( DyBL - Bagian III )

( ⚘ )

Langit berjalan ke lemari. Mengambil sehelai kemeja berwarna kuning untuk dipadukan dengan kaus putih dan jin hitam yang ia kenakan. Setelah menggunakan kain tipis itu, pemuda tersebut melilitkan arloji ke tangan kiri. Lantas melangkah ke arah cermin untuk memastikan penampilannya.

Usai melihat semua telah rapi, Langit mengambil botol parfum transparan di atas meja. Menyemprotkan cairan di dalam benda tersebut ke beberapa bagian tubuhnya. Membuat aroma mint menjalar ke seluruh ruangan. Menggantikan bau sabun yang sempat meraja beberapa menit lalu.

Sekelar membawa barang-barang yang ia rasa penting, Langit akhirnya keluar dari kamar. Ia menuruni tangga perlahan. Kepalanya menoleh ke berbagai arah. Mencari keberadaan Kejora, yang akhir pekan ini memutuskan untuk menghabiskan waktu di rumah daripada T'Sky Bakery.

"Kamu mandi parfum, ya, Bang?"

Kalimat interogatif itu menyambut Langit tepat ketika ia menapaki lantai dasar. Berasal dari Kejora yang mengeluari dapur dengan apron cantik melingkari tubuhnya. Sepertinya wanita tersebut sedang bereksperimen untuk menemukan resep baru; kebiasaan yang selalu dilakukan Kejora saat mempunyai waktu senggang.

"Wangi banget sih anaknya Bunda. Ganteng lagi," puji Kejora yang kontan membuat Langit terkekeh kecil. "Mau pergi sama siapa sih sebenarnya?"

Langit meraih tangan Kejora dan menyalaminya. "Sama temen, Bun."

"Temenmu yang berenam itu?" Kejora menyentuh bahu Langit tatkala remaja itu mencium tangannya.

Tubuh Langit kembali menegap. Namun, masih tak melepaskan tautan tangannya dengan sang ibu. "Bukan ...."

"Temen ... cewek, ya?" tebak Kejora. Bermaksud untuk menggoda anak yang sedang berada di masa transisi itu, sekaligus menghangatkan suasana di antara mereka. Wanita tersebut tak pernah berharap atau mengira bahwa taksirannya tepat. Mengakibatkan ia impuls tercengang kala mendapati perubahan ekspresi dari Langit, yang mulai salah tingkah, sebagai tanggapan pertama. "Jadi beneran sama cewek nih?"

"Iya ..., tapi temen doang," balas Langit dengan nada tenang, bertolak belakang dengan mimik dan gelagatnya.

Kejora terkikik geli. Tangannya terangkat. Menepuk-nepuk pelan pundak Langit. "Ya, udah gih sana pergi. Bisa-bisa ceweknya ngambek kalau kamu telat."

"Beneran cuma temen, Bun," desah Langit. Menyadari ada sedikit keusilan dari kalimat ibunya.

"Iya, sekarang cuma temenan, tapi nggak tahu nanti, 'kan?" Tawa Kejora masih mengudara. Ia senang dan takjub karena putra kecilnya benar-benar beranjak menuju kedewasaan. "Nggak pa-pa kok pacaran. Bunda bolehin, asalkan jangan lupa sama sekolah."

Tak ada sahutan dari Langit. Ia memutuskan tetap bungkam daripada membicarakan topik itu lebih lama. Selanjutnya, pemuda tersebut kembali pamit dan langsung pergi ke garasi. Menaiki sepeda motor kesayangannya, lantas tancap gas di detik kemudian.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, Langit sampai di rumah mewah yang beberapa hari lalu ia tandangi. Dengan satu deringan dari bel, gerbang yang menjulang tinggi sudah terbuka lebar untuk lelaki itu. Menyebabkan matanya impuls dihadiahi lanskap kediaman yang sungguh glamor, hampir mirip dengan tempat tinggal nenek dan kakeknya.

"Mas Langit, ya? Mbak Rora bilang, langsung ke dalam aja, Mas."

Kepala Langit menampilkan anggukan sekali untuk merespons si satpam. Kemudian, menjalankan kendarannya memasuki pekarangan rumah yang dihiasi beberapa patung air dan lampu. Di depan dua benda itu, terdapat jajaran tanaman cantik nan warna-warni seperti milik Kejora.

Ban sepeda motor Langit berhenti usai berada di depan teras. Ia turun dan melepaskan helmnya. Mengambil langkah ke arah bel dan menekannya sekali. Seperti gerbang tadi, pintu rumah juga terbuka begitu cepat. Seolah orang-orang yang berada di sini sudah menantikan kedatangannya sejak tadi.

