-12-
"Bisa tolong jelasin apa maksud yang terjadi barusan?" Buru-buru kubalikkan tubuhku. Melihat ke arah sumber suara.
"Bi-bi-bisa. Yuk, masuk dulu. Nanti gue jelasin ke kalian berdua. Lengkap." Kuraih lengan Sofi dan Maysha sekaligus. Kuseret mereka berdua masuk ke ruangan.
Kuceritakan semua dari A-Z pada Sofi dan Maysha. Aku tak merasa heran. Mereka berdua kaget bukan main. Kami bertiga sedang berbicara di kantin kampus. Mencari tempat yang agak sepi. Menghindari dari para "Babi Miyabi". Please, bukan artian dari babi peliharaan Miyabi, si aktris film panas itu. Babi Miyabi adalah sebuah perkumpulan. Ada arti dibalik nama itu. Dan, aku berani menjamin kalau artinya agak membuat merinding, Barisan Bidadari Miliknya Pak Abi. Horornya melebihi malam Jum'at Kliwon. Aku tak sanggup membayangkan reaksi mereka saat tahu Dewa yang dipujanya tak lagi menjadi milik para bidadari itu.
"Lo nggak lagi bercanda kan?" tanya Sofi. Aku menggeleng. Kuletakkan telunjuk di depan bibir, memberi kode pada Sofi agar tetap bicara secara perlahan.
"Emang gitu kenyataannya," ucapku.
"Berarti waktu itu gue nggak salah denger kan pas lo manggil dia Om?" Sofi menepuk punggung tanganku kencang.
"Keadaan nggak memungkinkan banget saat itu, Sof," ucapku.
"Bentar...bentar, ini jadi statusnya Pak Abi duda?" sambar Maysha. Aku mengangguk.
"Iya, dia dudanya almarhumah tante gue. Tante gue meninggal 3 hari setelah pernikahan. Pas mereka lagi honeymoon di Bali," jelasku. Sofi dan Maysha mengangguk paham.
"Gila! Gue kaget loh. Gue aja nggak tau kalo Pak Abi udah nikah. Rapih banget sih nutupinnya." Maysha mengaduk-aduk sepiring gado-gado yang sudah dipesannya.
"Bukan ditutupin, May. Tapi, tadi Nadia bilang undangan mau disebar seminggu sesudah akad. Rencana nggak sesuai sama takdir. Mungkin, kalo istrinya masih hidup, kita juga kondangan ke resepsinya mereka. Ya kan, Nad?" Sofi melempar pandangan ke arahku yang sedang menyeruput es teh manisku. Kurespon dia dengan anggukkan.
"Jadi, semuanya udah jelas ya. Gue udah ngga ada utang penjelasan ke kalian. Masalah status dia yang pernah nikah dan pernah jadi Om gue, tolong dikeep ya," Aku memohon pada Sofi dan Maysha.
"Pasti. Insha Allah, kita bisa jaga ini ya May?" tanya Sofi pada Maysha yang ditanggapi anggukan yang mantap.
Hari pertama mengajar di semester baru merupakan pengalaman yang menarik. Aku dipertemukan dengan banyak sekali wajah-wajah polos mahasiswa baru yang baru beradaptasi dengan kehidupan perkuliahan. Banyak cerita tentang alasan mereka berkuliah yang kudapat dari mereka langsung.
Gilang, tahun ini usianya genap 22 tahun. Setelah lulus dari SMA, Gilang tak langsung melanjutkan pendidikan ke bangku perkuliahan. Gilang diarahkan oleh sang Ayah untuk lebih melatih fisiknya demi menjadi seorang tentara. Sudah lebih dari 5 kali gagal dalam tes penerimaan, membuat Gilang memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya dan mengubur dalam-dalam cita-cita menjadi tentara.
Berbeda dengan Gilang. Seruni, memilih untuk berkuliah di jurusan ini karena dia merasa lemah dengan segala hal yang berbau hitung-menghitung. Andai saja dia tahu, bahwa jurusan yang dipilihnya inipun gak luput dari mata kuliah statistik yang menjadi mata kuliah wajib.
Dea, seorang Ibu muda usia 22 tahun. Setelah lulus SMA, Dea terpaksa menerima perjodohan yang dibuat orangtuanya. Dea menikah muda di usia 19 tahun. Di usia 20 tahun, Dea sudah menyandang status menjadi seorang Ibu. Suaminya memberi dukungan padanya untuk melanjutkan kuliah. Suaminya berharap kelak Dea tetap bisa mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang guru walaupun sudah menikah.
