-1-
Mohon doa restunya, ya. Semoga kalian berkenan untuk baca cerita ini. Maapin yee bepp kalo ada salah-salah ketik. Sengaja aku nggak pake prolog. Biar kalian bisa berimajinasi alur ceritanya gimana. Biar bisa nebak-nebak sebenarnya apa rencanaku gitu ceritanya mahhhh. *chuuuuu* 😘😘
San Francisco, USA
"Ya, Nte," ucapku pada seseorang di sambungan pagi ini.
"Nad, lo jadi balik, kan?" jawabnya. Dia adalah Tanteku, adik dari Ibuku. Jarak umur kami hanya 5 tahun. Entah apa yang ada di pikiran Yangkung dan Yangti saat proses pembuatannya. Yang kutahu, Yangti berumur 16 tahun saat melahirkan anak pertama, Pakde Yoga. Dan Nte Vina lahir saat Ibuku berumur 20 tahun.
"Ya jadi lah. Gila aja lo. Gue udah booking tiket. Dua taun gue nggak pulang. Akhirnya pulang juga." Tangan kananku sibuk mengaduk teh manis hangat di cangkir.
"Lo beneran balik buat selamanya, kan? Nggak akan balik-balik lagi ke sana, kan?" tanya Nte Vina dengan nada penuh penasaran.
"Iya, Nte. Kan gue juga udah wisuda. Kemaren nggak ikut balik sama Papa Mama karena masih banyak yang harus gue kelarin di sini. Emangnya lo mau ponakan lo ini tinggal di luar negeri terus? " jawabku. Kuseruput teh manis hangat yang baru aja kubuat. Cuaca pagi ini dingin, sangat dingin. Musim dingin segera tiba. Nte Vina memang sangat dekat denganku. Karena memang hanya aku dan adikku, Nadira cucu-cucu perempuan dari Kakek-Nenek pihak Mama.
"Gue tuh kangen hangout sama lo. Nggak rela deh kalo lo ke luar lagi." Suaranya terdengar sangat bersemangat. "Nanti temenin gue ke makamnya Vani, ya."
"Tahun ini tahun ketiga ya, Nte?" tanyaku pada Nte Vina. Nte Vani adalah kembaran Nte Vina yang meninggal setelah melahirkan anak pertamanya.
"Iya, sekalian gue mau minta restu dia. Kan gue mau nikah." Jelas kudengar ada isakkan kecil dari seberang sana. Nte Vina dan Nte Vani memang sangat dekat. Bahkan, Nte Vina merasakan kehilangan yang teramat atas kepergian Nte Vani .
"Yaudah, gue mau beres-beres dulu. Besok malem gue landing. Lo ngga usah jemput. Gue udah minta tolong Mas Rama jemput." Kuakhiri sambungan telepon untuk hari ini karena masih banyak yang harus diselesaikan sebelum benar-benar meninggalkan tempat ini.
Dua tahun aku tinggal di negara ini. Melanjutkan pendidikan. Negara Paman Sam menjadi tempat pilihanku. Memang benar kalau seluruh biaya pendidikan dan kehidupanku selama dua tahun ini ditanggung sepenuhnya oleh orangtuaku. Mereka hanya terlalu kelewat bahagia saat kusampaikan niatan untuk melanjutkan program masterku setelah lulus S1.
Kembalinya aku ke tanah air bertepatan dengan akan diselenggarakannya pesta pernikahan Nte Vina dengan seorang lelaki yang dikenal dari jalur perjodohan antar orangtua. Yangkung dan Yangti adalah orangtua yang sangat demokratis. Mereka membebaskan anak-anaknya untuk memilih pendamping masing-masing. Mungkin, Nte Vina dianggap gagal dan terlalu lama menemukan pasangan. Maka, perjodohan dijadikan jalan keluarnya.
Nte Vina sempat beberapa kali menjalin hubungan dengan laki-laki. Di hubungan yang terakhir, dia dipermalukan di hadapan ratusan pengunjung mall karena dianggap sebagai seorang pelakor. Bahkan, dia berani bersumpah demi nama Tuhan kalau dia tidak seperti yang dituduhkan. Setengah tahun berhubungan, laki-laki itu mengaku berstatus lajang. What the ---
Wacana untuk meminta Nte Vina menikah dengan Om Bara, suami dari almarhumah Nte Vani juga pernah terucap. Tapi, usulan itu ditolak Nte Vina. Menurutnya, itu ide yang sangat tidak masuk akal. Emang iya?
