( DyBL - Bagian II )

( ⚘ )

Derap langkah terdengar dari tangga ketika Langit menuruninya. Kaki anak laki-laki itu bergerak cepat menuju ruang makan. Menemui Kejora yang sedang berkutat dengan alat-alat masak untuk membuat sarapan.

"Pagi, Bun," sapa Langit yang disambut aroma menyedapkan dari nasi goreng kreasi Kejora. Langkahnya dipercepat agar lekas sampai di meja makan. Tak sabar untuk mencicip hidangan tersebut.

Kejora membalikkan badan. Memasang senyum paling hangatnya. Bersama seporsi sarapan, wanita itu menghampiri si sulung yang sudah rapi dengan seragam sekolah. "Pagi juga, anak Bunda. Ini cepat dimakan, ya, biar nggak telat," kata Kejora sembari menaruh piring berisi nasi goreng di depan Langit.

Tanpa membalas secara verbal, Langit menurut. Ia memakan beberapa sendok sarapan, sebelum membuka topik baru. "Bun, habis pulang sekolah nanti, aku bakal ketemu sama Tata."

"Udah janjian?" tanya Kejora sambil menaruh segelas jus di dekat piring Langit.

"Iya, kemarin sebelum tidur aku nelepon Tata. Dia bilang hari ini bisa. Bunda bisa?"

Sejenak Kejora mematung. Hidungnya melakukan penghelaan. "Bunda sih mau, tapi di pas jam-jamnya kamu pulang, Bunda ada meeting sama klien," jawab perempuan tersebut seraya menempatkan diri di hadapan Langit. Bersiap untuk memulai sarapan.

Aktivitas Langit berhenti. Netra pemuda itu mengarah lurus ke arah Kejora. Mimiknya tak terlihat secerah tadi. "Jadi, Bunda nggak bisa ikut?"

Dengan berat hati, Kejora menganggukkan kepala. "Bunda titip salam aja, ya. Bilang ke Tata, Bunda minta maaf banget karena nggak bisa ikut."

"Emang nggak bisa di-cancel aja?"

"Nggak bisa, Bang. Klien penting soalnya," ucap Kejora lembut. Berupaya membuat anaknya mengerti. Tangan wanita tersebut meraih dompet yang terletak di ujung meja. Mengeluarkan beberapa lembar uang dari sana. "Ini nanti kasih ke Tata, ya."

Langit bergeming. Tidak langsung menerima uluran Kejora. Ia ingin kembali menyuarakan protes. Namun, sebersit ide tak terlintas sama sekali. Mengakibatkannya mau tak mau menyerah. Perlahan anak laki-laki itu melingkarkan jarinya pada uang pemberian sang ibu. "Iya, nanti aku kasih ke Tata."

Bibir Kejora mengurva lebar. Lantas badannya mencondong demi mengusap pelan lengan Langit. "Tata pasti senang walaupun ketemu kamu doang."

"Pasti bakal lebih senang kalau ada Bunda."

"Iya, lain kali kita buat janji, ya."

( ⚘ )

Delapan belas menit menempuh perjalan, Langit akhirnya sampai di sekolah Semesta. Ia membuka helm, merapikan rambut sejenak, lalu turun dari kendaraan. Memasang pandangan yang tertuju ke dalam area sekolah, Langit berdiri dengan sedikit bersandar pada sepeda motor. Membiarkan wajah atraktif miliknya menjadi konsumsi para siswi yang melintasi gerbang. Gadis-gadis itu tampak saling berbisik. Penasaran apa yang ditunggu oleh lelaki tersebut. Apalagi saat melihat seragam khas Candramawa terpampang di balik jaket yang Langit kenakan, membuatnya kian menjadi fokus utama sebagian besar orang-orang yang ada di sana.

