-13-

Akhir pekan ini, Mama memintaku mengantar makanan ke rumah orangtua Mas Kala. Mama sudah menyiapkan semua yang harus kubawa. Aku merasa Mama lebih sayang Mas Kala dibandingkan aku, anak kandungnya. Makanan yang dimasak Mama, semuanya hampir makanan kesukaan Mas Kala.

"Ma, sebenernya yang anak kandung Mama itu Nadia atau Mas Kala sih?" tanyaku. Kuperiksa isi di rangkaian rantang yang ada di hadapanku. Setumpuk rantang yang berisikan 4 wadah sudah terisi dengan makanan. Ada sambal goreng kentang dengan krecek sapi, ayam masak kecap, dendeng ragi (Olahan daging yang dimasak dengan kelapa parut, hampir serupa dengan serundeng. Tapi, daging dipotong dengan ukuran besar) dan tumis buncis bumbu kuning.

"Nggak usah ngomong yang aneh-aneh deh, Kak. Udah sana. Buruan dianterin. Biar pas sama jam makan siang." Mama menyuruhku untuk segera berangkat.

Sengaja aku tak mengabari Mas Kala kalau aku akan datang ke rumahnya. Aku tahu dia ada di rumah. Karena, saat terakhir kami berkirim pesan, dia memberitahuku kalau dia hanya akan menghabiskan waktu libur di rumah sepanjang hari. Semenjak menjabat kaprodi, Mas Kala menjadi lebih sibuk. Belum lagi dia harus mengontrol semua usaha yang ditekuninya.

"Assalamuala--" Aku terhenti di pintu samping rumah orangtua Mas Kala di saat aku mendengar sesuatu yang membuatku terkejut. Posisiku sekarang membuatku bisa melihat Mas Kala, Ayah dan Ibunya sedang duduk dan berbincang di ruang TV.

"Aku nggak bisa. Aku udah punya Ratih." Mas Kala yang saat ini memakai kaos hitam lengan pendek duduk membelakangiku.

"Ayah juga nggak nyangka kalo almarhum bisa-bisanya ninggalin wasiat kayak begitu," ucap Pak Agung Wisesa, Ayah Mas Kala.

"Dia tau kalo almarhum bapaknya kasih wasiat untuk dinikahkan sama aku?" tanya Mas Kala.

"Iya," jawab Ayah.

"Terakhir kali aku ketemu dia itu udah lama banget, Yah. Waktu aku masih SMA. Dan kita nggak punya kewajiban untuk memenuhi wasiat itu. Toh, mereka cuma saudara jauh kita." sahut Mas Kala.

"Iya. Ayah nggak ada niatan untuk minta kamu nikah sama anaknya almarhum Wiyoto." Ayah Mas Kala menyeruput kopi dari cangkir yang ada di meja.

"Terus, untuk apa Ayah sama Ibu bawa dia ke sini? Aku nggak mau kalo sampe dia ngerasa kita kasih harapan."

"Abi, Ayah sama Ibu nggak bawa dia ke sini," ucap Bu Rahma, Ibu Mas Kala.

"Terus?" tanya Mas Kala.

"Dia yang minta ikut Ayah sama Ibu pulang ke Jakarta. Katanya, dia teringat mendiang bapaknya kalo ada di rumah. Ya mau nggak mau Ayah sama Ibu bawa dia ke sini," jelas Ayah Mas Kala.

"Yah... Bu, aku cuma nggak mau sampe ada salah paham. Mau sampe kapan dia di rumah kita?"

"Untuk sementara, biar dia di sini dulu ya. Nanti buar Ibu yang ngomong sama Riska."

"Yaudah, Abi minta tolong sama Ibu dan Ayah untuk selesein masalah ini." Mas Kala bangkit dari posisi duduknya. Seketika, dia membalikkan badannya dan melihatku yang berdiri di samping kulkas. "Tih..."

"Assalamualaikum," ucapku. Segera aku menghampiri Mas Kala dan kedua orangtuanya. Kukecup punggung tangan Mas Kala dan kedua orangtuanya. Kuserahkan rantang yang kutenteng pada Ibu.

"Lho, apa itu Nad?" tanya Ibu.

"Titipan dari Mama, Bu. Mama bilang untuk makan siang," jawabku.

"Bilang Mama, terima kasih banyak ya," ucap Ayah. Aku mengangguk.

"Tih, sini." Mas Kala menepuk sisi kosong sofa di sebelahnya. Memintaku untuk duduk.

"Ayah...Ibu, Nadia pamit langsung pulang ya," ucapku.

"Lho, mau kemana?" tanya Ibu. Aku tak menjawab pertanyaan Ibu.

"Tih... Duduk dulu," ucap Mas Kala lirih.