Perjodohan ini memang terkesan buru-buru. Tiga bulan. Ya, tiga bulan masa deadlinenya. Itupun sudah termasuk masa perkenalan dan persiapan pernikahan. Amazing! Pernah iseng kutanya tentang kesiapan mentalnya menghadapi pernikahan ini, aku benar-benar dibuat melongo dengan jawabannya. 'Biarin deh. Yang penting Kakek sama Nenek lo seneng.'
Sampai detik ini, aku belum tahu siapa bakal calon suami dari Tanteku itu. Bahkan Nte Vina, yang notebenenya gila medsos tidak pernah sekalipun mengupload foto-foto acara lamaran di akun Instagramnya ataupun di whatsapp storynya. Hanya berbekal satu nama, Kalandra. Baru kali ini kudengar nama itu. Zaman sudah maju, teknologi sudah canggih. Tapi, pencarianku tak membuahkan hasil. 'Nanti aja gue kenalin kalo lo udah di Jakarta.'
Astaga! Maaf, karena kurang sopan. Aku belum memperkenalkan diri. Nadia Kamaratih Sutanto. Boleh panggil aku Nadia, Nad atau Ratih. Asal jangan panggil aku Tanto ya. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku akan lebih memperkenalkan keluargaku. Nanti, ya.
Jakarta, Indonesia
Ini mimpi! Dua tahun. Akhirnya aku bisa kembali merebahkan tubuhku di kasur kesayangan. Dan keadaan kamarku masih sama seperti terakhir kali saat kutinggalkan. Tidak ada yang berbeda. Rapih. Terima kasih, Bude Ros. Aku hanya butuh istirahat. Setelah selesai membersihkan diri, kumatikan ponselku. Aku tak ingin nenek lampir itu, ah maksudku Nte Vina menggangguku. Bahkan, aku belum sempat menyapa kedua orangtuaku, karena mereka sudah tertidur. Jelas, ini tengah malam, Nad! Kutulis sebuah pengumuman di selembar kertas, kemudian kutempel di pintu kamarku.
"JANGAN GANGGU. BUTUH ISTIRAHAT. NANTI KALO UDAH WAKTUNYA BANGUN, JUGA BAKALAN BANGUN SENDIRI. THANKS! "
Kembali kulanjutkan keintimanku dengan kasur kesayangan. Ini akan jadi tidur panjangku. Leher, pundak, punggung dan pinggangku benar-benar butuh istirahat. Aku hanya butuh tidur. Kupastikan pintu kamar sudah benar-benar terkunci. Jakarta sungguh sangat bersahabat. Udara dingin karena hujan setengah deras makin memantapkan rencana hibernasiku. And, here i go. Zzzzzz
Kalau bukan karena lapar, mungkin aku akan tetap tidur sampai sore. Kulirik jam kecil di atas nakas. Astaga! Hampir Dzuhur. Lama juga tidurku. Untung masih bisa bangun. Segera aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh dan bersiap menunaikan sholat. Subuhku lewat. Harap maklum, Yaa Allah.
Setelah selesai menunaikan ibadah, aku berjalan keluar kamar. Untungnya, kamarku ada di bawah. Tak perlu lah ribet menuruni tangga.
Ketika langkah mendekati ruang keluarga, betapa terkejutnya aku. Hamlir semua keluarga besar, minus keluarga Pakde Yoga yang tinggal di Bandung. Bahkan, Om Barra dan si kecil Zayyan sudah ikut berkumpul di sana.
"Yangkung.. Yangti." Kucium tangan mereka. "Kok pake ke sini. Nanti biar Nadia yang ke rumah Yangkung."
"Wes, ndak popo. Yangkung sama Yangti wes kangen banget sama kamu, Nduk. Kamu sehat, kan?" tanya Yangkung. Tangan keriputnya membelai puncak kepalaku dengan sangat lembut. Bolehkan aku bahagia? Mungkin karena aku adalah cucu perempuan pertama untuk Yangkung dan Yangti.
"Alhamdulillah, Yangkung. Nadia sehat. Yangkung sama Yanti sehat juga, kan?" tanyaku.
"Sehat. Tapi, ya gitu. Yangkung sama Yangti itu masalahnya cuma di dengkul aja." Yangti kemudian beralih memelukku dan mencium kedua pipiku. "Kamu pasti kangen kan sama opor ayam bikinan Yangti? Kita makan siang bareng, ya,"
"Nad, lo ngga lupa kan oleh-oleh titipan gue?" tanya Nte Vina yang jelas kutahu pasti sedari tadi dia menunggu giliran untuk bicara denganku.
"Ponakan pulang bukannya disambut, dicium, dipeluk. Ini malah ditanyain oleh-oleh. Titipan lo udah gue buang lewat jendela pesawat." Aku mulai berdiri dan perlahan membantu Yangti untuk berjalan ke ruang makan.
