-10-
"Hah? Lo nggak bercanda, kan?" Nadira membuka mulutnya karena kaget. Kuceritakan semua yang terjadi hari ini padanya.
Aku menggeleng. "Gue juga nggak nyangka perasaan dia ke gue begitu. Gue kan jadi bingung."
"Ikutin kata hati lo aja. Lo suka juga nggak sama Om Abi?" tanya Nadira.
"Nggak tau, Dir. Tadinya sih biasa aja. Tapi setelah ada usulan itu kok gue kayak ngerasa kayak ada something different happens in me," ucapku.
"Suka gitu emang, Kak. Terkadang cinta itu muncul dari "ciye-ciye", "dijodoh-jodohin" sama "diujug-ujugin". Yang tadinya nggak ngerasa apa-apa,setelah digituin malah jadi ngerasa apa-apa." Nadira berjalan menuju lemari an mengambil satu stel piyama tidur.
"Mungkin sementara waktu, gue coba pastiin dulu gimana perasaan gue. Dan gue mau liat gimana kesungguhan dia. Gue nggak mau aja buang-buang waktu kaya hubungan yang terakhir, sama Rangga lho ya maksud gue. Kalo pas di US mah gue anggep maen-maen aja, nggak serius," ucapku.
"Om Abi bukan Mas Rangga keleusssss, Kak. Dia mah jauh beda dari segi akhlak ahahahah," sahut Nadira.
Kurebahkan tubuhku. Kuletakkan ponselku di nakas. Obrolan dengan Nadira, membuatku sedikit melamun. Hingga denting notifikasi membuyarkan membuyarkan lamunanku.
Setelah membaca pesan darinya, buru-buru aku berlari ke luar. Tempat yang kutuju adalah kamar Nadira. Kubuka pintu tanpa kuketuk. Nadira terlihat sedang asyik bertelepon.
"Nadira, gawat!" ucapku. Nadira segera mematikan sambungan teleponnya dan terlihat sangat bingung.
"Gawat apanya? Lo kenapa?" tanya Nadira. Tanpa banyak basa-basi, kusodorkan ponselku ke arahnya.
"Lo baca sendiri." Nadira mengambil ponselku dan mulai membaca.
Saat membaca obrolanku dan Om Abi, mata Nadira membulat terkejut. "Ini sih gila, Kak. Dia emang bener-bener serius sama lo."
"Terus gimana dong? Nggak bakalan lucu kalo besok tiba-tiba Om Abi dateng ke sini sama keluarganya. Gimana Papa sama Mama?" ucapku.
"Gini aja ya, Kak. Besok pagi lo coba pastiin lagi ke Om Abi. Jujur, gue kaget." Nadira mengembalikkan ponselku. "Mending sekarang lo tidur. Udah malem."
"Nggak akan bisa tidur nyenyak gue, Dir."
Benar. Tidurku sangat tidak tenang semalaman. Memikirkan semuanya yang serba tiba-tiba. Suara adzan Subuh benar-benar menyadarkanku. Aku akan mencoba untuk kembali tidur setelah sholat Subuh.
Kubuka mata setelah merasa ada seseorang masuk ke kamarku. Nadira. Nadira membuka lebar tirai kamarku, membuat sinar matahari sukses masuk. Silau, Ciripa!
Sambil mengernyipkan mata, kucoba untuk memupuk kesadaran. "Ada apa, Dir? Tumbenan lo ke sini pagi-pagi buka gorden kamar gue."
"Bangun, Kak. Ini udah jam 10. Lo disuruh mandi. Abis mandi, dipanggil sama Papa di ruang tengah." Nadira duduk di tepian ranjangku.
"Ada apaan emangnya?" tanyaku penasaran. Nadira mengendikkan bahunya.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku segera keluar untuk bertemu Papa. Kuedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Rumah terlihat sedikit lebih rapih dibanding biasanya.
Aku berjalan ke arah dapur. Kudapati Mama, Bude Ros dan yang mengejutkanku, Yangti juga sedang memasak di dapur. Mereka bertiga terlihat sangat sibuk, entah apa yang sedang dimasak.
"Ma... Kok masaknya banyak banget?" tanyaku sambil kucomot beberapa kentang goreng berbentuk dadu.
"Kamu dicariin Papa sama Yangkung, Kak. Papa sama Yangkung ada di halaman belakang. Kamu samperin ya." Aku mengangguk. Mama kembali sibuk memasak.
Aku berjalan ke arah halaman belakang. Kudapati Papa dan Yangkung tengah asyik berbincang. Yangkung yang pertama menyadari kehadiranku.
"Udah bangun?" tanya Yangkung. Entah pertanyaan ini harus diucapkan dengan nada seperti apa. Di telingaku, terdengar seperti sebuah sarkasme.