"Hai, Lang," sapa Aurora dengan senyum lebar. Gaun merah yang memiliki panjang sejengkal di atas lutut itu terlihat pas di tubuh gadis tersebut. Sehelai ikat pinggang kain dan choker berwarna hitam juga membuatnya tampak manis. Apalagi tataan rambut yang dibiarkan tergerai bersama sebuah pita cantik itu, mengakibatkan aura dari keelokan Aurora kian mencolok. "Ayo, Lang. Langsung aja."

Hidung Langit menarik napas sebanyak mungkin. Mencoba menetralkan degup jantungnya karena mendapati keindahan di depan sana, sebelum menyahut, "Gue mau izin dulu sama orang tua lo, Ra."

Kekehan kecil Aurora keluarkan. Merasa tersanjung dan gemas karena kesopanan Langit. Namun, alih-alih mempersilakan laki-laki tersebut masuk, ia malah menggeleng dan menutup pintu rumah. "Bokap gue lagi di luar kota dan nyokap gue juga nggak ada. Ayo, langsung aja."

"Serius?"

"Iya, serius." Aurora berjalan mendahului Langit menuju kendaraan pemuda itu. Kemudian, memakai helm tanpa menunggu persetujuan. "Bokap gue udah beberapa bulan di luar kota. Pulangnya mungkin minggu depan dan nyokap gue udah meninggal."

Indra penglihatan Langit yang sedari tadi mengikuti pergerakan dara tersebut melebar. "Maaf, Ra, gue─"

"Nggak pa-pa kok. Lo, 'kan, nggak tau," potong Aurora masih dengan senyum. Perkataan seperti tadi seolah tak memiliki dampak apa pun. Malar-malar Aurora tambah gembira ketika Langit mendekat. Menyebabkan aroma maskulin dari tubuh lelaki tersebut makin menusuk indra penciumannya. Membuat ia seakan-akan dilingkupi sesuatu yang menenangkan. "Ayo, jalan."

( ⚘ )

Netra Langit mengarah lurus ke arah Aurora yang duduk di depannya. Mereka sudah selesai di bioskop dan kini berada di restoran cepat saji. Akan tetapi, rengutan di wajah Aurora yang terlahir sejak menonton film tadi masih setia terpampang. Menyebabkan Langit tak mampu untuk tidak menyemburkan tawanya. Air muka gadis itu benar-benar lucu. Namun, juga begitu menggemaskan karena bibirnya yang mengerucut.

Mendengar kikikan Langit, Aurora kontan mengeluarkan rengekan singkat. Tangannya dilayangkan untuk memukul pelan lengan pemuda itu agar berhenti. "Gue tuh takut, ya, malah diketawain."

Isyarat Aurora spontan Langit turuti. Akan tetapi, jejeran gigi rapinya masih setia menampakkan diri. "Kalau tahu takut, kenapa milih film horor?"

Hidung Aurora menghela napas. Ia memasukkan satu kentang goreng ke dalam mulutnya sebelum menjawab, "Selama ini kalau gue ngajak temen nggak ada yang mau, terus kalau nonton sendiri nggak asyik dong. Mumpung lo anaknya mau aja, ya ..., udah ...."

"Terus nanti gimana?"

Alis Aurora tertaut. Tak mengerti maksud pertanyaan Langit. "Gimana apanya?"

"Kalau lo malah takut sampe malam."

"Hm ...." Aurora menelan kentang gorengnya. Lalu mengerling ke atas. Mencoba bermakrifat tentang apa yang akan ia lakukan jika dugaan Langit terjadi. "Nggak tau .... Mungkin minta temenin tidur sama si Bibi atau puter lagu gede-gede?"

Sudut bibir Langit kian tertarik saat mengabadikan ekspresi Aurora yang sedang berpikir di memorinya. "Kalau mau, lo juga boleh telepon gue sampe tidur."

Tatapan Aurora turun dan spontan jatuh pada Langit. Bibirnya yang manyun mulai membentuk sebuah lengkungan. "Yang bener?"

"Iya."

"Makasih, Langit." Senyuman Aurora makin lebar sampai-sampai matanya menyipit. "Gue senang bisa kenal lo."

"Sama-sama, Ra."

"Habis ini, kita langsung pulang, Lang?" tanya Aurora sambil melanjutkan makannya.

Langit menarik gelas soda di sebelahnya dan menjengitkan kepala. "Nyokap ngebatasin gue pergi sampai magrib aja. Soalnya salat magrib berjamaah di rumah gue udah jadi kewajiban, kecuali kalau emang lagi pada sibuk dan mesti salat di luar."

"Gitu, ya? Enak dong. Jadi iri nih," kata Aurora dengan tawa hambar.

Mata Langit mengerjap beberapa kali. "Kenapa iri?"

