-7-
"Kak, Mama Papa mau anter Mas Rama sama Mbak Alma dulu ya. Mama udah masak buat sarapan kamu sama Nadira," ucap Mama dari balik pintu kamarku.
"Iya, Ma. Ati-ati," teriakku. Nyawaku masih belum terkumpul seluruhnya. Aku masih sangat ngantuk. Tadi, setelah sholat Subuh, aku dan Nadira kembali tidur.
"Berisik banget si Mama. Tidur lagi aja, Kak." Nadira kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sudah seminggu ini Nadira tidur di kamarku.
"Yaudah, lo tidur lagi. Gue mau bangun. Mau mandi. Mau ngoreksi tugas anak-anak." Kusibakkan selimut dan segera bangun dari tempat tidur.
"Makanya, lo nggak usah mempersulit diri, Kak. Anak-anak mah nggak perlu lo suruh ngumpulin tugas untuk jadi syarat ikut UTS. Gila lo. Pengen ikut-ikutan jadi "doler" lo?" Nadira masih dengan suara serak bangun tidurnya.
"Doler? Dosen killer?" tanyaku.
"Dosen beler ka. Ahahhaha," ucap Nadira. Kulempar guling ke arahnya.
"Kampret lo. Nggak ada di kamus gue cita-cita jadi dosen killer. Gue nggak mau didoain yang jelek-jelek sama mahasiswa gue," ucapku.
"Makanya, nggak usah ribet pake kasih syarat."
"Itu bukan syarat, Nadira! Emang anak-anaknya aja pada batu. Tugas dikasih kapan baru dikumpulin. Padahal gue kasihnya pas pertama kali gue masuk, lho."
"Namanya juga mahasiswa, Kak. Kayak lo nggak pernah ngerasain gitu aja ah." Nadira melipat selimut dan duduk di tepian tempat tidur sambil membenarkan ikatan rambutnya.
"Mandi. Abis itu kita sarapan. Mama udah siapin makanan buat kita sarapan." Kuregangkan tubuhku dan berjalan menuju kamar mandi.
Aku dan Nadira sudah siap di meja makan. Hanya ada kami berdua. Ternyata, setelah bertanya pada Bude Ros, Mama Papa pergi mengantar Mas Rama dan Mbak Alma untuk imunisasi Ghaiya, keponakanku.
Seperti biasa, di sela sarapan pagi ini aku dan Nadia sibuk membahas sesuatu. Selalu dan pasti ada bahasan. Apapun itu.
"Kak, Mas Rangga sering ke Dukuh, lho." Nadira menyuap sesendok penuh nasi goreng seafoodnya.
"Terus?" tanyaku.
"Kayaknya dia selalu ngarep lo ada di Dukuh deh, Kak. Kalo pas liat ternyata gue yang di sana, dia kayak kecewa gitu," ucap Nadira.
"Bodo amat, Dir. Gue nggak peduli. Gue udah bilang sama dia. Gue nggak mau terlibat pembicaraan apapun sama dia kalo bukan masalah bisnis dan kerjaan."
"Dia gagal move on kayaknya," tambah Nadira.
"Gue jijik sama dia," ucapku.
"Jijik? Kenapa??" tanya Nadira penasaran.
"Dia bilang masih cinta sama gue sampe detik ini. Dan yang lebih gilanya, dia jadiin gue fantasi sex setiap kali dia having sex sama istrinya," jawabku.
"Seriously?" Aku mengangguk mengiyakan.
"Gila aja dia bilang ngga cinta sama istrinya tapi bisa bikin istrinya bunting 2 kali. Istrinya lagi hamil tua, Dir. Dianya malah aneh-aneh. Gue udah bilang ke dia, hubungan gue, dia sama Citra udah kelar pas dia buka sleting celana dia di depan Citra. Selesai."
"Hahaha. Ngakak gue." Nadira tertawa dengan kencangnya.
Selesai sarapan, aku dan Nadira memilih untuk duduk di ruang tengah. Nadira menonton TV. Sedangkan, aku sibuk mengoreksi tugas mahasiswaku. Aku dibuat takjub dengan hasil kerja mereka. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat menggarap tugas ini. Percaha atau tidak, jawaban mereka semua sama. Tidak ada yang berbeda. Yang membuatnya berbeda hanyalah bentuk tulisan tangan mereka. Aku harus berterima kasih pada mereka. Karena ku tak harus membuang waktu dan tenagaku untuk mengoreksinya. Toh, semua sama. Seminggu ini, kegiatan belajar mengajar diliburkan karena memasuki minggu tenang sebelum UTS. Selama seminggu ini, aku bisa kembali memantau Lenggah.
