-17-

Akhirnya, seluruh rangkaian acara pesta pernikahan telah usai. Acara Ngunduh Mantu yang digelar di kediaman orangtua Mas Kala berjalan dengan sangat lancar.

Lelah memang. Karena, sehari setelah kepulangan kami dari Bangkok, kami hanya sempat untuk memanfaatkan 1 hari untuk istirahat. Jika aku boleh berkata jujur, acara Ngunduh Mantu digelar dengan sangat meriah. Waktu kutanya Mas Kala tentang alasannya, dia hanya menjelaskan bahwa orangtuanya sangat bahagia akhirnya memiliki menantu perempuan. Karena Mas Kala, anak laki-laki satu-satunya.

Ah, tentang bulan madu kami. Thailand memang menjadi pilihan terbaik. Sebenarnya, Mas Kala sempat memintaku untuk memilih antara Korea Selatan atau Jepang untuk dijadikan destinasinya. Aku menolak keduanya. Dan lebih tertarik untuk mengunjungi Thailand.

Banyak tempat yang kami kunjungi selama hampir 1 minggu di Thailand. Menghabiskan 2 hari pertama di Bangkok yang panasnya tak kalah seperti Jakarta. Selama di Bangkok, aku dan Mas Kala banyak mengunjungi objek-objek wisata yang memang direkomendasikan untuk dikunjungi. Mengunjungi beberapa situs budaya seperti Wat Pho, Wat Arun dan Grand Palace dalam sehari. Aku hampir mendapatkan tiket gratis saat berkunjung ke Grand Palace. Karena mereka pikir aku seorang warga lokal. Mungkin karena wajahku sedikit terlihat mirip dengan wajah penduduk lokal. Tapi, gagal karena Mas Kala mengajakku berbicara dengan bahasa Indonesia. Dan, kami terkejut karena petugas ticketing fasih berbahasa Indonesia.

Kami juga tak lupa untuk menghabiskan waktu di surga belanja yang hanya buka di akhir pekan saja. Bagi kalian yang mungkin pernah berkesempatan untuk mengosongkan dompet kalian di sini, pasti sudah tidak asing lagi dengan Chatuchak Weekend Market. Kami membeli banyak oleh-oleh di sini. Tentunya, dengan harga yang sangat miring.

Destinasi kedua setelah Bangkok adalah Chiang Mai. Kami terbang ke sana dengan penerbangan pertama di pagi hari. Aku sempat mengutarakan keinginanku untuk melihat langsung gajah Thailand yang ada di pusat konservasi Elephant Nature Park. Tak kuduga, Mas Kala benar-benar mewujudkan impianku. Tanpa sepengetahuanku, dia sudah mengatur perjalanan ke Chiang Mai. Bolehkah kusebut itu sebagai sisi romantisnya?

Bergeser sedikit dari Chiang Mai, kurang lebih sekitar 3-4 jam perjalanan darat, kami sampai di Chiang Rai, Thailand Utara. Kota kedua terindah setelah Bangkok, menurutku. Suhu di Chiang Rai sangat jauh berbeda dibandingkan suhu di Bangkok. Mungkin, karena daerah utara adalah daerah dataran tinggi yang dikelilingi banyak pegunungan. Suhu di Chiang Rai sangat sejuk. Kami hanya punya waktu 1 hari untuk dihabiskan di sana. Beruntung kami sampai di sana saat Wat Rong Khun (Kuil Putih) masih buka. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami langsung masuk ke dalam. Dalam waktu 1 hari, kami benar-benar harus memaksimalkan waktu yang ada. Karena keesokan harinya, kami harus kembali ke Bangkok untuk mengejar penerbangan ke Jakarta.

Bahagia. Itu yang aku rasa. Di balik sifat kaku Mas Kala, dia benar-benar sangat total mempersiapkan semuanya. Begitu banyak kejutan-kejutan kecil yang dihadiahkannya untukku.

Ah, suami!!

Sudah 3 bulan ini aku diboyong Mas Kala untuk tinggal di rumah orangtuanya. Proses renovasi rumah sudah dimulai 2 minggu yang lalu. Dan sesuai perkiraan, mungkin akan rampung dalam 1 bulan kedepan. Selama tinggal bersama di rumah orangtuanya, aku sungguh merasa sangat sungkan karena Ibu selalu menyiapkan semua keperluan kami. Aku selalu berusaha untuk membantu, tapi Ibu selalu menolak. Dengan alasan, aku sudah lelah setelah seharian bekerja. Inilah yang membuatku merasa bersalah. Sebagai seorang menantu di rumah ini, aku merasa belum total menjalankan peranku. Berulang kali aku memikirkan kembali gagasan untuk resign yang diusulkan suamiku. Ciyeee suamiku.