Aurora menunduk dalam kala jari-jari lentiknya masih sibuk berurusan dengan makanan. "Gue, 'kan, di rumah sendirian ... sama Bibi doang."

Oksigen di sekitar Langit hirup dalam-dalam. Ikut kembali fokus dengan hidangan miliknya sendiri. "Setiap keluarga pasti punya cara sendiri supaya saling bahagia, Ra."

"Gue tahu ..., tapi tetap aja kadang gue iri sama anak-anak yang diurus sama orang tuanya " Aurora menengadah. Mengekspos mata berkaca-kaca yang tadi sempat ingin ia tutupi. Mulut anak perempuan tersebut bergetar sebelum mengimbuh, "Kayak ... kenapa sih gue nggak bisa rasainnya juga? Salah gue apa? Gue, 'kan, juga pengin kayak yang lain."

Pemandangan di depannya membuat Langit membeku sejenak. Ia tak menyangka bahwa kali ini Aurora benar-benar tergores karena topik mengenai keluarga. Pemuda itu kira, gadis tersebut tetap akan berlaku biasa saja seperti tadi.

"Gue ngerti, tapi mau gimana lagi? Keadaannya emang kayak gini, 'kan. Yang bisa kita lakuin cuma bersyukur aja, Ra. Pasti semuanya nanti jadi mudah," jelas Langit dengan intonasi pelan dan lembut. Berusaha untuk memberi pemakluman tanpa melukai Aurora lebih lanjut.

"Iya, lo sih enak ngomong. Lo, 'kan, nggak ngerti a─"

"Orang tua gue cerai," sela Langit kontan seusai menyadari bahwa Aurora tak dapat menerima penafsirannya mentah-mentah. "Gue ikut nyokap. Saudara gue ikut bokap. Udah tiga bulan ini susah ketemu."

Setetes air berhasil luruh dari mata Aurora, bersamaan dengan bibirnya yang melesatkan panggilan, "La-Lang ...."

Langit tersenyum kecil. Menyiratkan bahwa ia baik-baik saja. "Nggak pa-pa. Lo udah mau cerita. Biar fair gue juga cerita."

Alih-alih menimbulkan tenang, lengkungan yang Langit tampilkan mengakibatkan Aurora terisak. "Ma-maafin gue ...."

"Nggak pa-pa, Ra." Langit mencondongkan tubuh. Mengikis jarak antaranya dan Aurora demi mengelus pelan lengan gadis itu. "Emang kalau ngelihat orang lain tuh kayak enak mulu hidupnya. Padahal semua manusia punya masalah sendiri, 'kan."

Kepala Aurora bergerak naik-turun. Pipinya yang basah diusap secepat kilat. Tak mau menjadikan Langit sasaran empuk berpasang-pasang mata penasaran di dekat mereka. "Makasih udah kasih pengertian ke gue, Lang."

( ⚘ )

Jari Langit bergerak cepat, memutar-mutar bolpoin dengan mata tertuju pada deretan angka di buku. Akan tetapi, pikiran pemuda itu tak terpatok pada apa yang ia lihat sekarang, melainkan melayang ke kilasan obrolannya dan Kejora tadi pagi.

"Bang ...."

Langit mendongak. Menghentikan aktivitasnya yang sedang memasang dasi sekolah untuk berfokus pada Kejora. "Iya, Bun?"

Netra Kejora membagi tatapan ke arah Langit dan roti isi yang ia pegang. "Bunda ... mau cerita soal mimpi Bunda. Soalnya gara-gara itu perasaan Bunda nggak enak sampai sekarang."

"Bunda mimpi apa?" Langit bertanya bertepatan dengan selesainya urusan mengenai dasi. Atensi anak laki-laki tersebut sekarang benar-benar tertuju pada Kejora. Bermaksud menjadi pendengar yang baik karena merasa konversasi ini krusial─sebab menyadari wajah tegang Kejora.

"Bunda mimpi, Bunda duduk di teras belakang rumah terus Tata muncul. Awalnya kami ngobrol biasa ... lalu Tata metik salah satu bunga yang Bunda tanam dan dia genggam tangan Bunda. Selanjutnya, Tata nangis dan tiba-tiba tangan kami berdua berdarah. Nggak lama kemudian, Tata berubah jadi Bintang dan mereka terus berubah-ubah sampai akhirnya mereka muncul bersamaan. Terus Bunda mendadak udah ada di kamar dan ada ayahmu," terang Kejora dengan keringat mengairi telapak tangannya.

Dahi Langit berkerut. "Bintang? Maksud Bunda, Tante Bintang?"

Kejora menganggut. "Mimpinya bahkan masih bisa keputar jelas di kepala Bunda sampai sekarang. Setiap Bunda mikirin mimpi itu, perasaan Bunda makin nggak enak, tapi kalau dilupain juga nggak bisa. Apa mungkin itu tanda suatu hal, ya?"

