-8-

Sejak kejadian di rumah Yangkung beberapa minggu yang lalu, sebisa mungkin aku menghindari semua obrolan yang menyinggung tentang si duda itu. Nadira juga? Entahlah, aku kok ya kepikiran bocah itu sepertinya tidak keberatan sama sekali dengan ide gila itu. Kenapa? Aku merasa Nadira menanggapi semuanya dengan sangat santai. Pernah suatu hari, aku iseng bertanya tentang pendapatnya.

"Gue kok ngerasa kayaknya lo nyantai banget ya nanggepin usulan itu," ucapku. Nadira yang saat itu sedang fokus mengaplikasikan night cream ke wajahnya melirikku lewat cermin.

"Yang soal jadi Mamanya Zay?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Lo nggak serius kan, Nadira?"

"Serius kok." Nadia sudah menyelesaikan ritual skin care malamnya. Dan berjalan pelan ke arahku yang sedang berbaring di tempat tidur. Melepas ikatan rambutnya, dan menyusul berbaring di sebelahku.

"Lo adek gue bukan sih? Ini Nadira, kan?" Kuhadapkan tubuhku ke arahnya. Kutepuk pipinya 3 kali.

"Sakit, Kak! Pipi Moana pedih," ucapnya.

"Ini tuh kayak bukan lo, Nadira."

"Kak, lo tau gimana kisah percintaan gue. Gue udah bosen sama hubungan yang gitu-gitu aja. Diajak komitmen, pada mundur teratur. Nikah muda kan udah jadi impian gue banget. Ya, nggak muda banget juga sih. Limit umur nikah gue se lo deh, umur lo sekarang 25 kan? Jodoh sih nggak ada yang tau ye kan." Nadira berbicara sambil memainkan tangannya di udara. Pacaran?Bisaa dibilang, bocah ini sudah khatam berkali-kali. Bahkan, Mama dan Papa dibuat kaget saat pertama kali Nadira menunjuk ke arah seorang anak laki-laki dengan kaus kutang putih dan celana pendek sedengkul yang sedang menaiki sepeda dengan gelas aqua di bagian rodanya, dan ingus hijau yang srot srot sebagai pacar pertamanya. Yang terakhir, yang kutahu Nadira menjalin hubungan dengan anak dari seorang petinggi di Polri yang dikenalnya di kampus. Tapi, kandas saat Nadira mencoba menanyakan ujung hubungan mereka.

"Gue mau 25 keleuuus. Siap emang jadi istrinya Om Barra? Siap ganti panggilan jadi Mas Barra?" tanyaku.

"Ribet banget, Kak. Kalo masih susah panggil aja kayak si Zay manggil dia, Papa." jawab Nadira.

"Accepted. Yakali kalo lagi berduaan lo  manggil dia Papa. Lo tuh bukan dipungut jadi anak, Dir."

"Gimana ntar aja, Kak," sahut Nadira. Bocah ini memang dasarnya anak yang santai. Bahkan terlalu santai.

"Dir, ikhlas?" tanyaku.

"Konteks ikhlas yang kayak gimana nih yang lo maksud?" Nadira balik bertanya.

"Lo kan belom pernah nikah. Sekalinya nikah dapet duda, jarak umur agak jauh terus langsung dapet anak pula. Lo baru 22 tahun. Om Bara udah 33 tahun," ucapku.

"Apalah arti umur. Umur cuma deretan angka. Eaaaa. Kak, ikhlas tuh prakteknya susah. Tapi, kalo ganjarannya pahala mah beda urusannya. Pertama, gue ngejalanin sunnah Rasul. Lo googling deh hadist Nabi tentang menikah. Kedua, pahala gue jadi Ibu sambung untuk Zay. Gue sayang sama dia. Kalo gue ikhlas ngejalaninnya, gue udah dapet dua pahala lho, Kak. Gue ngebayangin itu Malaikat Ridwan udah melambai-lambai nyuruh gue masuk Surga," jelas Nadira.

"Masha Allah. Adek gue. Okay. Gue jadi tim nonton ya."

"Nick fine-fine aja nikah sama Priyanka yang jauh banget beda umurnya," ucap Nadira.

"Priyanka bukan janda, Olaf!!!" sambarku.

"Beda cerita kalo sampe Raffi jadi nikah sama Yuni Shara ya, Kak."

"Kita lagi bahas apaan sih sebenernya?" tanyaku.

"Lo sendiri gimana? Nganggep serius usulan itu apa nggak?" tanya Nadira.

"Eh?" kilahku.

"Nggak usah sok bego. Lo tuh udah tua. Masa iya dosen begonya ampe ubun-ubun."