Setelah sekian menit menunggu, indra penglihatan Langit menangkap sosok seorang dara yang familier. Dengan memakai seragam yang hampir terlihat ketat dan lilitan bando kain berwarna merah muda, figur itu berjalan diiringi dua temannya.

Ikut menyadari kehadiran Langit, gadis tersebut membulatkan mata. Ia mengulas senyum riang kala berlari menghampiri si pemuda.

"Langit?" Sosok familier tersebut─Aurora berupaya memastikan.

Langit mengangguk dan turut mengurvakan bibir. "Iya."

"Nggak nyangka bisa ketemu lo lagi secepet ini." Lengkung kebahagiaan Aurora makin melebar. Kulit cerah pada wajahnya berubah menjadi merah. "Oh, ya, gue ada chat lo tadi malem, tapi lo nggak balas."

"Iya?" Langit merogoh saku jaket yang ia pakai. Membawa keluar benda persegi panjang canggih untuk memastikan kebenaran dari pernyataan dara itu. Usai menemukannya, Langit membuka pesan dari nomor tak dikenal. Kemudian, mengarahkan layar ponsel ke arah Aurora. "Ini?"

Kepala Aurora bergerak naik-turun dengan semangat. "Iya, itu nomor gue."

"Oke, gue save," balas Langit yang langsung melakukan niatnya.

"La-Lang ...."

Langit menengadah. Mengalihkan atensinya dari telepon ke empu suara yang tak lain merupakan Semesta. Impuls kaki anak laki-laki tersebut melangkah menghampiri si kembaran. Lantas menarik perempuan itu ke dalam rangkulan. Bermaksud menguapkan kerinduan yang selama ini selalu membelenggu.

"Akhirnya kamu keluar juga," ucap Langit penuh sukacita. Sudut bibir pemuda tersebut tertarik penuh. Melahirkan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.

Semesta melakukan hal yang sama, tetapi dengan kepala tertunduk dalam. Seolah menghindar dari sesuatu. "I-iya, tadi aku piket dulu, Lang."

"Lo kenal Semesta?" tanya Aurora yang sejak tadi memperhatikan bersama teman-temannya. Warna muka gadis itu bertambah merah.

"Iya." Langit membalikkan tubuh. "Gue ke sini mau jemput Tata."

"Oh, gitu." Suara Aurora terdengar berbeda. Mimiknya tak secemerlang tadi. Sorot perempuan cantik itu tepat jatuh pada Semesta.

"Gue mau cabut dulu." Langit memimpin Semesta menuju sepeda motornya sembari berujar, "Ayo, Ta."

Dari balik bulu matanya, Semesta mengerling ke Aurora yang masih terpaku di tempat. "La-Lang."

"Iya?" Langit menoleh seraya menggunakan helm. Lalu memberikan sisa lainnya kepada Semesta.

Tangan Semesta mengambil benda pelindung kepala tersebut. "Pulangnya ke sini lagi, ya. Sepeda aku masih di parkiran sekolah."

Penglihatan Langit bergulir ke dalam area sekolah. Memperhatikan suasana yang terpadu di sana. Kemudian, kembali memandang kembarannya. "Nggak apa emangnya dibiarin di sini? Kalau bisa kamu pegang aja, nanti aku jalan pelan-pelan, atau mau aku pesenin ojek buat bantu bawa pulang ke rumah?"

"Nggak, nggak usah." Semesta menggunakan helm pemberian Langit setelah menggelengkan kepala. "Nggak pa-pa kok. Di sini aman."

"Beneran?"

"Iya." Indra penglihatan Semesta lagi-lagi melirik Aurora. Dara itu tampak betah hanya dengan menjadi penonton. Tak ada tanda-tanda sama sekali bahwa ia akan pergi. Menyebabkan Semesta berinisiatif menyentuh lengan Langit yang tertutup jaket dan mengajak, "A-ayo, jalan sekarang."

Langit setuju. Ia langsung menaiki kendaraannya dan pamit pada Aurora. "Gue cabut, ya."