Napas keluar dengan kasar dari indra penciuman Langit. Bolpoin yang ia pegang kini tergeletak di meja, sementara tangannya bergerak mengusap wajah.

Sejak pagi Langit tak bisa fokus. Setiap kalimat yang Kejora lesatkan terus mengusik lelaki itu; menghantam telinganya berkali-kali. Mengakibatkan isi kepala Langit hanya berotasi pada hal tersebut.

Setelah Kejora menjelaskan semuanya, Langit menganjurkan Kejora untuk tak tersugesti dengan dugannya sendiri. Akan tetapi, pemuda itu tak menyangka bahwa sekarang ia yang terpengaruh. Bahkan untuk mengerjakan beberapa soal latihan terakhir pun ia tak bisa berkonsentrasi.

Gelagat gelisah Langit tak pelak tertangkap oleh Doni. Bersama tepukan pelan untuk sahabatnya, laki-laki berlesung pipi satu tersebut melontar kalimat interogatif, "Lo kenapa, Lang? Gue lihat kayaknya nggak nyaman gitu."

"Nggak pa-pa." Langit menoleh ke arah Doni. Lantas menggeleng pelan. "Tadi kata Bu Yuni, kalau kita udah selesai boleh langsung pulang, 'kan?"

"Iya. Lo udah kelar?"

"Belum. Sedikit lagi," jawab Langit sembari kembali mengalihkan perhatian ke buku.

Sudah Langit putuskan untuk mengumpulkan fokus supaya dapat menyelesaikan tugasnya selekas mungkin. Lalu diperbolehkan keluar kelas lebih cepat mengingat sekarang adalah jam pelajaran terakhir. Ia berniat untuk pergi ke sekolah Semesta. Sekadar memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja agar memadamkan api kelesah yang menaungi dirinya.

Tidak sampai belasan menit, Langit berhasil menyelesaikan pergelutan dengan angka-angka. Ia segera bangkit dari bangku. Mengambil langkah lebar menuju meja guru. Melahirkan sorak-sorai siswa-siswi lain yang masih belum selesai dari belakang punggungnya.

"Udah selesai?" Yuni mengangkat kepala dari buku nilai yang sedari tadi menjadi kesibukannya.

Langit mengangguk seraya meletakkan buku latihannya di atas meja. "Iya, Bu. Saya boleh pulang sekarang?"

"Iya, silakan."

Persetujuan tersebut melukiskan senyum tipis di wajah Langit. Membuatnya cepat-cepat berbalik. Kembali menuju bangku untuk membereskan barang-barang dan mengambil tas.

"Gue duluan, Don," pamit Langit. Biasanya kedua anak laki-laki itu selalu pulang bersama kendati tak satu kendaraan. "Mau ke sekolah Tata soalnya."

"Sekolah Tata? Semesta? Calon istri gue?" Alis Doni terangkat tinggi. Bibirnya terbuka lebar menunggu jawaban Langit, walaupun di detik selanjutnya, ia langsung menambahkan, "Titip salam kalau gitu."

"Ogah, najis," sahut Langit dengan wajah merengut─tak suka dengan ide mengenai Doni yang tertarik pada Semesta. Mengakibatkan Juna dan Teo yang duduk di bangku depan mereka impuls tertawa.

"Jangan galak gitu dong sama adek ipar." Doni terkikik geli mendengar sapaannya sendiri. "Hati-hati, ya, Kakak Ipar!"

( ⚘ )

Pandangan Langit terbagi ke arah arloji yang ia pakai dan lingkar dalam sekolah Semesta. Posisi pemuda tersebut persis seperti pekan lalu. Menyebabkannya lagi-lagi menjadi santapan mata banyak orang. Namun, insting Langit untuk mencari sosok Semesta membuat ia tak sempat menyadari itu.

Tak kunjung menemukan figur adiknya, Langit merangsek saku, mengambil ponselnya dari sana. Jari-jari panjang lelaki tersebut bergerak lincah demi mengirimkan pesan ke Semesta.

Setelah menekan ikon kirim, Langit mengangkat kepala. Menghadiahi matanya sebuah senyum manis dari seorang gadis yang baru ia temui di akhir pekan; Aurora. Juga sama seperti minggu lalu, dara itu ditemani dua temannya, yang Langit lihat dari tanda pengenal, bernama Kirana dan Nara.

"Lo ngapain ke sini lagi, Lang?" tanya Aurora sebagai sapaan. Matanya memendarkan cahaya menanti jawaban si pemuda.

Langit mengulas lengkungan tipis di wajahnya dan membalas, "Gue mau ketemu Tata."