Setelah selesai dengan semua koreksian tugas mahasiswaku, Nadira mengajakku untuk berangkat lebih awal. Nadira bilang, ada beberapa hal yang harus dia tata ulang di cafe. Setelah mengisi penuh tumbler dengan air putih, aku dan Nadira berangkat menuju Lenggah.
Jam operasional Lenggah adalah jam 11 siang dan akan ditutup jam 10 malam. Pernah kami menerima saran dari banyak pengunjung. Mereka meminta kami untuk menambah jam operasional Lenggah. Jam operasional ditambah, hanya saat sedang diadakannya event besar. Seperti Final Liga Champion, Piala Eropa, Thomas dan Uber Cup dan semacam kejuaraan dunia lainnya. Karena, selama ada event itu, kami akan mengadakan acara "nonton bareng".
Setibanya kami di Lenggah, Nadira langsung sibuk membuka paket yang sepertinya dibelinya beberapa hari yang lalu. Aku masuk ke ruanganku di lantai atas. Melihat semua laporan bulanan. Memantau rekapitulasi progress dari bulan ke bulan. Maju pesat. Itu artinya, keuntungan bertambah. Yess!
Saat aku sibuk membaca laporan bulanan, seseorang mengetuk pintu dari luar. Please, jangan rusak moodku di pagi yang cerah ini. Bisa kan?
"Ada apa lagi?" ucapku ketus.
"Aku mau diskusi sama kamu," jawabnya. Dia lagi dia lagi. Kenapa sih dia harus muncul sepagi ini?
"Diskusi? Sama gue aja? Nggak sama yang laen?" Aku memicingkan mata. Rangga mengangguk.
"Iya, sama kamu aja." Rangga duduk di kursi yang ada di depan mejaku.
"Yaudah mau ngomong apaan?" tanyaku datar.
"Aku mau cerai sama Citra. Setelah dia lahiran nanti."
"Terus, apa hubungannya sama gue?" tanyaku.
"Aku mau kita balikkan," jawabnya.
Ini nggak lagi ujan kan? Nggak ada geledek sih. Dia nggak abis kesamber geledek kan? Dia gila?
"Lo gila? Otak lo ditaroh dimana?Diskusi macem apaan kayak gini?" tanyaku. Benar-benar tak habis pikir . Konyol.
"Iya. Aku gila. Aku gila karena kamu," jawabnya.
"Sekali lagi bilang lo gila gara-gara gue, gue nggak segan untuk gampar lo," ancamku.
"Terserah kamu mau apain aku. Asalkan kita bisa balikkan." Tangannya meraih pergelangan tanganku. Kuat.
"Lepasin tangan gue!" pintaku dengan sedikit menahan agar suaraku tidak terlalu tinggi. Aku tidak mau mereka yang ada di bawah mendengar percakapan konyol macam ini.
"Nggak akan aku lepasin sebelom kamu bilang iya," jawabnya.
"Denger ya, Hanurangga Wijaya. Semua yang terjadi itu ulah lo. Kalo lo setia, bener dan nggak macem-macem, mungkin kita udah nikah dan bahkan udah punya dua anak. Gue menolak lupa apa yang udah lo lakuin." Kucoba untuk melepaskan cengkraman tagannya di pergelangan tanganku. Cengkramannya melemah.
"Tapi, seenggaknya aku masih punya kesempatan. Kamu bisa kan kasih aku kesempatan itu?" ucapnya. Rangga mengatupkan kedua telapak tangannya di dada. Memohon.
"Sorry. Nggak ada kesempatan kedua."
"Semua orang berhak dapet kesempatan kedua, Tih." Suaranya mulai agak meninggi.