"Iya. Nanti malam gue chat lagi," sahut Aurora bersama segaris senyum manis.

( ⚘ )

"Serius di sini aja?"

Kurvaan bibir Semesta melebar. Kepala gadis itu mengangguk dengan netra yang sibuk menyisir pandang ke segala arah. "Iya."

"Oke." Langit mengalah. Ia membuka tas dan jaketnya. Lantas duduk di kursi yang mereka pilih. "Tapi bisa aja Bunda meeting-nya di T'Sky," tambah pemuda itu.

"Kalaupun gitu, Bunda pasti sibuk dong." Semesta ikut menempatkan diri di bangku. Senyum gadis itu masih belum sirna. "Nggak pa-pa kok di B&J aja. Aku kangen masakan Chef Ridwan. Terus ... aku juga kangen Opa sama Oma."

"Kalau gitu ke ke rumah mereka aja," usul Langit.

Semesta menggeleng kuat. "Nggak, nggak usah. Rumahnya, 'kan, jauh. Nanti keburu malem. Lain kali aja ...."

"Oke."

Langit kembali pasrah dengan kemauan Semesta, meskipun keinginannya untuk mempertemukan Semesta dengan para keluarga─yang sudah lama tak gadis itu temui─belum padam. Karena setelah tinggal bersama Guntur, kembarannya tersebut sangat jarang berkomunikasi dengan mereka, terutama Ratna; ibu dari Kejora. Bahkan ketika Badru, sang kakek, meninggal─akibat serangan jantung usai mendengar perceraian Kejora dan Guntur─Semesta tak hadir sama sekali.

"Sama kamu aja aku udah seneng kok," ucap Semesta dengan kesungguhan yang terpancar jelas. Bibir dara itu kembali melukiskan sebuah tanda kebahagiaan. Mengakibatkan kilas-kilas muka Kejora terlihat di wajahnya.

Seperti terjangkit, Langit ikut tersenyum tipis. Mencoba sugestif pada dirinya bahwa waktu kali ini mungkin benar-benar disuguhkan hanya untuk mereka.

"Bunda bilang, maaf karena nggak bisa datang," kata Langit. Ia mengulurkan menu pada Semesta saat seorang pelayan menghampiri mereka.

"Iya, nanti bilangin ke Bunda, aku nggak masalah." Semesta meraih kertas berisi daftar makanan tersebut. Kemudian, membaca isinya dan memberi tahu pada si pelayan makanan yang ia inginkan. "Lagian Bunda, 'kan, kerja buat kamu juga. Aku seneng Bunda bisa sukses sama karier yang bener-bener Bunda mau," imbuh Semesta setelah mereka kembali ditinggal berdua.

"Bukan buat aku doang─" Langit mengambil sesuatu dari dompet, lalu menyodorkannya ke Semesta, "─tapi buat kamu juga. Nih."

Uang yang Langit ulurkan tak langsung Semesta ambil. Ia lebih memilih untuk membagi tatapan antara kakaknya dan alat transaksi tersebut. "Ng-nggak pa-pa, Lang. Nggak usah. Aku ada pegangan kok."

"Ini bukan punya aku. Ini dari Bunda, emang buat kamu," jawab Langit. Mengerti bahwa Semesta mengira arta itu adalah bagian dari uang sakunya.

Semesta tetap bergeming. Tangannya masih bersembunyi di bawah meja. Perlahan-lahan kepala anak perempuan itu menunduk.

Melihat tak adanya indikasi sambutan dari Semesta, Langit menarik tangan gadis tersebut dan meletakkan uang di sana. "Ambil."

Mau tak mau Semesta pun menerima. Ia menatap benda itu dengan kernyitan dalam. "Makasih ..., bilangin itu juga ke Bunda nanti."

