-3-
Kalian ngga bosen kan kalo aku minta vote dan commentnya?Kasih aku masukkan dan pendapat kalian dong. Kalo ada typo, mohon dimaafin ya.
Inilah yang aku rindukan dari Jakarta. Kemacetannya. Hawa panasnya. Semuanya. Sore ini, aku tiba di Lenggah. Aku datang tanpa memberitahukan Yura dan Seno. Aku ingin memberikan kejutan untuk mereka. Kuambil sebuah goodie bag berisikan oleh-oleh yang sudah kusiapkan untuk mereka. Kejutanku batal, malah aku yang dibuat terkejut. Baru saja kubuka pintu masuk, aku sudah disambut dengan pemandangan yang jujur saja sangat tidak kuharapkan. Aku melihatnya dengan perempuan itu. Perempuan yang dulu pernah menjadi sahabat kami, maksudnya sahabatku.
"Ratih!" Yura dengan perut besarnya berjalan cepat menghampiriku sesaat setelah dia menyadari kehadiranku. "Kok ngga bilang mau ke sini sekarang?"
"Sengaja. Mau kasih kejutan," ucapku sambil kuserahkan goodie bag yang ada di genggamanku padanya."Nggak taunya malah gue yang dibikin terkejut."
Kemudian Yura mengamit lenganku dan berjalan ke arah mereka. Aku sempat menolak. Tapi kemudian pasrah karena Yura memohon padaku.
"Apa kabar, Tih?" tanya perempuan itu sambil menyodorkan tangannya. Namanya Citra. Dua tahun ini aku berusaha untuk menghindar darinya. Hari ini, entah mungkin aku sedang sial. Aku dipertemukan kembali dengannya. Kulihat ke arah perutnya yang membesar. Mungkin hamil anak kedua.
"Baik," jawabku tanpa menyambut tangannya. Merasa tak ada yang menyambut tangannya, seketika Citra menarik kembali tangannya dan mengusap-usap perut buncitnya. Maksudnya apa, ya?
"Lama nggak jumpa, Tih," ucap Rangga. Laki-laki yang menjadi salah satu dari berbagai alasanku melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman datar. Masih terasa bagaimana sakitnya hati ini saat itu.
Saat itu...
"Cit, kayaknya lo gendutan deh sekarang," ucap Yura. Kami bertiga sedang makan siang di kantin kampus. Kuakui memang ada yang berubah pada tubuh Citra. Citra yang pada dasarnya bertubuh mungil, akan sangat mudah terlihat apabila berat badannya bertambah.
"Ng-nggak, kok. Perasaan lo aja. Gue emang lagi nafsu banget makannya." Citra kembali menyuap sesendok oenuh batagor ke mulutnya.
"Nggak. Ini ngga cuman perasaan gue doang. Perut lo tuh buncit. Kayak orang hamil," ucap Yura menunjuk perut Cutra yang duduk di sampingnya.
"Lo sakit, Cit? Udah ke dokter? " tanyaku. Citra menggeleng.
"Gue nggak sakit. Emang lagi doyan makan aja," jawab Citra.
Tanpa kusangka, Yura menyentuh perut Citra.
"Cit, lo ngga lagi hamil kan??" tanya Yura. Aku terkejut mendengar Yura berkata seperti itu.
"Ng-nggak lah. Mana mungkin gue hamil. Sembarangan." Citra menampik tangan Yura yang ada di perutnya.
"Perut lo tuh keras. Kayak orang hamil. Persis banget kayak pas gue megang perut kakak ipar gue yang lagi hamil 4 bulan. Gue kan jadi ngerasa de javu pas megang perut lo," ucap Yura.
"Udah ah. Gue udah nggak napsu makan." Citra bangkit dari duduknya dan pergi entah kemana.
Aku dan Yura yang kebingungan melihat tingkah Cita kembali melanjutkan makan siang kami. Walaupun sesekali kami masih memperbincangkan prasangka kami tentang keadaan Citra.
Selesai makan siang, kami memutuskan untuk kembali ke kelas. Hari ini, kami ke kampus hanya untuk menyelesaikan semua administrasi pengerjaan skripsi. Kami sudah ada di penghujung semester tujuh. Kelas memang sudah sepi, karena jam kuliah sudah selesai. Tapi memang dasar kami, tak ingin melewati nikmatnya fasilitas yang diberikan kampus. Aku, Yura dan beberapa teman yang lain memang suka menghabiskan waktu setelah kuliah hanya untuk sekedar duduk-duduk di kelas kosong sambil menikmati sejuknya hembusan AC.
Aku dan Yura menghentikan langkah sebelum masuk ke dalam kelas. Kami mendengar sayup-sayup dua orang sedang berbincang di dalam kelas. Aku mengenal suara mereka. Suara itu milik Rangga dan Citra. Yura menahan bahuku.
"Tahan dulu, kita denger dulu apa yang mereka obrolin," bisik Yura pelan.
Bisa kulihat dari celah pintu yang terbuka hanya sedikit, Rangga sedang terduduk dengan kedua telapak tangan yang mengusap wajahnya kasar. Sedangkan, Citra hanya bisa berdiri dan menangis terisak.