Dan, masiiiih banyak kisah yang kudengar hari ini. Hari ini, aku sengaja hanya ingin mengenal mahasiswaku lebih dekat. Aku tak ingin menciptakan suasana yang kaku antara dosen dan mahasiswa. Aku hanya ingin mahasiswaku merasa nyaman dan tak segan untuk mencurahkan isi hati. Akuenang mendengar kisah-kisah mereka. Kisah mereka seakan membuat mataku terbuka. Mensyukuri kehidupan yang kujalani. Mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan tanpa adanya halangan.
"Guys, next week tolong sudsh diusahakan bukunya ya. Kalian bisa beli secara kolektif. Jangan lupa, belinya yang covernya warna merah ya. Karena kita bener-bener harus mulai dari awal. Kalian semangat ya belajarnya," ucapku sebelum menyudahi kelas siang ini.
"Baik, Miss," jawab mereka serentak.
"Miss, boleh tanya sesuatu?" Dea, si ibu muda buka suara. Aku mengangguk. "Miss sudah berkeluarga?"
"Keliatannya gimana hayoo?" godaku.
"Kayaknya belum ya, Miss?" sambar Safira yang duduk di sebelah Dea.
"Hmm, mohon didoakan ya. Insha Allah, 5 bulan lagi kalo nggak ada halangan saya akan menikah," ucapku. Seketika kelas menjadi ramai dengan tepuk tangan yang riuh.
"Waaah, semoga dilancarkan sampe hari H ya, Miss. Nanti kalo udah deket hari H, banyak-banyak redam ego masing-masing. Kesabaran calon penganten bakalan diuji," ucap Dea.
"Makasih banyak ya, Dea untuk masukkannya. Makasih untuk ilmunya." Aku tersenyum ke arah Dea.
Kelas pertama selesai. Aku meninggalkan kelas dan berjalan menuju ke ruang dosen. Kususuri lorong dengan barang bawaan yang cukup berat. Pihak kampus mewajibkan setiap dosen untuk membawa tas pribadi mereka ke kelas selama jam pelajaran berlangsung. Kebijakan ini diambik setelah ada beberapa kasus kehilangan barang yang dialami oleh beberapa dosen saat meninggalkan tas mereka di ruang dosen sewaktu mengajar. Agak merepotkan memang. Ditambah, aku terbiasa membawa barang-barang tertentu di tasku. Selain tas yang berat, aku juga menenteng tas laptop di genggaman tangan kiriku.
Langkahku terhenti seketika saat seseorang menepuk punggungku pelan dari arah belakang. Kubalik badanku utuk memastikan siapa pelakunya. Aku terkejut. Kulihat sekeliling kami dan memastikan tidak ada yang melihat kebersamaan kami.
"Mas!" ucapku perlahan. Kutepuk lengan kanannya sedikit kencang.
"Sakit, Tih." Diusapnya lengannya yang baru saja kutepuk. Dia meraih tas laptop yang ada di genggamanku.
"Ih, udah biar aku aja yang bawa. Kamu jalan duluan aja sana. Nggak enak kalo nanti ada yang liat," ucapku. Kudorong-dorong tubuhnya agar dia segera berjalan menjauh dariku.
"Udah, Tih. We are officially go public kok, Tih." Bukannya segera berjalan meninggalkanku, Mas Kala malah mengambil posisi tepat di sebelahku dan berjalan mensejajariku.
Tak terasa langkah kaki kami terhenti di depan ruangan dosen. Aku segera mengambil kembali tas laptopku gang dibawanya.
"Mas mau ke dalem juga." Dia tak memberikan tas laptopku kembali. Malahan, dia berjalan mendahuluiku dan masuk ke dalam ruang dosen dengan santainya. Aku pasrah dan segera mengekorinya dari belakang.
"Duh, ada calon manten nih. Ampe dianterin segala masuk ke ruangan." Pak Setyo, dosen senior prodi Pendidikan Bahasa Indonesia berseloroh. Menyadari ucapan Pak Setyo sontak membuatku tiba-tiba menatap ke arah Sofi dan Maysha yang sedang duduk cantik di posisinya.
"Kok dia tau?" ucapku ke arah Sofi dan Maysha tanpa suara. Namun, bukan jawaban yang kutemukan. Sofi dan Maysha hanya mengendikkan bahu serentak.
Buru-buru aku berjalan ke mejaku dan segera duduk tenang. Kuletakkan tas di atas meja. Mencoba pura-pura untuk menyibukkan diri. Namun, seakan belum berakhir. Mas Kala tiba-tiba datang dan menghampiriku.