"Mas." Kuhampiri Mas Kala yang sedang duduk di sofa dengan laptop di pangkuannya. Mas Kala langsung menutup laptopnya dan memintaku untuk duduk di sebelahnya. Sudah jadi kesepakatan di antara kami. Tidak diperbolehkan adanya gadget saat kami sedang berdua.

"Kenapa, Tih?" tanyanya. Mas Kala meletakkan laptopnya di atas meja yang ada di depan kami.

"Kayaknya, aku mau pertimbangkan usulan resign yang pernah kamu saranin," ucapku. Mas Kala yang mendengar itu, seketika terlihat sumringah.

"Beneran nggak nih?" tanyanya yang kemudian kuanggukki. "Kenapa? Kok tiba-tiba berubah pikiran. Kan waktu itu katanya setuju resign kalo udah hamil."

"Aku ngerasa nggak enak sama Ibu. Ibu kerepotan banget, Mas. Belum lagi ngurus-ngurus keperluan tukang yang lagi kerja di rumah kamu," ucapku.

"Rumah kita, Tih. Rumah Mas ya rumah kamu juga."

"Iya. Aku kan nggak enak dong ngaku-ngakuin itu rumahku."

"Kamu apaan sih, Tih." Mas Kala menatapku. Menggenggam erat tanganku. "Terus, kamu mau ngajuin kapan?"

"Secepatnya kalo bisa. Kayaknya jadi full time housewife nggak buruk-buruk banget," ucapku.

"Apalagi kalo jadi full time mom, Tih." Mas Kala memang suka menggodaku dengan kalimat-kalimatnya yang memancing. Aku memang paham betapa besar keinginannya untuk segera memiliki anak. Bahkan, dia selalu menegaskan di usianya sudah pantas untuk mempunyai anak.

"Iya, semoga aja disegerakan ya." Kutepuk- tepuk punggung tangannya. "Mas, tapi beneran kan Ibu nggak pernah ngomongin aku?"

"Ngomongin gimana?" tanya Mas Kala bingung. Aku bingung bagaimana mengatakannya. Walaupun dia sudah menjadi suamiku, aku harus tetap berhati-hati dalam berucap. Terlebih jika mengenai kedua orangtuanya.

"Aku nggak enak, Mas. Aku takut aja Ibu ngerasa aku nggak ada gunanya jadi menantu. Nggak pernah bantu-bantuin. Pagi-pagi aja nih Mas, sarapan udah siap. Belum lagi setiap hari kita disiapin bekal nasi," ucapku.

"Tih, Ibu nggak pernah punya pikiran sampe segitunya. Ibu paham kamu tuh kalo udah pulang kerja pasti capek. Jangan mikir yang nggak-nggak, ya."

"Maafin aku ya, Mas." Kusenderkan kepalaku di bahunya.

"Iya. Nggak apa-apa." Mas Kala memainkan jari-jariku yang bertaut dengan jari-jarinya. "Mas laper, Tih. Tolong gorengin telur sama tahu tempe ya. Nanti, biar Mas tinggal bikin sambelnya."

Seperti yang pernah kukatakan, suamiku itu bukanlah tipe orang yang picky soal makanan. Jika dia merasa lapar seperti saat ini, suamiku akan pergi ke dapur untuk menggoreng tempe atau tahu dan membuat sambal bawang yang disiram minyak goreng panas bekas menggoreng tahu tempe.

"Iya, Mas. Tunggu, ya." Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju dapur. Dan ternyata, Mas Kala berjalan di belakang mengekoriku. "Lho, nggak nunggu di sini aja?"

"Mau nemenin kamu. Mas takut nanti kamu digondol Wewe." Kupukul lengannya kencang.

"Sembarangan kalo ngomong. Emangnya rela istri yang didapet susah payah digondol Wewe?"

Mas Kala yang berjalan di belakangku tertawa.

🌼🌼🌼

Renovasi rumah akhirnya selesai. Aku sudah resmi mengundurkan diri seminggu yang lalu. Rencananya, kami akan mengadakan acara syukuran pindahan rumah akhir pekan ini. Sengaja dipilih akhir pekan, karena aku dan Mas Kala sangat mengharapkan kehadiran seluruh keluarga kami.

