Dia Pikir, Gelar Tuan Emosian Itu Sangat Menjengkelkan

Menghabiskan tiga tahun masa SMA di sekolah yang seperti ini? Begitu turun dari angkot, Elang tidak langsung memasuki gerbang yang sudah ditutup itu. Ia memilih mematung sejenak, membiarkan benaknya melayang dari pijakan. Yang benar saja? Elang harus terperangkap di sini?

"Kenapa masih di sana? Upacaranya sudah dimulai sejak tadi." Dari balik gerbang, seorang anak lelaki yang dibalut jas abu-abu menghampiri Elang. Untuk sesaat, Elang menganalisis penampilan kakak kelas itu dari atas hingga bawah. Rambut terpangkas rapi, dasi dan segala atribut sekolah pun terpasang rapi. Anak OSIS, ya? "Hari pertama sudah terlambat. Selain bangun kesiangan dan jalanan yang macet, ada alasan lain?"

Demi mendengar nada tegas itu, Elang menaikkan sebelah alisnya. Salah satu sudut bibirnya pun ikut terangkat, hendak tertawa meremehkan. "Kenapa? Aku enggak butuh alasan, kok, buat terlambat datang ke sekolah terbelakang begini."

Belum sempat kakak kelas itu menimpali nada sarkas Elang, perhatiannya sudah lebih dulu teralihkan akan kehadiran seorang anak perempuan yang kesulitan mengatur ritme pernapasannya. Tak tanggung-tanggung, ia sampai membungkuk-bungkuk. "Aku habis jatuh dari motor di perempatan Sapta Marga, maaf terlambat datang di hari pertama ini, Kak ...." Masih dengan napas memburu, Raya mengintip name tag yang terpampang di dada kiri jas kakak kelas itu. "Maaf, Kak Ardi."

Jatuh dari sepeda motor? Konyol sekali. Diam-diam, Elang memperhatikan luka di lutut Raya. Cukup dalam. Darahnya sampai menetes-netes, nyaris mengenai kaus kaki putihnya.

Ardi juga memperhatikan cairan merah itu. "Sebaiknya kamu ke UKS dulu, biar lukanya tidak infeksi."

"Enggak usah, Kak." Kedua sudut bibir Raya terangkat penuh, mencapai titik lengkung maksimal. "Aku mau mengikuti kegiatan MPLS ini, Kak. Udah dimulai, 'kan? Kalau ke UKS dulu, takutnya malah makin ketinggalan ... eh, berhubung aku datang terlambat, sanksinya apa, ya, Kak?"

Orang gila. Elang melemparkan pandangannya sejauh mungkin dari sosok perempuan yang setinggi bahunya itu.

Ardi berdeham. Atensinya kini terbagi pada Elang yang sedari tadi hanya memasang muka julid. Dengan posisi tegap dan rahang tegasnya, sekali lagi, Ardi mencoba mengintimidasi Elang. "Kamu sudah daftar di sekolah ini, itu tandanya, mau tidak mau, terpaksa atau tidak, kamu harus mengikuti segala kebijakan yang berlaku di Pertitas. Tanpa terkecuali. Saya tidak peduli dengan akreditasi sekolah, latar belakang sekolah, ataupun label sekolah terbelakang seperti yang kau katakan. Selama kau siswa Pertitas, kau hanya perlu mematuhi peraturannya."

"Bahkan ketika aku tahu bahwa sekolah di sini hanya membuatku makin tertinggal dari anak-anak SMA lain? Bahkan di saat aku masuk sekolah ini tanpa keinginanku sendiri?"

Lelaki berjas abu itu mengangkat bahu. "Bukan urusanku. Kau tidak suka sekolah di sini? Aku tak peduli. Pada akhirnya, kau tetaplah seorang siswa dengan emblem logo sekolah di bahu kananmu. Dan tugasku bukan untuk mengasihani orang-orang yang terpaksa masuk ke sini sepertimu. Tugasku hanyalah memastikan setiap siswa Pertitas menjalankan peraturan sekolah sebagaimana mestinya."

"Oh, kebetulan, itu juga bukan urusanku." Elang mengangkat kepala dengan arogan. "Bersenang-senanglah dengan menjalankan tugas dan fungsimu sebagai aparat sekolah, maka aku juga akan melakukan segala hal yang aku suka. Entah melanggar atau tidak, itu urusanku."

Atmosfer di sekitar terasa menegangkan. Udara diselimuti oleh bara-bara emosi yang siap untuk diledakkan kembali. Akan tetapi, sebelum perdebatan kembali berlangsung di antara Elang dan Ardi, Raya sudah lebih dulu angkat suara. "Aduh! Kita ini sudah terlambat. Apa susahnya, sih, minta maaf dan menjelaskan alasan keterlambatanmu? Biar kita bisa mengerjakan sanksinya dan masuk barisan secepat mungkin ... keburu upacaranya selesai!"

Tiba-tiba didesak begitu membuat kedua alis tebal Elang bertautan tak terima. "Kita? Kau saja sendiri. Mau minta maaf atau enggak, kenapa kamu yang repot?"

"Karena kamu yang menghambatku, Tuan Emosian." Raya melipat tangan di depan dada. "Sudah terlambat, tidak pakai dasi, tidak pakai name tag ... dan kamu masih berani-beraninya bertingkah arogan seperti itu? Coba kalau kau minta maaf lebih awal, bukannya malah pembenaran diri dan menyerang Kak Ardi dengan pandangan subjektifmu yang tidak patut dijadikan sebagai argumen. Mungkin kita sudah selesai mengerjakan sanksi dan bergabung dengan teman-teman lainnya sejak tadi."

Tuan Emosian? Aih. Elang memang tahu kalau anak perempuan itu tidak mengetahui nama aslinya karena Elang tidak mengenakan name tag. Akan tetapi, tidak ada gelar lain yang terdengar lebih bagus, memangnya? Elang mendengkus kesal. "Apa peduliku?"

"Kamu manusia, 'kan?" Raya berkacak pinggang. Manik cokelat terang itu menatap Elang tanpa gentar. "Sadar, enggak, sih, kalau bumi ini enggak berotasi cuma buat kamu seorang?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top