Kulempar gulingku ke arahnya. "Gue nggak tau, Dir. Kayak apa yang lo bilang. Liat gimana ntar aja."

"Pamungkas banget lo ya. Males dikorek-korek endingnya ngambil omongan orang." Nadira mendengkus kesal.

"Tidur, Dir. Gue besok ada teaching assessment." Kumatikan lampu tidur yang ada di sebelahku.

"Bakalan banyak istilah baru kalo emang sampe jadi kenyataan, Kak."

"Huh?"

"Pertama, Omku Suamiku. Kedua, Sepupuku Anak Tiriku. Ketiga, Adik Iparku Menantuku. Terus, Mantan Menantuku Cucu Menantuku, eh kok ribet banget ya.. nanti sisanya gue rangkai lagi. Agak rumit nih kayaknya."

Suatu hari, lupa kapan. Aku pernah melihat Nadira yang sedang asyik bermain dengan Zayyan di halaman belakang. Bermain bersama seorang sepupu kecil umur 3 tahun bukanlah hal yang aneh. Tapi...

"Zay, ini dimakan dulu puddingnya." Nadira terlihat mengejar Zayyan yang asyik menggowes sepeda roda tiganya, sepeda beruang madu Gelanggang Samudera.

"Tenyang, Ma."

Apa kata si unyil itu??Ma?Mama?Marimar? Maemunah?

"Kok begitu? Oke, kalo Zay nggak mau abisin puddingnya, nanti kita nggak jajan lagi di warungnya Mang Epoy ah." Nadira yang seakan mengancam Zayyan membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Belum sampai masuk, Zayyan yang sepertinya merasa akan kehilangan peti harta karun bajak lautnya langsung turun dari sepeda beruang madu itu dan berlari menghampiri Nadira.

"Ma! Tapi dadan yaaaa. Dadanna di walung Mang Epoy yaaa?Njai mau dadan cokat tama pemen Yupi," rayu Zayyan.

"Beres. Kita borong semua dagangan Mang Epoy! Nanti Papa kita todong suruh bayar semua jajanan kita."

Ni bocah kayaknya serius deh mau jadi ibu tiri.

Oh ya, satu lagi.

"Maaaa!" teriak Zayyan.

"Kenapa, Zay?" Nadira yang panik seketika menghampiri Zayyan yang bersandar di tempat tidurnya dengan ponsel milik Nadira di tangannya.

"Tatut."

"Emang ada apa, Zay?" tanya Nadira.

"Ini, di yupup ada tepiting epcen." Zayyan menunjukkan layar ponsel pada Nadira.

Zay, itu Lathi "everything has changed", bebiiiiiii.

Aku berbeda dengan Nadira. Nadira, seperti yang sudah kukatakan. Dia akan dengan santainya menghadapi sesuatu, bahkan yang berat sekalipun. Sedangkan, aku tuh baperan. Susah untuk bersikap biasa, terlebih untuk masalah ini. Bahkan, aku berusaha untuk menghindari Om Abi saat di kampus.

Hari ini seharusnya menjadi hari liburku. Tapi, kuubah jadwal mengajar di hari Jumat. Sehingga, long weekend menjadi milikku. Membayangkan libur panjang akhir pekan saja sudah membuatku meneteskan liur. Iyuuuh!

"Ma, Nadia jalan ya. Nanti balik ngajar, Nadia mau jalan sebentar sama Nadira." Aku bersiap menenteng tasku dan mengambil kunci mobil.

"Kak, Mama titip ini untuk Om kamu." Mama menyerahkan satu paperbag cokelat ke tanganku. "Itu isinya rendang sama kentang mustofa pake teri medan. Bilang ke Om kamu, suruh sering-sering main ke rumah."

"Ma, kirim pake Gosend aja," ucapku.

Gue aja ngehindarin dia. Eh ini malah disuruh ngasih bingkisan. Si Mama emang yaaaa.

"Ya ampun, Kak. Ada kamu ngapain Mama kudu hire Gosend. Masih malu sama kejadian di rumah Yangkung?"

Untung Ibu kandung.

"Mama apaan sih," ucapku kikuk.

"Kak, kalo menantunya modelan Abi sama Barra, Papa sama Mama kasih restu di barisan paling depan. Daripada dapet bujangan tapi nggak high qualityterus nggak ada akhlak pula. Mereka berdua udah terbukti kualitasnya. Bagus rupa, bagus akhlak dan bagus harta." Aku hanya bisa mengernyitkan dahi mendengarkan ucapan Mama.

"Mama ih." Kuambil paperbag dan langsung mencium punggung tangan Mama.