Setelah berpamitan dan mencium tangan kedua orangtua Mas Kala, aku berjalan cepat keluar rumah. Mas Kala mengejarku. Dia meraih pergelangan tanganku. Kucoba untuk melepaskan genggamannya.

"Kamu kenapa?" tanyanya padaku. Aku bungkam. "Tih, kamu kenapa?"

"Aku nggak mau ngomong apapun itu. Aku mau pulang," ucapku.

Hubungan kami baru saja menjadi semakin dekat. Tapi, kenapa hal ini datang di saat semua menjadi lebih baik?

"Kamu jangan begitu. Mas bingung kalo kamu nggak mau ngomong." Aku tertunduk. Mas Kala melepaskan gemggamannya. Dan menempatkan kedua tangannya di pundakku. Kutahan rasa kesal dan air mata yang hampir tumpah.

"Apa bener yang aku denger, Mas?" Pertahananku runtuh. Setitik air mata meluncur dengan suksesnya.

"Kamu... denger semua yang kami bicarakan?" tanya Mas Kala. Aku mengangguk lemas. Diangkatnya daguku dengan satu tangannya. "Dengerin Mas, nggak ada satupun niat Mas untuk menikah dengan perempuan selain kamu. Kamu percaya Mas, kan?"

Kuanggukkan kepalaku. Memang benar apa yang diucapkannya. Dengan jelas kudengar penolakan dari mulut Mas Kala saat berbicara dengan orangtuanya tadi.

"Tapi, tadi aku denger katanya dia ada di rumah ini," ucapku terisak. Mas Kala membawaku ke dalam pelukannya.

"Iya, dia ada di sini. Mas juga baru tau. Ayah sama Ibu baru sampe rumah tadi pagi. Mereka juga terpaksa bawa dia ikut ke sini." Mas Kala menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Dia menyeringai jahil. "Kamu cemburu?"

"Mas masih mau lanjutin rencana pernikahan ini nggak?" tanyaku kesal. Kurenggangkan pelukannya. Kucebikkan bibirku karena jengkel dia telah menggodaku.

"Kamu ngomong apa sih?" tanyanya.

"Ya lagian pertanyaannya ngeselin banget. Perempuan mana yang nggak cemburu calon suaminya diwasiatin nikah sama perempuan lain." Kulingkarkan tanganku erat di pinggangnya.

"Gini ya rasanya kalo perasaan kita bersambut," godanya. Kucubit perutnya kencang. "Sakit, Tih."

"Mas usil banget sih."

"Udah ya ngambeknya. Masuk lagi yuk! Kita makan siang bareng Ibu sama Ayah." Mas Kala mengajakku untuk kembali masuk ke dalam rumah. Kuikuti ajakkannya.

Kami berempat makan siang bersama. Meja makan dipenuhi lauk-paukyang kubawa dari rumah. Ibu belum sempat memasak karena masih terlalu lelah sepulangnya dari luar kota. Hari ini, kukhususkan diriku berperan sebagai seorang menantu di rumah ini. Kucidukkan nasi ke piring Ayah, Ibu dan Mas Kala.

"Mas, mau makan pake lauk apa?" tanyaku.

"Hmm, Mas bingung." Mas Kala mengedarkan pandangannya ke setiap makanan yang ada di meja makan.

"Pake semuanya aja ya, biar nggak bingung." Aku mulai menyendokkan lauk-pauk ke piring Mas Kala.

"Jangan lupa..."

"Kerupuknya." Kulanjutkan ucapan Mas Kala yang kupotong. Kusodorkan kaleng kerupuk ke arahnya.

"Duh, gawat banget ini anak lanang kebablasan minta dilayaninnya," ucap Ayah dengan nada bercanda. Ibu yang duduk tepat di sebelah Ayahpun ikut tersenyum.

"Nggak apa-apa dong, Yah. Emangnya Ayah doang yang bisa dilayanin sama Ibu." Mas Kala membalas ucapan Ayah sambil tertawa.

"Nad, kamu jangan kaget, ya. Abi itu manjanya nggak ketulungan. Maklum, soalnya anak bungsu," ucap Ibu.

"Iya, Bu. Nggak apa-apa. Nadia juga masih sering manja ke Mama, kok." Kutuangkan air putih ke gelas semua orang.

Di sela-sela makan siang, kami banyak berbincang. Ibu banyak bercerita tentang masa kecil Mas Kala yang sangat lucu. Kami larut dalam tawa. Mas Kala juga menuntutku untuk menceritakan masa kecilku.

"Aku tuh dulu bandel banget. Adeknya temenku pernah aku siram pake air comberan satu ember," ucapku. Mas Kala, Ayah dan Ibu tertawa kegelian.