Binar di mata Aurora meredup. Raut ramahnya berubah. Akan tetapi, di detik selanjutnya, ia maju selangkah dan kembali membawa kurva tanda kebahagiaan tersebut. "Mau ngapain ketemu Semesta?"

"Mau jemput."

"Jemput, ya." Aurora sedikit memiringkan kepala. Tangannya yang tadi berada di samping tubuh, kini terlipat di depan dada. "Kalau temen-temen gue yang antar Semesta ke rumahnya, gimana?"

Kaki Langit mengubah tumpuan. Dari rautnya, lelaki itu menyiarkan sebidang bingung. Tak terlalu mengerti pertanyaan Aurora. "Maksudnya?"

"Biar temen gue yang antar Semesta dan lo temenin gue ke butik, yuk."

Dahi Langit mengernyit. Menimbulkan segaris lipatan di sana. "Ngapain ke butik?"

"Gue ada acara keluarga malam ini, tapi baju gue nggak ada yang bagus. Jadi, gue mau beli yang baru," ucap Aurora dengan nada mantap. Entah karena percaya diri ajakannya akan diterima atau gembira sebab sebuah acara keluarga digelar.

"Kenapa nggak lo aja yang sama mereka?"

"Bisa sih. Cuma mereka ada urusan. Iya, kan, guys?" Aurora membalikkan tubuh. Menatap teman-temannya yang spontan mengangguk. Lantas mengalihkan arahan ke Langit lagi. "Semesta bakal aman kok sama mereka dan lo cukup temenin gue aja, nggak gue suruh bantu milihin kok, tenang."

Napas Langit tertarik pelan. Indra penglihatannya melirik ke dalam sekolah. Masih berupaya menemukan Semesta sebelum bertanya, "Temen yang lain nggak ada?"

Kepala Aurora beraksi ke kanan dan kiri. Mengakibatkan rambutnya yang tergerai mengikuti gerakan. Netra gadis rupawan itu mempresentasikan permohonan. Berharap besar dengan persetujuan pemuda di depannya yang kini mengaplikasikan geming.

Telapak tangan Aurora menyatu di depan dada. Kelopak mata dara tersebut mengerjap beberapa kali tatkala bibir tipisnya mengerucut. "Please, temenin doang kok. Bentar aja. Gue janji."

"Iya deh." Langit akhirnya mengiakan. Menyebabkan Aurora tak mampu untuk menahan senyum. "Tapi nanti suruh Tata kabarin gue kalau udah sampe rumah."

"Oke," balas Kirana.

( ⚘ )

"Selamat datang, Mbak Rora. Tumben ke sini tanpa ngabarin dulu. Ada keperluan mendadak, ya, Mbak?"

Aurora mengerling Langit sekilas sebelum menjawab Asma, salah satu karyawan butik yang cukup dekat dengannya, "Iya, hari ini Papa pulang. Katanya mau ngadain acara."

"Wah, mau saya bantuin cari baju yang pas?"

"Nggak usah, Mbak Asma. Biar aku pilih sendiri aja." Bibir Aurora melengkung simpul. Namun, mengandung keramahan yang tak bisa dihitung persenannya. Sekaligus berterima kasih dengan tawaran tadi. "Tante Nisa ada di kantor?"

Asma menggeleng pelan. "Nggak, Mbak. Lagi meeting di luar."

"Oh, oke." Aurora masih tersenyum ketika menoleh ke Langit dan mengajak, "Yuk, Lang."

Si pemuda menurut. Mengikuti langkah Aurora yang sepertinya sudah tahu jelas dengan denah butik mewah ini. "Lo sering ke sini, Ra?"

"Iya, udah langganan dan yang punya temennya nyokap gue." Kaki Aurora berhenti sesampainya di bagian deretan pakaian wanita berwarna pastel dengan model yang lucu, cocok dengan usia mereka. "Beliau udah kayak nyokap sendiri sih, makanya gue sering ke sini. Beliau juga yang bikin gue tertarik di dunia fesyen."

"Jadi, nanti lo mau lanjut ke bidang itu?" Langit bertanya lagi sambil menempatkan diri di bangku yang tersedia.

"Iya, gue pengin jadi desainer." Sejenak Aurora berbalik. Membagi setengah atensinya untuk Langit. Lalu melempar kurvaan bangga karena cita-citanya. "Lo sendiri, mau jadi apa?"

"Lanjutin usaha keluarga ..., mungkin."

"Oh, ya? Di bidang apa?"

"Perhotelan."

"It sounds interesting too." Tangan langsing Aurora mengambil satu gaun berwarna merah muda. Lantas kembali menghadap Langit. Menempatkan pakaian yang ia raih di depan tubuhnya. "Cocok, nggak?"

