-6-
Nadira kini resmi menjadi tangan kananku dan mengambil tanggung jawab untuk mengolah Lenggah. Aku meminta pertimbangan 3 partner bisnisku. Untungnya, baik Yura, Seno maupun Rangga tidak merasa keberatan sama sekali dengan keputusanku ini. Tapi, dengan catatan. Semua langkah dan keputusan yang diambilnya, harus didiskusikan dahulu denganku. Nadira hanya menjadi perpanjangan tanganku. Selama sibuk mengajar, aku hanya bisa menyempatkan waktu untuk mengunjungi Lenggah di akhir pekan. Aku terus mengingatkan Nadira untuk selalu menjaga hubungan baik dengan pekerja yang ada di Lenggah. Aku juga sempat menceritakan tentang Opa Joni dan Oma Marni kepada Nadia. Aku memintanya memberikan pelayanan terbaik untuk pasangan itu.
Aku sangat bangga dengan apa yang dilakukan Nadira selama kurang lebih 2 bulan mengemban tugas besar ini. Pembukuan tersusun rapih. Padahal dia bukan dari jurusan akuntansi ataupun manajemen, tapi kuakui memang dia sangat teliti jika itu bicara tentang pembukuan. Tak ada satupun yang terlewat. Pendapatan perhari juga meningkat pesat. Harus kuakui, strategi pemasaran yang dilakukannya membuahkan hasil yang sangat bagus. Semua cara dilakukan Nadira untuk meningkatkan angka penjualan. Nadira memegang kendali atas akun media sosial Lenggah semua cabang. Semua informasi, promosi dan event diberitakan di sana. Nadira mengelolanya dengan sangat baik. Rupanya, adik kecilku sudah tumbuh dewasa. Aku hanya mengarahkan apa yang harus dilakukannya secara garis besar, namun dia sangat bijaksana dalam mengambil setiap tindakan.
Selalu ada cerita setiap harinya. Nadira tak pernah lelah melaporkan setiap kejadian yang dia alami di sepanjang harinya selama berada di Lenggah. Nadira juga pernah bercerita ketika suatu sore dia melihat Opa Joni tengah membetulkan bros yang ada di jilbab Oma Marni.
"Tau nggak, Kak. Mereka itu the cutest couple ever, after Yangkung sama Yangti. Gue baper masa liat keromantisan mereka," ucapnya.
"I told you, Dir. Mereka tuh ada aja kelakuannya yang uwuw uwuw. Kan kan kan kan. Gemes gemes gimanaaa gitu," jawabku.
"Semoga mereka berdua sehat selalu ya, Kak."
"Aamiin, Dir."
🌼🌼🌼
"Class, jangan lupa ya tugas kelompok naskah dramanya disubmit next week. Cari banyak referensinya. Dramanya yang ada di medieval era, ya. Jangan lupa juga untuk menyertakan dialog asli dari drama yang kalian pilih, kalau memungkinkan. Kalau nggak, ya udah nggak apa-apa. Tapi, jangan menyimpang dari alur ceritanya ya. Kelas hari ini selesai, ya. Selamat siang dan selamat istirahat untuk kalian semua. See you next week," ucapku sebelum benar-benar menutup kelas siang ini.
Setelah mengakhiri kelas, ku putuskan untuk segera kembali ke ruangan dosen. Dan berniat untuk pulang cepat. Karena memang sudah tidak ada jadwal mengajar. Tiga minggu sudah aku mengajar di kampus. Awalnya, memang terasa berat. Tapi, perlahan semua terasa mudah, karena rekan-rekan dosen di sini sangat membantu. Waktu 2 bulan rasanya belum cukup untukku mengakrabkan diri dengan dosen-dosen yang ada di ruang dosen. Bahkan, beberapa adalah dosen-dosen yang pernah mengajarku saat S1 dulu. Enaknya, aku bisa dan punya lebih banyak waktu untuk berguru dengan mereka karena sudah sangat mengenal mereka sebelumnya.
Aku bukanlah satu-satunya yang termuda di sini. Masih ada beberapa orang yang mungkin usianya sebaya denganku. Satu hal yang bagus. Karena kami bisa berbicara dengan leluasa satu dengan yang lainnya tanpa ada rasa sungkan.
Ketika sampai di depan ruang dosen, kubuka pintu dengan perlahan. Memastikan agar orang-orang yang ada di dalam tidak terganggu dan tetap merasa nyaman. Aku berjalan menuju tempat dudukku yang ada di sudut kanan, sebelah dispenser. Betapa bahagianya aku yang notabenenya "doyan minum". Aku tak perlu repot-repot jika haus.