"Ya, tapi nggak buat lo. Dan sorry, mendingan lo coba belajar jadi pribadi yang lebih baik lagi. Sekarang status lo itu seorang suami, seorang ayah pula. Istri lo lagi hamil tua. Mikir nggak sih lo? Dan anak lo, untungnya sih cowok. Tapi kepikiran nggak kalo anak lo yang kedua cewek, semisal nih dia ngalamin kayak yang gue alamin, gimana perasaan lo jadi orangtuanya? Bakalan gitu lo nyaranin anak lo untuk ngasih kesempatan kedua buat laki-laki brengsek kayak gitu?" ucapku panjang lebar. Dia hanya diam.
"Tih, please."
"Ngeyel banget sih. Gue tau ngeyel itu emang sifat lo. Tapi, please deh. Lo udah ganggu banget," ucapku ketus.
"Oke, aku minta maaf. Aku tau aku salah. Tolong maafin aku."
"Gue udah coba berdamai sama diri gue sendiri sejak lama. Memendam rasa kecewa itu emang sakit. Jujur, sampe detik ini sebenernya gue masih males ketemu sama lo. Tapi, gue sadar nggak boleh kayak begitu. Gue udah maafin semua yang udah lo lakuin. Berharap lo bisa jadi orang yang lebih baik lagi. Nggak usah lo buktiin ke gue. Buktiin ke keluarga lo."
"Untuk bener-bener ngelupain kamu tuh nggak bakalan mungkin, Tih." Rangga mengusap wajahnya dengan kasar.
"Lo aja yang nggak mau usaha," sahutku.
"Aku bakalan ngundurin diri dari kepengurusan Lenggah."
"Lo yakin?Kenapa?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Aku yakin. Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman dengan adanya aku di sini. Aku juga sadar diri. Sejak awal, usaha ini murni punya kamu, Yura dan Seno. Aku cuma bantu-bantu aja," ucapnya.
"Gue nggak nyaman kalo lo udah mulai aneh-aneh. Lo udah coba bilang ke Yura sama Seno?" tanyaku.
"Udah. Aku udah coba diskusiin ke mereka."
"Apa kata mereka?" tanyaku.
"Mereka bilang keputusan ada di aku."
"Apa rencana lo setelah keluar dari sini?" tanyaku.
"Aku diminta Mama untuk nerusin usaha wedding organizer keluargaku," ucapnya. Keluarganya memang memiliki usaha WO sejak lama. Dan usaha keluarganya memang cukup terkenal.
"Rangga, gue minta ke lo. Nggak usah punya pikiran lagi tentang hubungan kita yang udah lama selesai. Kita tuh cuma masa lalu. Masa depan lo ada di istri dan anak-anak lo. Udah lah. Kita bahagia dengan cara masing-masing. Buang jauh-jauh niatan lo buat cerai dari istri lo. Coba untuk cintai dia," pesanku padanya.
"Aku pamit ya, Tih." Dia bangkit dari duduknya dan segera keluar dari ruanganku.
Sudahlah. Toh, itu sudah menjadi pilihannya. Jujur ya, aku risih saat dia menyampaikan niatannya untuk menceraikan istrinya. Apa kata dunia kalau sampai mereka bilang akulah alasan kenapa dia menceraikan istrinya.
Dianggep orang ketiga di hubungannya Om Pitt sama Tante Jollie aja gue ogah. Apalagi ini. Pait pait pait.
🌼🌼🌼
Hari ini, semua keluarga besar berkumpul di rumah Yangkung dan Yangti. Kami berkumpul untuk merayakan ulang tahun Yangkung ke 74 tahun. Demi mempersiapkan acara hari ini, Mama bahkan menginap di rumah Yangkung. Kami hanya akan makan malam bersama. Setelahnya, mungkin kami akan bermalam di sini. Besok hari Minggu.
Semuanya berkumpul. Mas Rama, Mbak Alma dan si kecil Ghaiya sudah lebih dulu datang. Aku bahkan dibuat terkejut dengan kedatangan Pakde Yoga dan Bude Asti. Rupanya, acara kali ini bertepatan dengan seminar dari kampus tempat Pakde Yoga mengajar yang diselenggarakan di Jakarta. Aku dan Nadira menjadi yang datang paling akhir, karena kami harus menyelesaikan urusan di Lenggah terlebih dahulu.
"Pakde... Bude, gimana kabarnya?Nadia kangen." Kucium punggung tangan Pakde Yoga dan Bude Asti. Karena, memang terakhir kali kami bertemu saat acara akad nikah almarhum Nte Vina.
