-15-
Kami semua beranjak keluar rumah setelah mendengar Ibu Riska berteriak. Saat tiba di pintu, kami kaget karena Riska sudah bersimbah darah. Darah segar mengalir dari pergelangan tangan Riska. Riska sudah terkulai lemas di pelukkan Ibunya. Seketika kami semua berhambur ke arah Riska dan ibun
"Bawa ke rumah sakit!" ucap Papa kencang.
Papa, Mas Kala dan Pak RT dengan sergap membopong Riska masuk ke dalam mobil Mas Kala yang kebetulan terparkir di luar. Riska dibaringkan di kursi tengah, sedangkan Ibu Riska memposisikan kepala Riska di pahanya. Pak RT duduk di kursi depan, menemani Mas Kala yang mengemudikan mobil dan bersiap ke rumah sakit.
"Mas ke rumah sakit dulu ya, Tih." Mas Kala berpamitan padaku. Aku mengangguk.
"Iya, Mas. Aku nyusul sama Papa Mama, ya." Kukecup punggung tangannya. "Ati-ati di jalan."
Aku, Papa dan mengikuti mobil Mas Kala dari belakang. Kami menuju rumah sakit yang kebetulan letaknya tak jauh dari rumah. Kurang lebih 15 menit berkendara, kami sampai di rumah sakit. Riska segera dibawa ke IGD untuk segera mendapatkan penanganan.
Kami semua menunggu di luar sementara Riska ditangani.
"Kenapa Riska bisa begitu, Tante?" tanya Mas Kala. Bu Hera, Ibu Riska menggeleng.
"Tante nggak tau, Bi. Tau-tau Riska ngeluarin silet dari tasnya. Dan..." Ucapannya tak berlanjut. Bu Hera menangis sesenggukan. Mama yang juga seorang Ibu memeluknya.
"Sabar ya, Bu. Riska akan baik-baik saja," ucap Mama menenangkan Bu Hera.
"Semua gara-gara anak kalian!" Bu Hera melepaskan pelukkan Mama dengan sangat kasar. Mama terlihat sangat kaget dengan sikap Bu Hera. Kutarik Mama segera ke sebelahku.
"Tante!" teriak Mas Kala. "Tante nggak pantes ngomong kayak begitu."
"Kenap, Bi? Apanya yang nggak pantes? Kalo aja kamu mau menuhin permintaan Riska, dia nggak akan sampe berbuat nekat kayak begitu. Ibu mana yang nggak hancur liat anaknya begitu??" Bu Hera terlihat sangat marah. Dia menepuk-nepuk dadanya dengan kencang.
"Tante, sebelum semua terjadi, aku dan Ratih sudah jauh bertunangan. Jadi, jangan pernah libatkan Ratih di masalah ini." Mas Kala mulai terlihat sedikit marah. Tangan kanannya mengepal kencang. Ku hampiri Mas Kala dan kugenggam tangannya.
"Mas, udah." Kuajak Mas Kala untuk duduk. "Udah, jangan terlalu emosi, ya."
"Kalau sampe terjadi sesuatu yang buruk sama Riska, kamu harus tanggung jawab!" Bu Hera melotot ke arahku.
"Tante!" Mas Kala hendak segera berdiri, namun kucegah dia untuk tetap duduk. Kutepuk lebut punggung tangannya. Kubisikkan padanya bahwa aku baik-baik saja.
Ayah dan Ibu Mas Kala datang dengan tergopoh-gopoh. Mereka datang karena sebelumnya Mas Kala menelepon dan menceritakan semua yang terjadi. Mereka terlihat sangat terkejut.
Sudah hampir satu jam Riska ada di dalam ruang IGD. Sampai akhirnya seorang dokter keluar dan menemui kami yang masih menunggu di luar.
"Gimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Bu Hera panik.
"Anak ibu baik-baik saja. Untungnya, luka sayatannya tidak dalam, dan tidak mengakibatkan pendarahan yang hebat. Pasien sudah selesai kami tangani. Pasien disarankan untuk dirawat selama 2-3 hari ke depan." Dokter menjelaskan keadaan Riska. Kami semua menghembuskan napas kelegaan. Tak akan bisa kubayangkan apabila sesuatu yang buruk sampai terjadi pada Riska.
"Terima kasih banyak ya, Dok. Terima kasih," ucap Bu Hera. Dia menggenggam tangan dokter itu dengan kencangnya.
"Iya, Bu. Kalau begitu, saya pamit dulu. Pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat. Dimohon keluarga untuk segera mengurus administrasinya, supaya bisa dicek ketersediaan kamar rawatnya."
Sepeninggal dokter, kami semua kembali duduk dalam keadaan lega. Papa dan Mas Kala berniat pergi ke bagian administrasi untuk mengurus segala kepentingan perawatan. Tapi, lagi-lagi Bu Hera membuat ulah.