Jangan berekspektasi terlalu tinggi. Kami para dosen, tidak-bukan menempati ruangan pribadi. Ruangan pribadi hanya diperuntukkan bagi para petinggi program studi, misal Kepala Program Studi dan Wakil Kepala Program Studi. Ruang dosen berisi beberapa deret meja panjang yang disusun membentuk huruf U dengan space sekitar 5 meter di bagian depan. Bagian itu diisi dengan satu set sofa kulit berwarna cokelat tua. Di sinilah para dosen bisa bertemu dengan tamu-tamu yang mempunyai kepentingan dengan mereka.
Kurapihkan mejaku. Kulirik sebelahku. Kosong. Kemana perginya dia? Dia yang kumaksud adalah, Maysha. Maysha adalah teman yang duduk di sebelahku. Maysha mengajar di prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. Tata cara penempatan tempat duduk di sini memang tidak dipisah menurut prodi yang diajar. Semua dosen berbaur menjadi satu walaupun mengajar di prodi yang berbeda.
"Gila. Panas banget di luar." Maysha yang terlihat sedikit ngos-ngosan duduk di sampingku. Kulihat dia membawa tentengan plastik berwarna putih.
"Lo darimana emang?" tanyaku.
"Laki gue ribet banget. Gue disuruh ke gedung depan. Gue kan nitip charger. Lupa nggak kebawa. Eh, dia nggak mau nganterin ke sini. Malah gue yang disuruh ke sana." Maysha membuka pouch makeupnya dan mulai touch-up, membenarkan polesan bedak dan sapuan lipstiknya. Kebetulan, suami Maysha juga dosen di kampus ini. Suaminya mengajar di gedung depan. Gedung dimana para pemikir berkumpul, fakultas MIPA.
"Tapi, gue sih yakin itu bukan cuma charger lo doang," ucapku menunjuk plastik putih yang kini ditaruh di atas meja.
Maysha mengambil plastik itu dan menunjukkan isinya padaku. "Dia bawain charger sama makan siang titipan dari Ibu mertua."
"Yaudah, lo makan deh. Gue mau balik." Aku kembali memeriksa barang yang ada di tasku. Takut kalau-kalau ada yang tertinggal.
"Lho, ngga makan siang dulu?" tanya Maysha. Aku menggeleng.
"Makan siangnya gue bawa balik aja. Biar dimakan sama adek gue," ucapku. Ya, semua dosen yang mengajar akan mendapat satu nasi kotak jatah makan siang.
"Jatah gue lo bawa aja. Gue udah ada makanan, nih." Maysha mengosongkan plastik putih yang dibawanya tadi, menumpuk nasi kotak milikku dan miliknya, dan memasukkannya ke plastik itu.
"Thanks, ya," ucapku. Kami memang baru 3 bulan saling mengenal, tapi kami sudah sangat akrab. Maysha satu bulan lebih dulu mengajar di sini. Dia juga baru saja merampungkan studi S2nya. Mungkin, karena usia kami yang sebaya, kami bisa akrab dengan cepat. Tak hanya dengan Masyha. Tapi juga dengan Erfan dan Sofi.
"Yah, padahal gue, Sofi sama Erfan mau ngajakkin lo nongkrong pulang ngajar sore ini." Maysha mendengkus kesal.
"Mau nongkrong? Ke cafe gue aja. Nanti gue shareloc alamatnya. Gue yang traktir.
Sebelum pulang, kumasukkan semua buku-buku bahan ajar yang ada di meja ke dalam laci. Sudah menjadi kebiasaanku selama 3 bulan ini. Selalu membiarkan mejaku rapih sebelum pulang. Shht, ini hanya pencitraan. Hehehe
"Lo ngerasa naroh ini di laci gue nggak, May?" tanyaku pada Masya. Kutunjukkan sebuah kotak berwarna biru tua ke arahnya. Maysha menggeleng. "Seriusan? "
"Gue aja baru liat tuh kotak. Lo ngerasa punya barang kayak gitu nggak di laci lo?" Maysha mengambil alih kotak biru tua itu dari tanganku. "Penasaran mau buka nggak? "
"Penasaran sih. Kalo ada di laci gue berati udah nggak masalah dong semisal gue buka?" tanyaku. Maysha mengangguk.
"Buka yuk!" ajak Maysha.
Kubuka kotak berwarna biru tua itu dengan hati deg-degan. Sebuah pena merk Parker berwarna rose gold dengan namaku yang terukir di bodynya, "Kamaratih". Kulihat ada secarik kertas berwarna kuning. Kuambil kertas itu, kemudian kubaca tulisan yang ada di sana.
