-16-
"Kak, undangannya mau disebar kapan? Acara Kakak tinggal 2 minggu lagi lho," ucap Mama. Mama baru saja selesai menempelkan label Tom&Jerry di semua undangan yang sudah rampung sejak seminggu yang lalu.
Aku dan Mas Kala sedang sibuk membantu Mama membereskan undangan-undangan yang sudah ditempeli label nama. Undangan kami bagi menjadi beberapa kelompok, agar mudah saat disebar nantinya. Aku menyetujui ide resepsi ini. Dengan catatan, tidak terlalu banyak mengundang tamu.
"Terserah Mama aja. Seminggu sebelum acara kayaknya oke." Tanganku masih sibuk melingkarkan karet gelang di setiap tumpukkan undangan yang ada di meja.
"Bi, kamu mau undang temenmu di sini atau di rumah kamu?" tanya Mama.
"Beberapa temen deket mungkin aku undang ke akad nikah. Selebihnya di sana aja, Ma." Mas Kala membereskan tumpukkan undangan dan memasukkannya ke dalam kardus.
"Abi fasih banget ya manggil Mama." Mama nyengir ke arahku dan Mas Kala. Seketika, Mas Kala menjadi salah tingkah.
"Yeee, si Mama. Mana ada sih menantu manggil mertuanya "Mbak"?" selorohku. Memang pada awalnya, Mas Kala kesusahan untuk membiasakan diri memanggil Papa dan Mama dengan sebutan baru. Bahkan, Mas Kala masih saja sering salah, awalnya. Lama-kelamaan, lidahnyapun terbiasa.
"Ya nggak lah, Kak. Temen-temen dosen udah pada tau kan rencana pernikahan kalian?" tanya Mama.
"Jangankan temen-temen dosen, Ma. Kabar malah udah berhembus ke komunitas Babi Miyabi," sambarku. Mama seketika memasang tampang bingung. Mas Kala menyenggol lenganku.
"Babi Miyabi? Itu apaan, Kak? Komunitas peternak babi pecinta Maria Ozawa?" tanya Mama. Aku menggeleng.
"Jadi, calon menantu Mama ini punya komunitas, Ma. Babi Miyabi itu stands for Barisan Bidadari Miliknya Pak Abi." Kulirik Mas Kala yang ada di sebelahku. Dia menempelkan telapak tangan kanannya di wajahnya.
"Wih, beneran Bi?" tanya Mama, dan dianggukki lemah oleh Mas Kala. "Respon mereka gimana?"
"Duh, Ma. Horor banget. Mas Kala banyak yang ngebucinin. Iya kan, Mas?" kukerlingkan satu mataku ke arahnya. Dia membalasku dengan mengusap kepalaku.
"Tetep kamu kok pemenangnya," ucap Mas Kala.
"Duh...duh... Liat kalian, Mama jadi kangen Papa. Papa kok lama banget sih baliknya." Mama menatap ke arah jam dinding yang di pasang di atas TV.
"Papa kemana emang, Ma?" tanyaku.
"Papa ke kantor. Tadi sih udah pulang. Tapi, Mama telepon nitip dibeliin sesuatu buat dibawa pulang Abi. Untuk Ayah sama Ibu."
"Jangan repot-repot, Ma. Udah sering banget dikirimin makanan," ucap Mas Kala.
"Halah, nggak kok. Biasa aja. Kita kan keluarga." Mama bangun meninggalkan kami berdua di ruang tengah. "Mama mau masak dulu ya, Kak."
Satu minggu dari sekarang adalah saat-saat kami berdua menjadi sangat sibuk. Aku dan Mas Kala ikut turun tangan perihal pembagian undangan. Beberapa undangan untuk kolega-kolega Papa memang kami kirimkan lewat ekpedisi.
Ah! Ada perubahan rencana. Acara Ngunduh Mantu akan digelar seminggu setelah acara di rumahku. Keputusan diambil dengan pertimbangan yang cukup konyol menurutku. 'Biar masih kerasa aroma-aroma penganten barunya.'