"Ish, sensitif banget ponakan satu ini." Nte Vina mulai menyusul kami ke ruang makan.
Acara makan siang berjalan dengan lancar. Entah harus bagaimana lagi aku mendeskripsikan ini semua. Bahagia. Akhirnya, lidah ini benar-benar bisa merasakan lezatnya masakkan rumahan. Meski aku hampir setiap weekend pergi ke Chilicali Restoran Indonesia untuk mengobati rasa rindu yang teramat, tapi tetap masakkan rumah ini pemenangnya.
"Pa.. Ma, maaf ya. Nadia semalem ngga sempet nemuin Papa sama Mama. Nadia sampe sini bener-bener tengah malem. Ngga enak kalo harus bangunin Papa sama Mama," ucapku dengan tatapan memelas.
"Papa sama Mama ngerti kok, Kak. Kamu kan juga pasti capek banget. Sampe nempelin tulisan di pintu kamar segala. Capek banget ya, Kak?" tanya Mama.
"Banget, Ma. Tapi sekarang udah seger, kok. Apalagi liat semua pada kumpul di sini untuk nyambut aku."
"Dih, kepedean lo, Kak. Semua pada ngumpul di sini tuh karena calonnya Nte Vina mau maen ke sini." Nadira, si bocah tengil kesayanganku ini seketika membuat moodku hancur.
"Nggak usah didengerin, Kak. Adekmu itu kan emang usil. Kita semua di sini emang bener-bener kangen sama kamu. Calonnya Vina kebetulan aja mau fitting baju, disuruh Vina nyamper ke sini," ucap Papa yang kembali membuat moodku membaik.
"Nggak ada oleh-oleh buat lo, Nadira!" ucapku ke arah Nadira dengan memeletkan lidah ke arahnya. Bisa kulihat bibirnya yang mencebik kesal. Siapa suruh buat ku kesal.
Semua tampak tertawa melihat aku dan Nadira. Tatapanku terhenti ketika melihat Zayyan. Masih teringat dengan jelas saat Nte Vani pergi untuk selamanya. Zayyan belum sempat bertemu dengan sosok Ibunya. Dan sepertinya, Om Barra masih nyaman dengan keadaannya yang sekarang, menduda maksudku. Om Barra adalah seorang chef terkenal yang sering muncuk di TV. Bahkan, dia punya acara TV sendiri.
Ada Mbak Alma, kakak iparku yang duduk di sebelah Mas Rama. Tahun ini adalah tahun ketiga pernikahan mereka. Kebahagiaan mereka akan segera bertambah setelah penantian selama dua tahun lebih.
"Awas, Mas," pintaku pada Mas Rama untuk pindah dari tempat duduknya.
"Punya adek bener-bener nggak ada sopan-sopannya yaaak," jawab Mas Rama.
"Mbak, kapan launchingnya?" tanyaku sambil kuelus perut besar Mbak Alma.
"Tinggal nunggu aja kok, Dek. Ini Mbak lagi deg-degan banget. Soalnya udah mulai kontraksi-kontraksi," jawab Mbak Alma.
"Lho, nggak ke RS, Mbak?"
tanyaku khawatir.
"Udah. Kemaren dicek sama dokter. Semuanya masih aman. Belum ada pembukaan," ucap Mbak Alma.
"Eh, dia gerak-gerak!" ucapku terkejut diiringi binar bahagia.
"Hari ini, emang dia lagi aktif banget. Mungkin tau kalo Tantenya pulang, "ucap Mbak Alma tersenyum sesekali meringis. Mungkin merasa kesakitan karena anaknya yang sangat aktif.
"Sakit ya, Mbak?" tanyaku.
"Sakit, Dek. Apalagi kalo pas kena sikutnya. Masya Allah rasanya," jawab Mbak Alma.
"Laki-laki atau perempuan, Mbak? " tanyaku penasaran.
"RA-HA-SI-A. Makanya, lo burua nikah juga. Biar bisa ngerasain gimana sensasinya," sambar Mas Rama.
"Ya nanti lah, Mas. Gue juga baru banget balik. Masa udah langsung disuruh nikah aja. Gelar gue buat apaan dong?"
"Kalo jodoh Kakak cepet, Papa sama Mama nggak apa-apa, Kak. Kan bisa ilmu yang Kakak dapet selama ini nanti diaplikasikan ke anak-anak Kakak nantinya," ucap Papa.
"Maksud Papa, Nadia nggak usah kerja?" tanyaku.
