan. "Tapi ... kamu tukeran kontak sama dia, ya?"
"Iya. Dari minggu lalu."
"Chat-nya banyak?"
"Lumayan."
"Kayak Ikan-Ikan Tanpa Nama di Bikini Bottom?"
"Nggak."
"Tapi banyak, 'kan?"
"Iya, lumayan."
Kepala Semesta lagi-lagi berubah haluan untuk memberikan mata cendayamnya sosok Langit. "Berarti bisa aja Kak Gege mau ketemu kamu."
"Kenapa mikir gitu?"
"Kamu sama dia juga temenan dong."
Ringisan pelan terlesat dari mulut Langit. Ia ingin tertawa. Akan tetapi, mengurungkan niat karena tahu hal tersebut hanya akan membuat adiknya makin tumpat. "Iya, sih, tapi-"
Belum sempat Langit menyelesaikan kalimatnya, suara mesin motor yang berhenti mengambil atensi sepasang saudara itu. Mengakibatkan keduanya beranjak dari tempat. Mendekati pagar balkon dan menemukan Gerhana di depan gerbang.
"Oy!" sapa Gerhana sembari mengangkat kaca helm. Lelaki tersebut terlihat riang di bawah sinar mentari yang menerpa wajahnya.
"Buka aja. Gerbangnya nggak dikunci," sambut Langit yang langsung diangguki Gerhana. "Jangan lupa tutup lagi."
"Iya, iya."
Di detik yang hampir bersamaan, si kembar berbalik. Menuntun tungkai mereka menuju lantai dasar untuk menerima kedatangan Gerhana. Keduanya berjalan beriringan ke arah pintu masuk. Kemudian, Semesta membuka akses utama rumah tersebut. Menampakkan sosok Gerhana yang masih melukis senyum.
"Silakan masuk, Kak."
Izin Semesta kontan diindahi Gerhana. Pemuda yang mengenakan kaus hitam dan jin senada itu melangkah masuk dengan cepat. Tanpa persetujuan, ia menempatkan diri di sofa. Mengurvakan bibir lebih lebar, sampai menampilkan jejeran gigi rapinya, ketika menyisir pandang ke segala arah. Entah karena baru pertama kali masuk ke rumah berdesain modern dengan barang-barang bersahaja tetapi memiliki harga selangit, atau terlalu senang sebab Semesta adalah salah satu penghuni kediaman tersebut.
"Aku buat minum dulu, ya," ucap Semesta memecah kesunyian. Ia tersenyum maklum melihat tingkah Gerhana, berbanding terbalik dengan Langit yang bersedekap.
Langit menarik tangannya dari depan tubuh dan menahan Semesta. "Biar aku aja, Ta."
"Iya, biar Langit aja," timpal Gerhana masih tak tahu malu dan begitu menyebalkan. Menyebabkan Langit mencampakkan tatapan rancung untuk lelaki itu. Bahkan di dalam otaknya, Langit sudah berpikir untuk mengurungkan niat memperbolehkan Gerhana mendekati Semesta.
"Nggak pa-pa?"
Pandangan Langit kembali untuk Semesta. Sorotnya meneduh lagi, berbeda dengan yang ia beri untuk Gerhana tadi. "Nggak pa-pa."
Sebelum beranjak ke dapur, Langit mendapati Gerhana mengirim kurvaan lebar untuknya, bermaksud berterima kasih karena dibiarkan berdua dengan Semesta. Tanggapan Langit untuk hal tersebut adalah decakan pelan. Mengenal Gerhana lebih jauh ternyata cukup mengesalkan. Mungkin, jika laki-laki itu bersikap lebih mendongkolkan lagi, Langit benar-benar akan memblokir Gerhana dari jajaran pemuda yang boleh mendekati Semesta.
Setiba di dapur, Langit mengambil persedian jus kotak berperisa jambu biji di dalam kulkas. Ia menata minuman dingin tersebut di atas nampan dengan tiga gelas. Lantas kembali ke ruang tamu.
Kedatangan Langit membuat kalimat yang hampir Gerhana lesatkan tertahan. Dapat dilihat dari bagaimana lelaki itu terdiam dengan mulut terbuka. Mengakibatkannya harus bersabar dengan menghela napas dalam-dalam saat mengamati Langit menyusun minuman di atas meja.
"Makasih, Lang," ujar Semesta penuh kehangatan.
"Sama-sama."
"Kok tiga?" Gerhana menghitung berkali-kali jumlah gelas yang Langit bawa. Sekadar memastikan bahwa indra penglihatannya tak salah. "Satu lagi buat siapa?"
"Gue."
Sudut bibir Langit berkedut menahan senyum ketika melihat Gerhana yang mengembuskan napas-berupaya berlapang dada-karena sahutan singkatnya. Lagi pula Langit cuma menuruti perintah Kejora untuk tak meninggalkan Semesta. Ia hanya berusaha untuk menjadi anak yang baik dengan tidak melupakan amanat tersebut.
Tangan Langit meraih sebuah gelas seraya ia mendudukkan diri di sofa tunggal. Menuangkan cairan berwarna merah muda itu ke dalam wadah. Lalu menyesapnya pelan-pelan sambil mendengar obrolan Semesta dan Gerhana.
"Gue siap lo chat kapan pun─"
Kata-kata Gerhana terputus karena Langit yang tersedak. Jangan menyalahkannya akan kejadian tersebut, sebab alasan Langit melakukan itu karena kalimat Gerhana yang terdengar geli di telinganya. Benar-benar penuh modus desideratif.
"Kamu nggak pa-pa, Lang? Mau aku ambilin air putih?" tawar Semesta dengan mimik khawatir.
"Nggak pa-pa," lirih Langit, sesekali terbatuk. Wajah pemuda itu sedikit memerah karena sebu hidungnya. "Lanjut aja."
Bola mata Gerhana berotasi samar. Kesabarannya mulai terkikis sehingga, supaya tak lagi disela, ia berujar cepat, "Lo boleh chat gue kalau butuh temen ngobrol."
"Iya, Kak. Makasih."
"Nomor yang kemarin gue kasih nggak hilang, 'kan?"
"Nggak kok, Kak. Masih ada."
"Nah, gue masih pake nomor itu-" Gerhana berpaling ke Langit yang dari tadi hanya mengambil peran sebagai pendengar, "-atau lo bisa minta sama Langit. Dia ada nomor gue."
"Iya, karena lo nanyain kabar Tata tiap hari," sindir Langit yang impuls menyebabkan Gerhana salah tingkah.
"Gue khawatir doang," tepis Gerhana. Kaki lelaki itu begerak-gerak di atas lantai. Sepertinya berusaha untuk menghilangkan kegugupan.
"Makasih." Semesta tersenyum simpul ketika memangku kedua tangannya. "Nanti aku chat Kakak, kalau perlu."
Sesudah cakapan Semesta mengudara, muncul Kejora dari pintu yang masih mereka biarkan terbuka. Raut wajah wanita tersebut sedikit kaget mendapati para buah hatinya yang sedang menerima tamu. Namun, air muka Kejora segera berubah ramah saat menyadari sosok yang sedang bertandang.
"Eh, ada Gerhana. Kapan datangnya?
Gerhana menampilkan lengkung gembiranya dengan sopan. "Baru aja, Tan."
"Gimana kabarnya sekarang? Sehat?" tanya Kejora sembari menempatkan diri di sofa yang berhadapan dengan Langit.
"Alhamdulillah, sehat. Tante sendiri gimana?"
"Alhamdulillah, sama, Tante juga sehat." Kejora mengangkat tangannya yang menjinjing sebuah tas kertas dengan logo T'Sky Bakery. "Kebetulan Tante ada bawa kue dari bakery. Nih, yuk, di makan dulu."
Tubuh Gerhana sedikit membungkuk sebagai respons pertama. "Ah, iya, makasih, Tante."
"Abang, Tata, ayo, juga makan nih kuenya. Tadi minta bawain, 'kan."