"Udah, Yangkung. Yangkung udah daritadi di sini?" tanyaku. Kucium punggung tangan Yangkung.
"Tadi sampe sini jam 6. Yangkung sama Yangti berangkat selesai sholat Subuh," jawab Yangkung.
"Emangnya ada apa, Yangkung?" tanyaku. Yangkung malah terlihat heran.
"Mama kamu telepon Yangkung semalem. Wes, biar Papamu yang ngelanjutke. Yangkung nyimak wae." Yangkung menyeruput segelas wedang uwuh yang sepertinya masih hangat.
"Kak, semalem Om kamu telepon Papa. Om kamu udah cerita. Dan, dia bilang hari ini mau ke sini sama keluarganya," ucap Papa.
"Om Abi telepon Papa??" Papa mengangguk. "Terus, Papa bilang apa?"
"Papa menyambut niatan baik Om kamu, Kak. Papa bilang ke dia, kalo emang niatnya baik nggak ada salahnya untuk disegerakan. Lagipula umur Kakak kan juga udah pantes untuk berumah tangga," ucap Papa.
"Abi juga wes nelepon Yangkung, Nduk. Semalem, Abi ngabarin Yangkung sama Yangti. Makanya, pagi-pagi kami sudah ada di sini. Dia anak baik, Nduk. Yangkung kasih restu untuk kamu." Yangkung menepuk punggung tanganku pelan.
"Kamu mau kan, Kak?" tanya Papa.
"Tapi kan, Pa. Dia..."
"Dia Om kamu?" Aku mengangguk. "Kakak risih dengan status Abi?"
Kugelengkan kepalaku. "Nggak, Pa. Bukan begitu. Nadia masih ngerasa ini terlalu tiba-tiba."
Papa meraih pundakku. "Kak, setelah lamaran nanti akan ada waktu beberapa bulan untuk kalian mengenal satu sama lain. Gimana?"
"Emangnya aku bisa nolak, Pa?" jawabku.
"Bismillah ya, Kak," ucap Papa.
Bagaikan mimpi. Tak pernah kubayangkan akan dilamar dengan cara seperti ini. Bukan, bukan. Aku bukan kaum ciwi-ciwi yang mengharapkan lamaran di rooftop restoran, dengan rangkaian bunga mawar merah dan balon-balon unyu. Tapi, dilamar dengan cara yang begini cukup membuatku kaget. Terlebih, dilamar Om sendiri.
Setelah berbicara dengan Papa dan Yangkung, aku kembali ke kamarku. Kuraih ponselku yang tergeletak di ranjang. Lampu notifikasi berkedip. Kubuka pesan yang masuk, dari Om Abi.
Sesantai itu dia nanggepinnya. Gustiiii, Belle pusiiing, tapi seneng.
🌼🌼🌼
Acara dimulai tepat ba'da Isya. Aku sudah siap dengan atasan kebaya berwarna dusty pink dengan lengan 3/4. Kebaya ini pernah kupakai di acara wisuda S1ku dulu. Semua persiapan sudah selesai. Acara kali ini hanya dihadiri keluarga besar kedua belah pihak, ditambah Pak RT dan beberapa tetangga kanan-kiri sebagai saksi. Saat mereka tau siapa yang akan melamarku, bisa kulihat raut kaget di wajah mereka. Mereka pernah beberapa kali melihat Om Abi ke rumah bersama Nte Vina sebelum menikah dulu.
Om Abi datang bersama kedua orangtuanya dan beberapa sanak keluarga yang tak kukenal. Dulu, waktu acara pernikahannya dengan Nte Vina, aku juga hanya sekilas melihat keluarga besar Om Abi.
Om Abi terlihat gagah dengan kemeja batik lengan panjang berwarna biru tua dan celana bahan hitam yang kuyakin digosok dengan sangat rapih. Om Abi sedikit merapihkan model rambutnya, terlihat berbeda dari yang kulihat kemarin. Rambut halus di sekitar janggut juga tak luput dirapihkan.
Om Abi duduk di antara Ayah dan Ibunya. Aku pernah beberapa kali bertemu dengan Ayah dan Ibu Om Abi. Mereka sangat baik dan ramah. Senyuman tulus selalu tercetak di bibir Ibu Om Abi.
Keluarga besarku juga berkumpul. Bahkan, keluarga Pakde Yoya, termasuk Mas Deka, manusia yang menjadi awal mula semua ini terjadi juga hadir. Mereka tiba tadi sore, sekitar jam 4. Aku adalah cucu perempuan pertama untuk Yangkung dan Yangti. Tak heran jika keluarga besar sampai rela hadir di acara malam ini. Sementara dari pihak Papa, tidak ada yang bisa hadir. Karena, semua keluarga besar Papa tinggal di Semarang.