"Kenapa kayak gitu? Bunda kerja buat kita berdua, bukan aku doang. Kamu, 'kan, juga anak Bunda, masih tanggung jawab Bunda," papar Langit. Berupaya membuat Semesta merasa lebih baik.

"Kamu juga anak Ayah tapi Ayah nggak tanggung jawab," debat Semesta dengan satu tarikan napas. Alis anak perempuan itu kian menukik. Bibirnya dibiarkan mencebik. "Bahkan Ayah nggak pernah kasih uang sepeser pun untuk kamu setelah keluar dari rumah."

Kelopak mata Langit berkelip beberapa kali. Hidungnya melakukan penghelaan kala menyadari bahwa Semesta akan menumpahkan air mata. "Nggak apa-apa .... Materi dari Bunda udah lebih dari cukup buat aku. Bunda juga nggak keberatan. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah gitu, Ta."

"Sekarang Bunda emang nggak, tapi dulu pas Bunda mau mulai dari awal tanpa pendamping, pasti susah. Apalagi Bunda nggak mau ngelola B&J dan milih buat bangun T'Sky," balas Semesta. Masih enggan kalah dengan gagasannya.

"Emang, aku saksiin itu sendiri, tapi bukan berarti kamu yang harus merasa bersalah, Ta. Kamu nggak salah apa-apa," jelas Langit. "Aku bukannya nggak kasihan sama Bunda, tapi Bunda baik-baik aja. Ya ..., senggaknya pas kita udah dewasa nanti, kita balas budinya. Bukan buat Bunda aja, tapi Ayah juga, walaupun ... Ayah belum jadi orang tua yang baik."

Kalimat-kalimat Langit berhasil meluluhlantakkan pertahanan Semesta. Menyebabkan bulir-bulir bening melesat jatuh dari mata cendayamnya. Isakan kecil juga turut menghiasi peluapan emosi gadis tersebut. Membuat Langit tergerak untuk berpindah tempat ke sebelah Semesta. Mengelus-elus pelan punggung anak itu agar tenang.

"Selama ini kamu juga sering dikasih uang sama Bunda tapi kenapa protesnya sekarang?" tanya Langit dengan tawa kecil. Berusaha mencairkan suasana. Ia memiringkan kepala supaya dapat menyejajarkan wajahnya dengan Semesta yang menunduk.

Semesta mendongak. Mengusap cepat air matanya. Lantas kembali menyembunyikan tangan. "Mungkin karena sekarang ... aku udah gede?"

Kekehan Langit kembali mengudara. Tangannya yang berada di punggung Semesta berpindah ke puncak kepala dara itu dan mengacak rambutnya pelan. "Iya, udah gede."

Mulut Semesta ikut mengeluarkan kikikan. Ia mengangkat tangan lagi. Menyingkirkan jemari Langit dari surainya agar tak diberantakan lebih lama. Namun, gerakan itu terhenti saat tiba-tiba Langit memegang lengannya.

"Tangan kamu kenapa?" Langit bertanya dengan mata mengarah tepat pada pergelangan Semesta yang membiru. Ia baru menyadari kejanggalan tersebut.

Kedua mata Semesta meruak. Secepat kilat ia menarik tangan dan kembali menyembunyikannya di bawah meja. "Ng-nggak pa-pa kok."

"Kalau nggak pa-pa kenapa bisa memar gitu?"

"Kemarin ... aku beli kucir rambut baru. Terus aku jadiin gelang supaya pas mau dipakai nggak susah nyarinya. Masih baru, 'kan, jadi karetnya masih terik, makanya tangan aku gini."

Sebelah alis Langit terangkat. Pemuda itu menaruh interes penuh pada Semesta. Menangkap segala gelagat yang diperagakan si kembaran. "Sampai dua-duanya?"

"Iya ..., habis aku simpennya gantian di dua tangan," jawab Semesta dengan senyum kikuk.

"Permisi, Mas, Mbak."