Mas Kala juga mengajakku untuk membagikan undangan untuk acara Ngunduh Mantu pada teman-temannya. Mas Kala memperkenalkanku pada teman-temannya yang belum pernah kutemui sebelumnya. Aku terkejut saat tahu Mas Kala punya banyak teman. Sempat terpikir olehku Mas Kala seorang yang kurang senang bergaul. Ternyata memang benar kita tidak boleh menilai seseorang dalam 1 kedipan mata. Bahkan, Mas Kala aktif berolahraga dengan teman-temannya.
Semua persiapan hampir selesai. Akupun mulai memasuki masa pingitan selama 3 hari. Sebenarnya, cutiku dimulai minggu depan. Sengaja kupindahkan jadwal mengajar hari ini kemarin. Dan 2 hari sisanya, adalah hari liburku. Dalam waktu 3 hari ini, aku dan Mas Kala tidak diperbolehkan untuk bertemu. Kami hanya bertukar kabar lewat Whatsapp.
Keluargaku adalah penganut kebudayaan yang kental. Yangkung meminta seluruh prosesi adat dilakukan. Dimulai dari acara siraman yang harus dilakukan di rumah kedua calon mempelai dengan air dari 7 sumber mata air. Papa yang diharuskan memasang "bleketepe" di tenda yang sudah terpasang di depan rumah. Dan, yang terakhir adalah malam midodareni. Malam dimana aku sebagai calon pengantin wanita sudah siap dengan riasan dan baju kebaya harus berdiam diri di dalam kamar. Sedangkan, keluarga besar Mas Kala akan datang dan bertandang dan mengantarkan seserahan. Di prosesi ini, Mas Kala dan keluarganya tidak akan diperbolehkan untuk masuk ke dalam rumah. Mereka hanya akan dipersilahkan untuk duduk di teras rumah. Dan, Mas Kala hanya akan disuguhi segelas air putih oleh Mama. Kejam memang. Tapi,memang begitu aturannya.
Acara malam inipun selesai. Besok, statusku akan berubah dari calon istri menjadi istri dari seorang Abimanyu Kalandra Wisesa. Malam ini, aku membuat satu permintaan khusus. Aku memohon pada Papa dan Mama untuk mengizinkanku tidur bersama mereka. Aku ingin mersakan tidur diapit Papa dan Mama untuk terakhir kali sebelum menjadi seorang istri.
"Kak, deg-degan nggak?" tanya Papa. Aku mengangguk. Papa memelukku dengan sangat erat. Sementara Mama menelusupkan kepalanya ditengkukku.
"Dibawa santai aja ya, Kak." Mama menepuk-nepuk pahaku lembut.
"Ma... Pa, maafin Nadia ya kalo selama jadi anaknya Papa sama Mama Nadia banyak bikin salah," ucapku terisak.
"Shttt, jangan nangis. Masa calon manten nangis. Besok dandannya jelek ah" goda Papa. "Kakak tidur ya. Papa masih harus nemenin yang pada melek di depan. Nggak apa-apa kan kalo di sini sama Mama?"
"Iya, Pa." Papa bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar.
Hanya tinggal aku dan Mama di kamar ini. Mama memintaku untuk menghadap ke arahnya. Mungkin ini yang disebut dengan nasihat malam pengantin dari seorang Ibu.
"Kak, besok Kakak udah jadi istri orang. Lepas sudab tanggung jawab Papa dan Mama terhadap Kakak. Setelahnya, semua akan diambil alih sama Abi. Pesen Mama sama Papa cuma satu. Kakak dampingi Abi gimanapun keadaan dia. Susah seneng kalian harus bareng. Kalo ada masalah diselesein bareng. Kakak harus bisa jadi seorang istri yang senantiasa menjaga nama baik suami, ya. Seorang istri itu layaknya baju untuk suami. Kalo bajunya jelek, ya dinilai orang juga jelek. Begitu juga sama istri. Mama percaya Abi bisa membimbing Kakak untuk jadi seorang istri yang baik. Mama yakin Abi laki-laki yang baik." Kuteteskan air mataku. Mama memelukku dengan sangat erat. Aku akan sangat merindukan saat-saat seperti ini.