"Rangga, perutku semakin lama semakin besar. Kandunganku udah mau 5 bulan. Mau sampe kapan kita kayak begini? Yura udah mulai curiga. Tadi di kantin, dia megang perutku. Katanya, persis sama kayak perut kakak iparnya yang juga lagi hamil. Kita harus gimana?"
Tubuhku kaku. Dadaku terasa sesak. Yura mengeratkan tangannya di bahuku.
"Gue harus ngomong gimana ke Ratih?" ucap Rangga.
"Kita ngomong ke Ratih sama-sama," jawab Citra.
Kusiapkan diri untuk menghadapi mereka berdua. Kubuka perlahan pintu kelas. Mereka berdua menoleh ke arahku dengan raut wajah sangat terkejut.
"Kalian berdua ngga perlu susah-susah ngomong ke gue. Gue udah denger semuanya," ucapku.
"Tih, aku bisa jelasin semuanya ke kamu. Ini semua karena salah paham." Rangga berusaha untuk meraih pergelangan tanganku. Aku menghindar.
"Cukup. Sekarang semuanya jadi urusan kalian berdua." Aku memandang Citra yang semakin terisak. "Hubungan apapun itu di antara kita bertiga selesai hari ini."
Sepertinya Citra sadar kalau keberadaannya membuatku merasa tidak nyaman. Dia segera membereskan barangnya dan memasukkan semuanya ke dalam tas.
"Gue pamit pulang, ya. Kasian Arka kelamaan ditinggal." Citra bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan suaminya, Rangga.
"Nggak bareng Rangga aja, Cit?" tanya Seno. Citra menggeleng.
"Barusan gue udah pesen GoCar. Sebentar lagi dateng. Gue tunggu di depan aja," ucap Citra sembari menyelempangkan tasnya di bahu.
"Yaudah kalo gitu. Lo ati-ati di jalan ya," ucap Yura.
Hanya ada kami berempat di ruangan ini. Lenggah cabang Dukuh memang sedang tutup rupanya. Yura, Seno dan Rangga memang sedang berkumpul di cabang Dukuh untuk membuat laporan keuangan bulanan semua cabang. Suasana makin terasa kaku ketika Yura dan Seno meninggalkanku berdua hanya dengan Rangga. Yura merengek meminta Seno mengantarnya membeli nasi bebek Madura yang ada di ujung jalan.
Aku yang merasa kurang nyaman, memutuskan untuk sibuk dengan ponselku. Tadi pagi, aku sudah kembali menginstall Instagram di ponselku. Aku mulai menyibukkan diri sengan berselancar di Instagram selama Yura dan Seno tidak ada. Sampai sebuah deheman kecil mengusik kegiatanku.
"Ehem." Rangga mencoba untuk menarik perhatianku. Aku hanya menengoknya sebentar.
"Tih, ada yang pengen aku omongin sama kamu," ucapnya.
"Ngomong aja." Aku masih menyibukkan jempol di atas layar ponselku.
"Aku masih cinta sama kamu. Bahkan sampe detik ini," ujarnya.
Aku yang terkejut mendengar ucapannya, seketika menghentikan kegiatanku. Tak habis pikir dengan apa yang sebenarnya dipikirkan laki-laki ini. Bisa-bisanya dia membahas masalah cinta.
"Gue nggak salah denger?" tanyaku. Rangga menggeleng.
"Aku serius."
"Cinta lo bilang? Ngga usah bahas-bahas masalah cinta. Gue enek dengernya. Apalagi, keluar dari mulut lo," ucapku.
"Kamu udah ngga punya perasaan apa-apa sama aku, Tih?" tanya Rangga.
"Semuanya lenyap. Dan satu, hubungan kita pure sebatas rekan bisnis semata. Sebenernya, gue udah lama pengen mundur dari usaha ini. Karena Yura dan Seno yang nahan, makanya gue masih bertahan. Gue ngga akan ngomong sama lo kalo bukan masalah bisnis. Jangan pernah bahas cinta sama gue. Kalo lu cinta sama gue, lo nggak akan bikin mantan sahabat gue itu bunting. Dan please, istri lo lagi hamil lagi. Lo bilang masih cinta sama gue sampe detik ini, tapi ternyata istri lo hamil lagi. Konyol," ucapku panjang lebar. Dia hanya menatapku dalam diam.
"Nggak pernah sedetikpun aku ngelupain kamu. Bahkan, muka kamu yang selalu ada di pikiran aku setiap kali aku berhubungan sama Citra. Selalu kamu, Tih."
Benar-benar sinting. Dimana otaknya sampai dia berani mengatakan hal menjijikkan seperti itu?
