-2-
Aku ngga kebangetan kan kalo minta vote dan commentnya? 😊
Boleh dong aku tau pendapat kalian. Terima kasih karena sudah bersedia mampir. Aku cinta kalian banyak-banyak..
"Pak Abi?" ucapku terkejut. Tak pernah sedikitpun kubayangkan kalau dia adalah bakal calon omku.
"Eh, kalian saling kenal?" tanya Nte Vina. Aku dan Pak Abi banyak mengangguk.
"Kebetulan Ratih pernah jadi mahasiswa saya di beberapa mata kuliah," ucap Pak Abi.
Aku memang lebih dikenal sebagai Ratih di lingkungan kampus. Teman-teman memang lebih mengenalku sebagai Ratih. Sedangkan, beberapa dosen ada yang memanggilku Nadia dan beberapa yang lainnya memanggilku Ratih, seperti Pak Abi. Dia memang memanggilku dengan nama Ratih sejak pertama kali dia mengajar di kelasku dulu.
"Lo bilang namanya Kalandra," ucapku pada Nte Vina.
"Nama saya memang Kalandra, selama ini lebih dikenal dengan Abi," sambar Pak Abi sebelum aku sempat mendengar jawaban dari Nte Vina. Pak Abi kemudian mendekat ke arah Yangkung Yangti untuk menyalami mereka, dan menyalami semua yang ada di sini, termasuk aku.
Jadi selama bertahun-tahun nama dia Abimanyu Kalandra. Astagaaaa.
"Nah, gue nggak sepenuhnya salah dong." Nte Vina kembali duduk di sofa tempat dimana semua dia duduk dan menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan Pak Abi untuk duduk di sebelahnya. "Duduk sini, Bi."
Jadi, rencana hari ini adalah menemani sepasang calon pengantin untuk fitting baju akad nikah. Aku sudah menggunakan segala jurus untuk menolak. Bukan Nte Vina kalau dia gagal menggeretku ikut serta dengannya. Tak mau hanya menjadi kambing congek di tengah-tengah pasangan ini, aku mengajak Nadira untuk ikut menemaniku.
"Nad," ucap Nte Vina dari bangku penumpang depan. Aku dan Nadira seketika mendongak karena merasa ada yang memanggil.
"Lo manggil siapa, Nte?" tanya Nadira yang seketika menghentikan kegiatannya membaca novel.
"Manggil Nadia. Bukan lo," jawab Nte Vina. Mendengar jawaban Nte Vina, Nadira kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
"Makanya, lo manggil tuh yang jelas. Di sini ada Nadia sama Nadira. Jangan Nad-nad aja," ucapku sedikit ketus.
"Ya Allah, sensi banget punya ponakan." Nte Vina menatapku dengan tatapan usil.
"Kenapa manggil gue?" tanyaku.
"Lo udah kasih kabar ke temen-temen lo kalo udah balik ke Indonesia belom?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Karena memang aku belum sempat mengabari teman-teman tentang kepulanganku ke Indonesia.
"Nanti aja. Gue masih mau quality time dulu sama keluarga. Nanti kalo udah ketemu mereka, pasti ribet. Bentar-bentar pada ngajakkin meet-up, gue juga masih males sebenernya ke mana-mana. Ini gara-gara lo aja reseh," jawabku sambil sesekali melihat ke layar ponsel.
"Lo juga aneh. Selama lo di sana, medsos nggak aktif. Pasti mereka kangen lah sama lo," ucap Nte Vina.
Seketika, aku bisa melihat pantulan yang ada di kaca depan. Mata kami bertemu. Mataku dan mata Pak Abi. Seakan aku merasa, dia menantikan jawabanku.
"Ya nggak apa-apa, Nte. Gue pengen hidup damai selama di negeri orang. Selama di sana, boleh lu cek deh handphone gue. Sampe detik ini pun, Instagram atau Twitter belom gue install lagi." Setelah mendengar jawabanku, Pak abi kembali fokus dengan kemudinya.