"Mama serius, Kak."

"Yaudah, Mama aja yang nikah sama mereka."

"Mama pengen gendong cucu lho, Kak."

"Ajian sakti mandragunanya Mama nggak ada yang lain? Gendong si Ghaiya aja, Ma. Kalo belom puas, gendong Mas Rama sekalian," ucapku.

"Tangan Mama patah lah, Kak. Maksud Mama cucu dari kamu," sahut Mama.

"Yaudah nanti Nadia beli di abang tukang ikan dulu," ucapku ambil berlalu.

"Mama mau cucu, Kak. Bukan encuuuuu!" Mama berteriak sambil berjalan ke arahku. Aku tertawa melihatnya.

🌼🌼🌼

Sesampainya di kampus, aku segera memarkirkan mobil di parkiran khusus dosen dan karyawan. Kumatikan mesin mobil, kurapihkan riasan di wajahku. Terima kasih tak terkira kuucapkan pada Nte Vina. Dia mewarisi begitu banyak alat make up untukku. Memastikan semua sempurna, kubuka pintu mobil. Tak lupa, kubawa serta paperbag titipan Mama.

Saat masuk ke ruangan dosen, kulihat Erfan dan Sofi tengah asyik menikmati santap siang mereka. Benar kata orang, susah untuk tidak melibatkan perasaan di sebuah pertemanan antara perempuan dan laki-laki. Sofi dan Erfan terlibat cincintol, Cinta (di antara) Pecinta Pentol. Mereka berdua memang penggemar panganan satu itu. Ingin rasanya aku mengumpulkan Sofi, Erfan dan Kekeyi untuk bersatu membentuk sebuah perkumpulan PIC (Pentol Indonesia Club). Siapa tahu, lewat club itu,mereka bisa membagikan tutorial menikmati pentol puyuh yang benar, ya kan? Mereka berdua rela berburu pentol dimanapun pentol-pentol itu berada. Dan, kebersamaan mereka menimbulkan benih-benih, percik-percik dan pentol-pentol cinta di antara mereka berdua.

"Lho, kok lo ngajar?" tanya Erfan.

"Demi long weekend yang damai, gue rela ganti schedule. Maysha ada kelas?" Aku duduk di kursiku, meletakkan semua barang bawaan di meja.

Sofi mengangguk. "Bentar lagi kayaknya dia selesai."

Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tak kunjung kulihat sosok yang kucari.

Ini ngasihnya gemanahhhhhh?

"Lo pada nggak liat Pak Abi?" tanyaku basa-basi.

"Pak Abi lagi ke ruangan Kaprodi. Katanya sih, mau diajuin jadi Kaprodi selanjutnya. Pak Mahmud mau pensiun." Aku ber-oh ria menanggapi ucapan Erfan. Bertambah 1 lagi nilai plus duda satu itu. Masih muda, tapi sudah diberi tanggung jawab untuk menjadi seorang Kaprodi.

Eh, kok idung gue berasa kembang kempis ya??

Sembari menunggu kehadiran sosok sang duda, aku mempersiapkan materi bahan ajar siang ini. Masih ada waktu satu jam.  Tak lama, sosok yang kutunggu-tunggu akhirnya menampakkan batang hidungnya. Dia tersenyum ke arahku.

Ini nih yang namanya ujian. Tuhan memang Maha Membolak-balik hati. Gue takut, senyuman dia barusan bikin gue khilaf langsung minta dinikahin. Lesung pipitnya gustiiiiiiiii. Kuatkan hati Belle, please. Eh, tapi kan si Belle aja bisa luluh sama si Beast yang serem gitu. Gimana gue yang cuma gadis biasa apa adanya sang pengabdi opor ayam Yangti?

Om Abi langsung duduk di kursinya. Mencari timing yang pas, melihat sekeliling dan memastikan semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing, termasuk Erfan yang sibuk membaca buku dan Sofi yang sedang mengisi botol air minum 2 liternya di dispenser yang ada di sebelah mejaku. Biasanya, Sofi membutuhkan waktu sekitar 30 detik untuk mengisi penuh botolnya.

Kuraih paperbag di atas meja. Aku berjalan perlahan ke arahnya. Kulihat dia sedang sibuk membaca, tak tahu apa.

"Ehem." Aku meletakkan paperbag yang ku bawa di atas mejanya. Melihat apa yang baru saja kulakukan, Om Abi menghentikan kegiatan membacanya dan memandangku dengan heran.

Wajar lah dia heran. Gue dateng ujug-ujung ngasih bingkisan.