"Baik. Nadia gimana kabarnya, Sayang?" tanya Bude Asti. Bude Asti memeluk dan menciumi pipi kanan-kiriku.
"Alhamdulillah, baik juga. Mas Sakha, Mas Deka sama Mas Gio mana??" ucapku.
"Mas-masmu lagi sibuk. Sakha kemaren telepon. Katanya nggak bisa dateng. Karena lagi ada tugas luar dari kantornya ke Makassar. Gio lagi sibuk ngurusin kerjaan. Nah, kalo Deka nanti juga dateng. Dia langsung dari Bandung," jawab Pakde Yoga. Pernikahan Pakde Yoga dan Bude Asti dikaruniai 3 orang anak. Mas Sakha adalah putra sulung mereka. Masih single dan yang paling penting, Mas sepupuku itu seorang ASN muda di Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mas Sakha memang stay di Jakarta, dan pulang ke Bandung setiap weekend. Dia sibuk. Bahkan, kami yang masih satu kota saja susah untuk ketemu. Monggo, bukannya ciwi-ciwi senengnya bukan main ya kalo punya pacar seorang ASN? Sedangkan Mas Deka dan Mas Gio, mereka adalah anak kembar. Butuh waktu lama untukku bisa membedakan mana Mas Deka dan Mas Gio. Yang kudengar dari Bude Asti, Mas Gio membuka sebuah usaha di bidang arsitektur bersama beberapa orang temannya. Sedangkan, Mas Deka lebih memilih untuk menjadi seorang wirausahawan. Mas Deka membuka sebuah toko kue di Bandung. Dari Mas Dekalah aku banyak mempelajari resep kue-kue yang kujual di Lenggah. Haruskah aku menyerahkan bagian royaltinya? Ketiganya belum menikah. Padahal, Pakde Yoga dan Bude Asti sudah sangat mewanti-wanti ketiganya untuk segera menikah. Mereka sudah sangat mendambakan cucu.
Bercengkrama dengan keluarga besar adalah hal yang paling kusukai. Untungnya, keluarga besar kami sangat jauh dari apa yang dibilang "ketidak akuran". Obrolan kami terhenti ketika terdengar seseorang mengucap salam dari ruang tamu.
"Kok baru dateng, Bi?" tanya Yangkung.
Om Abi segera menghampiri dan mencium tangan Yangkung dan Yangti. Dan dilanjutkan denga menyalami ya g lainnya. "Tadi ada sedikit urusan di kampus, Pak. Agak ribet, soalnya harus masukkin nilai anak-anak."
"Ealah, jangan capek-capek," ucap Yangti menasihati. Om Abi terlihat mengangguk. Om Abi langsung mengambil posisi duduk tak jauh dariku.
Di ruangan tengah ini, kami semua lebih senang duduk di bawah beralaskan karpet. Yangkung dan Yangti tetap duduk di atas karena mereka berdua tak bisa terlalu lama dudul di lantai, walaupun sudah dilapisi dengan karpet tebal.
Aku seketika baru sadar kalau Nadira yang tadinya duduk di sebelahku, sudah lenyap entah kemana. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Memberikan sikutan pelan pada Om Barra sebagain sebuah kode.
"Nadira kemana, Om?" bisikku.
"Tadi keluar sama Zay. Katanya mau jajan di warungnya Mang Epoy," jawab Om Barra. Aku menghembuskan napasku pelan. Bocah itu!
Entah ini hanya perasaanku saja atau memang Om Abi sedari tadi mencuri pandang memperhatikanku. Setiap pandangan kami bertemu di satu titik, baik aku maupun dia pasti segera menyudahinya.
Nggak munafik. Dia ganteng! Tapi, dia kan Om lo, Nadia. Yah, bener juga.
Kemeja biru tua yang lengannya digulung sampai ke siku membuatnya terlihat sangat wow disandingkan dengan kulit sawo matangnya. Bahkan, rambutnya dibiarkan sedikit berantakan. Biasanya, dia akan menata rambutnya sedemikian rupa dengan pomade andalannya. Tapi, hari ini dia tampil sedikit berbeda. Dan, terlihat muda.
Mas Deka datang dengan sebuah box besar di tangannya. Aku sudah tak sabar melihat isi yang ada di dalamnya. Sepertinya sesuatu yang rasanya sangat enak. Semuanya sudah berkumpul. Bahkan, Nadira dan Zayyan yang tadinya sibuk jajan di warung Mang Epoy juga udah duduk dengan sangat manisnya.