"Iya, Bun. Nanti dimakan," sahut Langit.
"Tata nanti juga."
"Ya, udah ka—eh ...." Kejora mencermati jarum pada jam dinding. Membuat tiga remaja yang seruangan dengannya spontan melakukan hal yang sama. "Ta, udah waktunya kamu minum obat nih."
"Oh, iya ...," sadar Semesta.
"Minum obat dulu, yuk, Nak."
"Oke, Bunda." Semesta bangkit dari tempatnya. Ia undur diri bersamaan dengan Kejora. Kemudian, menghilang di perbatasan ruangan. Meninggalkan Langit dan Gerhana yang tetap di tempat masing-masing.
"Keluarga lo nggak mau lapor kasus Rora?" Gerhana memecahkan hening yang sempat tercipta di antaranya dan Langit. Membangun topik yang menjadi satu dari alasan ia datang ke rumah ini.
Gerakan Langit yang hendak menyimpan gelas di atas meja terhenti. Anak laki-laki tersebut mendongak. Menyerobokkan pandangannya dengan milik Gerhana. "Nyokap gue nggak tahu ...."
Dahi Gerhana berkerut dalam. "Lo atau Tata nggak ada ngomong?"
"Tata nggak, tapi gue mau." Langit menyandarkan tubuh di sofa. Sebelum melanjutkan, ia melirik bagian rumahnya lebih dalam, memastikan tidak ada yang akan datang dari sana. "Cuma gue takut kalau gue cerita nanti Tata makin kacau. Selama ini, gue lihat dia selalu ngehindarin omongan soal sekolah."
"Gue ngerti. Dia pasti trauma banget. Apalagi belakangan ini keadannya berantakan. Mungkin, dia ngehindar supaya nggak teringat lagi, supaya nggak tertekan ngelakuin hal buruk lagi," tutur Gerhana yang kontan disetujui Langit dengan anggutan. "Tapi kuasa nyokap lo dibutuhin banget supaya laporan gue diterima sama BK."
"Mereka masih nggak mau ngetindaklanjutin kasusnya?"
"Iya, ditolak terus." Gerhana menggaruk kepalanya. Menyalurkan frustrasi melalui aksi itu. "Gue harap nyokap lo cepet tahu biar bisa turun langsung untuk ngelaporin. Gue yakin, kalau nyokap lo yang ngelapor, mereka pasti bakal kasih tanggapan."
Kepala Langit berjengit. "Oke, kalau emang Tata nggak cerita, nanti gue yang coba ngomong ke Nyokap."
"Sip, kabarin gue secepatnya kalau udah."
"Iya. Makasih, Bang."
"Sip, santai aja."
Beberapa detik seusainya, Semesta kembali dengan beberapa muffin yang Kejora bawa. Gadis tersebut duduk di tempat semula seraya menawarkan kue itu pada Gerhana. Lalu melanjutkan perbincangan dengan lelaki tersebut, sementara Langit bergeming sendiri. Memikirkan setiap keping pembicaraannya dengan Gerhana tadi, sampai sebuah dering ponsel terdengar di antara ketiganya. Menyita seluruh perhatian mereka untuk menemukan asal suara yang ternyata dari saku Gerhana.
"Ya, ampun. Gue lupa," ucap Gerhana dengan netra tertuju pada layar ponselnya.
"Kenapa, Kak?"
"Gue ada janji nganter Nyokap belanja jam segini, Ta." Gerhana cepat-cepat memberesken barang-barangnya. "Gue cabut dulu, ya."
"Oh, oke."
( ⚘ )
Tubuh Langit terhempas di atas sofa, sedangkan Semesta menghidupkan televisi dan duduk manis di lantai beralaskan karpet beludru hitam, tatkala Kejora menghampiri mereka dengan rambut yang dibungkus handuk. Menandakan bahwa wanita itu baru selesai dengan kegiatan bersih-bersih.
"Gerhana udah pulang?" tanya Kejora sambil menempatkan diri di sebelah Langit.
"Iya, Bunda," jawab Semesta dengan penglihatan yang teralih sekilas dari televisi yang menayangkan kartun siang hari.
"Bang, nanti malam ada tugas, nggak?"
Kalimat interogatif Kejora yang dengan spesifik tertuju untuknya mengakibatkan Langit menoleh ke perempuan tersebut. "Ada ..., kayaknya."
"Ada, nggak?" tegas Kejora, menginginkan pernyataan yang lebih jelas.
"Ada, Bun, tugas matematika peminatan."
"Yah, masa kamu nggak ikut."
"Mau ke mana emangnya?"
"Malam ini Bunda mau ajak kalian jalan-jalan." Kejora menampilkan gestur antusias. Seakan tak sabar dengan rencana yang ia susun sejak pagi tadi. "Sekalian mau belanja keperluan sekolah Tata sih. Biar nanti Tata semangat pas masuk sekolah lagi."
Cepat sekali Semesta berbalik. Menunjukkan ekspresi terkejut yang ia presentasikan persis pada malam kelam itu. Akan tetapi, kali ini dara tersebut tak mau repot-repot menutupinya. Membiarkan Kejora dan Langit tahu ada badai yang mendadak menggemuruhkan dadanya.
"Se-sekolah? Ka-kapan?"
"Ta-Tata?" Kejora mengernyit bingung memandang muka anak gadisnya yang mulai pucat pasi. Ia melesat turun. Memegangi bahu Semesta dengan hati-hati. "Kamu kenapa, Nak?"
"Tata ..., Tata nggak mau sekolah, Bunda," ujar Semesta dengan vibrasi yang kentara.
"Lho? Kenapa?"
"Nggak .... Nggak mau aja." Semesta menekan dadanya perlahan. Mencoba menetralkan jantungnya yang sedang berpacu. "Pokoknya Tata nggak mau sekolah dulu, ya, Bunda?"
"Kenapa, Nak? Kenapa nggak mau?" Ketidaktahuan dan kekhawatiran Kejora memberontak untuk bersatu. Menggelisahkan wanita itu hingga membuat pori-porinya memproduksi keringat dingin. "Ada yang sakit? Tata sakit?"
"Nggak. Nggak ada yang sakit." Semesta berdiri dengan kilat. Ia menggigit-gigit bibir ketika membagi tatapan untuk Kejora dan Langit yang terlihat cemas. "Pokoknya Tata nggak mau sekolah dulu," tambahnya lantas beranjak dari ruang tengah.
"Ta-"
"Jangan." Semesta berbalik. Kepala gadis itu menggeleng kecil. Memotong panggilan Langit yang mencoba menyusulnya "Jangan ikutin. Aku lagi mau sendiri. Aku janji, aku nggak bakal ngelakuin apa pun kok."
"Tapi, Ta—"
"Janji. Serius aku janji. Please, percaya."
Penyetujuan pertama diperoleh dari Kejora. Perempuan yang sudah menginjak kepala tiga tersebut menyentuh tangan Langit. Memberi pengertian dengan anggukan agar anak laki-laki itu meyakini adiknya. Mau tak mau Langit menurut. Melepaskan Semesta pergi ke kamar di sekon kemudian.
Tanggapan tak biasa dari Semesta sudah menyebabkan Langit mengerti, bahwa gadis itu juga menyimpan trauma untuk kasus Aurora. Meski tak pernah menunjukkan secara gamblang, sorot mata Semesta berhasil memancarkan ketakutan itu. Membuatnya tak bisa bersembunyi untuk mengelaki fakta yang ada. Mengakibatkan Langit gundah, merasa ia harus segera bertindak seperti saran Gerhana.
"Bun ...."
Kejora mengangkat pandangan dan menatap Langit. "Iya, Nak?"
Suara Langit tak impuls keluar setelah mendapatkan respons. Ia mencoba menimbang karena ragu tiba-tiba bertandang. Berpikir sejenak apa efek yang akan ia timbulkan jika melakukan pengakuan.
"Bang, kenapa?"