"Cocok," sahut Langit.

Sedetik usai itu, ponsel Aurora berbunyi nyaring. Merusak pembicaraan mereka sehingga dara tersebut cepat-cepat mengeluarkannya dari tas. Kemudian, meminta waktu untuk sendiri demi mengangkat telepon. Meninggalkan Langit tetap di tempatnya tanpa teman.

"Aduh ..., Lang," ujar Aurora dengan raut tak nyaman setelah selesai menelepon.

"Kenapa?"

"Gue ada urusan mendadak. Harus cabut sekarang nih."

"Jadi, mau pulang?"

"Iya." Aurora mencebik. Menunjukkan rasa bersalah dari wajahnya. "Maaf, ya. Padahal lo udah temenin gue, tapi malah nggak jadi gini."

"Nggak pa-pa. Santai aja." Langit menggerakkan kepala ke kanan-kiri. Memaklumi keperluan tiba-tiba yang tadi gadis itu katakan. "Yuk, cabut."

Jari lentik Aurora merangsek rambutnya. Menggaruk pelan surai hitam itu. "Lo pulang aja deh. Biar gue naik taksi. Gue nggak enak nyusahin lo terus."

"Gue nggak ngerasa gitu."

Ringisan kecil Aurora lahirkan. "Oke ..., makasih, tapi lo pulang aja deh. Nggak pa-pa kok gue pergi sendiri."

"Oke," tukas Langit, tak mau memaksa.

( ⚘ )

Sehelai kaus hitam Langit tarik perlahan dari lemari. Ia berhati-hati. Berusaha untuk tidak memberantakan pakaian di atasnya. Jika sampai berpesai-pesai, sudah dapat dipastikan anak laki-laki tersebut akan dimarahi Kejora yang tak suka melihat sesuatu berantakan.

Setelah berhasil, Langit segera mengenakan baju itu. Memadukannya dengan sweatpants berwarna senada. Lalu pergi ke meja belajar dan duduk di bangku. Sembari mengambil beberapa buku pelajaran esok hari untuk dibaca, ia mengacak-acak rambut yang masih lembab.

Di tengah aktivitasnya, ponsel Langit berdering. Ada sebuah pesan masuk dari aplikasi percakapannya. Membuat pemuda tersebut menyempatkan waktu untuk mengintip isi benda canggih itu.




Di sela tawanya karena ketidakjelasan para laki-laki tersebut, Langit melirik jam yang berada di posisi atas layar ponsel. Menyadari bahwa matahari sudah dekat dengan peristirahatan, ia teringat belum ada kabar dari Semesta. Mengakibatkan Langit mendadak resah. Ia segera menutup ruang obrolan dan mengirimkan pesan untuk gadis itu.

Menunggu sekitar lima menit, Langit tak mendapatkan balasan. Kekhawatiran anak laki-laki tersebut menjadi. Menyebabkan jari-jari panjangnya kembali mengetikkan pesan.


Untuk sekarang Langit memutuskan untuk menanti lebih lama. Sepuluh menit. Akan tetapi, masih tidak kunjung dijawab. Membuat kesabarannya lenyap dan memilih menyambungkan telepon.

"Nomor yang Anda tujui sedang tidak aktif. Co─"

Mulut Langit menggerutu pelan mendengar jawaban dari operator. Titik ketenangan lelaki itu sudah benar-benar pecah. Tak mau berkompromi untuk dibenahi. Mengakibatkan ia impuls beranjak dari kursi. Mengambil hoodie putih yang tergantung di kapstok dan memakainya seraya mengeluari kamar.

"Bun," panggil Langit tatkala telah berada di lantai dasar─tepatnya di ruang keluarga, di mana Kejora sedang duduk di sofa menghadap televisi. Akan tetapi, sosok yang dipanggil tak menjawab. Menyebabkan Langit menghampiri. Lalu menemukan ibunya sedang tertidur.

Melihat pemandangan itu, Langit tak mau menggangu. Namun, juga tak ingin membuat Kejora khawatir karena tidak menemukannya ketika terbangun nanti. Sehingga dengan terpaksa, ia pun mengguncang pelan lengan ibunya.

"Bunda."

Membangunkan Kejora bukanlah hal yang sulit. Wanita tersebut segera membuka mata setelah Langit berusaha selama beberapa detik. "Eh ..., iya, Bang?"

"Aku mau izin keluar sebentar."

Kejora mengerjapkan mata. Berupaya mengumpulkan nyawa agar dapat memahami maksud anaknya. "Keluar?"

"Iya, Bun. Sebentar aja."

"Udah jam lima, lho, Nak. Udah mau magrib ini," ucap Kejora seraya menegakkan tubuh. Sorotnya jatuh pada jam dinding yang melekat tepat di atas televisi.

