Nadira -9-
Happy reading aja deh buat kalian.
Semoga suka.
Selamat long weekend.
Sebelum mulai, Miss mau coba kasih kalian bacaan baru. Judulnya "Thalassophobia" karyanya si iimkhoiria . Buat yang hobi banget sama cerita marriage life tapi dengan sedikit konflik yang agak berat, boleh deh ya coba tengok ceritanya dia.
Ceritanya tentang dokter namanya Jefri yang perempuan Ayana mahasiswi pertanian. Ceritanya udah ending kok. Dan udah ada sekuelnya juga.
Langsung kepoin aja yaaa. jangan lupa difollow penulisnya. Kata dia, "Aku nggak bisa menjanjikan semua karya yang aku tulis bagus dan terbaik. Tapi aku cuma ingin semua karyaku dinikmati semua orang dan menghibur orang lain,"
Lamaran yang diajukannya malam itu, kutanggapi dengan anggukkan. Masih kuingat jelas senyuman lebar yang terukir di wajahnya. Tapi, luntur seketika saat kusampaikan keinginanku.
"Tapi, jangan sekarang, ya. Kamu tahu kan kalo aku baru aja mulai kuliah. Aku nggak mau nanti malah nggak kepegang semuanya."
"Maksud kamu?" ucapnya bingung.
"Aku mau nikah sama kamu. Aku mau jadi istri kamu. Tapi, jangan sekarang. Seenggaknya, kamu tunggu sampe aku selesai kuliah dulu. Mau?"
"Itu lama banget, Yang. Masih satu setengah tahunan lagi. Aku makin lama makin tua lah."
"Aku akan usahain untuk bisa lulus cepet dan tepat waktu. Kamu mau nunggu?" Dia mengangguk pasrah.
"Aku tenang."
"Tenang gimana?" sahutku.
"Aku tenang karena hubungan kita punya masa depan." Genggaman tangannya semakin mengerat.
"Aku mutusin mau berhubungan sama kamupun karena aku ngerasa aku udah ketemu yang pas." Kulempar senyum ke arahnya. Magenta terlihat sedikit salah tingkah. "Kamu salting?"
"Iya lah."
"Kamu ngajak aku nikah kok tiba-tiba banget?"
"Karena aku ngerasa aku harus mengamankan posisiku. Tapi, kamunya malah maunya nanti setelah lulus."
"Merasa terancam, ceritanya. Kamu nyesel, nih?" tanyaku. Magenta menggeleng. "Terus kok jadi lembek?"
"Akunya bisa nunggu. Kamunya gimana?"
"Kok aku, sih?"
"Kamu yakin nggak akan goyah nantinya?" ucapnya.
"Kamu jangan ngomong begitu. Kamu mau aku goyah terus pindah ke yang lain? Yang itu hot lho." Kumainkan kedua alisku untuk menggodanya.
"Kok kamu gitu sih, Yang? Nggak ngehargain banget perjuangan aku untuk dapetin kamu. Baru sama kamu lho aku bisa jadi sebucin ini. Cuma kamu yang bisa bikin aku sampe segininya, Yang." Magenta cemberut. Membuatku sedikit menahan tawa. Kujepit kedua bibirnya dengan jariku. "Yaaang."
"Kamunya udah suudzon sama aku, sih."
"Maaf, ya. Ngelamarnya nggak kayak yang di film-film. Ini spontanitas."
"Ini anti-mainstream. Aku suka. Kamu ngelamar aku pake Indomie goreng 10 karduspun, aku mau."
"Nggak ada...nggak ada. Kurangin makan mienya."
Seperti yang kukatakan. Aku hanya ingin fokus dalam menjalankan suatu hal. Menikah setelah lulus kuliah. Setidaknya, itulah rencanaku sampai saat ini. Aku mau untuk benar-benar fokus dengan rumah tanggaku nantinya. Tak ingin sebentar-sebentar meninggalkan suamiku untuk mengerjakan semua hal yang berhubungan dengan perkuliahan. Biarlah masalah pendidikanku menjadi ladang pertempuran pribadiku sebelum menikah.
Hanya sekedar informasi, hubungan kami belum sepenuhnya go public. Akulah yang bolak-balik menolak tiap kali Magenta ingin mengumumkan perihal hubungan ini. Magenta memang seorang pengusaha. Tapi, pesonanya tak kalah dibandingkan artis dan model yang sering bermunculan di televisi. Namanya nasuk ke jajaran pengusaha-pengusaha muda berpengaruh di negeri ini.