Bersama embusan napas, kebimbangan Langit sirna. Ia percaya bahwa apa yang akan ia lakukan hanya akan menimbulkan pengaruh baik dan adil untuk Semesta. Lagi pula Aurora bukan sosok yang dekat dengan adiknya, sehingga jika dara tersebut terkena murka Kejora, Semesta tak akan begitu nelangsa dan menyalahkan diri sendiri.
"Aku tahu kenapa Tata nggak mau sekolah."
Kelopak mata Kejora melebar. Dengan lekas wanita tersebut kembali pada posisinya di atas sofa. "Kenapa, Bang?"
"Tata takut."
"Takut? Takut kenapa?! Sama siapa?!" Kejora tidak bisa menutupi keterkejutan. Menyebabkan intonasinya meninggi tak sesuai perkiraan.
"Aurora, salah satu siswi di sekolahnya, karena Tata di-bully sama dia."
Kedua tangan Kejora kontan menutupi mulutnya. "Astagfirullahaladzim. Gimana bisa?"
"Aku nggak tahu banyak, Bun." Jari-jari panjang Langit menyentuh lembut lengan Kejora yang tertutup pakaian. Berusaha menyalurkan ketenangan agar ibunya lebih sabar. "Tapi pas di hari aku tahu Ayah mukulin Tata, aku juga tahu kalau Tata suka di-bully sama dia."
"Terus kenapa kamu nggak bilang ke Bunda?!" sentak Kejora cepat dan nyaring. Perempuan itu berdiri dibantu sebongkah amarah yang berkembang di dadanya. Membuat Langit terperanjat dengan lidah mengelu. "Kalau kamu udah tahu, kamu langsung bilang ke Bunda! Ini masalah besar, Langit! Masalah keselamatan kembaran kamu!"
Saliva Langit meluncur ke kerongkongan perlahan. Mulai terintimidasi dengan Kejora yang diterpa kegusaran. "Maaf, Bun ...."
Tanpa memberi respons lebih, Kejora membalikkan tubuh. Beranjak dari ruang keluarga dengan langkah cepat. Meninggalkan Langit yang spontan menunduk dalam. Merilekskan kerja jantungnya yang masih merasakan efek kejut dari murka Kejora.
"Nah, kamu juga, Semesta, kenapa nggak lapor ke Bunda sih?!" Suara Kejora yang penuh kemarahan lagi-lagi mengisi ceruk kosong rumah mereka. Mengeret kepala Langit untuk terangkat. Menyaksikan ucapan penuh gebu Kejora tertuju untuk Semesta yang berdiri tepat di anak tangga pertama.
"Ma-maaf, Bunda," cicit Semesta dihiasi ketakutan.
Kedua tangan Kejora mengepal di sisi badannya. "Jadi, yang Langit bilang benar?"
"I-iya."
"Bunda nggak habis pikir kenapa nggak ada yang kasih tahu Bunda!" Kejora mengusap kasar wajahnya, sekaligus melepaskan handuk yang sejak tadi bertengger di kepala. Lantas kembali melanjutkan langkah menuju kamar. "Pokoknya besok Bunda bakal ke sekolah Semesta! Bunda bakal laporin anak itu! Nggak bisa dibiarin aja!"
Sesudah Kejora menghilang ditelan jarak, Semesta bergerak perlahan menghampiri Langit. Gadis tersebut memain-mainkan jari. Bola mata dan mukanya kentara merah ketika duduk di hadapan si pemuda.
"Kamu dimarahin Bunda gara-gara aku, ya?"
"Nggak pa-pa." Langit menggeleng dengan segaris senyum. Tak ingin mengakibatkan adiknya jatuh di dalam kubangan penuh rasa bersalah seperti minggu lalu. "Bunda kayak gitu pasti karena kaget banget."
Kendati kata-kata penenangan telah membubung, awan hujan tetap mendatangi dara berambut panjang itu. Meluruhkan setiap bulir air yang menghuni matanya. Membingkas rintihan kecil yang memberontak dari mulutnya. "Maafin aku. A-aku-"
"Nggak pa-pa, Ta." Langit bergeser mendekat. Mengusap tetes-tetes kesedihan yang membasahi pipi cerah kembarannya. "Aku nggak pa-pa. Beneran. Udah, jangan nangis."
Semesta menganggut-anggut patuh. Menjatuhkan sisa air matanya yang langsung dihapus Langit. "Tapi maaf, ya."
"Iya, nggak pa-pa dibilang. Ini bukan salah kamu. Malahan bener kata Bunda, harusnya aku langsung bilang." Tangan Langit berangsur lebih tinggi untuk mendarat di puncak kepala Semesta. Mengacak-acak rambut gadis tersebut dengan penuh afeksi yang tak terkira batasnya. "Biar dia dihukum, biar semua adil. Jadi, nanti kamu nggak perlu takut sekolah lagi."
Berat tangan Langit menurunkan sedikit wajah Semesta. Menyebabkan dara itu menatap dari sela-sela bulu mata lentiknya. "Tapi kamu suka Aurora, 'kan?"
Jejeran gigi Langit bereksistensi saat remaja tersebut melengkungkan bibirnya secara lebar. Ia lagi-lagi mengacak surai hitam Semesta sebelum menarik tangan dan bertanya, "Kata siapa?"
"Kata mata kamu." Semesta menegapkan tubuh sekelar Langit melepaskan sentuhannya. Raut nelangsa anak perempuan itu terlihat telah menguap, tergantikan dengan mimik sarat godaan untuk menjaili saudaranya. "Pas kamu natap dia, ada yang beda. Aku tahu, tahu kamu."
Kekehan Langit mengalir rendah. "Ya, sedikit aja."
"Sukanya?" Semesta ikut tertawa. Sudah benar-benar berpaling dari nestapa yang tadi bersambang.
"Iya, tertarik gitu ..., siapa yang nggak bakal tertarik, 'kan?"
"Iya-" Semesta mengangguk setuju, "-dia cantik banget."
Selanjutnya, perbincangan terhenti. Keduanya sama-sama diam dengan untaian pikiran masing-masing. Menyenyapkan ruangan yang mereka tempati, sampai Semesta menjamah pelan punggung tangan Langit untuk mengambil perhatian anak laki-laki tersebut.
"Lang."
Langit menoleh. "Ya?"
"Kita tahu ... Ayah lebih sering merhatiin aku, kemarin aku juga nyinggung kamu soal Ayah. Terus tadi Bunda marahin kamu karena aku, dan ... mungkin, kalau nggak ada masalah aku, kamu bisa jadian sama Aurora." Sudut bibir Semesta tertarik perlahan. Membentuk segaris senyum tanpa rasa gembira. Jari-jemari lentiknya yang menyentuh Langit pun terasa bergetar tatkala ia melanjutkan, "A-aku ..., aku penasaran deh, Lang, kamu ... pernah nggak mikir buat benci aku?"
Telapak tangan lebar Langit melingkupi pergelangan Semesta. Kepalanya menggeleng cepat. "Nggak, aku nggak pernah permasalahin semuanya."
"Beneran?"
"Iya, kalau aku benci kamu, aku nggak bakal ada di belakang kamu supaya kamu bisa bangkit lagi, Ta."
Bibir Semesta terbuka lebar. Kali ini kebahagiaan ikut tumbuh di sana. Suara Langit yang penuh ketulusan benar-benar menyentuhnya. "Makasih ..., makasih, ya, Lang."
"Sama-sama."
"Oh, iya, Lang, aku baru aja inget sesuatu."
"Apa?"
"Ayah nggak secuek itu sama kamu," terang Semesta dengan mata berbinar.
Satu alis Langit terangkat. "Maksudnya?"
"Sesekali aku pernah lihat Ayah perhatiin anak-anak cowok tetangga yang umurnya sepantaran sama kita," jelas Semesta dengan kesenangan yang sangat kentara. Membuat matanya melebar dengan pipi merona yang menggemaskan, sehingga sangat sulit untuk dicari percik kebohongannya. "Ayah ngelihatin mereka sampai semuanya bener-bener udah nggak kelihatan. Aku yakin, pas itu Ayah pasti inget kamu, pasti kangen kamu."