"Bentar aja, Bun. Aku janji nggak sampai magrib."

"Penting banget?"

"Iya," jawab Langit tanpa memberi penjelasan lanjut. Ia tak mau Kejora ikut bimbang. Terlebih tidak ingin dicegah karena tujuannya.

"Ya, udah hati-hati. Cepat pulang."

( ⚘ )

Saliva Langit telan pelan-pelan setelah menghentikan sepeda motor. Ini bukan kali pertama ia datang ke rumah yang ditempati Semesta dan Guntur, tetapi bayangan tentang dirinya akan berhadapan dengan sang ayahlah yang membuat anak laki-laki itu tak nyaman.

Setia dengan gerakan pelan, kendati garizahnya memberontak untuk mempercepat langkah, Langit berjalan menuju pintu rumah. Kepalan tangannya mengetuk pelan saat megucap salam. Mungkin, apa yang ia lakukan akan menjadi masalah jika Guntur melihat kedatangannya. Namun, Langit abai. Ia hanya ingin memastikan keadaan Semesta lalu berjanji untuk segera pulang.

Menit-menit berlalu, tak ada jawaban dari balik daun pintu. Melanda Langit dengan kebingungan yang mulai bergabung bersama semak hatinya. Sampai sebuah suara perlahan menyapa, "Dek, nyari orang rumah itu?"

Tuturan pelan tersebut mampu memeranjatkan Langit. Ia berbalik, menemukan seorang wanita paruh baya dari rumah seberang berdiri di dalam pagar rumahnya. "Iya, Bu. Kira-kira Ibu tahu pada kemana?"

"Belum ada yang pulang, Dek. Pak Gun, 'kan, kerja di proyek dekat sini. Terus Semesta sekolah, tapi biasanya udah pulang sih jam segini."

"Oh, gitu, ya. Makasih, Bu."

"Sama-sama, Dek. Tunggu aja dulu. Mungkin bentar lagi pulang."

"Iya, Bu."

Kedua alis Langit menyatu. Ini sudah lewat sejam lebih dari waktu Langit pergi ke butik dengan Aurora. Terbilang tak masuk akal kalau memang Semesta belum sampai rumah. Padahal jika ditempuh dengan kendaraan, jarak sekolahnya cukup dekat.

Langit mengambil ponsel dari saku celana. Kali ini ia menghubungi Aurora. Ingin menagih kabar dari teman-teman gadis itu mengenai adiknya, tetapi hanya dibalas oleh nada tunggu.

Decakan pelan meluncur dari mulut Langit. Ia memutuskan kembali menaiki kendaraan. Pergi menuju sekolah Semesta, meski tak yakin kalau dara tersebut masih di sana.

Sesampainya, Langit memarkirkan sepeda motor di depan gerbang. Tak seperti tadi, tungkainya beraksi cepat memasuki kawasan sekolah. Untunglah masih ada beberapa anak yang berada di sana, karena ekskul, sehingga Langit dapat menggali informasi dari mereka.

"Permisi, numpang tanya."

Seorang gadis berpakaian karate menyahut, "Iya?"

"Kenal Semesta? Anak kelas sepuluh?"

"Aduh, gue kurang tahu kalau anak kelas sepuluh." Si gadis berpakaian karate menunjuk ke kanan, area sekolah yang lebih dalam. "Coba lo masuk lagi, terus tanya anak paskib di dekat lapangan upacara sana. Siapa tau ada yang kenal."

"Oke, makasih."

Sesuai instruksi gadis karate, Langit melanjutkan perjalannnya. Lantas menanyakan Semesta pada salah satu siswa yang tengah latihan baris-berbaris. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada yang tahu Semesta dan, lagi, menyuruh pemuda tersebut untuk masuk lebih jauh. Kali ini sasarannya adalah anggota OSIS. Mau tak mau, Langit mengikuti arahan itu.

"Cuma karena lo anak ketua yayasan sekolah ini, bukan berarti lo bisa seenaknya bully Semesta atau siapa pun. Sekarang gue udah ada bukti dan setelah ini bakal gue ajuin ke guru konseling."

Mendengar nama adiknya diteriakkan, Langit berlari secepat kilat menuju asal suara yang sepertinya daerah belakang sekolah. Langkahnya berhenti ketika melihat Aurora, Kirana, dan Nara berhadapan dengan seorang pemuda.

Di atas kakinya, Aurora melengkungkan bibir. Menampilkan mimik angkuh yang tak pernah Langit lihat sebelumnya. "Ya, udah coba ajuin. Gue nggak takut."

"Oke, gue emang nggak main-main dan gue pastiin lo bakal dihukum setimpal karena nge-bully Semesta."