"Saya mau Riska dirawat di kamar yang paling bagus!" ucap Bu Hera.
"Hera! Kamu tuh bener-bener bikin malu." Ibu Mas Kala melirik ke arah Bu Hera dengan tatapan marah.
"Kenapa, Mbak? Itu kewajiban mereka. Riska jadi begini karena mereka," jawab Bu Hera. Ibu Mas Kala berdiri kemudia menampar pipi Bu Hera dengan sangat kencang.
"Ibu!" teriak Ayah Mas Kala. "Sudah, Bu. Ibu jangan tersulut emosi." Ayah meminta Ibu untuk segera duduk kembali.
🌼🌼🌼
Riska akhirnya ditempatkan di ruang rawat VVIP. Semula, Mas Kala menolak dan meminta Riska ditempatkan di kamar kelas 1. Tapi, Papa memutuskan untuk tetap menempatkan Riska di kamar VVIP. Papa juga mengatakan bahwa semua biaya perawatan akan ditanggung oleh Papa. Karena, Papa merasa bertanggung jawab mengingat kejadian itu terjadi di rumah kami.
Dua hari sudah Riska dirawat. Keadaannya sudah jauh lebih baik. Walaupun memang dari awal dia sudah terlihat baik-baik saja. Selama Riska dirawat, Mas Kala dan aku selalu mengunjunginya sebelum berangkat dan sepulang mengajar. Yah, walaupun dengan konsekuensi aku terpaksa menonton drama dimana Riska selalu bersikap manja di depan Mas Kala. Ada saja sikapnya yang membuatku menggelengkan kepala saking herannya. Riska selalu meminta perhatian lebih dari Mas Kala. Seakan acuh tak acuh dengan keberadaanku. Mas Kala juga sangat terpaksa memenuhi semua keinginan Riska. Kuyakinkan Mas Kala kalau aku merasa tidak keberatan dengan semuanya.
"Mas Abi! Lama banget datengnya. Aku udah kangen banget." Riska yang seketika melihatku dan Mas Kala membuka pintu kamarnya berteriak dan membuat kami berdua cukup kaget.
"Bi, Riska daritadi nyariin kamu terus. Dia nggak mau makan kalo nggak disuapin sama kamu." Bu Hera memegang sesendok nasi di tangan kanannya hendak menyuapi Riska. Kuelus dadaku pelan. Berharap kesabaran tak akan pernah bosan menghampiriku.
"Lo ngapain sih ngintil terus sama Mas Abi?" tanya Riska. "Gue nggak suka ada lo di sini."
"Kalo kamu nggak suka liat Ratih di sini, aku juga nggak akan di sini," ucap Mas Kala. Riska yang terlihat kesal, mengerucutkan bibirnya. "Keadaan kamu juga udah sehat. Kamu bisa keluar dari rumah sakit secepatnya."
"Sehat darimana, Mas? Kamu nggak liat tanganku masih sakit gini?" Riska mengangkat pergelangan tangannya yang masih diperban.
"Terserah kamu." Mas Kala mengambil alih sendok yang ada di tangan Bu Hera dan berniat untuk menyuapi Riska. "Makan dulu!"
Riska makan dengan lahapnya. Sikap Riska membuatku terus berpikir buruk tentangnya. Aku tahu sebenarnya tidak ada yang salah dengan nafsu makan Riska. Dia hanya ingin mendapatkan perhatian dari Mas Kala. Kegiatan Mas Kala menyuapi Riska terhenti di saat Riska mengucapkan sesuatu yang menurutku tidak masuk akal.
"Aku mau kita menikah secepatnya!" ucap Riska. Mas Kala melepas sendok yang ada di genggamannya.
"Berapa kali lagi aku harus jelasin ke kamu kalo aku nggak bisa nikahin kamu??"
Aku dan Bu Hera yang sedang duduk di sofa terkejut dengan perdebatan mereka. Kuremas jemari ini karena saking takutnya.
"Nikahi aku, Mas! Atau..."
"Atau apa, Ris?" Mas Kala menyambar ucapan Riska dengan segera.
Riska melirik ke arah nakas yang ada di sebelah bednya. Segera dia mengambil pisau yang ada di atas tumpukkan buah-buahan. Riska mengarahkan pisau itu ke perutnya. Aku dan Bu Hera yang melihat kejadian itu seketika langsung berdiri.
"Ris! Jangan gila kamu." Mas Kala berteriak. Mas Kala berusaha untuk merebut pisau itu dari tangan Riska. Terjadi perebutan pisau di antara mereka berdua. Aku segera berlari ke luar dan meminta pertolongan.