"Ma, tapi nanti Nadia tetep boleh ya main ke sini," ucapku. Mama tertawa.
"Kamu tuh aneh, Kak. Masa iya anak mau pulang ke rumah Papa sama Mama nggak bolehin. Kakak boleh ke sini, kemanapun Kakak mau. Asal, dengan izin suami. Haram hukumnya untuk seorang istri keluar rumah tanpa izin dari suaminya, Kak." Kuanggukkan kepalaku.
"Nadia pasti bakalan kangen banget sama masakkan Mama."
"Kan Kakak juga jago masak," ucap Mama.
"Tapi, masakkan Nadia nggak seenak Mama."
"Nanti kalo Kakak mau makan apa, tinggal bilang sama Mama. Nanti biar Mama masakkin, ya."
"Deal ya, Ma!" Kuacungkan jari kelingkingku.
"Iya, Kak." Mama menautkan jari kelingkingnya ke arahku. "Sekarang tidur, ya. Besok abis Subuh, Kakak mulai dirias loh sama Tante Wida."
🌼🌼🌼
Aku masih duduk manis di tempat tidurku setelah selesai dirias oleh Tante Wida. Aku puas dengan hasil pekerjaan Tante Wida dan asistennya. Aku memang sempat mengalami stress menghadapi hari H. Berat badanku naik 3 kg. Terlihat cukup jelas karena pipiku lebih berisi. Beruntung, semua kebaya yang sudah kucoba sebelumnya masih muat di tubuhku.
"Nikah juga, Tih." Yura memelukku.
"Iya. Alhamdulillah. Uya mana?" tanyaku.
"Digendong sama Papanya di luar. Sengaja gue minta Papanya gendong dia. Gue mau quality time dulu sama lo," ucap Yura. "Deg-degan nggak?"
"Banget." Kugenggam tangannya erat.
Yura berusaha untuk membuatku untuk tetap rileks. Dia mengajakku untuk mengenang masa-masa indah aktu kami kuliah dulu.
"Kak, ada temen lo nyariin." Nadira muncul dari balik pintu kamarku. Aku terkejut karena ternyata Maysha dan Sofi muncul dari belakang Nadira.
"Aaaa. Makasih ya udah sempetin dateng ke sini." Kupeluk mereka satu persatu.
"Cantik banget calon manten kita ini," ucap Maysha.
"Tih, Sofi katanya mau minta melati lo. Dia udah kebelet nikah." Yura berseloroh. Yura memang sudah mengenal Maysha dan Sofi karena mereka sudah sering bertemu di Lenggah.
"Kampret lu, Ra." Sofi menyenggol lengan Yura. Aku dan Maysha tertawa melihatnya.
"Lo boleh rontokkin roncean melati gue. Lo ambil semua juga boleh. Tapi, pas acara udah kelar, ya. Lagian nih, yang gue tau itu lo kudu ambil diem-diem. Jangan ampe pengantennya tau," ucapku.
"Yura aja lo dengerin, Nad. Gila dia mah," sahut Sofi.
Ketika kami asyik berbincang, Nadira kembali muncul dari balik pintu. "Kak, kata Mama disuruh siap-siap. Mas Abi sama keluarganya udah sampe. Mbak-mbak, nanti bantuin gue ya ngiringin Kak Nadia," ucap Nadira yang ditanggapi anggukkan oleh Maysha, Yura dan Sofi.
Aku berjalan dengan dituntun Nadira dan Sofi di sebelah kiri. Sedangkan, Yura dan Maysha ada di sebelah kananku. Semua tamu undangan sudah duduk memenuhi bangku yang disediakan. Mas Kala sudah duduk rapih di hadapan Papa dan penghulu yang akan memimpin jalannya akad nikah hari ini. Masih tak percaya aku melihat laki-laki yang sedang duduk dan menundukkan pandangannya ke bawah itu akan jadi suamiku dalam hitungan menit. Para gadisku membantuku untuk duduk. Sepertinya, Mas Kala masih belum sadar dengan kehadiranku di sampingngnya. Dia masih saja menundukkan kepalanya. Sampai penghulupun menggodanya.
