-5-
Tiga bulan sudah Nte Vina meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Nte Vina dimakamkan tepat di sebelah makam kembarannya, Nte Vani. Akhirnya, mereka berdua kembali dipersatukan lagi di alam sana. Seperti yang pernah kukatakan sebelumnya, kami kecewa. Sangat kecewa dengan semua yang sudah dilakukannya. Tak ingin membuat langkahnya berat, mengikhlaskan adalah jalan terbaik. Om Abi memegang semua ucapannya. Sampai hari ini, keluarganya tidak ada yang tahu tentang kejadian sebenarnya. Setelah kepergian Nte Vina, Om Abi selalu menyempatkan diri untuk mamoir ke rumah Yangkung. Yangkung memang selalu berpesan padanya, perceraian mereka bukanlah akhir dari silaturahmi di antara dua keluarga. Yangkung dan Yangti tetap menganggap Om Abi sebagai anak mereka.
Aku masih disibukkan dengan urusan di Lenggah. Yura belum bisa kembali bergabung untuk mengurus Lenggah, karena bayinya masih terlalu kecil. Dua bulan yang lalu, Yura melahirkan seorang bayi perempuan. Azzura, nama yang cantik. Jadilah di sini, aku yang memegang kendali san tanggung jawab cabang Dukuh. Aku memohon pada Seno untuk menempatkanku di sini, karena dekat dengan rumah.
Aku masih menjadi setengah-pengangguran. Karena memang aku belum memasukkan satupun lamaran pekerjaan. Aku masih nyaman di zona ini. Sangat nyaman, mungkin. Toh, aku berpikir mengurus Lenggah bukankah hal yang buruk. Ini menghasilkan uang. Banyak!
Lenggah menjadi tempat favorit kedua untukku setelah rumah. Tentu. Di sini, aku banyak bertemu dengan orang baru. Beberapa bulan mengurus Lenggah cabang Dukuh, membuatku punya banyak teman baru, termasuk para pelanggan. Seperti saat ini, ada sepasang lansia yang sedang menikmati sore dengan ditemani dua cangkir teh susu dan satu potong Cinnamon Banana Rollcake, yang menurut Yura sudah menjadi primadona Lenggah selama dua tahun ini. Kue ini adalah ciptaanku. Berawal dari keisenganku di dapur. Terlalu bosan dengan cake yang itu-itu saja, terciptalah ini. Awalnya, belum terlalu banyak peminat. Lama kelamaan, belasan loyang laku dalam sehari.
Ah, pasangan lansia itu. Opa Joni dan Oma Marni. Menurut penuturan Opa Joni, mereka sudah menikah selama 53 tahun. Tapi, Oma Marni meralatnya. "Bukan 53 tahun. Tapi, 52 tahun."
Astaga, melihat tingkah lucu pasangan luar biasa ini sukses membuatku berangan-angan. Bermimpi kelak akan mempunyai pasangan yang senantiasa menemani hingga usia tua, bahkan sampai maut menjemput. Keromantisan yang sangat terjaga di antara Opa Joni dan Oma Marni seringkali membuatku tersenyum. Bagaimana tidak, Opa Joni akan sangat sabar menemani Oma Marni yang memang membutuhkan waktu agak lama saat pergi ke toilet.
Di usia mereka yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi, mereka masih merasakan apa yang disebut cemburu. Opa Jonilah yang lebih sering merasa cemburu. Pernah sesekali aku mendengar percakapan mereka berdua di suatu sore.
"Aku nggak suka kalo kamu ngobrol terlalu lama sama si Bunyamin itu." Opa Joni, saat itu menurutku sedang memasang tampang sok kesalnya.
Oma Marni mengusap punggung tangan Opa Joni yang dipenuhi keriput. "Bunyamin temenmu lho, kalo kamu lupa . Si Bunyamin juga masih punya istri, si Endang. Nggak usah cemburu. Cemburu itu cuma untuk mereka yang muda-muda. Malu lah kita. Cucu kita udah banyak."
Bisa kutebak, usia Opa Joni dan Oma Marni ada di kisaran akhir 60an dan awal 70an. Tapi, satu hal yang membuatku sangat takjub. Fisik mereka masih sangat kuat. Bahkan, mereka selalu berjalan kaki bergandengan tangan sejauh 2km ke Lenggah setiap harinya. Mereka sudah menjadi pelanggan setia Lenggah sejak setahun terakhir.