"Jajan terus," ucapku pada Nadira.
"Bukan gue. Zay tuh," kilahnya.
"Zay tuh cuma jajan Nyam-Nyam doang. Itu seplastik penuh jajanan lo, kan?"tanyaku. Nadira meringis.
"Kalian berdua udah kelar belom berantemnya?" Mas Deka melotot ke arahku dan Nadira, "Acara mau dimulai nih. Kita mau tiup lilin."
Sebelum meniup lilin, kami sekeluarga berdoa bersama. Berdoa untuk kesehatan dan keberkahan usia Yangkung. Ada yang berbeda di ulang tahun Yangkung kali ini. Kue yang dibawa Mas Deka berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Maksudku, berbeda dari saat terakhir kali aku hadir di ulang tahun Yangkung sebelum keberangkatanku untuk studi di luar negeri. Yangkung adalah seorang penggemar balado tongkol. Dalam seminggu, Yangti pasti akan memasak balado tongkol untuk Yangkung 2 atau 3 kali. Dari kegemaran Yangkung ini, Mas Deka membuat sebuah kue yang menurutku rasanya sangat unik. Bisa kalian bayangkan, kue ulang tahun berkrim dengan balado tongkol sebagai isian dan taburan di atasnya? Aneh?Aku berani sumpah, ini enak dan sama sekali tidak aneh. Entah terbuat dari apa otak Mas Deka yang bisa membuat kue ini menjadi layak untuk dimakan.
"Pa, aku mau tuehna." Zayyan menunjuk kue.
"Boleh. Nanti Papa ambilin," ucap Om Barra.
"Itu yang melah enak?" tanya Zayyan.
"Pedes, Nak."
Sorry, Zay. Gue kalo jadi lo mendingan makan Nyam-Nyam aja daripada makan kue nggak paket topping. Gih sonoh jajan di warungnya Mang Epoy.
Setelah tiup lilin, Yangkung mempersilahkan kami untuk mencicipi makanan yang sudah disediakan. Semua makanan yang disediakan adalah kesukaanku. Kuisi piringku dengan beberapa iris lontong yang dibungkus daun pisang, opor ayam buatan Yangti, bacem telur, sambal terasi dan kerupuk bawang warna-warni. Aku kembali duduk di tempat semula. Menikmati lezatnya makanan yang sudah kuambil dengan sangat khidmat. Hingga seseorang datang dan menaruh satu toples di hadapanku.
"Kamu lupa bawang gorengnya, Tih." Om Abi menyodorkan toples bawang goreng ke arahku.
"Eh iya, Om. Aku lupa. Nggak liat juga kalo ada bawang goreng di meja makan." Kubuka toples itu. Kuambil bawang goreng, kemudian kutaburkan ke atas makananku.
Di sela acara makan malam keluarga, pertanyaan Yangkung membuat para duda yang ada di antara kami salah tingkah.
"Barra, udah lebih dari tiga tahun kamu sendiri. Belum ada rencana nikah lagi?Zayyan butuh figur Mama, lho," ucap Yangkung.
Om Barra yang mendengar pertanyaan Yangkung terlihat santai tapi sedikit salah tingkah. "Untuk sekarang, belom sempet mikir ke arah situ, Pak. Lagipula, susah cari perempuan yang nerima paket komplit, Pak. Aku harus bener-bener cari yang sayang sama Zayyan."
"Belum ada yang deket sama kamu, Le? Kamubkan kerjanya di lingkungan TV. Pasti banyak dong mbak-mbak cantik di sana. Penyiar berita biasanya cantik-cantih tho. Nggak ada yang nyangkut po piye?" tanya Yangti. Om Barra menggeleng.
"Kamu juga, Bi. Hidup kamu juga harus berlanjut. Cepet cari pendamping. Bapak sama Ibu merestui kamu untuk segera menikah lagi," ucap Yangti.
"Om-om duren gue tersayang, kalian punya ponakan cewek dua, lho. Sebenernya sih tiga. Tapi, Ghaiya masih piyik. Dan setau gue, nggak masalah kalo kalian nikah sama keponakan cewek. Kan nggak ada hubungan darah." Mas Deka buka suara. Menunjuk ke arahku dan Nadira dengan dagunya.