"Mas...Mas, penganten perempuannya mah kaga ada di bawah meja. Noh udah ngejogrog di sebelahnya si Mas." Kelakar yang diucapkan Pak Penghulu mendapat sambutan gelak tawa dari para tamu undangan yang hadir. Mas Kala dengan salah tingkah langsung menengok ke arahku.
"Hai," ucapnya kikuk. Kuanggukkan kepalaku.
"Udah diliat belom pengantennya?" tanya Pak Penghulu. Mas Kala mengangguk.
"Iya, Pak. Sudah," jawab Mas Kala.
"Bener dia bukan pengantennya?" tanya Pak Penghulu lagi.
"Iya, Pak. Benar," jawab Mas Kala untuk kedua kalinya. Mas Kala menatapku.
"Weh weh weh... Udeh, tatap-tatapannya nanti dilanjutin lagi. Nanti boleh dah dipuas-puasin semaleman." Lagi. Para tamu yang hadir tertawa sangat kencang.
Sejatinya, akad nikah adalah saat dimana seorang Ayah menyerahkan tanggung jawab atas putrinya kepada laki-laki pilihan putrinya. Setelah ijab qobul diucapkan, beralih sudah tanggung jawab Papa atasku pada Mas Kala. Aku sempat melihat ke arah Papa. Papa sadar aku tengah menatapnya. Papa tersenyum ke arahku. Aku mencoba untuk menahan air mata ini agar tak menetes. Mas Kala yang melihatku, langsung menggenggam tanganku erat.
"Saya terima nikah dan kawinnya Nadia Kamaratih Sutanto binti Haryo Sutanto dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas seberat 20 gram dibayar tunai." Mas Kala yang menjabat tangan Papa berhasil mengucapkan ijab qabul dengan satu tarikan napasnya. Seketika beban yang ada di dadaku terbang entah kemana.
"Sah?" tanya Pak Penghulu kepada dua orang saksi akad nikah, Pakde Yoga dan seorang kerabat dekat dari keluarga Mas Kala.
"Sah."
"Alhamdulillah."
Aku resmi menjadi Nyonya Abimanyu Kalandra Wisesa.
🌼🌼🌼
Acara hari ini memang benar-benar membuatku kelelahan. Bagaimana tidak. Aku dan Mas Kala harus berdiri berjam-jam lamanya untuk menyalami para tamu yang hadir. Setelah acara selesai, kami berpamitan pada keluarga untuk langsung masuk ke dalam kamar. Sebelum membersihkan diri, kuminta Mas Kala untuk membantuku melepas semua aksesoris yang ada di kepalaku.
"Mas mandi duluan aja. Kamar mandinya di sebelah sana." Kutunjuk pintu kamar mandi yang ada di pojok kamarku. "Nanti handuk sama baju gantinya aku anterin, ya."
Mas Kala sudah masuk ke kamar mandi, sementara aku masih sibuk membersihkan riasan di wajahku. Sudah berakhir untukku menjadi seorang ratu di sepanjang hari ini. Mas Kala keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos putih berlengan pendek dan celana training hitam yang tadi kusiapkan untuknya.
"Mandi dulu, Tih. Biar badannya seger," ucap Mas Kala. Mas Kala masih sibuk mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk.
"Aku mandi dulu, ya." Kuraih handukku yang tercantol di balik pintu kamar. Mas Kala menghentikanku saat aku akan masuk ke mamar mandi. "Kenapa, Mas?"
"Kamu mandi pake kebaya?"tanyanya heran.
Yakali gue suruh telanjang di depan mata lo, Bwambwang. Walopun udah nikah, gimanaa gitu.
"Eh, bukanya di kamar mandi aja." Dia tersenyum. Aku segera masuk ke dalam kamar mandi.
Mandi memang akan dan selalu menjadi pilihanku untuk memulihkan staminaku setelah seharian beraktivitas. Bahkan, mandi bisa membuat moodku menjadi baik. Kunikmati waktuku di kamar mandi. Kubersihkan setiap inchi tubuhku dari kotoran yang menempel. Kurendam tubuhku di air hangat yang sudah kuisi memenuhi bathtub.