( ⚘ )
Bel sudah berbunyi sejak tiga menit lalu. Menggema ke seluruh penjuru Candramawa. Mengabari siswa-siswinya bahwa jam pulang telah tiba. Mengakibatkan satu sekolah kontan dihiasi sorakan muda-mudi yang bebas dari belenggu tugas. Dilanjutkan dengan suara grasah-grusuh pemberesan buku dan alat tulis. Kemudian, hening selama beberapa detik-membaca doa-sebelum mereka bertebaran mengeluari kawasan sekolah, seperti Langit dan enam sahabatnya.
"Woy, ke rumah gue, yuk," ajak Rayan. Netranya memancarkan harapan agar pemuda lainnya segera menyetujui.
Winako memasukkan satu tangannya ke saku, saat yang lainnya digunakan untuk memegang ponsel. "Ngapain?"
"Orang tua sama adek gue ke luar kota, ngurusin nenek gue yang lagi sakit. Gue jadi ditinggal sama mbak gue."
"Lo tidur siang ajalah, kayak biasa," ucap Teo, sekaligus menyindir. Mengingat bahwa Rayan selalu sulit dihubungi setiap pulang sekolah. Apalagi jika itu di waktu yang sangat krusial, seolah kosmos ikut berkonspirasi untuk melelapkan remaja itu.
Raut Rayan berubah serius bercampur dengan sebuah ketakutan yang membingungkan teman-temannya. "Mbak gue lagi kuliah, Bro. Gue takut sendirian .... Di lantai dua suka ada suara-suara aneh soalnya."
"Lo takut yang gituan?" Kali ini Doni yang bersuara. Memasang gaya sok keren yang spontan menyebabkan Rayan keki.
"Dikit ...."
"Sama sih, gue juga."
"Anjir." Rayan mendengus. Namun, sedikit lega, karena tadi ia mengira akan diledeki. "Jadi, mau, nggak, ke rumah gue?"
"Gue nggak dulu deh." Langit yang pertama memberi keputusan. Memusatkan atensi semua pemuda padanya.
"Lah? Kenapa?" tanya Rayan.
"Ada urusan," jawab Langit seratus persen jujur.
Setelah diingatkan Kejora tadi malam-tatkala wanita tersebut meminta maaf atas kemarahannya-dan pernyataan-pernyataan yang Semesta beberkan kemarin siang, es di hati Langit mencair sedikit demi sedikit. Membuat ia akhirnya memutuskan untuk memenuhi permintaan Guntur yang ingin bertemu.
"Ya, elah, urusan apaan sih?" Doni berdecak nyaring. "Dari kemarin nggak kelar-kelar. Cerita juga kagak," imbuhnya, masih tak terima karena tidak diberi tahu tentang apa pun.
"Nanti gue beneran cerita." Langit terkekeh pelan. "Gue cabut dulu."
Usai mendapat sahutan dari sahabat-sahabatnya, Langit berjalan lebih dulu menuju parkiran. Menyelip beberapa murid yang melangkah santai sambil mengobrol-ngobrol kecil. Lantas lekas mengendarai sepeda motornya mengeluari kawasan sekolah.
Tujuan pertama lelaki itu adalah T'Sky Bakery. Ia akan menemui Kejora untuk mengabari sekaligus agar ditemani, sebab menurut kabar dari kenalan Kejora, Guntur sudah dipindahkan ke rumah tahanan. Butuh kartu identitas untuk memasuki tempat tersebut.
Sesampai di kafe yang dirintis Kejora, Langit segera masuk dan pergi ke lantai dua, tepatnya kantor Kejora. Akan tetapi, pemuda itu tak menemukan siapa pun di sana, sehingga ia cepat-cepat turun dan bertanya pada kasir T'Sky Bakery, Clara.
"Saya kurang tahu, Mas. Coba tanya ke Mbak Semesta atau Mbak Daha." Clara menunjuk dapur toko. "Mereka lagi buat kue."
Langit mengangguk-angguk. "Oke, makasih, Mbak Clara."
"Sama-sama, Mas."
Cepat Langit pergi ke bagian kafe yang diarahkan Clara. Tak perlu lama mencari, ia sudah dapat menemukan Semesta dan Daha yang tampak asyik bekerja sama dalam pergelutan dengan adonan.
"Ta."
Semesta mendongak. "Langit? Kapan datang?"
"Baru aja." Langit memperhatikan tangan Semesta yang dipenuhi tepung. Lalu kembali menatap manik gadis tersebut. "Bunda ke mana?"
"Oh, Bunda la-"
"Tata!" potong seseorang dari belakang Langit. "Eh, Abang?"
Si kembar menoleh ke pemilik suara yang ternyata adalah Kejora. Wanita itu tampak sangat rapi dengan paduan kemeja putih yang dipadukan dengan celana kain hitam, juga jaket dan tas yang tersampir di lengan.
Kalimat interogatif Langit keluar, "Bunda dari mana?"
"Dari sekolah Tata." Kejora mendekat. Memegang lengan Langit dan menarik remaja tersebut merapat, lalu melambai pada Semesta. "Kita ke ruangan Bunda sebentar, yuk."
Tanpa banyak bertanya, Langit dan Semesta menurut. Mengikuti sang ibu yang menggerakkan tungkai menuju kantor pribadi di lantai dua. Kemudian, menempatkan diri masing-masing di sofa yang berada tepat di depan meja kerja Kejora.
"Kasus di sekolah Tata udah selesai," mulai Kejora, menarik perhatian para buah hatinya yang saling berhadapan. "Anak yang nge-bully Tata itu dikeluarin dari sekolah, terus dua orang yang ngebantu dia diskors."
"Di-dikeluarin?" Kelopak mata Semesta terbuka lebar saat melesatkan pertanyaan.
"Iya." Kejora menganggut begitu semangat, serta membentuk sebuah senyuman di wajahnya. "Awalnya pihak sekolahmu masih mau tutup mata soal kasus itu, tapi setelah Bunda ancam, baru mereka mau tindak lanjuti."
"Ancam gimana, Bunda?"
"Dituntut kalau masih pura-pura nggak tahu soal kamu, Ta." Kedua tangan Kejora terlipat di depan dada. Air mukanya ditekuk dalam-dalam. Menyirnakan lengkung kebahagiaan yang tadi sempat bertandang. "Enak aja mereka mau diem terus cuma karena orang tua anak itu jadi ketua yayasan. Dikira Bunda nggak bisa kayak gitu juga apa?"
Bersama geming di tempatnya, Langit menelan ludah perlahan. Terjelengar karena kekukuhan ibunya, meski ia sudah memperkirakan bahwa hal ini memang akan terjadi, sebab Guntur saja, yang notabene masih mempunyai hubungan dengan mereka, tak diampuni. Apalagi Aurora, seseorang yang tidak mempunyai pautan apa pun dengan keluarga Bratajaya.
"Jadi, Ta, kamu udah bisa tenang di sekolah. Nggak perlu takut lagi." Ekspresi Kejora melembut. Ia memanjangkan tangan, menyentuh pelan lengan anak gadisnya. "Atau pindah sekolah aja? Mau?"
Tangan Semesta terangkat. Mengawai jari-jari halus Kejora. "Tata ... tetap mau sekolah di sana, Bunda, boleh?"
Kurvaan bibir Kejora kembali. "Boleh dong, tapi kamu yakin, 'kan? Kalau emang mau pindah, nggak pa-pa kok."
"Tata yakin, Bunda," sahut Semesta mantap.
"Oke deh. Akhir pekan nanti kita belanja perlengkapan sekolah baru, ya?"
"Iya, Bunda. Makasih."
"Sama-sama, anaknya Bunda."
"Tata mau ke bawah lagi, ya, mau bantuin Kak Daha."