Aku berteriak meminta pertolongan pada siapapun yang ada di luar. Seketika beberapa orang perawat datang menghampiriku. Kujelaskan keadaan yang sedang terjadi di dalam.
Aku melihat Mas Kala tengah memegangi telapak tangannya. Kubuang pandangan ke lantai. Kulihat sebuah pisau yang menjadi akar masalah sudah berlumuran darah. Kulihat Riska dengan tatapan terkejutnya. Riska baik-baik saja. Itu bukan darah Riska!
"Mas!" Aku berteriak dengan kencang. Dengan segera kuhampiri Mas Kala. Talapak tangannya mengalirkan darah.
"Nggak apa-apa." Mas Kala tetap berusaha untuk tenang.
"Suster! Tolong!" Aku berteriak ke arah seorang suster yang tadi ikut masuk ke ruangan bersamaku. Suster itu seketika menghampiriku dan Mas Kala.
"Mari, Pak...Bu. Ikut saya ke ruang perawatan. Biar lukanya bisa ditindak." Kubantu Mas Kala untuk berdiri. Kami berjalan mengikuti suster menuju ruang perawatan.
Mas Kala mendapatkan perawatan untuk lukanya. Beruntung lukanya tak perlu dijahit. Aku merasa lemas selemasnya. Melihat kemeja yang dikenakannya kotor oleh darahnya. Air mata mengalir.
"Mas nggak apa-apa, Tih." Mas Kala mengusap air mata yang jatuh ke pipiku. Kugelengkan kepalaku.
"Mas, kalo begini...aku nggak kuat. Aku nggak sanggup liat Mas begini. Aku mundur, Mas." Aku tertunduk saat mengucapkan kalimat ini. Ini keputusan berat untukku.
"Kamu ngomong apa, Tih??" Mas Kala mengguncang bahuku. "Kamu nggak boleh ngomong kayak begitu. Kamu tau kan gimana senengnya Mas bisa sama kamu setelah sekian lama?"
Kugigit bibir bawahku. Terlintas semua yang sudah terjadi di antara kami berdua selama ini. Terlebih, usaha dan penantiannya untukku selama bertahun-tahun. Ini terlalu berat untukku.
Aku dan Mas Kala memilih untuk duduk di luar. Memberikan Riska waktu di dalam. Aku menelepon Papa Mama dan juga kedua orangtua Mas Kala. Mereka semua tentu terkejut mendengar ceritaku. Mereka meminta kami untuk tetap di rumah sakit dan menunggu kedatangan mereka.
Mas Kala terus menggenggam tanganku dengan eratnya. Tak sedikitpun dia melonggarkan genggamannya. Kusandarkan kepalaku di bahunya.
Kulihat dari kejauhan, Papa, Mama dan kedua orangtua Mas Kala berjalan ke arah kami. Aku segera berdiri untuk menyambut jedatangan mereka. Aku dan Mas Kala mengecup punggung tangan mereka satu persatu. Ibu Mas Kala terlihat sangat panik saat melirik ke arah telapak tangan Mas Kala yang diperban.
"Kenapa bisa begini tho, Leee." Ibu duduk di sebelah Mas Kala dan memeluk Mas Kala.
"Aku nggak apa-apa, Bu. Udah nggak sakit." Mas Kala berusaha meremas telapak tangannya yang diperban sambil meringis.
"Kamu jangan aneh-aneh. Nanti lukamu berdarah lagi!" omel Ayah.
"Sekarang gimana kelanjutannya?" tanya Ayah.
Kami semua akhirnya berembuk di ruang tunggu. Kami akan tetap dengan rencana awal. Tak akan ada yang berubah. Kami semua berjalan dan berniat untuk masuk ke ruangan Riska. Mas Kala berjalan di posisi paling depan. Pintu ruangan Riska terlihat sedikit membuka. Samar-samar kami mendengar obrolan antara Riska dan Bu Hera. Kami urung masuk ke dalam. Dan memilih untuk menyimak pembicaraan mereka.
"Kamu kenapa senekat itu, Ris?" tanya Bu Hera.
"Bu, rencana kita tinggal sedikit lagi. Ibu masih mau kan hidup enak tanpa harus kerja?" Mas Kala memberikan kode pada kami semua untuk tetap diam dan menyimak.
"Tapi, kamu hampir membahayakan nyawa kamu kemaren, Ris. Dan, kamu juga sudah bikin Abi luka."
"Bu, aku udah memperkirakan waktu aku mengiris pergelangan tanganku. Bu, aku nggak akan lepasin Mas Abi. Gimanapun caranya, aku bakal bikin dia nikahin aku."
"Abi belum tentu mau, Ris."