Sebelumnya, Mas Kala sudah memperingatkanku bahwa seorang budenya akan datang.Bude Darmi namanya. Entah bagaimana pastinya silsilah keluarga mereka. Mas Kala bilang, beliau adalah kerabat jauh keluarga mereka yang dituakan. Mas Kala berpesan padaku untuk tak terlalu mengambil pusing setiap omongan yang mungkin akan keluar dari mulut budenya itu.

Acara syukuran pindahan rumah sudah selesai. Selesai acara, kami beramah tamah dengan para tamu yang masih ada di sini. Kami duduk lesehan di atas karpet di ruang tengah sambil berbincang-bincang. Sampai akhirnya, seseorang datang.

"Duh, maafin ya. Datangnya telat." Seorang wanita paruh baya dengan gamis hitam menyapu lantai dan jilbab merah di kepalanya. Dan, terdengan bunyi gemerincing dari kedua tangannya.

Itu apa nggak pegel ya tangannya. Gelangnya dipake sampe segitunya.

"Duduk sini, Mbak." Ibu mempersilahkannya untuk duduk. Wanita itu kemudian duduk di sebelah Ibu mertuaku. Mereka berdua saling menciumi pipi kiri-kanan masing-masing.

Mas Abi mencolekku dan mengajakku untuk segera mendekat ke arah wanita yang duduk di sebelah Ibu. Kami berdua mencium dan menyapa beliau.

"Bi, maapin lho ya. Pas kamu nikah Bude ndak bisa dateng. Kebetulan banget itu pas Bude lagi umroh plus keliling Spanyol sama Turki selama 3 minggu terus mampir sebentar ke Lebanon. Maaf lho, ya."

"Nggak apa-apa, Bude. Doanya aja untuk kami berdua," ucap Mas Kala.

"Oh, ini istrimu?" tanyanya. Seketika aku menganggukkan kepala dengan sangat sopan. Bude Darmi terlihat memindaiku dari atas hingga ke bawah dengan sangat detailnya.

"Iya, Bude. Ini Ratih." Mas Kala memperkenalkanku pada budenya itu.

"Sudah isi?" tanya Bude Darmi. Aku menggeleng.

"Belum, Bude. Doakan ya, Bude," ucapku. Bude Darmi tidak mengacuhkan ucapanku. Dia malah melempar pandangannya ke arah Mas Kala yang ada di sampingku.

"Kamu ingat Ningrum?" Mas Kala menggeleng. "Itu lho, keponakan Pakde yang dulu mau dijodohin sama kamu tapi kamunya nolak. Nggak lama setelah kamu tolak perjodohan dua tahun yang lalu, dia nikah. Suaminya kontraktor. Sekarang, anaknya udah pinter banget."

Maksudnya apaan nih?

"Jodoh, rejeki dan maut itu sudah ada yang ngatur, Mbak," sela Ibu mertuaku. "Semoga Abi dan Nadia juga disegerakan untuk segera mempunyai anak."

"Periksa deh. Takutnya ada masalah sama istri kamu." Kuremas tangan Mas Kala yang menggenggam tanganku.

"Bu, maaf sebelumnya. Saya Ibu dari Nadia. Jujur, saya gerah daritadi denger omongan Ibu. Mereka menikah juga baru itungan bulan, Bu. Mungkin memang belum dikasih rejeki sama Allah." Mama berdiri dan segera mengambil tasnya dan berbisik di telingaku. "Kak, Mama pulang ya. Kamu nggak usah dengerin omongan budenya Abi ya. Kalian yang njalani pernikahan ini." Mama berjalan ke arah dimana Ibu mertuaku duduk. Mencium pipi Ibu dan berpamitan pulang. "Mbak, aku sama keluarga pamit untuk pulang ya. Sudah malam." Mama menyalami semua orang yang ada di ruangan ini, kecuali Bude Darmi. Aku paham betul bagaimana sifat Mama. Jika ada satu orang yang sudah menyinggung perasaannya, jangan harap Mama akan bersikap baik pada orang itu.

"Lho, kok buru-buru banget ,tho. Dek, aku minta maaf ya soal yang barusan," ucap Ibu.

Rumah sudah kembali sepi. Aku terduduk di sofa ruang tengah. Menerawang ke arah langit-langit rumah. Mmikirkan semua ucapan Bude Darmi tadi.