"Dari Mama." Aku berusaha bicara sepelan mungkin. Dan memastikan dia mengerti apa yang kuucapkan. Diapun mengangguk setelahnya, dan kembali membaca.

Saat kubalikkan badanku, tatapan dua pasang mata tajam menghujam. Tatapan penuh kecurigaan. Aku kembali duduk di kursiku dan pura-pura menyibukkan diri.

Aku bisa merasakan dua pasang mata itu mulai mendekat.

"Lo kasih apaan ke Pak Abi?" tanya Erfan to the point. Sofi yang berdiri di sampingnya memicingkan mata.

"Oh, itu tadi pas gue di parkiran ada karyawan gedung sebelah nitip suruh kasihin ke Om Ab--Pak Abi," ucapku yang bisa kujamin 1000% bohong besar. Mama bukan karyawan gedung sebelah, lho.

"Om? Lo barusan bilang Om?" Mampus. Ternyata pendengaran Sofi lumayan tajam.

"Salah denger lo. Gue bilang Pak, kok." Aku berusaha tersenyum sejahil mungkin.

"Perasaan gue nggak salah denger deh." Sofi bergumam pelan, tapi masih bisa kudengar.

Kuusap dada dan kuhembuskan napas lega.

Ma, Nadia nggak mau lagi jadi kurir!!

🌼🌼🌼

"Belajar yang bener, ya. Kalian nggak mau kan ketemu sama saya lagi di semester depan untuk ambil subject yang sama. Udah cukup eneg kan sama Grammar 3?" ucapku di depan kelas. Hari ini adalah pertemuan terakhir sebelum diadakannya UAS.

"Semester depan Miss Nadia ngajar Grammar lagi? Atau subject yang lain, Miss?" tanya salah satu mahasiswaku yang selalu duduk di deretan terdepan, Quita.

"Tergantung gimana Kaprodinya. Semester depan, Kaprodi kita diganti, karena Pak Mahmud pensiun," ucapku.

"Diganti sama siapa, Miss?" tanya Kinara, gadis yang setiap harinya terlihat sangat anggun dengan rambut hitam legam lurus sebahunya yang selalu tergerai.

"Untuk masalah itu, Miss baru tau kalo salah satu kandidatnya adalah Pak Abi. Tapi, semua tergantung dari sidang pemimpin kampus." Mendengar jawabanku, Kinara terlihat sangat bersemangat.

"Semoga bener deh Pak Abi yang jadi Kaprodi selanjutnya. Makin semangat gue ngincer dia." Celetukkan Kinara yang aku jamin bisa didengar dengan sangat jelas oleh seisi ruangan.

"Huuuuuuuuuuuuuuu." Sorakkan seisi kelas menanggapi ucapan Kinara. Kinarapun mengerucutkan bibirnya kesal.

"Yang ngincer dia bukan lo doang kali. Sekelas Pak Abi juga mikir-mikir kalo milih calon istri." Januar, sang ketua kelas. Januar memang dikenal ceplas-ceplos dalam berucap, dan tegas.

"Yakali aja rejeki gue, kan. Toh, Pak Abi juga belom nikah." Mendengar ucapan Kinara, sontak membuatku kaget.

"Pak Abi udah pernah nika---" Kututup mulutku dengan segera.

Mati gue. Keceplosan.

"Miss, tau darimana kalo Pak Abi udah pernah nikah?" tanya Kinara.

"Eh? Kamu salah denger mungkin," kilahku.

"Tapi, kok saya juga denger ya, Miss?" Rizki tiba-tiba menyahut.

"Tuh, bukan saya yang salah denger, Miss." Kinara menatapku dengan tajam. Tak hanya Kinara, semua mata tertuju padaku.

"Hari ini sampe sini dulu, ya. Banyak istirahat. Belajar yang serius. Good luck for your final test. Bye!" Buru-buru kutinggalkan ruangan kelas. Masih bisa kudengar dengan sangat jelas mereka memanggilku.

Sesampainya di rumah, aku sempat menanyakan perihal pernikahan Om Abi dan Nte Vina kepada Mama.

"Ma, nikahannya Nte Vina sama Om Abi tuh diem-diem atau gimana sih?" tanyaku. Mama yang saat ini sedang asyik mengaduk sayur asemnya di panci T-chef series tercintanya tiba-tiba menoleh dan mengernyitkan dahi.

"Kamu ngomong apaan sih, Kak?"

"Maksud Nadia, pernikahan mereka itu dikabarin ke banyak orang atau gimana gitu, Ma?"