Magenta sama terkenalnya dengan Mas Barra dan yang lainnya. Bahkan, akun media sosialnya sudah mendapatkan tanda "centang biru", tentunya dengan jumlah pengikut yang sangat banyak. Hampir menembus angka 1 juta.
Awalnya, kami tidak saling mengikuti satu sama lain. Magentalah yang pertama kali mengikuti akun media sosialku, tanpa kuikuti balik. Cukup lama kondisi ini berlangsung. Sampai akhirnya...
"Aku follow IG kamu sejak beberapa hari kita kenal, lho. Kok kamu nggak ada follback aku sih sampe sekarang?" Terlihat kesal. Dia menujukkan layar ponselnya yang menampilkan "following list" milikku. "Setiap hari aku ngecek notifikasi. Sampe ngetik namaku di sini untuk mastiin. Ternyata, emang kamu nggak follow aku."
"Aku juga jarang maenan IG, Nta," belaku.
Bohong. Padahal, aku selalu online setiap malam sebelum tidur. Hanya untuk memenuhi hasrat akan keindahan Oppa-oppa yang rupawan dan menawan. Menawan hatiku, lebih tepatnya.
"Follback aku susah banget ya, Yang?"
Segera kuambil ponselku dan membuka akun media sosialku. Namanya masih ada di deretan orang-orang yang mengikuti akunku. Segera kuketuk tombol "Follow back" dan menunjukkannya padanya. Gurat bahagia tercetak jelas di wajahnya.
"Nah, gitu dong. Ini baru pacarku. Aku udah boleh dong post foto-foto kita?" ucapnya. Kugelengkan kepalaku cepat.
"Untuk saat ini jangan dulu lah, ya. Nggak mau aku dihujat sama penggemarmu yang ada di seluruh Nusantara. Aku masih mau hidup tenang."
"Kok gitu? Padahal alasan kamu putus sama Barra dulu karena dia nggak ngakuin kamu."
"Nggak usah nyerempet ke masalah itu, deh. Kalo itu kan jelas yang tahu hubungan kami cuma kami berdua."
"Aku kan juga mau orang-orang tau kalo kamu pacar aku, Yang."
"Aku tau kamu. Kamu bakalan posting foto. Kasih caption. Terus ngetag aku. Dan, pasti setelahnya akan banyak yang cari tau tentang aku. Nggak dulu deh, ya. Aku belum siap. Yang penting, orang-orang terdekat kita udah tau tentang hubungan kita."
Tak pernah kubayangkan sekali pun menjalin hubungan dengan seseorang yang terkenal. Dulu, berhubungan dengan anak seorang petinggi Polri saja sudah membuatku tak leluasa bergerak. Kemana-mana selalu saja ada ajudan yang mengawasi dari jauh. Tapi, sekarang aku malah menjalin hubungan dengan anak dari salah satu orang terkaya di negeri ini.
"Aku, Tania, Resti sama Adri mau ke Jogja selama weekend. Aku udah minta izin ke Papa sama Mama. Aku jalan Kamis malem." Malam ini, kami bertemu di Lenggah. Sempat kutawarkan untuk pergi ke tempat lain, namun ditolaknya.
Aku dan ketiga temanku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan di Jogja. Tak ada event khusus. Hanya ingin me-refresh otak dan menenangkan pikiran.
"Tapi belum izin sama aku."
"Aku perginya sama mereka, kok."
"Iya. Tapi kan kamu belum izin aku. Meskipun belum resmi, aku calon suami kamu lho, Yang."
Bener juga. Walopun dia belom ngelamar langsung ke Papa.
"Yaudah. Aku minta izin, ya. Boleh?" Aku memohon sambil mengedipkan kedua mataku ke arahnya. Magenta tersenyum.
"Iya. Boleh. Kok Tania nggak bilang ke aku kalo mau liburan sama kamu ke Jogja?"
"Baru semalem kita obrolin di GC."
"Naik apa?" tanyanya.
"Karena di sana cuma beberapa hari, ya kita naik pesawat. Sampe sana kemungkinan malem. Jadi langsung check-in. Istirahat. Jum'at sama Sabtu kita keliling-keliling. Minggu pagi kita balik ke Jakarta."