"Astaga. Sekali lagi gue kasih tau ke lo. Hubungan kita sebenarnya udah selesai saat lo pertama kali buka resleting celana lo untuk nyetubuhin dia. Bodohnya gue yang nggak nyadar kalo lagi dibegoin sama kalian berdua. Dan, nggak tau gue harus ngomong apa. Segitu desperatenya kah lo sampe jadiin gue bahan fantasi buat lo having sex sama bini lo? Gila. Jangan pernah ngomong sama gue kalo bukan masalah bisnis." Aku beranjak untuk pindah duduk di bangku lain yang letaknya agak jauh dari tempat sebelumnya. Dia masih duduk diam di tempatnya.
Tak lama, Seno dan Yura pun datang. Aku bisa bernapas lega. Melihat kekakuan di antara aku dan Rangga, mereka berdua hanya diam tanpa suara.
"Gue langsung ke Jati, ya. Nanti kontak gue aja kalo ada apa-apa. Pembukuan Asem juga udah gue taroh di sana." Rangga menunjuk ke arah meja kasir dan akhirnya berpamitan pada kami bertiga.
"Lo nggak makan dulu, Ngga?" tanya Seno yang hanya ditanggapi dengan lambaian tangannya saat dia berjalan ke pintu keluar.
"Kalian berdua ngga berantem kan selama kita berdua ngga ada?" tanya Yura.
"Nggak usah dibahas lagi. Pokoknya gue minta banget ke kalian, jangan pernah buat gue sama dia ada di keadaan kaya tadi lagi, ya. Dan, kalo bukan masalah bisnis, gue nggak mau ada obrolan apapun sama dia," pintaku pada Yura dan Seno. Sengaja tak kuceritakan pada mereka berdua apa yang sudah terjadi di antara aku dan Rangga. Toh, bukan sesuatu yang pantas juga untuk diceritakan.
"Iya, sorry banget ya buat yang tadi. Tadi bener-bener mendesak. Bayinya pengen bapaknya yang nemenin beli nasi bebek." Yura sibuk mengaduk nasi bebek yang ada di bungkusan kertas nasi di depannya.
"Semalem katanya lo mau cerita. Cerita apaan?" Seno menyodorkan bungkusan nasi bebek ke arahku. "Sambil makan kita cerita-cerita. Biar asik."
"Ah, iya. Jadi, ternyata yang bakalan jadi calon Om gue itu Pak Abi. Dosen kita waktu kuliah dulu," ucapku. Kebetulan kami bertiga ada di jurusan yang sama. Berbeda dengan Rangga, dia di jurusan ekonomi.
"Maksud lo calon suaminya Nte Vina itu Pak Abi?" tanya Yura. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
"Kok bisa?" tanya Seno. Aku mengendikkan bahu.
"Takdir Tuhan." Aku menyuap nasi bebek yang terlihat sangat menggiurkan. Sedikit pedas.
"Terus, sekarang lo panggil dia Om? " tanya Yura. Aku mengangguk.
Satu bulan berlalu dengan cepat. Tak terasa, besok adalah hari pernikahan Nte Vina dan Pak Abi. Malam ini, Nte Vina meminta untuk bisa tidur bersamaku dan Nadira. Jadilah aku dan Nadira sibuk memboyong semua kebutuhan kami ke rumah Yangkung dan Yangti.
"Gimana perasaan lo, Nte? Besok udah jadi istri orang lho," tanyaku pada Nte Vina yang sekarang tidur di antara aku dan Nadira.
"Biasa aja sih. Nggak gimana-gimana."
"Langka lo," sambar Nadira.
"Nadia... Nadira, si Abi ganteng nggak menurut kalian?" tanya Nte Vina. Aku dan Nadira serentak mengangguk.
"Kenapa tiba-tiba nanya kayak begituan sih?" Aku balik bertanya.
"Ya, nggak apa-apa. Nanti, kalo gue ngga jodoh sama dia, lo boleh kok gantiin posisi gue." Nte Vina memalingkan wajahnya ke arahku.
"Gila lo. Ngomong apaan sih? Lo nggak lagi ngerencanain yang macem-macem, kan?" tanyaku memastikan. Nte Vina menggeleng.
"Jadi langsung honeymoon abis acara besok?" tanya Nadira.
"Jadi. Besok kan cuma akad nikah aja. Resepsinya sengaja diadainnya dua minggu setelah akad nikah,"jawab Nte Vina.
"Ngapain pake kebaya mahal begitu cuma buat akad nikah segala?"gerutu Nadira.
"Gue bisa denger, Nadira! "sahut Nte Vina.
"Nadira bener sih, Nte. Sayang buang segitu cuma lo abisin buat kebaya. Bisa buat yang laen padahal, "ucapku.
"Nggak apa-apa lah. Kapan lagi gue bisa beli baju semahal itu, kan? Toh matipun cuman pake kain kafan," ucap Nte Vina.
"Omongan lo aneh deh dari tadi, " sahut Nadira yang kemudian tidur membelakangi kami.
"Gue lagi dapet. Baru hari kedua," ucap Nte Vina.
"Yah, gagal bulan madu lo. Buang-buang duit aja," sambar Nadira.
"Udah... udah. Sekarang kita tidur. Biar besok kita fresh." Kurapihkan selimut yang menutupi tubuhku. "Lo juga kudu bangun sebelom subuh, Nte."
- to be continued -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top