"Eh, tapi Nad. Lo kuliah di luar kemaren itu bukan karena jalan lo melarikan diri kan?" tanya Nte Vina. Dan lagi. Pak Abi kembali melirikku dari kaca depan. Aku bisa melihatnya.
"Sumpel aja mulutnya, Kak. Pake segala dibahas lagi masalah kaya gitu," bisik Nadira yang ada di sebelahku. Mendengar bisikannya, aku hanya tersenyum.
"That was one of my reasons. Nte, kayaknya kita udah sepakat deh nggak akan bahas-bahas hal sampah kayak gitu lagi. Iya nggak, sih?" Sungguh aku mulai merasa kurang nyaman dengan topik ini. Tak ingin rasanya kalau harus kembali menceritakan kejadian itu.
"Sorry. Gue nggak bermaksud. Gue cuman masih penasaran aja. Lo jangan marah ya," ucap Nte Vina. Mata Pak Abi masih sesekali melihat ke arahku. Tak ingin berpikir yang tidak-tidak, kulempar pandangan ke arah luar.
Sampailah kami di sebuah bangunan betingkat dua dengan arsitektur minimalis. Bisa kutarik kesimpulan, kalau ini bukan butik yang murah. Tempat parkirnya saja dipenuhi dengan banyak mobil pabrikan Eropa.
Benar dugaanku. Untuk sepotong kebaya akad nikah saja, dibandrol dengan harga 35 juta. Astaga. Tanteku ini memang gila. Kupikir kegilaannya hanya sebatas make-up. Ternyata, dia bisa lebih gila dari yang kuduga.
"Kak, itu nggak salah kebanyanya Nte Vina harganya segitu?" tanya Nadira yang dari tadi masih setia duduk di sebelahku.
"Gue nggak ngerti, Dir. Mungkin emang dia dikasih budget segitu sama Yangkung khusus buat kebaya," jawabku sambil berbisik ke kuping Nadira.
"Kak, gue ke toilet dulu ya," ucap Nadira. Bisa kulihat dari raut wajahnya dia tengah menahan panggilan alam yang cukup mendesak.
"Iya. Mau ditemenin nggak?" Nadira menggeleng dan buru-buru berlari ke arah toilet.
Di sela menunggu Nte Vina yang sedang mencoba kebaya akadnya di fitting room, aku merasa ada seseorang yang mendekat dan duduk di sebelahku.
"Apa kabar, Ratih?" tanya Pak Abi.
"Alhamdulillah. Kabar saya baik, Pak. Kabar Bapak gimana?" Aku yang semula menyandarkan punggungku di tembok, seketika meluruskan posisi dudukku.
"Seperti yang kamu lihat. Saya sehat," jawab Pak Abi.
"Emm, kayaknya saya harus mulai panggil Om, ya?" tanyaku bercanda. Pak Abi hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Boleh. Kamu masih suka makan nasi pake bawang goreng?" tanya Pak Abi. Pak Abi, masih dengan posisi duduk menggulung lengan kemejanya hingga siku.
"Masih dong. Om tau darimana kalo saya suka makan nasi pake bawang goreng?" Aku cukup dibuat kaget dengan pertanyaannya. Karena memang hanya orang-orang terdekat yang tahu kebiasaanku ini.
"Saya pernah lihat kamu makan." matanya menatapku. "Kamu masih seneng nyemilin es batu juga?"
Tuh kan. Darimana dia tau semua kebiasaanku?
"Oh, kalo untuk yang itu udah saya kurangin. Lama-lama ngilu juga gigi nyemilin es batu," jawabku.
"Oh, begitu." Matanya kini menatap deretan kebaya yang dipajang di depan kami.
"Sebulan lagi. Udah sampe mana persiapannya, Om?" tanyaku.
