9. KETUKAN PALU

Ada masa, dimana kau tak bisa berkata-kata dan hanya mampu mengeluarkan air mata.

"Darimana saja kamu?" tanya Sarah ketika mendapati suaminya pulang larut malam.

"Sayang kamu belum tidur?" Rangga bukannya menjawab malah dia balik bertanya kepada Sarah. Ada kerinduan yang sangat besar di hati Rangga kepada istrinya itu. Dia berjalan mendekati Sarah dan ingin memeluknya, sudah lama Sarah tidak menunggunya pulang seperti ini. Mungkin kali ini dia dan Sarah bisa berbicara baik-baik, tidak selalu bertengkar seperti sebelumnya.

"Aku tanya kamu darimana? jam segini baru pulang, betah banget ya kamu diluar sana. Boleh dong kenalin sama aku, biar aku bisa lihat seperti apa rupanya sampai kamu gak ingat pulang ke rumah ini." Rangga gagal merengkuh tubuh istrinya tersebut, selalu saja Sarah seperti ini. Dia sampai bosan mendengar semua tuduhan dari sang istri.

"Aku dari kantor Papa, maaf membuat kamu menunggu ku terlalu lama." Rangga masih mencoba sabar dan dia ingin langsung naik ke kamar mereka saja pikirnya. Di lantai bawah ada anak dan ibu mertuanya yang bisa saja mendengar pertengkaran mereka.

"Maaf," gumam Sarah melihat Rangga sambil berdecak "Kamu yakin mau minta maaf? bukan mau minta cerai saja," katanya lagi dan kali ini kilatan amarah Rangga terlihat jelas.

"Jaga ucapan kamu Sarah, aku capek kamu selalu seperti ini!"

"Kamu pikir aku gak capek hah?! aku kehilangan anak kita, dan itu gak mudah buat aku. Kamu malah masih bisa keluyuran diluar sana, senang-senang sama wanita lain bilang aja Rangga. Gak usah sembunyi-sembunyi aku punya bukti kalau kamu memang punya wanita lain diluar sana makanya kamu bisa tidak perduli dengan apa yang aku rasakan. Iya kan?!" Sarah mengeluarkan semua kecewanya terhadap Rangga. Hari ini dia mendapat pesan dari orang yang tidak dikenal, pesan itu memperlihatkan Rangga sedang makan bersama seorang wanita. Wanita yang sama saat dia melihatnya di Mall. Ada dua perempuan yang Sarah tahu sangat dekat dengan Rangga, satunya di Rumah Sakit tempat Rangga bekerja dan satu lagi wanita asing ini.

"Berhenti bicara omong kosong Sarah! aku diluar sana kerja, tapi benar kalau aku memang pusing dirumah ini. Kamu tahu kenapa?" tanya Rangga melihat mata Sarah penuh amarah dan juga kekecewaan terhadap Sarah. "Aku selalu ingin bersama kamu, tapi kamu menjauh. Kamu yang membuat aku menjauh Sarah, kamu selalu memperlihatkan aku salah dan enggan berbagi dengan ku. Kamu pikir aku tidak kehilangan anak kita? sekarang saat aku memilih menghabiskan waktu diluar rumah agar bisa mengobati luka dan penyesalan ku ini, kamu menuduhku berselingkuh? atau memang kamu ingin kita berpisah hah?! jika kamu ingin berpisah katakan saja, aku tidak ingin menahan mu di sini, jika kamu memang bahagia setelah kita bercerai lakukan Sarah. Aku tidak akan menahanmu, aku juga bosan melihat kamu terus seperti ini." Rangga mengambil tas dan pergi dari rumah.

Sarah masih diam mematung, airmatanya jatuh bercucuran mendengar deru mesin mobil Rangga meninggalkan rumah mereka. Fatma yang mendengar semua pertengkaran itu keluar dari dalam kamarnya, dia memeluk Sarah dengan perasaan iba. "Sarah ini cobaan rumah tangga kamu, jika kamu tidak punya bukti kamu jangan menuduh dan mudah mengambil keputusan. Ingat masih ada Raga dan Salsa anak kalian, kasihan mereka jika kamu dan Rangga terus bertengkar. Sesekali mengalah lah, sudah berapa lama kamu dan Rangga seperti ini. Seorang istri harus lebih sabar Nak, semua bukan karena kita ini lemah tanpa seorang suami. Namun, karena kita diberikan Tuhan perasaan yang lebih untuk peka pada orang yang kita cintai. Bertahanlah demi anak-anak kalian, sudahi pertengkaran ini. Mulailah awal yang baru untuk kamu dan Rangga."

"Aku tahu dia selingkuh Bu," kata Sarah menangis.