"Tih, tidur yuk. Udah malem." Mas Kala dengan setelan baju tidurnya berjalan menghampiriku. Dia duduk di sebelahku. "Kamu kenapa?"

Aku menggeleng. "Mas, mungkin bener apa yang dibilang Bude. Aku perlu periksa ke dokter kandungan. Aku kepikiran."

Mas Kala menggeleng dan menangkup wajahku dengan kedua tangannya. "Nggak usah. Kita sabar aja. Kamu jangan jadiin ini semua beban ya."

"Iya, Mas." Kueratkan kedua tanganku melingkar di pinggangnya. "Ningrum itu cantik ya, Mas?" Mas Kala langsung mengernyitkan dahinya. "Kenapa nggak mau dijodohin sama dia dulu?"

"Nanti kalo Mas jawab, kamu percaya nggak?" Giliranku yang mengernyitkan dahi. "Mas tolak dijodohin sama dia karena Mas yakin bisa ketemu kamu lagi."

Genap 2 bulan sudah kami tinggal di rumah ini. Setelah berhenti mengajar, aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah. Mengerjakan semua pekerjaan rumah yang ada. Aku merasa puas dengan interior rumah ini. Mas Kala memberikanku keleluasaan untuk menata letak dan mengatur barang-barang yang ada. Bahkan, dia juga meminta pendapatku untuk memilih warna cat tembok untuk setiap ruangan. Mas Kala benar-benar mengikutsertakan aku di setiap pengambilan keputusan tentang apapun itu.

Setiap harinya, pasti kusempatkan untuk ke rumah orangtua suamiku yang letaknya tepat bersebelahan dengan rumah kami. Bahkan, setiap harinya Ibu selalu mengantarkan makanan yang dimasaknya. Entah itu cemilan atau lauk-pauk.

Sesekali, aku juga datang untuk mengontrol kerja Nadira di Lenggah. Hanya sekedar mengecek, karena aku sudah memberikan kepercayaanku sepenuhnya pada Nadira. Seharusnya, hari ini menjadi jadwalku untuk mengunjungi Lenggah. Tapi, entah kenapa hari ini aku merasa badanku kurang bertenaga seperti biasanya. Bahkan, kukirim pesan via Whatsapp untuk Mas Kala. Kuminta dia untuk makan malam di rumah Ibu karena aku merasa tak sanggup untuk memasak. Tubuhku rasanya remuk. Dan aku juga merasa sedikit menggigil sehabis mandi tadi pagi.

"Assalamualaikum." Kuucapkan salam di sambungan teleponku dengan Ibu sore ini.

"Waalaikumsalam, Nad. Kenapa Nduk?"

"Bu, Nadia minta maaf sebelumnya. Tadi, Nadia udah WA Mas. Nadia bilang ke Mas nanti pulang kerja langsung ke rumah Ibu aja untuk makan malam di sana. Nadia nggak masak hari ini. Nadia kurang enak badan, Bu."

"Ya Allah. Kamu sakit, Nad?Kenapa ndak bilang toh? Pantes aja, lampu teras rumah kalian masih nyala. Pintu samping juga tutupan terus seharian ini. Ibu pikir kamu pergi. Ndelalahnya yo Ibu ndak nengok-nengok ke rumah kalian. Kamu sudah makan belum, Nduk?"

"Nadia udah makan kok, Bu. Tadi, Nadia masak mie pake telor sama sawi."

"Lho, lagi sakit kok makan mie tho! Wes, Ibu sama Ayah ke sana ya. Ibu bawain makanan untuk kamu makan. Punya nasi?"

"Nasi ada kok, Bu. Maafin Nadia ya, Bu. Nadia ngerepotin Ibu sama Ayah."

Tak lama, terdengar ada yang membuka pintu samping. Sudah menjadi kebiasaanku untuk membiarkan pintu samping tidak terkunci kalau sedang ada di rumah. Tujuannya, untuk memudahkan kalau-kalau kedua mertuaku masuk ke dalam rumah. Pintu samping juga terhubung dengan tembok samping rumah orangtua Mas Kala. Tembok itu memang sengaja dijebol untuk dijadikan jalan pintas.

"Assalamualaikum, Nad." Ibu yang diikuti Ayah masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan yang diatasnya bisa kulihat ada sebuah mangkuk dan segelas teh manis hangat. Ibu duduk di pinggiran tempat tidur. "Makan dulu, ya."