"Persiapan sudah hampir 90%. Undangan juga sudah selesai dicetak. Tinggal dibagikan aja," jawabnya.
"Sedikit lagi rampung. Ngomong-ngomong, gimana ceritanya bisa akhirnya sama Nte Vina?" tanyaku penasaran.
"Saya rasa kamu udah tau kan ceritanya dari Vina? Ini perjodohan. Antar orangtua," jawabnya.
"Saya mau tau aja versi Om," ucapku.
"Versi saya, nggak ada yang aneh. Orangtua saya hanya khawatir karena anak laki-lakinya belum juga menikah di usia 31 tahun. Mungkin orangtua saya merasa putus asa karena sampai saat itu saya belum juga bawa seseorang yang bisa diperkenalkan sebagai calon istri," jelas Pak Abi dengan kedua tangannya yang kini dilipat di dada dan kaki panjangnya yang diluruskan.
"Lho, memang sebelumnya Om ngga ada hubungan sama siapa gitu? " tanyaku. Jujur aku merasa gambling melontarkan pertanyaan ini. Aku takut pertanyaan ini membuatnya merasa kurang nyaman.
"Mungkin, bisa dibilang hampir ada hubungan dengan seseorang," jawabnya. Kudengar hembusan nafasnya yang sedikit kasar.
"Kok hampir?"
"Iya, hampir. Saya terlalu pengecut untuk bilang ke dia tentang perasaan saya. Hanya bisa jadi pengagum," jelasnya sambil tersenyum.
"Orangnya dimana, Om?" tanyaku. Sungguh maafkan mulut ini. Terlalu banyak tanya.
"Beberapa tahun yang lalu saya sempat kehilangan jejaknya. Tapi sekarang, kami dipertemukan kembali. Sayangnya, keadaan yang tidak mendukung. Kami dipertemukan kembali dengan keadaan saya yang sebentar lagi akan menikah dengan orang lain," ucap Pak Abi.
"Mungkin belum jodohnya, Om. Berdoa aja semoga dia juga bahagia, " ucapku.
"Iya, mungkin kami tidak berjodoh. Kalau masalah doa, pasti. Setiap hari sejak pertama kali saya bertemu dengan dia, namanya selalu jadi satu-satunya yang saya sebut di dalam doa." Pak Abi menunjuk ke suatu arah. "Itu Nadira sudah kembali."
"Kok lama banget ke toiletnya?" tanyaku pada Nadira.
"Gue kebanyakan makan sambelnya Yangti kayaknya, Kak. Mules banget," jawab Nadira lemah. Bisa kulihat bulir keringat sudah berkumpul di dahinya.
"Masih mules?" tanyaku.
"Udah nggak banget. Kenapa?"
"Gue bawa minyak kayu putih. Siapa tau lo butuh untuk baluran," ucapku.
"Aduh, nggak deh. Lo kan tau gue paling nggak suka sama bau-bauan kayak gitu. Bau nenek-nenek. Kayak Yangti, always every minute every second olessss teroooos Freshcare." Nadira langsung dengan tegas menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tanda dia menolak keras. Adikku itu memang sangat membenci apapun jenis minyak angin. Sangat bertolak belakang denganku.
"Mungkin nanti kita bisa mampir untuk makan malam dulu sebelum pulang. Nanti kamu bisa pesan minuman hangat," ucap Pak Abi sambil sedikit menggeser posisi duduknya.
"Dira nurut aja, Om." Dira kembali duduk di sebelahku.
Aku dan Nadira terkejut bukan main melihat desain kebaya akad nikah Nte Vina. Pantas saja harganya selangit. Kebaya itu bertabur ratusan batu Swarovski. Melihat Nte Vina yang berlenggak-lenggok bak model di depan kaca besar, aku dan Nadira hanga bisa saling sikut-menyikut.