"Jika belum ada bukti kuat jangan menuduhnya begitu, ibu tahu Rangga. Dia selalu mengutamakan kamu dan anak-anak kalian. Meski belakangan dia selalu jarang dirumah, bukan berarti dia selingkuh."

"Tapi aku punya buktinya Bu, aku tahu itu wajah suamiku. Aku juga pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri." Fatma terkejut mendengar hal itu, dia merasa tidak percaya dengan semua ini. Namun, untuk apa Sarah berbohong? Sarah memang belakangan tidak tenang, perasaan seorang istri biasanya tak pernah salah.

"Jika kamu memang yakin begitu, bicaralah baik-baik dengan Rangga jangan dengan cara bertengkar seperti ini." Nasehat Fatma kepada Sarah. Dalam hatinya memanjatkan Do'a agar pernikahan sang Putri baik-baik saja.

***

Hari-hari berlalu Sarah lalui seorang diri, semenjak pertengakaran malam itu Rangga kembali ke rumah mereka dan tidak berbicara apapun kepada Sarah. Waktunya memang sudah lebih banyak dirumah, tapi tetap saja Sarah merasa suaminya itu sangat jauh. Rangga tidur disampingnya, di ranjang yang sama tetapi yang Pria itu perdulikan hanya ponselnya saja. Teriris hati Sarah melihat suaminya jadi seperti ini, kapan Rangga akan memeluknya lagi seperti dulu.

Sementara Rangga, dia melihat wajah Sarah yang termenung diam membisu. Sudah dia berikan waktu lebih seperti yang Sarah inginkan, tapi Sarah masih juga bersikap acuh padanya. Seperti saat ini, dia tengah memeluk tubuh Sarah dari belakang berbaring di ranjang mereka. Namun, Sarah tidak membalas setiap sentuhannya.

Hingga pada suatu hari Sarah datang kepadanya yang sedang sibuk di Rumah Sakit, wanita yang teramat ia cintai itu memohon kepadanya untuk diceraikan. Rangga tidak percaya akan apa yang dia dengar, kenapa istrinya itu sampai begitu membencinya. Bahkan Sarah mengatakan tidak kuat melihat wajah Rangga lagi, dengan berat hati dia mengabulkan permintaan Sarah itu.

"Lakukanlah apa yang menurut kamu baik Sarah, jika itu membuat mu bahagia maka aku akan mengabulkannya." Tidak sanggup mencerna semua yang terjadi dan apa yang sudah dia katakan, Rangga langsung keluar dari ruangannya. Bagi Sarah kesalahan Rangga sangat fatal, begitu juga menurut Rangga. Dia memang sosok suami yang tidak becus membuat istrinya bahagia.

Satu minggu setelah itu Rangga menerima surat perceraian yang Sarah berikan kepadanya lewat kuasa hukum wanita itu. Rangga ingin langsung berbicara dengan Sarah, dari Rumah Sakit dia langsung kembali ke rumah mereka. Meski sudah pernah setuju dengan permintaan Sarah, nyatanya Rangga masih tinggal satu atap dengan istrinya tersebut bahkan sampai surat itu dia terima dia masih tinggal di sana.

"Sarah," panggil Rangga sambil buru-buru berjalan masuk ke rumah dan menuju ruang kerja istrinya itu. Tidak sengaja Rangga mendengar Sarah tertawa sangat bahagia, dia mendengarnya dari balik pintu. Rangga membuka pintu itu, wajah Sarah yang tadi mungkin sedang tersenyum lebar kini terkejut dengan kehadiran sosok Rangga.

"Katakan padaku kalau kamu yakin dengan semua ini?" tanya Rangga sambil menunjukkan surat gugatan cerai.

"Kamu sudah lihat, itu artinya aku sudah yakin. Bukankah kamu juga menginginkan hal itu." Rangga mengusap wajahnya kasar saat Sarah dengan santai berkata demikian. Rangga meraih kedua bahu Sarah untuk dia tatap lebih dalam.

"Sayang kita punya anak, bagaimana dengan mereka? aku tidak ingin mereka merasakan kurangnya kasih sayang dari kedua orang tuanya."

"Masalah itu kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan menghalangi kamu untuk bertemu kapanpun dengan Raga juga Salsa."

Rangga menunduk, meski kedua tangannya masih menahan bahu Sarah. Dia lemas mendengar keyakinan sang istri. "Apa kamu bahagia melakukan semua ini Sarah?"

"Ya, setidaknya aku bisa mencoba peruntungan dengan berpisah dari Pria seperti mu." Sarah menepis tangan Rangga, dia mengambil ponselnya dan pergi dari ruang kerjanya itu.

***

Sebuah suara pertanda berakhirnya hal yang selama ini dia inginkan membuat Sarah harus menelan pahit-pahit hal itu. Ini yang dia inginkan, terbebas dari belenggu pernikahan yang menurutnya sudah tidak bisa lagi dia pertahankan.
Sarah menunduk sebelum kembali menegakkan tubuhnya untuk berpura-pura merasa baik dimata orang-orang terdekatnya.