Aku duduk diapit Papa dan Mama. Jantung berdetak tak berirama. Kupergoki beberapa kali Om Abi mencuri pandang ke arahku. Di saat mata kami bertemu di satu titik, dia hanya tersenyum. Sudah kucoba untuk memberikan kode dengan menempelkan jari telunjukku di bibir. Tapi, tetap saja dia terus mencuri pandang.
Acara dibuka dengan sambutan yang diberikan Pak Tino sebagai ketua RT. Begitu pula dari pihak Om Abi. Mereka menyampaikan maksud dan tujuan dari kedatangan mereka. Hingga tiba saatnya Om Abi melamarku secara resmi di hadapan para tamu yang hadir.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Saya, Abimanyu Kalandra Wisesa meminta kamu, Nadia Kamaratih Sutanto secara langsung di hadapan kedua orangtua kamu untuk menjadi istri dan Ibu dari anak-anak saya." Matanya menatap ke arahku. Tangan kanannya erat menggenggam mikrofon. "Ratih, bersediakah kamu untuk menjadi istri saya dan Ibu dari anak-anak saya nantinya?"
Aku terdiam. Papa dan Mama menggenggam tanganku erat.
"Bismillah, Kak." Papa perlahan melepas genggaman tangannya dan menyelipkan mikrofon ke tanganku.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Saya terima lamaran dari Om Ab--" ucapanku terputus. Nadira yang duduk di belakangku, menepok punggungku.
"Mas, Kak! Mas. Bukan Om."
Semua tamu yang hadir tertawa mendengar apa yang diucapkan Nadira.
"Mohon maaf ya bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Nadia masih belum terbiasa," ucap Papa dengan diakhiri gelak tawa.
Maluuuuuuuuu.
"Mohon maaf saya ulangi sekali lagi." Kutarik dan kuhembuskan napas perlahan. Kulihat dia yang tengah berdiri tepat di seberangku. "Bismillahirrahmanirrahiim. Saya terima lamaran dari Mas Kalandra." Kutatap wajahnya. Senyum lega terukir di wajahnya. Lesung pipit yang sedari tadi bersembunyi tercetak jelas di pipinya. "Ya, Nadia bersedia untuk menjadi istri dan Ibu dari anak-anak Mas Kalandra."
"Alhamdulillaaaaah." Semua tamu yang hadir terdengar lega setelah mendengar jawabanku.
Tiba saat kami saling bertukar cincin. Mama memakaikan cincin emas putih di jari manis sebelah kiri Om Abi. Sedangkan, Ibu Om Abi gantian memakaikan kalung dengan bandul inisial "KA" di leherku. Setelah memakaikan kalung, beliau memelukku dengan sangat erat.
"Nadia, terima kasih banyak ya. Ibu senang Nadia menerima pinangannya Abi. Terima kasih banyak, ya." Ibu Om Abi menciumi kening dan juga pipi kanan-kiriku. Kuseka air mata yang menetes di pipinya.
"Iya, Ibu. Nadia juga mau ucapin terima kasih banyak. Doakan Nadia. Semoga Nadia bisa jadi istri yang baik untuk Mas. Dan juga menantu yang baik untuk Ibu dan Bapak," ucapku.
Acara malam ini berjalan dengan sangat lancar. Telah ditetapkan pernikahan akan digelar dalam waktu 6 bulan ke depan. Yangkung dan Yangti beserta keluarga Pakde Yoga bermalam di rumahku. Rumah terasa sangat ramai, karena kakak-kakak sepupuku yang biasanya sangat sibuk, khusus hari ini mereka menyempatkan untuk hadir di acaraku. Kami semua memutuskan untuk tidur di ruangan tengah. Drngan sigap mereka mengambil kasur yang ada di kamarku dan kamar Nadira. Mereka menaruh dan menatanya di ruang tengah. Kami sudah sering tidur dengan cara seperti ini setiap kali berkumpul.
"Dek, gima rasanya dilamar sama Om sendiri?" tanya Mas Sakha.
"Reseh lo, Mas." Kukerucutkan bibirku ke arahnya. Dan tanpa kusangka, Mas Sakha langsung menarik bibirku. "Sakiiiiit, Mas!"
"Digituin aja sakit. Gimana nanti malem pertama," ucap Mas Sakha.
"Kayak lo udah pernah merawanin aja, Mas." Yes. Thanks Nadira! Mas-mas sepupuku adalah laki-laki yang baik. Mereka tidak akan pernah bertindak melewati aturan agama. Mereka sangat paham bagaimana menghormati wanita.
"Sukuuuur!" sahutku sambil tertawa.