"Kamu butuh apa? Mau nginep di Transtar Hotel aja? Kebetulan ada cabang di Jogja," ucapnya.
Aku menggeleng cepat. "Jangan. Aku nggak mau ngerepotin. Budget kita nggak cukup untuk sewa kamar di sana."
"Aku minta kamu bayar, ya? Perasaan nggak deh."
"Ya tetep aja aku nggak enak sama kamu."
"Mau liburan atau nggak? Kalo mau, kamu terima tawaranku. Kalo kamu nolak, yaudah nggak usah liburan aja."
"Ih, ngeselin banget sih."
"Mau, ya." Aku mengangguk pasrah mengiyakan ucapannya.
Dengan berat hati kuterima tawarannya. Aku lupa menjelaskan. Star Corp juga melebarkan kerajaan bisnisnya ke ranah hotel berbintang lima yang sudah tersebar di beberapa kota besar yang ada di Indonesia.
Aku dan kedua temanku dibuat kaget setelah masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan untuk kami. Aku, Tania dan Resti akan menempati satu kamar yang aku berani bersumpah luasnya hampir sama dengan rumahku. Sementara, Adri dipesankan satu kamar yang letaknya berbeda beberapa lantai dari kamar kami.
"Demi Allah. Gue tau keluarganya Mas Genta kaya banget. Tapi, ini juga pertama kali seumur hidup gue dikasih jatah kamar bagus banget kayak begini. Gue berasa tamu kehormatan dari negara lain."
"Dunia lain, iya," celetuk Resti.
"Pale lu. Di antara Bokap sama adek-adeknya, emang Om Handoko yang paling kaya."
"Bapak lu kan kaya juga, woy!" sahut Resti.
"Kaya dari Hongkong," ucap Tania.
Aku hanya bisa memandangi pemandangan yang tersaji di hadapanku. Kamar ini terlalu besar untuk kami bertiga. Bahkan, masih bisa untuk menampung 10 orang lagi.
Pintu kamar diketuk dari luar. Resti berdiri dan berjalan untuk membukanya.
"Gila emang cowok lo, Dir." Adri menerobos masuk ke kamar kami setelah Resti membuka pintu. "Kamarnya...bikin gue betah di sini."
"Gue nggak tau kalo ternyata dia nyiapin yang kayak gini. Kalo tau gini, gue nolak sebisanya."
"Gue sih jujur ya, Dir. Gue nggak tau perihal rencana Mas Genta bookingin kamar ini buat kita. Secara, terakhir kali kita ke Jogja itu udah lamaaa banget. Dan hotel ini masih dalam tahap pembangunan."
Dering ponselku memecah suasana yang masih diliputi rasa kagum ya mng berlebih.
"Assalamualaikum, Sayang."
"Waalaikumsalam," jawabmu ketus.
"Kok judes banget, sih? Kamu kenapa?"
"It's too much, Nta."
"No."
"Kamu bikin aku nggak nyaman karena udah nerima tawaran kamu."
"Kok begitu? Justru aku mau liburan kamu sama yang lainnya nyaman."
"Ah tau ah."
"Jangan ngambek, ya. Nanti aku jadi kepikiran. Terus nggak fokus kerja," ucapnya.
"Iya. Aku nggak ngambek. Cuma kesel aja sama kamu."
"Yaudah. Nikmati aja liburan kamu. Jangan lupa sholat, ya. Jangan terlambat makan. Aku lanjut kerja, ya. Mau ada rapat sebentar lagi."
"Iya. Happy working, ya," ucapku.
"Thank you. I love you, Yang."
"I love you too."
Kejutan belum berhenti. Magenta benar-benar menggunakan semua kekuatannya. Aku kembali dikejutkan dengan beberapa staff hotel yang mengantarkan menu sarapan lengkap ke kamar kami.
"Ibu, sesuai pesan Bapak Magenta, selama Ibu dan teman-teman di sini, sarapan akan diantar ke kamar. Kecuali, kalau ada request khusus dari Ibu untuk sarapan di bawah. Untuk makan siang dan makan malam juga akan diantar ke kamar kalau Ibu tidak keberatan." Seorang lelaki yang kuperkirakan ada di usia akhir 40 dengan setelan jas lengkap mulai mengarahkan beberapa pegawai yang ikut dengannya untuk menata makanan di meja makan.
"Pak, jangan repot-repot. Nanti biar saya yang bilang langsung ke Pak Genta," ucapku.