"Kok bisa begitu, Nad?"  tanya Ibu.

"Soalnya anaknya juga bandel, Bu. Aku pernah dijorokkin ke kandang kambing pas Idul Adha. Kan malu diliatin banyak orang." Kami sudah selesai dengan makan siang. Kubereskan semua piring kotor yang ada di meja. Kutumpuk jadi satu dan membawanya ke tempat cuci piring di dapur.

"Nanti, jangan kamu turunin bandelnya kamu ke anak-anak kita ya, Tih. Cukup cantiknya aja yang kamu turunin. Nanti gantengnya, biar nurun dari Mas." Mas Kala masih sibuk mengunyah kerupuk ketiganya.

"Yeee. PD banget." Kuhampiri dia dan kucubit hidungnya.

Tiba-tiba tawa kami terhenti saat seseorang masuk dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum." Seorang perempuan yang baru kali ini kulihat berjarak 5 langkah dari ruang makan.

"Waalaikumsalam," jawab kami serentak.

"Udah selesai shoppingnya, Ris?" tanya Ibu. Perempuan yang namanya Riska itu mengangguk dan menaruh kantong-kantong belanjaannya di salah satu kursi makan yang kosong.

"Belanja apa aja, Ris?" tanya Ayah.

"Aku beli make up sama beberapa baju baru, Pakde." Riska melihatku dengan tatapan tajam.

"Oh iya, Ris. Kenalin ini Nadia. Nadia itu---" ucap Ibu, namun dengan lancangnya Riska memotong ucapan Ibu.

"Mas Abi!!" Riska berhambur menghampiri Mas Kala dan memeluknya. "Aku kangen banget sama Mas. Aku tungguin Mas. Tapi, Mas nggak bangun-bangun. Yaudah, aku shopping sendiri."

Aku yang duduk di samping Mas Kala, mulai merasa risih. Kugeser posisi dudukku. Mas Kala yang menyadari pergerakanku memberikanku isyarat untuk tetap di dekatnya. Dan, mau tidak mau kuturuti perintahnya, dengan konsekuensi aku harus rela melihat drama yang terjadi di depan mataku.

Ini dia masih dalam keadaan berkabung kan? Yang meninggal bapaknya, lho. Bukan ayam peliharaannya. Masih bisa ya dia nikmatin shopping.

"Ehm, Ris. Kamu bisa nggak jangan kayak begini. Di sini ada Nadia." Mas Kala berusaha melepas peelukkan Riska. Riska yang nerasa kesal pelukannya harus dilepas seketika menatapku.

"Apa urusannya sama dia, Mas?" tanya Riska.

"Dia calon istriku. Tolong hormati dia. Dan, tolong jaga sikap kamu." Mas Kala meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Mas! Nggak bisa. Sesuai wasiat Bapak, Mas Abi harus nikahin aku. Bukan perempuan itu."Riska menunjukku dengan telunjuknya.

"Aku dan keluargaku nggak ada kewajiban apapun untuk memenuhi wasiat almarhum bapakmu. Dan, aku nggak pernah setuju untuk memenuhi wasiat itu," ucap Mas Kala.

"Mas!" teriak Riska.

"Dan kalau memang tujuan kamu datang ke sini untuk menenangkan diri karena kamu masih berkabung, tolong fokus. Jaga sikap kamu selama di sini." Riska menggiggit bibir bawahnya dengan sangat kesal. Kuamati pergerakan tangannya yang mengepal kencang, seakan siap untuk melayangkan tinjunya ke arahku.

"Nggak! Aku nggak terima diperlakukan kayak begini, Mas!" Riska menangis dan meronta-ronta. Seketika Ibu dan Ayah memegangnya, namun Riska masih tetap meronta.

"Ris, jangan begitu," ucap Ibu.

Aku merasa bukan tempatku untuk bicara. Aku hanya memilih untuk diam. Diam adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

"Kamu, perempuan kayak kamu nggak pantes mendampingi Mas Abi."

"Riska! Jaga ucapan kamu! Aku sudah bertunangan dengan Ratih jauh sebelum wasiat konyol dari Bapak kamu itu ada." Mas Kala sudah tidak dapat mengontrol emosinya. "Tih, kamu pulang sekarang aja ya. Nanti Mas telepon kamu."

Aku menuruti ucapan Mas Kala. Segera kulangkahkan kaki keluar rumah. Dari luar rumah, samar-samar masih bisa kudengar Riska tengah meraung.

Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuhku di kasur. Merasa lelah dengan apa yang telah terjadi di sepanjang hari ini, kuputuskan untuk menyalakan TV yang ada di kamarku.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam. Kamu udah sampe rumah?"