Ketukan palu setelah hakim mengatakan keputusan perceraian mereka membuat Sarah sebenarnya ingin menangis, dia membisikkan pada ibunya kalau dia ada pekerjaan mendadak dan harus segera pergi.

Mantan suaminya pun melihat kepergian Sarah yang buru-buru, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam di tempatnya. Dia berharap Sarah bahagia, dan mau memaafkan kesalahannya.

Sarah pergi tak tentu arah, dia mengemudikan mobilnya entah kemana. Sarah lalu memutuskan untuk pergi mencari hotel untuk dia beristirahat. Dia tidak bisa mengemudi dengan kondisi yang seperti ini.

Dia memarkirkan mobilnya dan turun untuk memesan kamar. Setelah mengurus reservasi dan langsung membayar, diapun langsung bergegas ke kamar tersebut. Dia sangat ingin marah pada dirinya sendiri.
Sarah menangis, dan memukul dadanya berulang kali. Dia sangat kesakitan. Rumah tangga yang dia jalani selama tujuh tahun harus berakhir seperti ini.

Sarah mengingat kembali kesalahannya dan tidak menemukan jawaban dari hal itu, lalu kenapa dia harus mengalami ini.

Apa yang harus dia katakan kepada kedua anaknya nanti ?

Apa yang harus dia jelaskan . Meski sudah sepakat dengan mantan suami untuk tetap berkomunikasi baik demi anak-anak mereka mampukah Sarah menahan gejolak pedih dalam dirinya ?

Mampukah dia berpura baik-baik saja ?

Seolah hanya status mereka saja yang berbeda ?

Sarah tahu kalau dia tidak bisa egois dengan tidak ingin menemui mantan suaminya lagi, dia harus memikirkan perasaan anaknya. Dan sekarang dia juga harus fokus untuk mengurus masa depannya, dia sudah tidak lagi menerima nafkah dari mantan suaminya.
Dan Sarah harus tahu awal seperti apa yang harus dia mulai .

Sarah perlahan menutup matanya karena terlalu lelah untuk menangis, dia memejamkan mata hingga tidak sadar jika haripun sudah malam dan ponselnya terus berbunyi.

Sarah terbangun saat dia mendengar telpon dari ibunya yang sudah kesepuluh kalinya.
Sarah mengangkat telpon tersebut dan menetralkan suaranya.
"Ya bu. Iya maaf, Sarah hanya menenangkan diri sebentar. Maafkan Sarah. Iya Sarah akan langsung pulang."

Sarah berdiri, dia melihat wajahnya di cermin dan mencoba tersenyum. Sarah akan kuat menjalaninya demi anak-anak yang dia cintai.
Demi masa depan bahagia yang akan dia raih, dan tidak lagi bergantung pada masa lalunya.

Dia tidak membenci mantan suaminya, dia hanya kecewa.
Dan jika seseorang sudah kecewa, maka akan sulit untuk menyembuhkan luka maupun bekasnya.

Itulah yang dirasakan Sarah, hingga dia memutuskan untuk bercerai. Baginya lebih baik hidup tanpa adanya keganjalan dihatinya, daripada harus terus menerus hidup dalam bayangan kekecewaan itu.

Jangan katakan dia lemah, Sarah bukanlah wanita yang lemah. Dia adalah wanita yang tangguh meski terlihat egois, tapi semua yang Sarah lakukan adalah untuk hatinya sendiri yang tidak lagi ingin kecewa ataupun tersakiti.

Sarah bertekad dia akan membuat usahanya sendiri dan tetap menjalankan hobinya untuk menulis, meski dia sudah menjadi salah satu penulis yang terkenal, tetap saja Sarah perlu melakukan hal lain untuk menambah pundi-pundi pemasukannya.
Semakin dia bisa banyak menghasilkan uang maka dia tidak akan dipandang lemah dan rendah.

Apalagi sekarang statusnya adalah seorang janda beranak dua.
Sarah tahu pasti akan banyak orang yang menggunjingkannya, dan Sarah mengambil keputusan kalau besok dia akan pindah dari rumah yang dibeli mantan suaminya itu untuknya dan tinggal di tempat baru, dimana orang-orang tidak mengenal bagaimana kehidupannya dulu.

Bersambung...

Hai sayang-sayang kuh...bagi yang tidak sabar dengan update nya bisa ke Karyakarsa 'Nadra El Mahya' di sana sudah nadra update sampai Bab 17 ya...

OH YA...kalian sudah baca cerita lain yang nadra tulis belum? kalau belum bisa mampir ke cerita lainnya okeh???

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top