"Nadia..." Opa Joni memintaku untuk duduk bersama mereka. Saat ini cafe cukup lengang. Jadi aku bisa duduk antai dan berbincang dengan mereka. Mereka tidak kan memanggilku dan mengajak berbincang di saat cafe penuh dengan pelanggan.
Aku yang mendengar namaku dipanggil, tanpa basa-basi langsung berjalan menghampiri mereka dan duduk di bangku yang ada di sebelah Oma Marni. "Iya, Opa."
"Nadia, kamu bosan nggak nemenin kakek-nenek ini?" tanya Opa Joni.
"Bosan? Opa, justru Nadia seneeeeng banget Opa dan Oma selalu sempetin waktu untuk mampir ke sini setiap harinya. Opa dan Oma udah kaya Yangkung dan Yangtinya Nadia," jawabku dengan nada ceria.
"Syukurlah. Opa kira, Nadia bosan liat Opa sama Oma setiap hari," ucap Opa Joni. Akupun menggeleng.
"Nadia, Oma mau tanya sesuatu boleh?" tanya Oma Marni. Aku pun mengangguk mengiyakan. "Nadia sudah menikah? "
Aku menggeleng. "Belum, Oma. Nadia belum menikah."
"Nggak apa-apa. Jangan jadikan pernikahan sebagai ajang perlombaan ya. Biarkan mereka yang sudah lebih dulu menikah. Jangan dengar mulut orang ya. Tangan kita cuma dua. Nggak bisa dipakai untuk nutup mulut mereka. Jodoh manusia nggak ada yang tahu. Nanti, saat Allah SWT merasa Nadia sudah benar-benar siap, dia yang disebut pemilik tulang rusukmu akan datang di waktu yang tepat. Oma dan Opa pesan ke Nadia, nanti di saat Nadia sudah resmi jadi istri, Nadia harus dan selalu ada di samping suami Nadia kelak. Bagaimanapun keadaannya. Cinta itu bukan hanya di saat sehat, kaya dan bahagia. Tapi, cinta itu juga di saat sakit, miskin dan susah," ucap Oma Marni. Tangannya mengusap punggung tanganku dengan sangan lembut, sesekali menepuknya halus.
"Nadia pasti sering lihat Opa dan Oma berdebat karena Opa yang pencemburu. Nah, beginilah cara kami saling mencintai. Cemburu adalah bukti kami saling menyayangi. Boleh cemburu, asal jangan terlalu berlebihan." Opa Joni menyambung pembicaraan. "Kalau nanti di sepanjang pernikahan ada masalah, dihadapi. Bukan malah dihindari. Nggak ada satupun pernikahan yang alus-alus aja tanpa masalah. Bicarakan baik-baik. Pesan Opa, masalah yang ada di pernikahan kamu dan suami kamu kelak adalah milik kalian berdua. Selama kalian bisa mengatasainya, jangan sampai keluarga ikut terseret."
Aku hanya bisa mengangguk mendengarkan wejangan panjang itu. Rasanya seperti mendengarkan Yangkung dan Yangti yang senang sekali memberikan petuah. Apa yang diucapkan Opa dan Opa sama persis dengan yang diucapkan Yangkung dan Yangti.
"Surga seorang istri ada di suaminya. Keridhoan seorang suami yang akan menjauhkan istri dari laknat Allah SWT. Nadia nanti harus taat sama suami ya. Nadia mau kan dipertemukan kembali dengan suami di surga kelak?" tanya Oma Marni. Aku mengangguk dengan tegas.
"Opa dan Oma berdoa semoga kelak Allah SWT menjodohkan Nadia sengan seorang lelaki yang baik agamanya, baik rupanya, baik keturunannya dan juga baik hartanya. Sesuai dengan petunjuk Rasulullah. Jodoh itu misteri. Seperti Opa dan Oma." ucap Opa Joni. Aku mengerutkan dahi.
"Maksudnya, Opa?" tanyaku penasaran.
"Opa dan Oma bisa menikah sampai detik ini karena ketidak sengajaan. Jadi, dulu sekali Opa diminta teman untuk menggantikan dia bertemu dengan teman kencannya. Mungkin Nadia pernah dengar tentang Bunyamin. "Opa menatapku. Aku mengangguk. "Seharusnya, Bunyamin yang bertemu dengan Oma saat itu. Tapi, ternyata Bunyamin tidak bisa. Dan meminta Opa untuk menggantikan dia. Pertama kali bertemu dengan Oma, Opa sudah jatuh cinta. Saat itulah Opa langsung meminta Oma untuk menikah dengan Opa. Oppa nggak tau apa yang akan terjadi semisal Bunyamin nggak pernah minta tolong ke Opa. Mungkin, sekarang yang lagi duduk sama kamu dan Oma ya si Bunyamin itu." Opa Joni terkekeh. Aku dan Oma Marni tertawa mendengar kisah mereka.