"Harus, Bu. Dia harus mau. Walaupun wasiat itu cuma akal-akalan kita doang. Karena, sebenernya almarhum Bapak nggak pernah kasih wasiat untuk aku menikah dengan Mas Abi. Aku nggak mau dong kehilangan tambang emas. Hidup kita bakal enak tanpa harus kerja keras, Bu. Dan, anak yang kukandung juga butuh seorang bapak, Bu." Kami semua sangat terkejut. Riska hamil??
"Bayi itu bukan anak Abi, Ris!" ucap Bu Hera.
"Aku akan buat anak ini jadi anak Mas Abi. Makanya, aku dan Mas Abi harus segera menikah sebelum kandunganku bertambah besar." Mas Kala mengepalkan tangannya. Kugenggam tangannya. Dan kubisikkan di telinganya untuk tetap bersabar.
Mas Kala meminta kami untuk berjalan pelan. Mas Kala medorong pintu kamar Riska dengan sangat pelan.
"Jadi, itu rencana kamu?" ucap Mas Kala. Riska dan Bu Hera yang mendengar perkataan Mas Kala tiba-tiba terlonjak saking kagetnya.
"Ma-ma-maksud kamu apa, Mas??" tanya Riska gagap.
"Wasiat palsu. Ladang emas. Ayah untuk bayi kamu." Mas Kala mengucapkan inti dari perbincangan Riska dan Bu Hera yang tadi kami dengar.
Ibu Mas Kala berjalan menghampiri Riska dan langsung menampar kedua pipinya. "Kamu bener-bener keterlaluan, Riska! Beruntung, kebenaran segera terbongkar."
"Bude, aku bisa jelasin semuanya." Riska turun dari bednya dan berusaha meraih tangan Ibu.
"Kemasi barang-barang kalian dan segera pergi dari sini secepatnya!" Ayah mengusir Riska dan Bu Hera.
Tak butuh waktu lama untuk Riska dan Bu Hera mengemasi barang-barang mereka. Kami duduk dan menunggu di sofa yang ada di ruangan. Setelah mereka berkemas, Riska dan Bu Hera berjalan mendekat.
"Pergi! Jangan pernah kalian muncul lagi di hidup kami." Ayah mengucapkan kalimat itu dengan wajah murkanya.
"Pakde, tolong maafkan kami berdua." Riska bersujud di kaki Ayah dan menangkupkan kedua tangannya.
"Pergi dari sini!" hardik Ayah.
Riska dan Bu Hera meninggalkan ruangan dengan raut wajah malu dan derai air mata.
Sepeninggal mereka, kami berenam masih duduk terdiam di sofa. Sampai saatnya Mas Kala membuka suara.
"Pa... Ma, maaf untuk semua yang sudah terjadi." Mas Kala meminta maaf pada Papa dan Mama.
"Udah, Bi. Jangan minta maaf. Semua bukan salah kamu. Memang sudah jalannya harus begini. Anggap aja ini bagian dari ujian menuju pernikahan kalian." Papa menepuk pundak Mas Kala.
"Bener, Bi. Yang udah ya udah. Untung aja semuanya cepet kebongkar, kan." Mama menimpali ucapan Papa.
Mas Kala ganti menatapku. Membuatku salah tingkah. "Kenapa sih kok ngeliatin aku kayak gitu?"
"Mas minta maaf ya, Tih."
Kuanggukkan kepala dan meraih tangannya. "Udah, ya. Nggak ada yang perlu dimaafin."
"Ya udah. Papa keluar dulu, ya. Mau urus-urus administrasi dulu," ucap Papa.
"Biar tak temani." Ayah Mas Kala berjalan ke arah Papa dan merangkul pundak Papa.
"Kalian tunggu di sini, kita makan malam di luar ya," ucap Papa sebelum keluar ruangan.
Semua yang terjadi memberikanku sebuah pelajaran baru. Membuatku belajar untuk tidak menyerah dengan mudahnya. Kejadian ini merupakan bagian dari ujian sebelum pernikahan kami.
Mas Kala, lelaki yang selama ini tanpa sadar sudah menantiku sekian lama. Menjadikanku bagian dalam setiap doa-doanya. Memperjuangkanku dengan gigihnya. Dan selalu sabar meyakinkan aku.
Ayem hati Belle. Semuanya udah selesai.
-to be continued-
Alohaaaa...
Akhirnya up juga part ini. Kebongkar juga akhirnya si Riska. Tadinya aku mau bikin Riska agak lama muncul di cerita. Tapi aku nggak mau bikin jengkel dan terkesan cerita mbulet ngulur-ngulur.
Semoga kalian suka ya sama cerita ini.
Aku terus tunggu komentar kalian.
Makasih banyak.
Aku sayang kalian banyak-banyak.
Chuuuuu...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top