"Oke, hati-hati, ya. Jangan sampe kebakar," ingat Kejora.
Kepala Semesta bergerak naik-turun. "Iya, Bunda."
Seperginya Semesta, Kejora bangkit dari tempatnya. Meninggalkan Langit tetap duduk santai di sofa. Perempuan tersebut menaruh barang-barang yang ia bawa di atas meja kerja seraya bertanya, "Kamu tumben ke sini nggak bilang dulu, Bang."
Untuk beberapa sekon, Langit tetap diam sebelum akhirnya menjawab pelan, "Aku ... mau minta temenin Bunda."
"Temenin? Mau ke mana, Bang?" Kejora mengambil beberapa rangkap kertas di atas meja, yang tak Langit ketahui apa isinya. Namun, dari logo yang tertera di halaman pertama, ia sudah dapat menebak bahwa itu pasti sesuatu tentang B&J HR.
"Rutan."
Pandangan Kejora terangkat. Berkas yang tadi ia pegang kembali ke tempat semula tatkala wanita tersebut mendekat ke putra sulungnya perlahan-lahan. "Rutan?"
"Iya ..., aku mau ketemu Ayah."
( ⚘ )
Terakhir kali bertemu Guntur, yang Langit lakukan hanya memberikan pria itu banyak pukulan untuk meluapkan tiap emosi di dalam dirinya. Oleh karena hal tersebut, anak laki-laki itu tak bisa memungkiri bahwa sekarang ia dalam kondisi gugup. Mana lagi tidak mengetahui apa yang membuat Guntur ingin bersua. Namun, daripada perihal tersebut, Langit lebih heran saat menyadari keringat yang membanjiri telapak tangan Kejora. Ia bisa merasakannya dengan jelas sebab wanita itu kini sedang menggenggam tangannya erat-erat.
"Bunda."
Panggilan Langit mengakibatkan haluan kepala Kejora berpindah untuk melihatnya. "Iya, Nak?"
"Aku sayang banget sama Bunda." Langit berjeda sejenak. Menilik mimik Kejora yang sempat tegang bertransformasi menjadi raut tersentuh. Bahkan pemuda tersebut bisa menangkap dengan jelas genangan air yang berada di mata ibunya. "Aku bakal selalu sama Bunda," tambah Langit yang impuls meluruhkan pertahan Kejora, sekaligus menyebabkan ia mengerti apa musabab kegelisahan perempuan itu.
Kejora mengangguk-angguk. Menenggelamkan wajahnya di permukaan lengan atas Langit sambil berucap, "Bunda percaya sama kamu."
"Makasih."
"Maaf, ya, Nak, Bunda terlalu khawatir. Bunda nggak mau kehilangan salah satu dari kalian lagi."
Giliran Langit yang menjengitkan kepala. Mengelus-ngelus pelan bahu Kejora untuk menyalurkan ketenangan. "Iya, aku ngerti, Bun."
Sekelar suara Langit yang dibalas senyum cerah Kejora, Guntur datang dengan kaus khas narapidana. Pria tersebut menempatkan diri di depan Langit dan Kejora. Memasang senyum paling lebarnya. Menyembunyikan mata merah penuh kesedihan yang langsung disadari Langit tanpa perlu memastikan dua kali.
"Tata nggak ikut?" tanya Guntur. Membangun topik demi melenyapkan atmosfer dingin yang mengelilingi mereka.
"Dia di T'Sky Bakery, tokoku, lagi belajar buat kue." Kejora mengerling ke arah Langit. Mendapati remaja itu mengarahkan pandangan ke karpet di bawah kaki mereka. "Lagian Mas bilang mau ketemu Lang, 'kan?"
"Iya," sahut Guntur, turut menjatuhkan tatapan untuk si sulung yang tampak enggan melihatnya. Membuat ia kontan meringis pelan.
"Bang." Kejora menggapai Langit. Membawa atensi pemuda itu agar tertaruh padanya. "Bunda duduk di kursi dekat sana, ya? Kamu di sini ngobrol sama Ayah."
Belum sempat Langit menyahut, Kejora lebih dulu bangkit. Menjauh dari sepasang ayah dan anak tersebut untuk pergi ke tempat duduk yang jaraknya beberapa meter dari mereka. Memberi Guntur kesempatan untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan.
"Apa kabar ..., Bang?"
Napas Langit terhela. Dada remaja itu bergemuruh mendengar sapaan yang tak pernah Guntur keluarkan. Mengakibatkan telapak tangannya spontan memproduksi banyak keringat seperti Kejora tadi.
"Baik."
"Alhamdulillah," embus Guntur diikuti napas lega. "Maaf, ya, Ayah ganggu waktu kamu."
Tak ada respons. Langit diam seribu bahasa. Netranya mengarah lurus ke samping-tempat pengunjung lain yang juga menjenguk keluarganya-bermaksud menghindari sorot menyedihkan Guntur yang entah kenapa tak berani ia lihat.
"Ayah ... kangen kamu."
Pasokan udara di paru-paru Langit seakan sirna. Mengundang sesak yang perlahan-lahan menyebabkan tangan pemuda tersebut mengepal di bawah meja. Lidahnya kian kelu. Membuat ia makin tak bisa melesatkan kata.
"Ayah tahu, Ayah jahat sama kamu. Ayah selalu pilih kasih. Nggak pernah perhatiin kamu. Wajar kalau kamu benci sama Ayah ...." Suara Guntur bergetar dan rapuh. Terdengar begitu memilukan. Menyayat hati pria itu sendiri, juga anak berumur enam belas tahun di depannya. "Ayah nggak bakal minta maaf untuk yang ini, karena Ayah nggak berhak dapatin maaf kamu ...."
Seolah membeku, Langit tetap diam. Ekspresinya masih datar. Tak menunjukkan emosi sama sekali kendati isakan Guntur telah menyaring di hadapannya.
"Kalau gitu, Ayah masuk dulu, ya," pamit Guntur sekelar memampangkan penyesalan yang bersarang di dalam dirinya. Mengakibatkan Langit kontan menoleh, akhirnya mau menyaksikan sosok Guntur yang sudah hancur karena ditekan rasa bersalah. Menyebabkan sang ayah tersenyum lebar karena mata si sulung tertuju padanya. "Tata bilang, kamu salah satu anak berprestasi di sekolah. Belajar yang rajin, ya? Banggain Bunda dan Tata. Jangan lupa jaga mereka juga. Kamu harapan satu-satunya."
Setelah itu, Guntur pergi. Masuk ke dalam seluk rumah tahanan lebih dalam. Meninggalkan Langit masih di tempatnya, sehingga Kejora yang sejak tadi memperhatikan dari jauh menghampiri perlahan, duduk di tempat semulanya. Wanita itu menarik Langit ke dalam dekapan. Merengkuh anak laki-laki tersebut erat-erat sampai ia merasakan kemeja yang dikenakannya basah.
"Bunda janji, semuanya bakal baik-baik aja setelah ini," ujar Kejora. Menepuk-nepuk punggung Langit yang bergetar menahan rintihan, karena pemuda itu sadar bahwa pernyataan Semesta benar, Guntur juga menyayanginya.
( ⚘ )
Janji Kejora tertepati dengan lancar. Sebulan telah berlalu sejak momen-momen penuh air mata dan sekarang kesusahan yang membelenggu hampir tak pernah menghampiri. Semuanya berjalan dengan baik: Langit tetap menjadi murid teladan, Kejora masih di karier yang ia mau, dan Semesta-yang paling signifikan perkembangannya-mulai tumbuh menjadi pribadi yang lebih terbuka; mempunyai banyak teman dari organisasi sekolah dan beberapa kenalan Langit, seperti Omera dan kawan-kawan.
"Yang ini." Semesta menunjuk satu soal dengan nomor dan berbagai tanda yang memusingkan. "Aku udah coba, tapi nggak bisa, nggak ngerti."