Sapaan tersebut menginterupsi interaksi Langit dan Semesta. Membuat keduanya serentak menoleh ke penyuara yang merupakan Ridwan. Masih dengan senyum sopan seperti tadi malam, pria itu membawa berbagai hidangan yang dipesan si kembar.

"Ternyata beneran ada Mbak Semesta. Apa kabar, Mbak?" Ridwan mulai menyajikan makanan di meja. Menatanya sedemikian apik agar para remaja tersebut mudah saat menikmati.

"Alhamdulillah, Tata sehat." Semesta tersenyum cerah. "Chef Ridwan gimana?"

Sejenak Ridwan menyempatkan diri untuk memandang Semesta sambil tetap melakukan pekerjaannya. "Alhamdulillah, saya juga sehat, Mbak."

"Syukur deh. Tata kangen banget sama masakan Chef Ridwan."

"Kalau gitu, semoga Mbak menikmati, ya." Bibir Ridwan terbuka lebih lebar. Senang mendengar penuturan anak perempuan itu. "Mas Langit juga."

Anggutan kepala Langit tampilkan. "Iya, makasih, Chef."

Seperginya Ridwan, Semesta mengamati Langit yang tetap berada di sebelahnya. "Kamu masih nggak suka sama Chef Ridwan?"

"Hah?" Langit berdiri. Berjalan menuju kursi seberang untuk kembali ke tempatnya.

"Aku masih inget, lho, dulu kamu bilang, nggak suka sama Chef Ridwan karena terlalu akrab sama Bunda." Tawa geli Semesta mengalir di tengah suasana. Memandang Langit dengan jenis tatapan jenaka tatkala mengambil sendok dan garpu di atas meja. "Kamu takut Bunda direbut sama Chef Ridwan."

Berbeda dengan Semesta, Langit lebih ingin mencicip minuman terlebih dahulu. Pemuda tersebut melontarkan kalimat interogatif dengan nada sedatar ekspresinya. "Aku pernah bilang gitu?"

Sudut bibir Semesta menukik lucu mendengar pertanyaan Langit. Ia mencibir, "Iya, nggak mungkin kamu lupa kalau sikapnya masih dingin gitu ke Chef Ridwan."

Langit tak merespons lebih selain mengulas senyuman. Kemudian, mulai menyantap hidangan yang ia pesan.

Sesungguhnya apa yang dikatakan Semesta memang fakta. Anak laki-laki itu pun tak pernah melupakan hal tersebut. Bahkan sampai sekarang ia juga masih mempunyai pendirian yang sama; tak ingin Kejora mempunyai hubungan lebih dari profesional dengan Ridwan. Namun, untuk sekarang radar ketidaksukaan Langit tak hanya jatuh pada kepala koki itu saja, tetapi juga pria lainnya, termasuk sang ayah, Guntur. Sebab menurut Langit, Kejora lebih baik menjalankan hidup seorang diri.

"Sekolah kamu gimana, Lang?" Semesta memecah hening yang beberapa detik menyelip di antara mereka.

Langit menelan suapan pertamanya. "Lancar. Nggak ada halangan sama sekali. Kamu gimana?"

"Aku juga lancar sih. Kendalanya cuma ... aku suka kurang fokus jadi mesti belajar lagi di rumah," sahut Semesta dengan bola mata yang teralih ke arah lain di kata-kata terakhir.

"Kenapa nggak fokus? Mikiran apa?"

"Nggak mikirin apa-apa ...." Semesta menarik minuman miliknya. Lalu mengaduk-aduk benda cair itu dengan sedotan. "Cuma kadang beberapa pikiran suka lewat tiba-tiba."

"Mikirin cowok?" celetuk Langit dengan segaris kernyih menghiasi wajahnya.

Aktivitas Semesta terhenti. Mimik tenangnya berubah menjadi rengut. "Ih, nggak! Nggak ada!"

Mulut Langit terkikik kecil melihat air muka adiknya. "Terus kenapa bisa nggak fokus?"