"Semoga kamu suka. It's so good to see you again. -K.A-"
Deg. Aku kenal tulisan ini. Aku sudah lama tak melihat tulisan ini. Saat itu, dimana sebuah bouquet bunga dikirimkan untukku ketika aku keluar dari pintu sidang skripsi. Waktu itu, seorang adik tingkat yang tak kukenal namanya memberikan bouquet itu padaku.
"Kak, ada titipan ini untuk Kakak." Dia menyerahkan bouquet bunga mawar biru, bunga kesukaanku.
"Dari siapa?" tanyaku. Dia hanya menggeleng.
"Aku nggak tau dari siapa, Kak. Soalnya tadi kurirnya yang minta tolong untuk kasih ke Kakak."
"Yaudah, makasih banyak ya." ucapku.
Ada sebuah amplop kecil berwarna putih yang terselip di antara rangkaian bunga mawar biru. Kubuka amplop itu dan kubaca isinya.
"Selamat atas kelulusanmu. Maafkan aku karena telah menjadi seorang pecundang. Mengagumimu dalam diamku. Semoga kamu selalu bahagia. Egoiskah jika aku berharap suatu hari nanti aku yang menjadi alasanmu untuk bahagia? -K.A-"
Sudah lama. Sudah lama sejak saat pertama kubaca tulisan itu. Bahkan, amplop itu masih kusimpan dengan rapih di laci nakas yang ada di kamar tidurku. Tak kusangka, hari ini aku bisa melihat tulisan itu lagi. Jujur, selama lebih dari 2 tahun ini aku selalu memikirkan identitas si pengirim. Kepergianku yang terkesan terlalu buru-buru setelah lulus, membuatku belum sempat mencari tahu siapa dia. Dan, sekarang dia muncul lagi. Mungkinkah dia orang yang mengenalku dengan baik?
"Dari siapa??" tanya Maysha dengan nada yang bisa kudengar penuh dengan rasa penasaran. Aku mengendikkan bahuku.
"Nggak tau. Nggak ada nama sendernya. Cuma ada inisial namanya." Kumasukkan kembali kertas itu ke dalam kotaknya, kemudian kumasukkan kotak itu ke dalam tasku. "Gue balik. Nanti ke sana aja. Gue tunggu ya."
Aku beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar meninggalkan ruang dosen, aku berpapasan dengan Om Abi. Sepertinya dia baru saja kembali dari mesjid kampus sehabis menunaikan sholat Dzuhur, rambutnya masih basah bekas air wudhu. Kusapa dia untuk berbasa-basi.
"Duluan, Pak Abi." Kuanggukkan kepalaku untuk menyapanya. Tidak ada satu orangpun di sini yang tahu jenis hubunganku dengannya. Apa kata mereka kalau aku sampai memanggilnya "Om"??
"Sudah nggak ada jam ngajar, Miss?" tanyanya.
"Iya, Pak. Udah selesai semua. Saya duluan, ya," ucapku menyudahi percakapan kami. Diapun mengangguk.
🌼🌼🌼
Aku dan Nadira sampai di rumah tepat jam 9 malam. Kami menitipkan Lenggah kepada Anom, salah satu karyawan terlama di Lenggah. Nadira mengeluh sakit pada punggungnya. Biasanya, Nadira akan sampai di rumah pukul 11 malam, dengan diantar salah satu karyawan Lenggah yang kebetulan arah rumahnya searah. Sepertinya, Nadira sedang sangat butuh istirahat. Adikku itu memang pribadi yang sangat aktif, nggak bisa diam. Ada saja yang bisa dikerjakan. Bulan depan, Nadira akan diwisuda. Dan setelahnya, dia akan resmi menjadi pengangguran. Nadira menolak untuk mencari pekerjaan. Sudah sangat merasa nyaman bekerja di Lenggah,katanya. Kebetulan, Papa dan Mama juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Ketiga partner bisniskupun tak merasa bermasalah dengan adanya Nadira, bahkan mereka bilang Lenggah maju pesat berkat Nadira.
"Dir, mandi sana. Abis mandi ke kamar gue ya!" Aku menyuruh Nadira yang sedang rebahan di kasurnya. Nadira hanya menoleh dengan lemas mendengar ucapanku, tapi dia segera beranjak masuk ke kamar mandi. Adik yang penurut.
Akupun beranjak masuk ke kamarku dan segera membersihkan diri. Setelah selesai mandi, kubuka laci nakas yang ada di sebelah tempat tidurku. Kucoba untuk mencari amplop itu. Kuambil kotak biru tua yang ada di tas. Kukeluarkan secarik kertas yang ada di dalamnya. Hanya ingin memastikan. Kujejer kedua kertas itu. Kupandangi satu per satu. Benar dugaanku. Sama.