Indra penglihatan Langit fokus menilik pertanyaan yang menyusahkan Semesta. "Ini caranya sama kayak nomor 2."
"Oh, ya?" Semesta lekas menarik kertas hitungannya. "Aku kira sama dengan yang nomor 3. Pantesan nggak ketemu jawabannya."
"Emang mirip, tapi beda."
"Oh, gitu. Oke, aku coba dulu."
Kepala Langit bergerak naik-turun sebagai respons. Lantas ia kembali berkutat dengan buku bahasa Inggris-nya yang meminta untuk segera dibaca. Menenangkan ruang keluarga yang mereka jadikan tempat belajar bersama, hingga vibrasi ponsel Langit menginterupsi kegiatan keduanya.
"Telepon dari ... Aurora," lirih Semesta. Membuat Langit cepat mengangkat tatapan dan menahkikkan dengan mata kepalanya sendiri.
"Aku-" Langit meraih ponselnya, "-nggak pernah ngehubungin dia lagi. Terakhir kali sebelum tahu dia bully kamu."
"Ada yang penting ..., mungkin." Semesta mengubah posisi duduknya sekilas. "Coba kamu angkat aja?"
"Tapi-"
"Aku nggak pa-pa kok ...." Semesta menarik bibirnya membentuk senyum simpul. "Jangan sampe Bunda tahu aja."
Usai menimbang dalam beberapa detik, Langit menyerah dengan panggilan yang tak berhenti. Ia segera menekan tombol hijau di ponsel. Kemudian, mendekatkan benda canggih tersebut ke telinga. Membiarkan indra pendengarannya menerima suara feminin yang terakhir kali ia dengar sebulan lalu.
"Halo ..., Langit."
"Halo." Langit melirik Semesta sejenak. Memastikan bahwa dara itu benar-benar baik-baik saja. "Ada apa?"
"Lang, bisa ketemu sebentar?" tanya Aurora dari seberang sana. Ia sangat pelan dan begitu hati-hati dengan kalimat interogatifnya. Mungkin sudah mengenal sesuatu bernama penyesalan.
"Ngapain?"
"A-ada ...." Napas Aurora terdengar dihirup. Sepertinya gugup karena cara bicara Langit-amat dingin dan tak acuh-yang belum pernah lelaki tersebut pancarkan sebelumnya. "Ada yang mau gue omongin."
Sorot Langit terangkat ke arah jam yang menempel di dinding belakang televisi. Benda yang menunjukkan waktu itu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Mengakibatkan ia tak berpikir panjang saat menjawab, "Nggak bisa."
"Please ..., sebentar aja."
"Nggak bisa," ulang Langit dengan nada yang sama. Mengusik Semesta dengan rasa penasaran. Menyebabkan pemuda tersebut langsung mengasih penjelasan singkat tanpa suara.
"Pergi aja. Siapa tahu penting banget?" bisik Semesta, masih dengan pikiran positifnya. Membuat Langit hampir tak bisa percaya, bahwa dua gadis yang sedang berbicaranya dengannya pernah mempunyai kenangan kelam.
"Lang ..., please. Gue janji cuma sebentar kok."
Napas Langit terembus pelan. Semesta yang mencoba meluluhkan dan Aurora yang tetap memohon berhasil merontokkan keras kepalanya. "Oke."
"Makasih, Lang, makasih." Suara Aurora tak mampu menyembunyikan kegembiraan yang empunya rasakan. "Gue share loc sebentar lagi."
Ponsel yang semula menempel di telinga Langit ditarik perlahan. Menjadikan monitornya pusat utama interes laki-laki itu dalam beberapa sekon semasih belum mengudarakan kalimat interogatif, "Kenapa kamu masih baik sama dia?"
Pelupuk Semesta berkelip-kelip ketika sudut bibirnya bersilir mengukir satu garis datar. "Kita sama-sama salah."
Alis Langit tertaut. "Maksudnya?"
"Pertama kali ketemu ..., dia emang kelewatan. Marah-marah padahal dia yang nabrak aku duluan." Jari-jari langsing Semesta melepaskan pulpen. Kemudian, memilin ujung kaus yang ia pakai. Mengakibatkan penglihatan netra dara tersebut ikut turun demi memperhatikan kegiatan tangannya. "Tapi habis itu aku yang salah. Aku nggak lihat-lihat pas jalan dan nggak sengaja nabrak dia, bikin minumannya tumpah. Dia jadi pake seragam kotor itu seharian deh."
Rambut basah Langit-bekas wudu untuk salat Isya-disugar ke belakang. "Walaupun gitu, dia tetap keterlaluan, Ta."
"Aku tahu, tapi mau gimana lagi? Udah lewat kok, waktunya nggak bisa diputar balik." Semesta menengadah. Mengaliri Langit dengan kepercayaan bahwa kegelapan itu sudah tak terlalu mengganggunya. "Lagian selama sebulan ini, dia bener-bener nggak ngelakuin macem-macem. Mungkin, dia ngehubungin sekarang emang karena ada sesuatu yang mendesak, 'kan. Kalaupun nyatanya nggak gitu, yang penting dipastiin dulu. Habis itu jangan diladenin lagi."
"Oke ...," putus Langit, benar-benar akan menerima saran saudaranya.
Kurvaan bibir Semesta mengembang indah. Mempermanis wajah anggun gadis tersebut. "Ya, udah cepat pergi sebelum kemaleman. Nanti malah nggak dibolehin Bunda."
"Iya, aku siap-siap dulu," kata Langit.
Selanjutnya, Langit membereskan alat-alat tulis yang berserak di meja. Menyusun benda-benda itu di kotak pensil. Lalu membawanya beserta beberapa tumpuk buku ke kamar.
Selepas memasukkan barang-barang sekolah ke dalam tas, Langit mengambil sehelai hoodie berwarna hitam dari dalam lemari. Lantas bercermin dan menggunakan beberapa semprot parfum andalannya, sebelum kembali ke lantai dasar rumah untuk berpamitan dengan Kejora yang berada di ruang makan.
"Kenapa, Bang?" tanya Kejora, yang sedang membaca buku resep, setelah Langit melewati batas pintu. Wanita itu mengunggulkan hidungnya untuk mendeteksi keberadaan si sulung, karena aroma mint yang selalu menguar dari tubuh remaja tersebut.
"Aku mau keluar bentar, ya, Bun."
Kepala Kejora terangkat. Dahinya berkerut dalam memperhatikan penampilan Langit yang sudah rapi. "Udah malem, lho."
Bagian dalam bibir bawah Langit gigit kecil, mulai agak buncah. Ia mengusahakan otaknya untuk segera mencari alasan yang masuk akal kalau-kalau diinterogasi lebih lanjut, sebab ia tahu jelas Kejora tak akan membiarkannya untuk bertemu Aurora. "Sebentar aja, Bun. Ada perlu sama teman."
"Serius? Penting banget?"
"Iya."
Sejenak Kejora diam di tempat. Hanya menilik Langit yang mematung di sisi meja makan. Membuat Langit kian dirundung bimbang. Bahkan ia sempat berpikir untuk mengurungkan niat karena tak ingin ditimpai amarah ibunya.
"Ya, udah."
Mata Langit sedikit melebar. "Boleh?"
"Iya, tapi tetap ada aturannya," setuju Kejora. "Nggak boleh lewat jam sembilan atau Bunda kunciin pintu, paham?"
"Paham, Bunda." Langit menganggut patih sembari mendekat. Menyalami ibunya sebagai tanda pamit. "Aku pergi dulu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumssalam. Hati-hati."
( ⚘ )
Penasaran menelusuk pelan-pelan ke benak Langit. Otaknya berupaya menebak momen apa saja yang dilewati Aurora sehingga tampak sangat bancuh: mata bercekungan dalam, muka kusam, dan rambut yang disanggul acak. Bahkan tak terlihat sama sekali riasan di wajah rupawannya. Berbeda sekali dari terakhir kali Langit menemui dara tersebut.