Saat aku keluar dari kamar mandi, kutemukan Mas Kala sudah dalam posisi terlentang di tempat tidurku. Kulihat hembusan napasnya yang teratur. Tak lama, terdengar dengkuran halus berasal darinya. Kuusap pipinya. Kujamah setiap inchi wajahnya. Kuraba alis tebalnya. Dan, kudaratkan kecupan di bibirnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Kunyalakan AC kamar. Sebelum tidur, kutarik bedcover untuk menyelimuti kami berdua. Seharian, aku melupakan ponselku. Kusempatkan untuk membuka ponsel. Banyak pesan yang masuk. Semuanya mengucapkan selamat atas pernikahan kami. Kegiatanku terhenti sejenak ketika kurasakan sebuah tangan melingkar di atas perutku.
"Kenapa, Mas?Laper?" tanyaku. Kuusap-usap tangannya yang melingkar di atas perutku. Mas Kala mengangguk.
"Aku ambilin makanan sebentar, ya." Aku bangun dan beranjak keluar.
Di luar, masih banyak keluargaku yang berkumpul.
"Kirain udah tidur, Nad." Mas Rama yang sedang menyantap sepiring asinan sayur sisa acara tadi terlihat heran melihatku yang baru saja keluar kamar.
"Mas Kala laper. Gue mau ambil makanan dulu," ucapku.
"Beuh, isi bensin dulu sebelum berperang." Lagi-lagi. Jin penunggu toples bawang goreng kembali memancing suasana. Mas Deka yang duduk di sebelah Mas Rama sibuk menyendok asinan sayur di piring Mas Rama.
"Rama... Deka, adeknya jangan digodain terus ah," ucap Mama. "Udah sana, Kak. Ambilin Abi makan dulu. Kasian, keburu kelaperan nanti."
Aku masuk ke dalam kamar dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya dan segelas air putih hangat untuk Mas Kala. Sudah menjadi kebiasaan Mas Kala yang baru akhir-akhir ini kuketahui kalau setiap habis makan dia lebih suka untuk minum air putih hangat.
"Mas, makan dulu. Nanti kalo mau nambah, aku ambilin lagi." Kuberikan piring berisikan nasi itu pada Mas Kala yang sedang menonton TV.
"Kamu nggak makan, Tih?" tanyanya. Aku menggeleng. "Makan bareng, ya. Mas yang suapin kamu."
Akhirnya, kami makan sepiring berdua. Setelah selesai makan, kami memutuskan untuk menonton TV sebentar. Karena merasa tidak enak kalau langsung tidur. Setelah lama kelamaan mata terasa berat, kami berdua memutuskan untuk segera tidur.
Tidurku terusik ketika Mas Kala tiba-tiba membangunkanku. Mataku mengernyip saat kubuka ponselku.
Ya Allah, suami! Ini masih jam setengah 2 pagi.
"Tih, bangun dulu sebentar." Mas Kala berusaha untuk membuatku sadar dari mimpiku.
"Engh... Ada apa, Mas?" Aku bangun dan kusenderkan tubuhku di tempat tidurku. Kuusahakan untuk segera mengumpulkan nyawaku.
"Tih, Mas udah nggak bisa nahan," ucapnya.
"Mas mau pipis?"tanyaku. Dia menggeleng. "Terus nggak bisa nahan apa, Mas?"
"Itu." Matanya mengarah ke sesuatu yang ada di balik celananya. Aku menelan ludah seketika. "Tadinya mau besok-besok aja. Soalnya kamu keliatan capek banget."
"Ya ampun, Mas. Maafin aku, ya. Aku nggak peka banget sama kamu," ucapku.
"Masih ada waktu sebelum Subuh. Ayok!" ucapnya.
"Mas tau aja sih aku baru kelar mens 2 hari yang lalu."
Jebol deh gawang Belle.
Mas Kala mulai menghujaniku dengan kecupan, bahkan di setiap inchi tubuh ini. Mas Kala sungguh membuatku merasa sangat nyaman dengan permainannya. Mas Kala sungguh paham bagaimana cara memperlakukanku malam ini. Tangannya bergerilya. Hingga aku merasa dia siap untuk menggempur intiku yang sudah basah dengan brutalnya.