Aku, Mas Deka dan Nadira tidur di kasur yang sama. Sedangkan Mas Sakha tidur sekasur dengan Mas Gio. Kami berlima memandang ke arah langit-langit. Sudah menjadi kebiasaan kami untuk berpillow talk ria sebelum tidur. Karena hari ini adalah hari khusus untukku, maka pembahasan tak akan jauh-jauh tentang diriku.
"Berati nanti gue manggil suami lo pake namanya dia aja ya." Mas Gio yang mengambil posisi paling ujung membuka suara. "Agak aneh nggak sih di lidah? Biasa manggil Om terus tiba-tiba panggil nama."
"Lo salahin tuh kembaran lo ini. Dia yang punya andil sampe acara hari ini kejadian," ucapku sambil menepuk lengan Mas Deka yang berbaring di sebelahku. Posisiku diapit oleh Mas Deka dan Mas Sakha.
"Lo tuh kudunya makasih sama gue. Gue mempermudah jalan jodoh lo." Mas Deka tiba-tiba bangun dari posisi tidurnya dan duduk bersila. "Semoga pernikahan kalian nanti sakinah, mawaddah dan warahmah. Jadi,nanti gue bisa dapet 1 rumah di surga."
"Iya, kalo lo masuk surga, Mas. Kalo nggak, mendingan nanti rumahnya gue yang nempatin daripada kosong," timpal Nadira.
Perrcakapan kami masih terus berlangsung sampai tengah malam. Obrolanku dengan sepupu-sepupuku terhenti sejenak karena sebuah panggilan masuk. Segera kuangkat telepon dan sedikit bergeser ke meja makan. Tak ingin mengambil resiko dibuat maku oleh 4 makhluk tak beradab itu.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
"Kamu lagi apa?"
"Lagi ngobrol sama Mas-mas sepupu. Kebetulan mereka nginep semua di sini."
"Kamu belum tidur?"
"Belum, Om."
Lama dia tak bersuara.
"Om, ketiduran ya?"
"Hmmm, padahal saya udah seneng tadi kamu panggil saya "Mas Kala". Sekarang kamu panggil saya Om lagi."
"Ya ampuun, aku minta maaf ya, O--. Maksudku Mas. Jangan marah ya, Mas."
"Nggak kok. Tih, saya mau bilang terima kasih."
"Untuk apa, Mas?"
"Kamu mau terima lamaran saya."
"Mas.."
"Ya."
"Mas mau kan bimbing aku?"
"Kita belajar bareng-bareng ya, Tih."
"Iya, Mas. Mas nggak keberatan kan kalo aku panggil Mas Kala?"
"Nggak sama sekali, Tih. Saya seneng kamu panggil saya begitu."
"Mas nggak tidur?"
"Belum ngantuk. Tiba-tiba saya pengen banget denger suara kamu."
"Please, jangan jadi bucin."
"Kalo saya bucin gimana, Tih?"
"Nggak mau ah. Nggak ada gregetnya kalo sama bucin. Kalo sama bucin kan, aku minta apa aja diturutin. Aku mau ngapain dibolehin. Nggak asik."
Terdengar gelak tawa dari seberang sana.
"Kok ketawa sih?"
"Nggak apa-apa. Kamu aneh-aneh aja. Dimana-mana tuh perempuan seneng kalo dibucinin. Kamu malah takut."
"Terms and conditions aja deh kalo gitu."
"Yaudah, kamu istirahat ya. Jangan tidur terlalu malem."
"Mas juga. Istirahat, ya."
"Mau jalan bareng kapan?"
"Eh?"
"Ini kan long holiday."
"Tapi jangan besok, ya. Keluarga besar masih pada kumpul. Soalnya jarang kumpul bareng lengkap begini. Terakhir kumpul lengkap waktu..."
"Pernikahan saya dengan Vina?"
"Uhm, iya."
"Yaudah, nanti kamu kabari saya aja."
"Mas..."
"Ya."
"Nggak jadi. Nanti aja kalo kita ketemu."
"Yaudah. Good night, calon istri."
Eh, dia bilang apa???Calon istri? Duh kok gue jadi malu ya.
"Good night too, calon imam."
-to be continued-
Hey!
Terima kasih untuk yang masih setia baca ceritaku. Aku masih terus berharap suatu saat nanti bakalan banyak yang suka dengan cerita ini. Sengaja aku nggak bikin cerita yang penuh dengan kekejaman. Kejam maksudku, istri yang tertindas, suami yang selingkuh sampe poligami. Aku mau cerita yang enteng2 aja tapi tetep uwu uwu.
Semoga kalian suka yaa.
Aku tetep dan selalu mengharap vote dan comment kalian. Bisa ya?
Chuuuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top