"Laptop kamu, Tih." Dia menaruh tas laptopku di atas meja.
"Duh, jadi bikin gue kangen suami deh." Bu Ferissa, dosen yang pernah mengajarku dulu. Menyadari aku salah tingkah karena ucapannya, Bu Ferissa tambah semangat untuk menggodaku dan Mas Kala. "Nggak usah malu-malu, Nad. Abi udah kasih tau ke kita semua. Selamat ya, Nad. Semoga dilancarkan sampe hari H." Kucoba untuk mendapat pembenaran. Kutatap Mas Kala yang ada di depanku. Dan dia hanya memberikan jawaban dengan sakali anggukkan. Ih!!
Aku tersenyum ke arah Bu Ferissa. "Aamiin..aamiin. Makasih banyak ya semua. Mohon doa restunya."
🌼🌼🌼
Seperti rencana yang sudah dibuat. Kami pulang bersama. Sebelum pulang, aku meminta izinnya untuk membeli jajanan yang dijajakan di luar kampus. Bingung karena melihat begitu banyak panganan yang dijajakan, mataku terhenti di seorang penjaja "Bilung", bihun gulung. Aku memesan 10 tusuk bihun gulung lengkao dengan saus sambal yang melimpah. Setelah membeli bihun gulung, aku kembali ke parkiran. Mas Kala terlihat sudah duduk rapih di balik kemudi dan memejamkan matanya. Kubuka perlahan pintu penumpang depan. Mendengar pintu dibuka, seketika Mas Kala membuka matanya.
"Udah jajannya?" tanyanya. Matanya melihat ke arah plastik tentengan yang kubawa.
"Udah. Mas capek?" Mas Kala mrngangguk lemah. Kutaruh tentengan yang kubawa di dashboard mobil. "Gantian sama aku nyetirnya?"
"Nggak. Mas aja." Mas Kala menghidupkan mesin mobil dan segera bersiap untuk melajukannya.
Baru beberapa meter mobil bergerak, kubuka hasil jajanku tadi. Kunikmati setusuk bihun gulung berlumur saus yang berlimpah. Buru-buru kuseruput saus yang hampir saja menetes. Nikmat! Bilung hangat ditambah saus pedas adalah hal terindah.
"Kamu beli saos atau gimana?" Mas Kala yang sedang fokus menyetir masih sempat-sempatnya bertanya.
"Mas mau?" tawarku padanya. Kuambil setusuk bilung dan kuarahkan ke mulutnya. Dia memakan bilung yang kusuapi.
"Besok-besok, saosnya jangan banyak-banyak ya," ucapnya.
"Mas khawatir aku sakit karena kebanyakan makan saos?" tanyaku. Dia menggeleng. "Lho kok?"
"Mas khawatir sama abang yang jualan bilungnya."
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Mas takut abangnya bangkrut gara-gara kamu minta saosnya banyak banget. Nanti kalo bangkrut, dia nggak bisa jualan lagi kan malah kasian."
"Mas Kala!! Sana nikah aja sama abang bilungnya!!" Kucebikkan mulutku karena saking kesalnya. Bisa-bisanya dia lebih mengkhawatirkan abang bilung ketimbang aku, calon istrinya. Melihat tingkahku, Mas Kala tertawa puas. Kemudian, dia mengelus pumcak kepalaku dengan tangan kirinya.
"Mas takut kamu sakit, Sayang," ucapnya.
Eh!! Demi apaaa?? Dia manggil gue Sayang???
"Barusan Mas panggil aku apa? Sayang??"
"Ah, nggak kok. Kamu salah denger." Dia mencoba berkilah.
"Gengsi banget sih, Mas. Kalo sayang mah sayang aja kali," cebikku kesal.
"Udah, jangan cemberut terus. Nanti Mas turunin di pinggir jalan nih," Mas Kala mengarahkan mobilnya ke tepi jalan.
"Mas Kala resehhhh!" teriakku dan diiringin tawanya yang membahana.
"Tadi kamu pasti kaget ya Pak Setyo sama Bu Ferissa tiba-tiba nyeletuk begitu?" Pertanyaan Mas Kala membuatku yang sedang asyiknya menikmati bilung terpaksa berhenti. Aku mengangguk.
"Gimana nggak kaget. Tau-tau dia bilang begitu. Mas bilang apa ke mereka?" tanyaku.