"Makasih udah datang," ujar Aurora bersama senyum yang sedikit menyinari mukanya. Menghilangkan beberapa suram yang tampak betah membumi di sana.
"Sama-sama." Langit memandang lurus mata cantik Aurora. Terdapat sebongkah kedinginan yang tak lebih panas dari es di indra penglihatan pemuda itu, yang juga merangkap sebagai tameng agar tak jatuh di jaring pesona si gadis. "Mau ngomong apa?"
Ringisan pelan Aurora keluar menyadari perubahan sikap Langit yang sudah tak mengandung ramah-tamah. Sebelum menjawab, ia menyapu pandangan ke seluk-beluk kafe yang mereka tempati sekarang, seraya mengambil napas dalam-dalam.
"Maaf." Suara Aurora mulai melambung. Tatapannya sudah kembali ke pupil gelap Langit. "Maafin gue, Lang."
"Untuk?" Langit membenarkan posisinya tatkala seorang pramusaji datang membawa minuman yang mereka pesan.
Sekelar si pelayan menyajikan jus dan pergi setelah diberi terima kasih, Aurora menyahut lembut, "Untuk apa yang gue lakuin selama ini."
"Tentang Tata?"
Aurora menjengitkan kepala. Membuat surai-surai halusnya yang tidak terkucir turut bergerak naik-turun, sekaligus mengubah ekspresi tanpa emosinya menjadi sendu. Di wajah dara tersebut tercetak jelas nelangsa yang tak terhitung jumlahnya.
"Harusnya lo minta maaf ke Tata, bukan gue," ucap Langit sambil menarik gelas jus dan mengaduk isinya.
Embusan keras keluar dari hidung Aurora. Ia menunduk dalam. Memainkan jari-jari, serta menilik-nilik sekilas cat kukunya yang memudar. "Gue ... takut, Lang."
Aktivitas Langit terhenti saat menangkap kegelisahan Aurora. Niatnya untuk meminum jus diurungkan. Dengan memusatkan rasa iba, anak laki-laki itu pasrah untuk menerjunkan perhatian penuh demi perempuan di depannya. "Kenapa?"
"Gue udah keterlaluan banget sama Semesta." Aurora menarik wajahnya untuk mendongak. Memperlihatkan pada Langit pelupuknya yang sudah bertransformasi menjadi kubangan air mata. "Emangnya dia mau maafin gue?"
"Sebenernya gue nggak mau datang ke sini," jujur Langit yang kontan menjatuhkan setetes bulir dari kedua mata Aurora. "Tapi Tata yang nyuruh gue datang; ngasih lo kesempatan untuk ngomong," imbuh Langit yang menyebabkan air mata Aurora menderas alih-alih berhenti.
( ⚘ )
"Langit?"
Pandangan Langit yang terarah lurus ke layar ponsel terangkat, bertemu dengan tatapan gadis yang tadi malam ia temui, Aurora.
Berbeda dari hari sebelumnya, penampilan Aurora sekarang tampak lebih segar dan apik. Dengan mengenakan kaus dan rok denim yang dibalut blazer senada, dara itu menggerai rambut sehingga terlihat berkelas seperti biasa. Namun, percikan kesombongan yang selalu ia sembunyikan tak hadir. Hanya ada senyum lebar secerah angkasa yang mengatapi mereka.
Tubuh Langit yang tadi sedikit bersandar di badan sepeda motor menegap. Ruang otaknya bekerja untuk memahami kemunculan Aurora sebelum memutuskan untuk bersuara, "Lo ... di sini?"
Kepala Aurora bergerak naik-turun. Tungkainya melangkah sekali. Lalu berbalik untuk menyamakan hadapannya dengan Langit, yaitu gerbang sekolah Semesta. "Gue mau minta maaf ... sama Semesta, kayak yang lo bilang tadi malam."
Sejak Aurora mengubah posisinya, sorot Langit terus mengikuti gerakan gadis tersebut. "Dia rapat OSIS," ungkap Langit sesuai dengan informasi yang Semesta berikan beberapa menit lalu.
"Iya, udah ada yang kasih tahu gue tadi." Aurora membalas pandangan Langit di sebelahnya. Lengkungan manis di wajah elok dara itu masih belum sirna. "Semesta ... pasti terima permintaan maaf gue, 'kan?"
"Kemungkinan besar," jawab Langit, tak langsung memberi harapan besar dengan menyatakan secara gamblang. "Kalau lo emang tulus."
"Gue jamin tulus." Aurora masih tersenyum. Menelisik lebih dalam pandangannya pada area sekolah yang makin lama dilihat kian membuat rasa rindunya mencuat. "Jadi orang jahat susah ..., capek juga. Gue nggak mampu. Nggak ngerti deh kenapa waktu itu gue sok-sokan banget," papar Aurora bersama kekehan pilu. Menyiratkan segala luka yang ia dapat sebagai karma dari perbuatannya.
Tetap dalam geming, Langit tak memberi respons. Ia hanya menilik Aurora dalam-dalam. Memperhatikan setiap gelagat nestapa yang susah payah gadis tersebut tutupi, sebab Langit tahu bahwa sekarang bukan waktunya berkomentar. Tugasnya hanya cukup menjadi pendengar demi membantu Aurora terlepas dari pecahan rasa bersalah yang sudah disesalinya.
"Apa yang gue lakuin ke orang balik ke gue sendiri. Sakitnya, nangisnya, semuanya," lanjut Aurora. "Makanya gue mau berhenti sekarang, dimulai dari minta maaf ini. Pilihan gue udah bener ..., 'kan?"
Pelan tetapi pasti, Langit menganggut. "Iya, Ra."
Di detik selanjutnya, Aurora ikut menganggut-anggut. Kurvaan dara itu melebar. Mempresentasikan jejeran gigi rapinya. "Sekarang gue udah yakin lo sama Semesta kembar."
"Ma-"
"Ngapain lo di sini?"
Pertanyaan yang memotong ucapan Langit tersebut berasal dari Gerhana. Ia muncul dari gerbang bersama Semesta yang menegang mendapati sosok Aurora di sebelah Langit. Sangat menjelaskan bahwa gadis itu terintimidasi dengan kehadiran mantan primadona sekolah tersebut.
Hidung Aurora mengeluarkan dengusan keras. Bola mata dara itu berotasi saat melipat tangannya di depan dada. "Yang pasti bukan buat lo sih."
"Kalau lo coba bu-"
"Diem deh! Lo jadi cowok kok berisik banget sih!" sela Aurora galak bersama wajah cemberut, tak memedulikan Gerhana yang juga merengut. Gadis tersebut melangkah maju, meninggalkan sisi Langit untuk berhadapan dengan Semesta yang berdiri resah. "Hai," sapa Aurora ramah, berbeda dengan cara bicaranya pada Gerhana.
Lidah Semesta kelu. Dara itu membeku di atas kakinya. Beberapa bulir keringat mulai menghias bagian-bagian tubuhnya. Menandakan bahwa Semesta masih belum terlepas dari belenggu trauma yang ia alami, kendati sudah rela membagi kebaikan hati.
"Gue cuma mau minta maaf sama lo." Aurora menayangkan senyum supel. Bermaksud memberi sinyal pertemanan, melepas bendera perdamaian. Ia mengulurkan tangan, lantas menambah, "Maaf, ya ..., Semesta?"
Semesta tak langsung menyambut. Anak perempuan tersebut masih diterpa bimbang. Ia mengurai tatapan antara tangan Aurora dan Langit, meminta bantuan secara nonverbal, yang kemudian diupahi anggukan dari si pemuda. Mengakibatkannya perlahan menarik lengan melawan gravitasi, meraih uluran Aurora untuk berjabat.
"Iya," sahut Semesta singkat. Lalu cepat-cepat beranjak dari depan Aurora untuk menghampiri Langit, berlindung menggunakan kenyamanan yang saudaranya tersebut kepulkan.