Lamunanku pecah ketika kudengar Nadira masuk ke kamarku. Kurapihkan kertas-kertas dan kotak, kumasukkan kembali ke dalam laci. Setelahnya, kuminta dia untuk tengkurap di kasurku.
"Gue pijetin ya." Kutuang lotion di telapak tanganku, kemudian kuratakan di punggungnya. Kupijat semua bagian punggung hingga pinggangnya. Aku bukan ahli pijat. Tapi setidaknya, bisa sedikit mengurangi rasa lelah.
"Kak, sebelah sini." Nadira menunjuk bagian yang menurutnya "pegal" dengan telapak tangannya. Kuikuti arahannya. "Masha Allah, enak banget, Kak."
"Udah enakkan belom?" tanyaku. Nadira mengangguk.
"Udah. Gue kecapekan kayaknya. Tadi gue tuh sotoy banget sok-sokan bantuin ngangkat stok barang yang baru dianter," ucapnya.
"Laen kali jangan diulang ya, Dir. Gue kan nyuruh lo untuk ngawasin. Bukan angkat-angkat beban yang berat. Nggak tega gue liat lo kayak gini." Kubenarkan lagi piyama tidur yang dipakai Nadira.
"Kak, lo kayak sama siapa aja sih."
"Ya nggak gitu, Dira. Pokoknya, masalah angkat-angkat biar anak-anak cowok aja," ucapku. Nadira mengangguk menyetujui apa yang kuucapkan.
"Kak, gue fixed udah nyaman kerja di sana. Gue nggak usah nyari kerja lagi ya, Kak? Gaji yang gue dapet juga udah lebih banget dari cukup." Nadira membenarkan posisi duduknya dan menatapku.
"Kalo lo nyaman, go ahead. Kita semua juga ngerasa terbantu dengan adanya lo. Pendapatan per bulan tiap cabang naik, walopun lo stay di Dukuh. Tapi, marketing lo buat semua cabang berhasil. Banget."
"By the way, Kak. Tadi sebelom gue masuk, nggak sengaja gue liat lo lagi ngeliatin kertas kecil. Itu apaan?" tanya Nadira.
Hubunganku dan Nadira bisa dibilang sangat dekat. Hampir semua kami ceritakan. Hampir tak ada satupun rahasia di antara kami. Di antara kami bertiga, aku lebih dekat dengan Nadira. Mungkin, karena kami sama-sama perempuan. Tapi, bukan berarti kami tidak dekat dengat Mas Rama. Memang, aku tak menceritakan masalah bouquet bunga yang kudapat dua tahun yang lalu pada Nadira. Kuceritakan semua yang terjadi padanya, termasuk kotak yang kutemukan di laci mejaku siang tadi.
"Terus, lo masih penasaran, Kak?" tanya Nadira. Aku mengendikkan bahuku. "Huh?"
"Tadinya, nggak. Karena gue nggak terlalu serius nanggepinnya. Pernah sih ada niatan nyari tau. Tapi, dulu gue udah keburu berangkat. Dan, sekarang dia kirim lagi. Ya mau nggak mau gue penasaran dong," jawabku.
"Yaudah. Kita liat aja nanti gimana. Lo juga have no idea kan sama inisial nama dia?" tanya Nadira. Kuanggukkan kepalaku. Membenarkan ucapannya. Aku sama sekali tak ada bayangan siapa identitas asli si pengirim.
"Udah malem. Lo tidur di sini ya. Temenin gue." Nadira mengangguk.
"Gue juga udah mager banget mau balik ke kamar," ucap Nadira. Nadira mulai menyelimuti dirinya dengan selimutku.
Lima menit berlalu. Tak ada obrolan lagi di antara kami.
"Dir... Lo udah tidur?" ucapku. Kusenggol lengannya pelan. Nadira melenguh.
"Apaan? Gue hampir mimpi tuh."
"Nggak jadi. Yaudah, tidur lagi." Aku tidur membelakanginya.
"Gue bunuh lo, Kak. Udah ganggu mimpi gue. Ngeselin lu."
- to be continued to -
Terima kasih banyak untuk semuanya. Terima kasih karena udah nyempetin waktu untuk mampir baca.
Semoga yang baca nambah ya.
Tetep ditunggu saran dan masukkannya.
Aku terima semua kritik dan saran.
Sekali lagi, terima kasih banyak.
Aku sayang kalian banyak-banyak.
_
miss dandelion_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top