"Mas nggak bilang apa-apa. Tadi Mas coba-coba untuk ngajuin cuti satu minggu setelah acara akad nikah. Mas juga sekalian ajuin cuti untuk kamu." Dia menunjuk ke arah plastik berisikan bilungku, dan meminta satu tusuk bilung.
"Ya pantes aja, Olaf! Terus Mas bilang alasan cutinya karena pernikahan kita nanti?" tanyaku. Dia menggeleng.
"Mas bilang cuti seminggu untuk bulan madu." Dia memakan sekaligus setusuk bilungnya.
Kuambil selembar tisu. Kulap sudut bibirnya yang dipenuhi saus dari bilung yang tadi dimakannya. "Makan bilung sampe belepotan gini."
"Kamu sih saosnya banyak banget."
Tetep ya. Lo yang makan, gue yang disalahin. Lo tuh udah ngambil porsi bilung gue, Bambangggg!
"Mas." Kutolehkan pandangan ke arahnya.
"Hmm."
"Aku mau nanya dong. Jawab yang jujur ya," ucapku.
"Apa?"
"Waktu acara lamaran, Mas kok udah ada cincin sama kalung?Itu kan dadakan banget. Malemnya Mas bilang mau ngelamar, besoknya langsung acara. Emang bisa pesen perhiasan sehari jadi?" tanyaku. Seketika Mas Kala langsung menoleh ke arahku.
"Bisa, kalo Mas cucu kandungnya Queen Elizabeth."
"Lha, terus??"
"Cincin sama kalung itu udah Mas siapin sejak lama. Karena, rencananya Mas mau lamar kamu setelah wisuda dulu. Tapi ternyata skenario Tuhan agak sedikit rumit. Jadi, cincin sama kalung itu Mas simpen di laci lemari. Ibu juga pernah tanya masalah ini. Tapi,setelah Mas jelasin semuanya ke Ibu, beliau seneng banget." Tanganku digenggam. Hangat. Dan sesekali dia mengecup punggung tanganku sambil menyetir.
"Maafin aku, ya."
"Maafin kenapa?" tanyanya.
"Maaf karena udah bikin Mas nunggu cukup lama," jawabku.
"Itu nggak penting. Sekarang, yang penting kita udah sama-sama. Sedikit lagi sah."
"Dua tahun lebih, ya. Kok kamu masih simpen cincin sama kalungnya? Dua tahun itu waktu yang lama, lho." Kutatap wajahnya.
"Karena saat itu, Mas yakin kalo bisa ketemu kamu lagi. Dan nggak mau lagi kehilangan kesempatan untuk ungkapin semuanya."
"Nggak greget kalo jalannya nggak begini, Mas."
"Greget dong, Tih. Kalo dulu Mas langsung lamar kamu, mungkin sekarang kita bertiga di mobil ini," ucapnya.
"Bertiga?" tanyaku. Dia mengangguk.
"Iya, bertiga. Mas, kamu dan anak kita. Atau Mas, kamu dan calon anak kita. Bisa jadi kan kamu lagi hamil besar anak kita. Kamu dengan perutmu yang gendut. Mas nggak sabar liat kamu begitu. Pasti lucu." Dia tersenyum.
"Nggak sabar mau ngebully aku atau gimana nih?" tanyaku.
"Kok ngebully sih?? Ya nggak lah."
"Belum hamil aja Mas udah ngebayangin aku dengan perut yang gede. Pake segala dibilang lucu," jawabku kesal.
"Kamu daritadi kenapa?Bawaanya sensitif terus. Lagi kedatangan tamu?tanyanya. Mas Kala memicingkan kedua matanya. Aku mengangguk. "Pantes ajaaaa."
-To be continued-
Hey! Kalian apa kabar?
Sedih nggak sih liat jumlah peningkatan penularan Coronavirus di Indonesia. Rekor banget. Sehari tembus 3000 kasus lebih.
Siap-siap, ya. Per Senin 14/9/2020 PSBB besar-besaran bakalan dilaksanakan lagi. Belum tau sampe kapan PSBB diberlakukan.
Semoga kebijakan yang akan diterapkan memberi dampak positif pengurangan angka penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Aku kangen banget jajan-jajan bebas. Kangen pelukkan sama temen-temen. Kangen salam-salaman.
Kalian juga tetep jaga kesehatan ya.
Insya Allah, Nadia & Kala bakalan setia menemani waktu kalian selama PSBB.
Ayoooo, bantu promosiin cerita ini.
Aku tunggu vote dan commentnya yaaa.
Stay healthy ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top