"Nte Vina bener-bener gila," bisik Nadira. Aku hanya bisa menanggapinya dengan anggukkan. Karena memang benar apa yang diucapkannya itu.
🌼🌼🌼
Setelah semua urusan di butik selesai, kami mampir ke sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari butik untuk makan malam. Mempertimbangkan perjalanan pulang yang lumayan jauh, sepiring nasi pasti cukup untuk mengisi energi. Kami berempat memasuki sebuah restoran bernuansa Jawa yang sangat kental. Aku suka suasananya. Sempat terjadi perdebatan antara aku dan Nte Vina masalah pemilihan restoran. Dia keukeuh dengan pilihannya untuk makan malam di KFC terdekat. Hello, aku sudah sangat bosan dengan ayam tepung apalah itu. Dua tahun jauh dari rumah, membuatku cukup punya alasan untuk membenci ayam goreng tepung. Aku bosan! Beruntunglah, Nadira dan Pak Abi mendukungku.
Nuansa Jawa sangat kental terasa. Dominasi warna cokelat menghiasi dekorasi restoran ini. Baru masuk saja, sudah terdengar alunan tembang jawa yang mengalun merdu. Segala macam dekorasi interior dipasang untuk menarik perhatian para pengunjung. Sepeda onthel tua dengan topi caping yang disangkutkan di stangnya sengaja dipasang tak jauh dari pintu masuk restoran. Seperangkat alat musik gamelan jawa berjejer rapih. Restoran terlihat sangat ramai. Beruntung, kami masih bisa menemukan satu tempat kosong.
"Kalian pesan aja," ucap Pak Abi.
"Kak, gue mau itu loh yang suka dimasak Yangti," celetuk Nadira ke arahku yang memegang buku menu.
"Apaan? Gue nggak tau yang lo maksud," ucapku.
"Maksud Nadira itu Sayur Lombok, Nad." Nte Vina menunjukkan di buku menu yang dipegangnya.
Saat aku dan Nte Vina sibuk berdiskusi tentang menu yang akan kami pesan, Pak Abi mengatakan sesuatu yang membuatku kembali terkejut.
"Gudeg di sini enak banget, lho. Kamu suka banget makan gudeg kan, Ratih?" ucap Pak Abi. Seketika Nte Vina dan Nadira menoleh ke arahku.
"Eh, iya Om. Boleh deh dicoba gudegnya," jawabku.
"Berarti lo jangan lupa pesen sayur kreceknya, Kak. Lo kan paling nggak bisa kalo makan gudeg nggak pake sayur krecek," timpal Nadira. Nadira memang sangat tahu tentang kebiasaan makanku. Dia hapal benar apa makanan kesukaanku.
"Emang selama di sana lo nggak ketemu gudeg?" tanya Nte Vina.
"Nemu. Tapi beda banget. Gue pernah nyoba mesen yang kalengan. Rasanya jauh dari ekspektasi gue. Gue makan di restoran pun sama. Soalnya, nangkanya bukan nangka segar. Tapi, nangka kalengan," jelasku panjang lebar.
Meja kami sudah dipenuhi dengan berbagai macam makanan yang sudah dipesan. Gudeg Jogja, Sayur Krecek, Sayur Lombok (Olahan sayur bersantan yang terdiri dari kentang, tempe semangit dan tahu cokelat. Kentang dipotong-potong kotak kecil, biasanya lebih kecil dari ukuran dadu monopoli. Sedangkan, tempe dan tahunya dipotong dadu dengan ukuran sedikit lebih besar dari kentang), Ayam Kampung Goreng Serundeng Lengkoas, Sop Iga dan seekor Bandeng Presto Goreng.
"Makan besar." Nadira mulai menyendok nasi dan beberapa lauk ke piringnya.