"Aku memang suka kurang fokus aja belakangan ini. Nggak pa-pa kok."

Kepala Langit bergerak naik-turun. Menandakan bahwa ia paham. "Kalau ada apa-apa cerita, Ta. Aku siap dengerin."

"Iya, tapi ... beneran nggak ada apa-apa kok." Semesta merenungi makanannya sekilas. Lantas menaikkan tatapan pada Langit. "Kamu kenal Aurora?"

"Iya."

"Kenalnya gimana? Udah lama?"

"Baru kemarin. Di pertandingan, dia anak cheers, 'kan. Aku nganterin dia, karena dia nggak bawa kendaraan, terus ditinggal temen-temennya."

"Ditinggal temen-temennya?" ulang Semesta dengan alis menyatu.

"Iya, dia nggak tahu mesti minta bantuan siapa dan kebetulan aku pulang duluan, sendiri. Jadi, dia nyamperin aku. Dia malu minta bantuan ke anak lain karena rame bareng temen," curai Langit sekelar menelan makanan di dalam mulutnya. "Dia temen kamu, Ta?"

Semesta mematung selama beberapa sekon sebelum menjawab, "Kita nggak sekelas tapi aku tahu dia. Dia terkenal banget ... karena papanya ketua yayasan di sekolah."

( ⚘ )

Sehabis membunuh waktu dengan makan dan berkeliling di B&J HR selama kurang-lebih tiga jam, Langit dan Semesta akhirnya sepakat untuk mengakhiri petemuan mereka. Kini sepasang kembar itu sudah berada di depan sekolah si gadis.

Berbeda dari yang tadi, tempat menuntut ilmu tersebut telah sepi. Hanya tampak beberapa siswa yang berlalu-lalang. Sepertinya untuk keperluan menghadiri kegiatan ekskul.

"Serius cuma aku antar sampai sini?" tanya Langit, khawatir. Sedikit tak tenang untuk meninggalkan adiknya di sana.

"Iya, aku, 'kan, mau bawa pulang sepeda."

"Tapi aku bisa temenin kamu jalan sampai rumah."

"Nggak perlu, Lang. Kamu pasti ditungguin sama Bunda."

"Bunda tahu aku sama kamu."

"Ini udah mau magrib. Kamu pasti capek. Aku nggak pa-pa, beneran." Indra penciuman Semesta menghela napas tatkala bibir merah muda dara itu mengurva. Meyakinkan saudaranya bahwa ia akan baik-baik saja. "Nanti jadi berabe kalau Ayah lihat kamu dan kita makin susah ketemu lagi."

Dengan pelan embusan napas Langit keluar. Ia mencoba pengertian. "Oke, aku pulang," putus anak laki-laki tersebut seraya memakai helm.

"Iya, hati-hati, Lang."

Tangan Langit terangkat. Menepuk pelan punggung Semesta dengan tujuan memberi semangat. Namun, malah menimbulkan pekikan kecil dari gadis itu. "Aku nepuknya kekencengan, ya?"

Semesta menggeleng cepat. Tak ingin membuat Langit merasa bersalah. "Bukan, punggung aku cuma memar sedikit."

Kepanikan Langit berubah menjadi sebidang rasa bingung. Ia melepas helm. Menunjukkan raut penasarannya, juga kontan mengakibatkan mata Semesta membola. "Memar? Lagi?"

"I-iya," jawab Semesta. Dara itu menunduk dalam-dalam. "Ini memar karena kemarin aku lagi nyuci terus kepleset dan punggung aku nabrak dinding. Nggak pa-pa kok."

"Serius, Ta?"

"Iya. Ini biasa. Bentar lagi juga sembuh." Semesta menengadah. Memunculkan tawa hambarnya. "Udah, ah, Lang, cepat pulang."