Apa dia bilang?Mamaaaa, Nadia mau pulang duluan ajaaaaaa. Mas Deka kamprett!!!
"Uhuuuuk." Om Abi yang terkejut mendengar ucapan Mas Deka, tiba-tiba batuk karena tersedak.
"Minum dulu, Om." Kusodorkan gelas berisi air putih ke tangannya.
"Makasih, Tih." Diminumnya air yang ada di gelas itu sampai benar-benar habis.
"Lo pasti keselek denger kata-kata gue, kan?" Mas Deka mengerling jahil ke arah Om Abi. "Gue bener, lho. Di agama nggak dilarang."
"Mas Dekaaaaa!" ucapku dengan raut malu. Makananku sudah tidak menarik lagi. Mendadak aku merasa kenyang.
"Daripada bingung nyari. Ada dua gadis di depan mata, kenapa nggak?" Mas Deka tertawa puas. "Tinggal dirembukkin aja gimana enaknya. Om Barra sama Nadia... Om Abi sama Nadira. Atau, Om Barra sama Nadira, terus Om Abi sama Nadia."
Dirembukkin? Dikira rapat 17 Agustusan?
"Mas Dekaaaa!" teriakku.
Semua belum berakhir. Bujang lapuk itu masih saja melancarkan aksinya mempermalukanku dan Nadira.
"Om Barra sama Nadira aja. Cocok. Nadira kan deket banget tuh sama Zay, partner in crime banget kalo masalah ngosongin dompet untuk jajan. Nadira juga butuh sosok yang bisa ngemong. Nah, nanti Om Barra bakalan dapet istri, sekaligus Mama plus temen jajan buat Zayyan. Bakalan punya dua anak buat diasuh. Zayyan sama Nadira. Ahahahahha."
Heran! Kenapa para orangtua nggak comment, sih? Mereka malah sibuk senyam-senyum. Lakban mana lakbannnnnn.
"Gue mah oke aja kalo dudanya kayak Om Barra. Seenggaknya, Om Barra nggak kayak bapak-bapak yang suka gue liat nongkrong di pos ronda. Pake sarung, terus perutnya buncit. Nggak akan lucu kalo nanti gue hamil adeknya Zay, balapan buncit sama Om Barra." Kejutan. Nadira mengejutkan semua orang yang ada di ruang tengah. Om Barra juga tak kalah terkejut. Pandangannya tertuju ke arah Nadira, disertai senyuman.
Nadira? Kesambet apa kamu, Nak?
"Kalo kamu pinter ngurus suami, bisa bikin buncit suami juga, lho." Mama menimpali ucapan Nadira.
"Tapi Papa nggak buncit lho, Ma," ucap Papa.
"Tuh kan. Nadira aja nggak masalah. Udah, lo sama Om Abi." Mas Deka, perwujudan dari iblis penunggu toples bawang goreng itu belum juga berhenti mengoceh.
Aku dan Om Abi yang menjadi sasaran selanjutnya hanya bisa terdiam. Om Abi terlihat menunduk salah tingkah. Sedangkan, aku bersiap akan menguliti Mas Deka dan menggantungnya di tiang bendera yamg ada di depan rumah Yangkung.
"Kalo nunggu Ghaiya gede, lo keburu tua, Om. Nggak lucu kan Ghaiya nanti lagi hang out sama temennya di coffee shop, eh lo lagi duduk di kursi goyang sambil kerikkan pake balsem." Semua orang, bahkan Yangkung dan Yangti tertawa kencang mendengar ucapan Mas Deka. "Lo mau kan sama Nadia, Om?"
"Gue nggak akan nolak."
Eh? Dia ngomong apa barusan? Salah denger, kan?
Ucapannya sukses membuat pipiku menghangat. Terlebih, setelah mengatakan itu pandangannya mengarah padaku. Membuatku salah tingkah.
"Duh, siap-siap deh gue ganti panggilan buat Om-om duda kesayangan, nggak akan kalah heboh sama judul FTV "Om Dudaku Adik Sepupuku"."
"Abi sama Barra berarti ganti juga dong ya panggilan ke Mama, Papa, Yangkung sama Yangti." Mama tersenyum jahil.ke arahku dan Nadia.
Ma, Nadia mau pulaaaaaaaang. Nadia maluuuuuuuu.
-to be continued-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top