Kududukkan badanku dan bersender di tempat tidur. Kuciumi tangan Ibu dan Ayah. "Tuh, kan. Nadia jadi ngerepotin Ibu sama Ayah."

"Hush, kamu tuh ngomong apa tho, Nad. Nggak ada orangtua yang merasa direpoti sama anaknya sendiri," ucap Ayah yang duduk di kursi meja rias di samping tempat tidur. Ayah memegang keningku dengan telapak tangannya. "Lho, demam ini."

"Moso, Yah?" tanya Ibu yang kemudian langsung menempelkan tangannya di keningku. "Makan dulu. Nanti minum obat. Kamu udah bilang Abi belum kalo kamu sakit?"

Kugelengkan kepalaku.

Ibu mulai menyuapiku suap demi suap. Seharian ini, memang perutku hanya terisi dengan semangkuk mie rebus.

Akhirnya makan nasi juga.

"Keasinan nggak Nad oseng kangkungnya?" tanya Ayah yang kemudian kugelengkan kepalaku. "Perasan tadi Ayah makam oseng kangkungnya rodo kasinen."

Tiba-tiba aku merasa sesuatu dari perutku mendesak untuk keluar. Perutku terasa dikocok-kocok. Aku segera bangun dan berlari menuju wastafel yang ada di kamar mandi. Kumuntahkan semua makanan yang baru saja masuk ke perutku. Ibu yang khawatir langsung masuk dan memijit tengkukku dan mengusap-usap punggungku.

"Kamu kenapa, Nad?" tanya Ayah yang berdiri di ambang pintu kamar mandi.

Kubersihkan bekas muntahan yang ada di mulutku dan berkumur untuk memastikan tidak ada yang sisa-sisa yang terselip. Kupegang perutku karena masih terasa sangat mual. "Nadia nggak tau, Yah. Kayaknya masuk angin. Beberapa hari ini Nadia tidur agak lewat jamnya."

"Yaudah, kamu tiduran lagi. Itu teh manis angetnya diminum dulu. Biar dibalurin Ibumu pake minyak kayu putih," ucap Ayah.

Ibu menuntunku untuk kembali berbaring di tempat tidur. Baru beberapa langkah dari kamar mandi, kembali kurasakan perutku seperti diaduk-aduk. Buru-buru aku kembali masuk ke kamar mandi. Entah apalagi yang harus kumuntahkan. Tenggorokkanku terasa tercekik karena saking tidak ada yang bisa dimuntahkan, tetapi hasrat mual yang kurasa semakin menggebu-gebu. Sampak akhirnya aku bisa melihat cairan lambung berwarna kuning yang keluar.

Ibu dan Ayah membantuku berbaring di tempat tidur. Ayah keluar untuk mencari obat lambung yang disimpan Mas Kala di kotak obat yang ada di ruang makan. Sementara Ibu membalurkan minyak kayu putih ke seluruh tubuhku.

Ibu dan Ayah terus menemaniku di kamar sampai akhirnya Mas Kala pulang. Mas Kala yang baru masuk ke kamar bingung karena melihat Ayah dan Ibu yang sedang menemaniku. Mas Kala menciumi tangan Ayah dan Ibu, baru kemudian duduk di sampingku.

"Kamu kenapa, Tih?" tanyanya dengan raut wajah panik.

"Aku nggak apa-apa. Cuma sedikit nggak enak aja badannya." Kucoba untuk membuatnya tak khawatir.

"Nadia demam, Bi. Muntah-muntah juga. Udah Ibu balurin badannya pake minyak kayu putih." Ibu memijat-mijat tanganku.

"Makasih ya, Bu," ucap Mas Kala yang kemudian dianggukki Ibu. Mas Kala menatapku dengan tatapan yang memelas. "Kok nggak bilang kalo kamu sakit? Kamu WA cuma bilang suruh langsung ke rumah Ibu. Mas ke rumah Ibu, Mas pikir kamu di sana. Di sana malah nggak ada orang. Cuma ada Lek Tuni aja."

"Maaf ya, Mas. Aku cuma nggak mau ngerepotin Mas aja," ucapku lirih.

"Bawa berobat sana lho, Le," ucap Ayah. Mas Kala mengangguk.