"Opa... Oma, terima kasih untuk pelajaran yang Opa dan Oma bagi ke Nadia. Insha Allah, Nadia akan selalu ingat nasehat Opa dan Oma. Selalu doain Nadia, ya Opa... Oma. " Kugenggam telapak tangan Opa Joni dan Oma Marni bersamaan.
Aku pamit untuk pulang lebih awal hari ini. Aku merasa badanku sedikit kurang sehat. Badanku terasa pegal. Mungkin karena terlalu banyak duduk seharian ini. Aku butuh dipijat. Atau cukup dengan berendam air hangat.
Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar dan segera membersihkan tubuh. Mengisi penuh bathtub dengan air hangat adalah keputusan terindah di sore ini. Setah bathtub penuh, kubenamkan tubuhku ke dalamnya. Kubayangkan air hangat yang sedikit panas itu mulai memijat seluruh tubuh. Aku selalu membawa satu tumblr berisikan air putih setiap saat berendam di bak mandi. Karena, seringkali di tengah perjalanan berendamku, aku merasa kehausan. Bisa dibilang, aku itu seperti ikan mujaer. Doyan minum.
Selesai berendam, kukeringkan tubuh dengan handuk dan kubalur seluruh tubuhku dengan minyak kayu putih. Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan. Ini nikmat! Tubuhku benar-benar terasa sangat segar. Rasa lelah hilang seketika.
Lapar. Itu yang kurasakan. Aku bergegas keluar dari kamar dan menuju ruang makan, itu rencananya. Tapi, harus sedikit tertunda karena kulihat Mama yang sedang asyik menonton TV di ruang tengah.
"Lho, kok udah pulang?" tanya Mama bingung. Mama sempat melirik ke arah jam dinding.
"Sengaja, Ma. Minta pulang cepet. Nadia lagi capek banget," jawabku.
"Masih capek nggak, Kak? Atau mau dipanggilin Bude Tun untuk diurut? " tanya Mama. Aku menggeleng.
"Nggak usah, Ma. Tadi udah berendem. Udah seger lagi, kok. Ma, Nadia laper. Mama masak apa hari ini?" ucapku.
"Masak semur ayam, sayur sop ceker, tahu bacem sama sambel terasi buat Kakak dong." jawab Mama.
"Yaudah, Nadia makan dulu," ucapku yang kemudian diangguki Mama.
Kuisi perut ini dengan makanan terenak sejagat raya dan galaksi bimasakti, masakkan Mama. Benar kara orang, masakkan seorang Ibu memanglah yang terbaik. Dan tak akan pernah ada tandingannya. Aku pernah mengusulkan Mama untuk membuka usaha catering, tapi nampaknya Mama masih belum tertarik untuk berkecimpung di bidang ini. Padahal, masakkan Mama tak kalah enak dengan masakkan prasmanan yang sering tersaji di pesta pernikahan yang digelar si ballroom hotel. Bahkan, lebih enak. Tak heran lah aku. Mama adalah lulusan sarjana jurusan perhotelan. Tapi sayang, setelah lulus kuliah, Mama langsung menikah dengan Papa.
Kunikmati suap demi suap makanan yang ada di piringku. Kerinduanku akan makanan rumah selama 2 tahun ini kontan terbayarkan. Jika diingat kembali kenangan 2 tahun ke belakang, duh sedih rasanya. Aku bahkan memohon Mama untuk membawakan aku satu toples bawang goreng aja setiap kali Mama dan Papa berkunjung. Di saat tengah asyik menikmati makananku, Mama berjalan menghampiriku.
"Kak, Om kamu nyariin tuh."
"Hah? Om? Om yang mana, Ma? " tanyaku.
"Om yang duren deh pokoknya." jawab Mama.
"Om Barra? Om Barra ngapain nyariin aku?" tanyaku.
"Bukan Barra. Barra lagi nggak di Jakarta. Dia lagi di Jogja, di rumah Mamanya. Sama Zayyan. Katanya sih mau jemput Mamanya untuk diajak tinggal di sini. Udah sepuh soalnya," ucap Mama.