"Bukan gitu, Kak. Kakak boleh kok kerja. Tapi, semisal nanti Kakak ketemu jodoh, boleh kok langsung nikah. Mama juga dulu lulus S1 langsung nikah sama Papa," sahut Mama.
"Iya, Nduk. Mumpung Yangkung sama Yangti masih ada. Nanti masih bisa momong anak kamu," ucap Yangti.
"Iya, Yangti. Tapi untuk sekarang, Nadia mau coba kerja dulu. Tolong didoain ya," jawabku.
Setelah makan siang, kami semua kembali berkumpul di ruang tamu. Aku kembali masuk ke kamar untuk mengambil satu koper khusus berisikan "titipan" dan oleh-oleh untuk mereka. Teruntuk Zayyan, sengaja kubelikan satu stel kaos bergambar Iron Man dan sebuah action figure Iron Man. Karena memang Om Barra bilang kalau bocah tiga tahun itu sangat tergila-gila dengan sosok Iron Man. Khusus untuk calon anak Mas Rama, sengaja aku membelikan pakaian bayi dengan warna yang netral.
"Titipan gue mana, Nad?" tanya Nte Vina.
"Nih. Lo transfer ke rekening gue jangan lupa," jawabku sambil kuserahkan satu kotak berwarna hitam dengan tulisan merk kosmetik terkenal di Amerika.
"Gila! Makin sayang gue sama lo," ucap Nte Vina sambil seketika berhambur memelukku.
"Pelan-pelan! Gue nggak bisa napas!" ucapku dengan terengah-engah.
Nte Vina memang make-up freak. Entah sudah berapa puluh juta uang yang dihabiskannya untuk membeli perlengkapan make-up. Pernah satu ketika aku memintanya untuk menemaniku berbelanja ke pasar, dan dia dengan suksesnya membuatku malu. Dandanan super boldnya terkesan tak tahu tempat. Dan membuat ratusan pasang mata melirik ke arah kami. Sejak saat itu, aku berani sumpah tak akan memintanya untuk menemaniku lagi ke pasar.
"Kak, beneran ngga da oleh-oleh buat gue?" tanya Nadira lesu.
"Gue nggak sekejam itu, Nadira. Nggak kayak lo." Kuserahkan bungkusan berwarna merah muda ke tangannya. "Dijaga baik-baik, ya. Janji rajin belajar, biar cepet sidang skripsi."
"Lo emang terbaik!" ucapnya sambil mengacungkan jempol ke arahku. Nadira memang sudah lama mengidolakan Nick Jonas. Dan ketika aku bilang kalau salah seorang temanku cukup mengenal Nick Jonas dengan baik, seluruh cara dikerahkannya untuk membuatku mengabulkan permintaannya. Selembar foto Nick Jonas dan Priyanka Chopra dengan tandatangan keduanya, dengan ditambahkan beberapa kata khusus penyemangat untuk Nadira. 'Nadira, let's meet when you're here -Nick&Priyanka-'
Khusus untuk Yangkung, karena beliau adalah pengoleksi topi, sengaja kubelikan sebuah topi cowboy berwarna krem yang kubeli saat berkunjung ke Texas. Dan beberapa magnet kulkas dari berbagai macam negara di benua Amerika yang sempat kukunjungi. Dan tak lupa, miniatur pajangan Golden Gate.
Saat asyik membagikan oleh-oleh, terdengar seseorang mengucap salam dari luar rumah. Kegiatan kami pun terhenti.
"Mbak Vina, itu Masnya udah dateng," ucap Bude Ros yang baru saja menghampiri kami di ruang keluarga.
"Makasih ya, Bude. Udah disuruh masuk belom, Bude?" tanya Nte Vina.
"Bude udah suruh masuk. Tapi, Masnya ndak mau masuk," jawab Bude Ros.
"Udah sana lo samperin," ucapku sambil menyikut lengan Nte Vina.
Tak lama setelahnya, Nte Vina kembali ke ruang tamu. Aku yang masih sibuk membereskan sampah bungkus oleh-oleh yang kubawa, tak menyadari kehadiran seseorang yang ada di sampingnya.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalaam," jawab kami serentak. Namun, aku masih sibuk dengan tumpukkan sampah di depanku.
"Nad, ini calon Om lo. Yang mau gue kenalin ke lo," ucap Nte Vina yang seketika membuatku mendongakkan kepala.
"Ratih?"
"Pak Abi?"
-to be continued-
Chapter 1 mah pengenalan aja dulu ya, bepp. Semoga kalian suka ya. Boleh ya masukkannya. Kira-kira udah ada bayangan belum, nih? 😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top