"Pelan-pelan, Dir. Jangan terlalu banyak yang pedes-pedes. Tadi lo bilang kan lagi nggak enak perutnya," ucapku. Aku tak ingin melihat Nadira seperti tadi dengan keadaan penuh keringat. Walaupun terkadang dia sangat menyebalkan, naluri seorang kakak muncul di saat melihatnya dalam keadaan seperti tadi. Dan aku akan dengan mudahnya tiba-tiba berubah menjadi Ibu Peri yang senantiasa mengingatkan pada kebaikan.
"Iya, Kak Nadia," ucap Nadira.
Di sela makan malam kami, Nte Vina menanyakan apa rencanaku ke depannya. Jujur saja, aku belum merancang rencana sama sekali.
"Mau ngajar aja, Nad?" tanya Nte Vina.
"Kayaknya sih gitu, Nte. Tapi nggak tau juga. Sebelom gue berangkat kan kebetulan gue juga ada bisnis sama temen-temen. Mungkin, kalo nanti gue ngga ada passion ngajar nih, gue bakalan garap bisnis itu aja. Ngga nak selama ini gue jadi pengurus pasif. Cuma nerima hasilnya aja tiap bulan. Sungkan sama temen-temen. Apalagi sekarang udah punya tiga cabang di Jakarta," jawabku.
"Lo punya bisnis apaan, Kak? Kok gue ngga tau sih?" tanya Nadira.
"Kata siapa lo nggak tau? Kan gue pernah cerita ke lo dulu. Gue punya usaha bareng temen-temen. Bikin kedai tongkrongan kecil-kecilan. Dan alhamdulillahnya, sekarang kedai kita udah jauh lebih besar dan buka cabang di Jakarta," jelasku pada Nadira.
"Oh! Gue inget! Yang katanya lo bisnis bareng sama Mba Yura, Mas Seno sama Mas Rang--" Ucapan Nadira terhenti. Dia menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya.
"Iya, sama Rangga." Aku melanjutkan ucapan Nadira yang terputus.
"Lo siap ketemu lagi sama dia, Nad? " tanya Nte Vina.
"Siap lah. Harusnya dia yang lo tanya. Siap nggak dia ketemu gue? Masih punya muka nggak dia ketemu gue, " ucapku. Rangga, dia adalah bagian dari masa laluku. Masa lalu yang sebenarnya sudah kukubur jauh-jauh. Tapi, karena sejak awal kami sudah berkomitmen untuk membuka usaha bersama, aku harus mengedepankan profesionalisme.
"Nama cafe lo apaan, Kak?" tanya Nadira.
"Lenggah." Aku menyeruput es teh manis yang ada di depanku.
"Demi apa lo??" tanya Nadira.
"Lo liat gue boong nggak?" tanyaku balik. Nadira menggeleng.
"Asli nih. Gue kudu minta duit gue balik. Selama ini, gue kalo hang out bareng Resti, Adri ama Tania di Lenggah. Pantesan, gue sering liat mereka di sana. Gue kira emang mereka suka ngumpul aja selama lo ngga di Indonesia." Dira menyuap nasinya dengan sedikit kesal.
"Sembarangan. Lo gratis kalo perginya sama gue. Kalo nggak sama gue, ya lo tetep bayar," ucapku.
"Ratih, kalo nanti kamu ada niatan mau ngajar, saya bisa bantu cari info lowongan di kampus," ucap Pak Abi.
"Boleh, Om. Nanti kabarin aja, ya. Kontak saya boleh minta ke Nte Vina ya, Om." Aku kembali meneruskan kegiatan makan malamku. Pak Abi mengangguk mendengar jawabanku.
Sesampainya di rumah, aku segera membersihkan badan dan bersiap untuk tidur. Sebelum benar-benar tertidur, kusempatkan untuk mengabari teman-temanku di grup kami.
Aku tau dia membaca pesanku. Apapun itu, aku tak peduli. Nasib baik untuknya. Karena profesionalisme membuatku mau tak mau, tetap dan harus berhubungan dengannya atas nama pekerjaan.
- to be continued -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top