"Udah setengah jam yang lalu. Ini lagi nonton TV. Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Maaf untuk kejadian yang tadi, ya." Kudengar dia menghela napasnya dengan kasar. "Maaf ya. Udah bikin kamu kaget."

"Iya, Mas. Terus, dia masih di rumah?"

"Masih. Kami sekeluarga sepakat untuk biarin dia di sini dulu sementara waktu. Nggak apa-apa, kan?"

"Mas juga di rumah yang sama?" tanyaku.

"Bagusnya gimana?"

"Jujur, aku nggak nyaman Mas serumah sama dia. Aku nggak suka. Aku takut dia ngelakuin hal-hal yang aneh. Untuk sementara waktu, bisa nggak Mas menyingkir dulu dari rumah Ayah Ibu?"

Mas Kala terdengar kembali menghela napasnya. "Bisa. Nanti Mas coba diskusi sama Yangkung, ya. Mas coba untuk numpang di sana sementara waktu."

"Mas mau ke rumah Yangkung?"

"Iya. Kenapa? Kalo boleh numpang di rumah kamu, mendingan di rumag kamu deh. Hahahah." Mas Kala tertawa di akhir kalimatnya.

"Di rumah Yangkung aja, ya. Aku sih nggak masalah Mas di sini. Cuma, nggak enak sama tetangga. Walaupun, di sini ada Papa sama Mama."

"Waktu itu kalo kamu usulin kita nikah siri, kita udah bebas nih kalo mau ngapa-ngapain."

"Mas Kalaaa!!"

"Kamu mau ikut ke rumah Bapak?" tanyanya. Mas Kala masih belum terbiasa untuk mengganti panggilan yang ditujukan pada Yangkung.

"Ikuut. Jemput aku ya."

"Dua jam lagi Mas ke sana, ya."

🌼🌼🌼

"Jadi, begitu ceritanya Yangkung. Nadia ngerasa Mas Kala nggak akan aman kalo perempuan itu masih ada di sana," ucapku. Yangkung terlihat manggut-manggut.

"Yo wes, kamu tinggal di sini dulu. Sekalian nemenin Yangkung sama Yangti ya, Bi." Yangkung menepuk pundak Mas Kala.

"Baik, Pak. Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih karena sudah diizinkan untuk tinggal sementara di sini," ucap Mas Kala.

"Nanti kamu nempatin kamar tamu yang di bawah ya. Kalo ada apa-apa bilang sama Yangkung atau Yangti," ucap Yangkung. Mas Kala mengangguk mengiyakan ucapan Yangkung.

Setelah lama berbincang, dering ponsel Mas Kala terdengar mengalun. Mas Kala  berpamitan untuk menjawab telepon. Mas Kala berjalan ke teras belakang rumah Yangkung.

Kurang lebih 5 menit Mas Kala menjawab telepon. Aku terus mengamati gerak-gerik Mas Kala sepanjang berbincang di telepon. Setelah selesai berbicara di telepon, Mas Kala kembali masuk ke dalam rumah.

"Dari siapa, Mas?" tanyaku.

"Ayah." Mas Kala kembali duduk di sebelahku.

"Ayah kenapa, Mas?" tanyaku kembali.

"Ayah bilang, Riska minta pulang."

"Kok bisa?" Aku mengernyitkan dahiku. Mas Kala mengendikkan bahunya.

"Nggak tau. Mungkin, Ayah sama Ibu sudah berhasil kasih dia pengertian. Bagus, kan?"

"Bagus sih. Tapi aneh aja," ucapku.

"Bismillah, ya. Kamu udah sholat Ashar?" Kugelengkan kepalaku. "Sholat dulu. Mas tungguin."

"Berarti Mas nggak jadi tinggal untuk sementara dulu di sini ya?" tanyaku. Mas Kala mengangguk.

Mendengar kabar itu, memang membuatku sedikit merasa lega. Tapi, aku juga merasakan hal yang aneh. Mengingat bagaimana cara Riska menatapku, membuat segala pikiran buruk melintas di kepalaku.

Berharap tak akan ada hal buruk yang terjadi. Semoga.

-to be continued-

Gimana Part ini?? Greget nggak?
Kalo kurang greget, aku minta maaf ya.
Semoga kalian suka.
Thanks banyak-banyak untuk kalian yang udah baca dan kasih like. Terima kasih.
Kalian tau nggak,setiap kali aku buka Wattpad dan liat ada notif tentang cerita ini, aku tuh senenggggggg banget banget banget!!
Terima kasih banyak!
Aku masih, dan selalu berharap, suatu hati nanti cerita ini akan menarik pembaca. Insha Allah

Love you all to the moon and back.
Semoga kalian selalu sehat ya.

_miss dandelion_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top