"Oke ...," balas Langit, masih sedikit cemas. Jiwa seorang kakaknya enggan untuk meninggalkan Semesta sendiri, tetapi waktu memaksa agar mereka segera menyudahi kesenangan hari ini. Akan buruk buat Semesta jika tak lekas pulang karena mentari telah siap tenggelam. "Aku pulang. Kamu hati-hati juga, ya. Kalau udah sampai rumah nanti telepon atau chat aku."

"Iya, Lang."

( ⚘ )

Saat waktu makan malam tiba, Langit tak berniat mengisi perutnya lagi. Makanan yang ia santap bersama Semesta sudah cukup mengenyangkan. Namun, demi menemani Kejora dan menepati peraturan kediaman mereka: harus sarapan dan makan malam di rumah, pemuda itu tetap berada di kursinya kendati Kejora sudah bilang akan memaklumi.

"Pas udah sampai di sekolahnya, Tata keukeuh nggak mau aku temenin jalan sampai ke rumah," kata Langit setelah menyelesaikan orasi tentang kronologi pertemuan dengan Semesta tadi.

Sejak Langit bercerita, Kejora terus tersenyum. Membayangkan bagaimana atmosfer hangat di antara kedua anaknya. "Mungkin Tata takut ketahuan Ayah habis ketemuan sama kamu?"

"Iya, Tata bilang gitu, Bun."

"Ya, udah nggak pa-pa. Tata pasti bisa jaga diri. Benar juga dia ngelarang kamu. Nanti kalau ketahuan ayah kalian, bisa-bisa makin susah ketemunya."

"Hampir sama kayak yang Tata bilang."

Kedua alis Kejora terangkat senang. Ia tertawa gembira. "Kayaknya itu kontak batin antara ibu dan anak gadisnya."

Kekehan Langit turut keluar sepanjang beberapa detik sebelum kembali bersuara. "Bun ...."

"Iya, Nak?"

Langit menyatukan tangan. Mengaitkan jari-jarinya di atas meja. "Kira-kira sampai kapan Ayah nggak bolehin kita ketemu sama Semesta gini? Masa harus ketemu diam-diam terus?"

Kalimat interogatif Langit berhasil menyebabkan kegiatan Kejora terhenti. Lengkung kebahagian perempuan tersebut hilang. Akan tetapi, di sekon berikutnya, ia kembali memasang senyum penuh kehangatan. "Bunda yakin, nanti kita bakal ketemu tanpa harus diam-diam lagi. Sekarang kita sabar nunggu dulu, ya."

"Iya ...."

"Bunda udah mau kelar makan nih." Kejora menunjuk makanannya dengan kerlingan mata. "Kamu mending sekarang pergi ke kamar, istirahat."

"Oke."

"Udah belajar, kan? Nggak ada PR?"

"Iya. Nggak ada."

"Oke. Selamat istirahat, Sayang."

"Iya. Bunda juga," tandas Langit sebelum beranjak ke kamarnya.

Sesampai di ruangan pribadinya itu, Langit menempatkan diri di bibir ranjang. Ia menggapai ponsel yang berada di atas nakas. Mengecek berbagai notifikasi pesan dari teman-temannya, termasuk milik Aurora yang spontan menarik atensi pemuda tersebut.


Usai membaca jawaban dari Aurora, Langit kembali meletakkan ponselnya. Kemudian, bangkit dari posisi duduknya dan beranjak menuju meja belajar. Menilik permukaan tempatnya mengasah ilmu tersebut untuk menemukan sebuah buku tentang usaha perhotelan yang belakangan ini ia baca.

Dia yang Bernama Langit - Bagian II )

Hai, guise!

Balik lagi sama M di chapter 2-nya Babang Sky! UwU. Gimana-gimana? Masih belum greget? Iya, tunggu aja chapter berikutnya, nde.

See you! ❤💙💚💛💜

The simple but weird,
MaaLjs.

28 Mei 2019 | 22.12

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top