Setiap kata yang mereka lontarkan ditangkap jelas oleh telinga Langit. Membuat dadanya seketika sesak. Seperti ada jutaan tombak yang menusuk tepat di dekat hatinya. Melahirkan sebuah luka karena derita yang menimpa Semesta dan kecewa tentang fakta mengenai Aurora.

Selama beberapa detik, Langit membeku. Berharap semuanya hanyalah mimpi. Akan tetapi, kalimat-kalimat mereka terus berputar di indra pendengarannya tanpa henti, persis bak rekaman rusak. Apalagi amarah dari tatapan pemuda yang berhadapan dengan tiga gadis itu terlihat sangat riil. Menyebabkan Langit terpaksa percaya bahwa ini nyata.

Tak mau menjadi penonton lebih lama, Langit menghampiri empat orang itu. Nara yang pertama kali menyadari kontan kaget bukan main. Mendistrak perhatian lainnya sampai mengikuti arah pandangan gadis berponi tersebut.

"Langit ...," lirih Aurora dengan wajah pucat. Matanya terbeliak karena keterkejutan.

Tanpa basa-basi, Langit menyuarakan kalimat interogatif, "Lo nge-bully Tata?"

Tak ada jawaban; Aurora, Kirana, dan Nara sama-sama diam. Begitu juga dengan lelaki─bernama Gerhana, dapat Langit lihat dari tanda pengenalnya─yang tadi memarahi para perempuan itu.

"Jawab, lo nge-bully Tata?"

Kelopak Aurora berkelip beberapa kali. "I-itu karena dia yang cari masalah sama gue, Lang."

"Masalah apa?"

"Pokoknya dia suka cari masalah sa─"

"Masalah apa?" ulang Langit lebih tegas.

Aurora terintimidasi. Napasnya tertahan. Ia mundur samar-samar. Namun, di dua detik selanjutnya, kembali menegapkan diri. "Kenapa sih lo peduli amat sama Semesta, Lang?! Kenapa dia terus sih yang lo pikirin?!"

"Dia adik gue."

"Apa?!"

"Gue tanya, masalah apa?" Langit tak menjawab Aurora. Tetap betah mencecar gadis tersebut. Sebab ia hanya ingin poin yang jelas. Basa-basi sama sekali tak berguna dan hanya menambah kadar cemasnya. "Kalau emang Tata salah, biar gue yang marahin dia."

Realitas yang ada masih belum bisa Aurora terima dengan lapang dada. "Lo masih kelas X, Lang. Semesta juga kelas X. Gimana kalian bisa saudaraan? Nggak usah bohongin gue!"

"Kami kembar nggak identik."

"Nggak mungkin." Aurora menggeleng cepat. Tetap tak percaya. Kelihatan begitu frustrasi hingga muka cerahnya memerah, sama seperti bola matanya yang siap menitihkan air.

"Sekali lagi gue tanya, masalah apa?"

"Lo bohongin gue, 'kan? Gue nggak percaya lo saudaraan sama Semesta."

"Terserah lo mau percaya apa nggak."

"Jangan bohong! Nggak mungkin, nggak mungkin lo kembaran Semesta."

Napas Langit embuskan kasar. Kesabarannya mulai terusik karena tak kunjung mendapat jawaban. "Kalau lo nggak mau jawab masalahnya, kasih tau gue, Tata di mana."

"Semesta tadi nangis. Dia baru aja pulang nggak lama lo datang," jawab Gerhana yang sedari tadi menyimak.

Kepala Langit beralih menghadap lelaki itu. "Nangis?"

"Iya, karena baru di-bully sama Aurora dan antek-anteknya." Gerhana melipat tangan di depan dada. Memasang senyum penuh kemenangan melihat keruntuhan Aurora. "Kayaknya dia cemburu lo lebih perhatiin Semesta."

"Ya, masa lo nggak peka, Lang?" sergah Nara cepat. Berusaha meluruskan masalah sahabatnya. "Rora udah nunjukin kalau dia suka sama lo, 'kan."

Tolehan Langit kembali ke para gadis. Rautnya sama sekali tak menunjukkan simpati─walaupun belum tahu siapa yang sebenarnya bersalah dalam kasus ini, tetapi membalas dengan cara mem-bully tak bisa ia toleransi.

Tanpa membuka mulut lagi, Langit beranjak dari sana─berniat mencari Semesta. Namun, baru beberapa langkah ia tempuh, Gerhana menahan.

"Lo mau cari Semesta? Gue ikut."

Dia yang Bernama Langit - Bagian III )

FYI, Aurora is my cutiepie, Kim Yerim and Gerhana is Mark Lee.

~\(≧▽≦)/~

Btw, cek-cek IG M, yuk!

The simple but weird,
MaaLjs.

6 Juni 2019 | 14.54

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top