Hanya dengan melihat gerak-gerik Semesta, Langit sudah dapat menebak bahwa gadis itu belum bisa beradaptasi. Ia tak mau Semesta menjadi terpuruk karena ketakutannya lagi. Oleh karena hal tersebut, Langit putuskan untuk segera undur diri. Membawa Semesta menjauh dari luka yang belum berkarsa bermurah hati.
"Kamu mau pergi ke rumah Teo, 'kan? Anterin aku ke T'Sky aja," pinta Semesta di tengah perjalanan. Pelukannya pada tubuh Langit terasa lebih kencang dari biasanya.
"Oke," terima Langit. Mengarahkan ban sepeda motornya menuju kafe Kejora.
Butuh sekitar delapan belas menit untuk sampai di T'Sky Bakery. Setelah alat transportasi Langit terparkir di salah satu ruang kosong, dua bersaudara tersebut segera turun. Melepas seluruh peralatan berkendara mereka. Lantas berjalan beriringan menuju pintu masuk utama.
"Kamu nggak pa-pa?" tanya Langit sambil mengambil alih tas yang Semesta gendong.
"Nggak pa-pa ...," jawab Semesta setengah tersenyum. Ia mencoba meraih ranselnya dari Langit. Namun, tak berhasil karena lelaki itu sudah lebih dulu mencangklongkannya ke bahu.
"Kamu nggak perlu bohong sama aku." Langit menarik tangan Semesta. Menggengamnya erat, juga merasakan lautan keringat kegugupan dari sana. "Emang perlu waktu buat lupain semuanya, tapi kamu tenang aja, Ta, aku sama Bunda bakal terus ada sama kamu."
Napas Semesta memburu. Bibir gadis tersebut bergetar menahan haru. Kehangatan sedikit demi sedikit kembali melingkari lubuknya. Menyebabkan jari-jemarinya makin bertaut sempurna dengan milik Langit. "Iya ..., makasih karena selalu ada di sini."
Gumaman kecil Langit mengudara sebelum ia berkata, "Itu emang tugasnya keluarga, 'kan? Aku yakin, kamu juga bakal gini kalau aku yang di posisi kamu."
Kepala Semesta mengangguk-angguk cepat dan semangat. Menerjunkan setetes air mata, sekaligus menerbitkan senyumnya. "Iya, pasti."
Lengkungan bibir Langit ikut terukir. Ia mengangkat tangannya yang bebas. Mengusap jejak air mata Semesta dan mengacak pelan rambut dara itu. Kemudian, keduanya melanjutkan langkah hingga sampai ke dalam T'Sky Bakery.
Pemandangan pertama yang mereka dapati setelah berada di depan pintu adalah Kejora yang tengah berbicara pada seorang pelanggan. Keberadaan anak-anaknya yang mencolok kontan mengambil perhatian wanita tersebut. Membuat kepala Kejora geleng-geleng karena penampilan keduanya yang sangat berbeda.
"Tata belum ganti baju kok malah ke sini?"
Semesta menyengir lebar. Kaitan tangan gadis itu dan Langit lepas ketika ia mendekati Kejora dan bergelayut padanya. "Tata kangen sama Bunda."
"Supaya nggak dimarahin, ya?"
"Nggak kok. Beneran kangen Bunda, tahu."
Hidung Kejora mengembuskan napas pelan karena bersusah payah menyembunyikan senyumnya. "Abang juga malah bawa Tata ke sini."
"Tata yang mau kok, Bunda," jujur Semesta. Menyelamatkan Langit yang hanya diam seraya mengurvakan bibir di tempatnya. "Lang mau pergi ke rumah Teo. Tata nggak mau sendiri di rumah, nggak mau ikut Lang juga. Doni berisik banget, Bunda. Bikin pusing," jelas Semesta dengan ekspresi terganggu. Mengingat beberapa pertemuanya dengan dua pemuda tersebut selalu penuh gombalan basi.
"Jadi bukan karena kangen Bunda dong?" goda Kejora dengan kerlingan jenaka.
"Kangen juga kok."
"Masa?"
"Iya, Bunda, Tata nggak boong," ucap Semesta bersungguh-sungguh. Mengundang tawa yang sedari tadi Kejora tahan, serta mengakibatkan senyum Langit makin melebar, karena bagi Langit, tak ada yang lebih menggembirakan daripada melihat momen hangat dua perempuan yang paling ia sayangi saat ini: pelengkap dan bibit kebahagiannya setiap hari, sebab Semesta dan Kejora adalah seluruh dunia dan penerang hidupnya.
( Dia yang Bernama Langit - Bagian 6 | Tamat )
Akhirnyaaaaaaa kita berada di akhir cerita. Singkat emang, kan, M udah bilang ini cuma mini series tapi chapter akhir ini panjang hikd, 8k words dong woy! 😭
Daaaaan, tanpa buang waktu lagi, kita langsung masuk ke sesi kesan dan pesan event ini.
Awal mula event ini ada karena ide dari M sih. Kalau nggak salah, salah satu admin lain tuh nanya, apa event bulanannya buat cerpen lagi gitu terus yaudah M saranin event kelompok gini. Pokoknya admin lain langsung pada setuju setelah M jelasin dan nggak pake pikir lama, besoknya kita langsung umumin event ini karena di hari sebelumnya juga admin udah nanyain member, kan, apa sanggup ngerjain event bulan dan banyak yang bilang sanggup sih.
Ya, udah setelah itu-ini akhirnya kelompok M adalah Creambers yang sekarang juga nulis seri Bianglara ini. Jujur aja, awalnya M nervous. M takut nggak bisa ngebimbing Ceriwis─sebutan buat kelompok seri Bianglara xD─dengan baik soalnya walaupun M sering muncul untuk ngembimbing CreaWiLi secara umum pun, M, kan, juga bersandar sama admin lain dan untuk ngurus Ceriwis, itu, kan, semuanya ada di tangan M sendiri. Jadi, M takut gitu. Apalagi M sadar kalau M marah suka mendadak egois. M takut Ceriwis jadi hancur gegara M sendiri.
But, setelah M jalanin, M bersyukur banget karena bisa sekelompok sama anak Ceriwis. M senang ngeliat betapa antusiasnya mereka pas diskusi walaupun kadang ada yang M nggak ambil sarannya atau ada yang terkacangi, M minta maaf banget. Mungkin nggak keliatan sama M.
Tapi jujur juga, M ada sebalnya. Nggak perlu M sebutin, biar jadi rahasia kelompok kita dan admin lain.
Pesannya, untuk anak Ceriwis, kalau suatu hari nanti CreaWiLi ngadain event yang sama atau serupa lalu kalian nggak sekelompok lagi sama M, kalian harus tetap solid dan kasih ide-ide segar buat bantu admin yang ngebimbing kalian. Ide-ide kalian luar biasa walaupun ada yang terlalu drama dan malah bikin ngakak seGC. Kalian udah bagus, udah nurut banget sama M, terlampau nurut rasanya, tapi lain kali coba lebih tepat waktu aja.
Segitu aja sih. Oh, ya, dan apa pun yang M pernah ungkapin ke kalian waktu itu, M udah nggak pa-pa. M sayang sama kalian dan cerita kita, makanya M sampe kayak gitu. Maaf kalau itu berlebihan, menurut kalian.
Thank you so muchaaaaa untuk waktu yang kalian luangin sama M dan CreaWiLi. Kalau mau, GC Ceriwis gpp tetap ada. Ehe.
Oke, segitu aja deh.
M tau cerita M belum sempurna tapi M sayang banget sama cerita ini dan M nggak bakal ngehujatnya sama sekali. Semoga kalian, para readers, juga terhibur dan makasih udah luangin waktunya udah baca seri Bianglara.
Dan sampai ketemu lagi sama Langit versi dewasa di seri Ikan-Ikan Tanpa Nama yang juga ngerangkum cerita para teman-temannya!
Salam kreativitas tanpa batas! ✨
The simple but weird,
MaaLjs
18 Juni 2019 | 23.08
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top