"Kita ke dokter ya, Tih?" bujuk Mas Kala. Aku menggeleng malas. Mas Kala mengusap pipiku. "Ke dokter, ya? "

Belum sempat kuiyakan ucapan Mas Kala, lagi-lagi perutku bergejolak. Dengan segera aku bangun dan berlari ke kamar mandi. Aku tertunduk di wastafel. Berusaha mengeluarkan sesuatu yang mendesak ingin keluar. Mas Kala terus memijit tengkukku. Saking lemasnya, aku mendudukkan diri di closet duduk.

"Kita ke dokter! Nggak ada penolakkan, ya. Mas takut kamu tipes atau DB." Mas Kala menuntunku untuk duduk di ranjang. Ibu memakaikanku baju hangat. Sementara Mas Kala mengganti kemejanya dengan kaos rumahan.

Aku dan Mas Kala yang ditemani Ayah dan Ibu pergi ke klinik yang letaknya agak jauh dari rumah. Butuh waktu setidaknya 30 menit untuk bisa sampai ke sana.

Sesampainya di klinik, aku ditemani Mas Kala masuk ke ruangan dokter untuk segera diperiksa. Kusampaikan semua keluhan yang kurasakan pada seorang dokter perempuan yang usianya sekitar 40 tahunan. Dokter Rahma, kulihat namanya di sebuah papan nama yang ada di atas meja.

"Kita cek dulu ya. Diagnosa saya mengarah ke sana," ucap Dokter Rahma.

Dokter Rahma mengambil sample dsrah dan urineku. Butuh waktu kurang lebih 1 jam untuk menunggu hasil lab keluar. Nasib baik, karena laboratorium di klinik ini buka 24 jam. Jadi, tak harus menunggu sampai besok untuk melakukan pemeriksaan.

Setelah menunggu hampir 1 jam lamanya, Dokter Rahma memanggil namaku dan mempersilahkan kami untuk masuk kembali ke ruangannya.

"Hasil labnya sudah keluar. Untuk pemeriksaan lebih lanjutnya, saya sarankan Bapak dan Ibu konsultasi langsung ke dokter spesialis kandungan. Biar sekalian bisa diperkirakan berapa minggu usia kandungannya," ucap Dokter Rahma. Kami berempat yang ada di ruangannya seketika saling melirik.

"Maksudnya gimana ya, Dok?" tanyaku bingung.

"Bu Nadia, Ibu positif hamil." Dokter Rahma menyerahkan amplop hasil pemeriksaan lab yang ada di tangannya padaku.

Kuambil amplop itu dan segera membaca isinya. Hatiku bergemuruh. Merasa tak percaya dengan tulisan-tulisan yang ada di sana. Kuremas tangan Mas Kala. Mas Kala memelukku dengan sangat erat.

"Segera periksakan ke dokter kandungan ya, Bu. Supaya bisa langsung diberi vitamin dan suplemen," ucap Dokter Rahma.

Kami pulang ke rumah dengan senyum lebar terkembang. Di sepanjang perjalanan pulang di mobil tadi, Ibu tak henti-hentinya mengusap perutku. Ibu selalu mewanti-wanti agar menjaga kandunganku.

"Besok mulai minum susu ibu hamil, ya. Kamu mau rasa apa? Besok Mas cari." Mas Kala merebahkan diri dan tiduran di sampingku.

"Mas liat kan tadi? Aku makan aja keluar terus," ucapku lemas. Mas Kala memicingkan mata ke arahku.

"Tih, diusahain ya. Harus ada yang masuk. Kan sekarang kamu nggak sendiri. Ada dedek di sini," ucap Mas Kala. Dia menaruh tangannya di perutku.

Aku tertunduk mendengar ucapannya. Merasa bersalah dengan bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimku. "Maafin aku ya, Mas. Aku janji. Aku akan jaga dedek dengan sebaik mungkin."

"Kita periksa ke dokter kandungan, ya," ucap Mas Kala.

"Iya, pas Mas libur aja, ya."

"Lusa Mas ambil libur aja deh. Susunya mau rasa apa, Bun?" tanya Mas Kala yang diiringi senyuman jahilnya.

"Ciye, aku dipanggil Bunda. Coba yang rasa strawberry dulu ya, Mas."

"Siap. Besok Mas beliin." Mas Kala kembali mengusap-usap perutku dengan lembut. "Yah, Ayah puasa dulu nih, Dek."

"Masss!"

-to be continued-

Hallo kesayangan. Apa kabar kalian semuanya? Sehat terus yaaaa. Gimana gimana chapter ini? Aku tunggu komenannya yaaaaaaa. :)

Love youuuuu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top