"Mas, tunggu." Kuhentikan gerakannya.
"Kenapa, Tih? Kamu belum siap?" tanyanya. Aku menggeleng. "Terus?"
"Pelan-pelan, ya. Kata orang-orang kalo pertama kali itu bakalan sakit banget," ucapku malu.
"Kamu bilang ya kalo kesakitan." Kuanggukkan kepalaku.
"Mas...udah belom sih? Punyaku udah pedes banget nih Mas, daritadi nggak kelar-kelar."
"Bentar, Tih. Bentar. Sedikit lagi."
"Bisa ngangkang nih jalanku besok pagi."
Pergulatan malam ini selesai saat kami berdua mencapai titik kenikmatan. Aku tertidur pulas di pelukannya.
Semoga kamu segera tumbuh di perut Bunda ya, Sayang.
🌼🌼🌼
Sholat Subuh pagi ini adalah sholat subuh pertama kami sebagai pasangan suami istri. Tak ada hal paling romantis di dunia ini selain sholat yang diimami langsung oleh suami dan ditutup dengan kecupan di kening. Menikah memang nikmat!
Kami memutuskan untuk kembali tidur selepas Subuh tadi. Setelah puas tidur, kubuka mataku. Masih terasa aneh karena ada seseorang yang juga tidur di tempat tidurku. Tak bosan kembali kuperhatikan wajahnya. Kuusap pipi yang sudah bersih dari rambut-rambut halus.
"Jangan diperhatiin terus,"ucap Mas Kala tiba-tiba dalam keadaan masih memejamkan mata.
"Nggak boleh ya kalo istri liatin suami?" tanyaku.
"Duh, suami," gumam Mas Kala.
"Bangun, Mas."
"Apanya, Tih?" ucapnya jahil.
"Tidurnya lah."
"Kamu nggak ngerasa sakit kan waktu jalan?" tanya Mas Kala.
"Sakit lah. Jalanku ngangkang tauk. Untung aja di kamar ada kamar mandi. Nggak usah keluar. Bisa diketawain aku sama orang serumah. Mas nggempurnya brutal gitu ih," jawabku kesal.
"Maklum aja, Tih. Namanya juga pertama kali buat Mas. Jadi terlalu semangat," ucapnya.
"Pertama kali? Seriously??" tanyaku. Dia mengangguk.
Oh iya, Nte Vina kan waktu itu lagi mens. Dan lagi, mereka berdua langsung cerai. Enaena??Mana sempat!
"Iyalah pertama kali. Yang dulu kan nggak sempet." Mas Kala menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Se-ri-yuss??" ucapku kesusahan. Karena bibirku sekarang bentuknya sudah seperti mulut ikan maskoki karena ulahnya. Mas Kala mengangguk.
"Tapi, kayak udah pengalaman aja," gumamku.
"Naluri, Tih. Naluri. Kayak gitu mah nggak perlu belajar."
"Yuk, bangun. Kita siap-siap. Nanti sore kan kita berangkat ke Bangkok." Memang rencananya kami akan berangkat bulan madu ke Bangkok selama 6 hari. Sengaja kami hanya akan menghabiskan 6 hari di sana. Karena, sepulangnya dari sana, keesokan harinya kami harus bersiap untuk acara di kediaman orangtua Mas Kala. Semoga tak akan terlalu melelahkan.
"Tih, sekali lagi yuk. Biar bisa langsung jadi dedek bayi."
"Mas Kala, ih!! Awas aja kalo sampe kelamaan kayak semalem. Pedes tau!"
-to be continued-
Akhirnya, mereka berdua nikah jugaaaa.
Selamat datang di kehidupan pernikahan KalaDia.
Aku tetep tunggu comment dari kalian kalian ya sayang. Aku butuh ide, masukkan, saran atau kritik.
Terima kasih banyak-banyak untuk kalian.
I love you to the moon, all galaxies and back.
Buat yang nanya ini udah mau ending, tenanggggggg...perjalanan masih puanjanggggggg.
Kalian masih mau kan jadi saksi keuwuan hidup pasangan ini?
-miss dandelion-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top