"Oh, itu emang maunya si Vina. Vina bilang, nggak usah undang banyak-banyak pas akad nikah kemaren. Undang banyaknya pas resepsi aja. Makanya, pas akad kemaren ngga terlalu banyak tamu yang dateng. Cuma dari keluarha besar kedua belah pihak aja. Ya, sama beberapa temen-temen mereka. Kenapa sih, Kak?"

"Nadia keceplosan, Ma. Nggak tau deh, ya. Mahasiswa Nadia tuh banyak banget yang ngidolain Om Abi. Nah, mereka tuh taunya Om Abi masih single, belom pernah nikah. Tadi, Nadia keceplosan bilang kalo Om Abi udah pernah nikah. Jadilah Nadia diberondong pertanyaan. Nadia ngeles dong. Nadia bilang aja kalo mereka salah denger. Terus, Nadia pergi deh buru-buru."

"Tuh, Kak. Yang ngincer Om kamu banyak, lho." Sayur asem Mama sudah matang, dan sekarang Mama lanjut menggoreng ikan asin bulu ayam yang dibalur tepung terigu.

"Mama apaan sih. Ma, jangan gitu. Nanti, malaikat lewat bisa diaamiinin."

"Lho, bagus dong. Kan Mama udah bilang sama kamu. Mama sama Papa udah kasih restu kalo mau sama Om kamu itu," ucap Mama.

"Bahasnya nanti lagi, Ma. Nadia udah laper banget nyium bau ikan asin."

Ini serius. Nyium bau ikan asin aja udah membangkitkan selera.

"Mandi dulu, Kak. Kita makan bareng. Panggil Mbak Alma sekalian. Seharian ini dia capek banget. Ghaiya rewel," ucap Mama.

"Kok bisa, Ma? Ghaiya sakit?"ltanyaku. Mama menggeleng.

"Nggak. Nggak demam sih, Alhamdulillah. Mungkin lagi kangen sama Mas Rama. Mas Rama baru balik lusa pulakkkk."

"Yaudah, Nadia bersih-bersih dulu ya." Mama mengangguk. Akupun berlalu masuk ke kamar.

🌼🌼🌼

Hari ini, hari terakhirku menjadi pengawas ujian. Tapi, tolong jangan samakan aku dengan para dosen  killer itu. Kebetulan, hari ini aku dipasangkan dengan Sofi. Sepanjang jalannya ujian, aku dan Sofi hanya duduk di kursi pengawas yang disediakan di depan. Kami berdua sudah sepakat untuk "pura-pura bodoh" seharian ini. Mata kuliah yang diujikan hari ini tergolong sulit, Curriculum and Material Development. Aku berani taruhan, ujian kali ini akan menjadi ujian mengarang bebas. Aku pernah berada di posisi ini. Merasa buntu mengerjakan soal-soal mata uji ini.

Aku dan Sofi sengaja menyibukkan diri dengan melakukan apapun. Percaya atau tidak, saking berusaha untuk menjadi sibuk dengan tujuan memberikan ruang gerak pada mereka, Sofi sampai rela membawa puzzle rumit dari rumah, yang tiap kepingannya hanya seukuran kentang yang dimasak sambal balado.

"Tetap tenang, ya. Pelan-pelan aja ngerjainnya. Jangan tegang," pesanku pada anak-anak. Mereka mengangguk paham.

"Kalo ada yang aneh dengan soal, segera konfirmasi, ya." Sofi menambahkan.

"Ini aneh semuanya, Bu. Saking anehnya sampe saya nggak bisa ngerjain," ucap seorang anak yang duduk tepat di bawah AC.

"Good luck, ya!" Aku mencoba untuk terus memberikan semangat.

Selesai mengawas, aku dan Sofi kembali berkumpul dengan pengawas lainnya di ruangan panitia ujian. Kami berdua membawa dua amplop cokelat besar berisikan lembaran soal-jawaban ujian hari ini serta lembar kehadiran peserta ujian. Sofi memintaku menyerahkan kedua amplop itu ke depan. Dia lelah. Lelah menyusun puzzle. Prettttt!

Kuserahkan dua amplop itu ke tangan ketua panitia ujian, Om Abi. Mataku tertuju pada benda berwarna hitam yang ada di tangan kanannya. Terlihat tidak asing. Sama seperti milikku, bahkan merknyapun sama. Aku kembali dibuat terkejut saat kulihat ukiran inisial dua huruf berwarna perak di atasnya, "K.A".

- to be continued -

Aku boleh yaa minta voting sama commentnya. Aku pengen tau pendapat kalian. Huhu, maklum lah. Penulis pemula. Masih butuh banyak belajar. Mau ya tinggalin comment kalian buatku?

Chuuuuu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top