"Lha.. Terus? Om mana lagi, Ma? " tanyaku penasaran.
"Duda kembang, Kak. "
"Om Abi?" tanyaku. Mama mengangguk. "Om Abi ngapain nyariin aku, Ma? "
Mama mengendikkan bahu. "Nggak tau, Kak. Kamu selesein makan dulu. Abis itu sekalian bikin minum untuk Om kamu. Terus temenin dia ngobrol. Kayaknya ada yang mau diobrolin."
"Tapi, nanti Mama temenin aku ngobrol sama Om Abi ya," pintaku pada Mama. Mamapun mengangguk.
"Itu Om kamu ada di ruang tamu lagi ngobrol sama Papa."
Setelah kubuatkan secangkir teh manis hangat dengan tingkat kemanisan-sedang, kutaruh cangkir itu di nampan. Saat menginjakkan kaki di ruang tamu, kulihat Papa yang masih memakai baju koko putih dan peci hitam ikut duduk di sebelah Mama.
Kuletakkan cangkir itu di depan Om Abi. "Diminum tehnya, Om."
"Terima kasih, Ratih," balasnya. Aku mengangguk dan mengambil duduk di bagian sofa yang kosong sebelah Papa.
"Papa dari mesjid?" tanyaku. Papa mengangguk.
"Iya, tadi Papa ke mesjid untuk berjamaah. Eh ketemu Om kamu lagi jamaah juga. Yaudah pulangnya bareng deh."
"Oh iya, kata Mama ada yang mau diobrolin, Om. Ada apa ya, Om? " tanyaku.
"Jadi begini. Waktu itu saya pernah bilang ke kamu tentang info lowongan dosen di kampus. Kebetulan, saat ini ada satu posisi kosong untuk dosen di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Kamu bisa kan untuk mengisi kekosongan itu? Saya mengajukan kamu ke pihak kampus. Dan karena kamu juga alumni, pihak kampus setuju dengan saran saya. "
Ku tatap Papa dan Mama bergantian. "Ngajar mata kuliah apa ya, Om?"
"Untuk semester ini, mata kuliah yang butuh dosen itu ada beberapa. Literature, Drama dan Grammar 3. Kamu sanggup kan untuk megang 3 mata kuliah itu?" tanyanya. Tatapan matanya mencoba untuk meyakinkanku.
"Insha Allah, aku bisa Om. Kapan aku harus ngadep ke kampus?" ucapku.
"Besok. Dan setelah menghadap pihak kampus, kamu bisa langsung mulai ngajar. Kamu siap? "tanyanya.
"Belum siap banget sih, Om. Aku kan belum pernah ngajar. Udah lama juga nggak belajar. Nanti harus pelajari materi bahan ajarnya dulu. Boleh minta waktu untuk persiapan nggak, Om?"
"Bisa. Pasti dibolehin. Sementara saya yang akan handle 3 mata kuliah itu dulu sampe kamu bener-bener siap. Saya yakin kamu pasti bisa. Saya tau kemampuan kamu, makanya saya mengusulkan kamu ke pihak kampus," ucapnya.
"Makasih banyak untuk infonya, Om. Besok kita ketemu di kampus ya." Dia mengangguk.
"Tapi, Nadia bingung Pa... Ma." Aku kembali menatap mata Papa dan Mama. Berusaha menransfer keraguanku pada mereka.
"Lho, bingung kenapa?" tanya Papa.
"Nanti, kalo Nadia ngajar... Lenggah gimana Pa?" tanyaku.
"Kak, punya adek nganggur mbok yo diberdayakan. Biar Nadira juga ada kesibukkan. Nadira kan tinggal nunggu sidangnya aja," ucap Mama. Diangguki Papa.
"Emang Dira bakalan mau Ma?" tanyaku lagi.
"Tinggal kamu iming-imingi tambahan uang jajan dan makan gratis, gampang. Nadira itu gampang dirayu, Kak," jawab Mama. Aku terkekeh.
"Ya, itung-itung Nadira belajar berwirausaha, Kak." Papa menepuk pundakku pelan.
"Nanti coba Nadia ngobrol dulu sama Dira. Semoga aja dia mau mempertimbangkan."
Jujur, aku merasa aneh tiap kali mendengar Papa dan Mama memanggilnya dengan sebutan "Om kamu". Padahal kenyataannya, dia hanya sempat menjadi Omku selama 2 hari. Apakah sampai detik ini dia masih menjadi Omku?
- to be continued -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top