"Mohon maaf, Bu. Saya hanya melaksanakan apa yang diminta Bapak. Untuk akomodasi, kami sudah menyiapkan mobil yang akan membawa Bu Nadira dan teman-teman untuk berkeliling."
Kubaca papan nama yang terpasang di bajunya. Ah! Pantas saja. General Manager.
"Pak Dika, sebelumnya saya dan teman-teman mengucapkan terima kasih banyak untuk pelayanan yang diberikan. Mungkin, karena kami akan banyak menghabiskan waktu di luar, untuk makan siang dan makan malam tidak perlu diantar ke kamar."
"Baik, Bu. Silahkan hubungi saya atau staff yang lain apabila Bu Nadira memerlukan bantuan."
Aku dan ketiga temanku berkeliling seharian. Mengunjungi beberapa tempat wisata yang sudah lama tidak kami kunjungi. Liburan kali ini akan kugunakan sebaik-baiknya. Karena, belum tentu kami berempat bisa kembali berlibur bersama dalam waktu dekat.
Setelah lelah berkeliling Jogja seharian, kami memutuskan segera kembali ke hotel untuk beristirahat. Karena, masih ada beberapa tempat yang harus dikunjungi esok harinya.
Pagi harinya, setelah selesai sarapan, perjalanan dilanjutkan. Daftar destinasi untuk hari ini sudah dikirimkan ke nomor WA Pak Yadi selaku supir yang disediakan pihak hotel tempat kami menginap.
Jogja memang punya daya tarik tersendiri untuk menarik wisatawan. Berkali-kali berkunjung tak pernah membuatku bosan. Justru, selalu rindu untuk kembali. Menikmati alunan musik yang dimainkan musisi jalanan sambil menikmati jajanan di pinggiran Malioboro adalah favoritku.
Seperti saat ini. Menikmati lumpia goreng dengan parutan bawang putih sebagai cocolannya di pinggiran Malioboro sambil mendengarkan irama musik yang jauh lebih keren dibanding pertunjukan live music di cafe ternama.
"Maleman balik ke sini lagi mau nggak?" ucapku.
"Ngapain?" sahut Adri.
"Ngopi kek," jawabku.
"Ogah, ah. Capek gue. Belom packing juga. Besok kita berangkat pagi, kan." Resti yang sudah selesai dengan lumpia pertamanya, bersiap untuk menyantap yang kedua.
"Next time aja gimana, Dir?" tanya Tania.
"Iya. Istirahat aja deh ya. Takut besok kecapekan."
Hari sudah semakin sore. Plastik belanjaan juga sudah memenuhi genggaman. Sebelum kembali ke hotel, kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju Alun-alun Kidul. Tania dan Resti menjadi heboh karena mitos tentang dua pohon kembar yang ada di sana. Berkat rasa penasaran lah akhirnya kami memutuskan untuk ke sana.
Di sepanjang perjalanan, kami sibuk bercengkrama. Membahas perjalanan di hari sebelumnya.
"Kalo yang gereja kepala ayam kemaren itu masuk Magelang, ya?" tanya Adri.
"Iya. Keren, ya? Berasa jadi Cinta. Sayang aja Rangganya nggak ikut," celetuk Resti.
"Rangganya kan lagi cari uang untuk ngehalalin lo. Biar nggak bikin dosa terus lo berdua. Lo berdua kalo maen nggak pake pengaman, nggak tau deh udah jadi berapa anak." Mulut siapa itu? Tania.
"Lo belom tau sih gimana rasanya. Rasanya kayak naek kereta kuda," sahut Resti. Dia antara kami berempat, memang Resti yang "sangat bebas" dalam berhubungan. Menganggap bahwa hubungannya dengan Fandi, kekasihnya akan sampai berakhir ke pelaminan, Resti merasa tak masalah untuk mencicipi "itu" bahkan sebelum menikah.
Niatnya nyicipin. Eh malah keterusan.
"Iya. Kereta kuda ke neraka," timpalku. "Nikah aja sih lo berdua. Daripada lo minum pil KB terus. Nggak sayang itu sperma ratusan juta terbuang percuma?"
"Ah tau ah. Tanya si Fandi dong kapan mau halalin gue. Gue takut nanti kelupaan terus jadi. Kan berabe. Bisa diusir dari rumah sama Pak Haji Idris nanti," ucap Resti.
Berjalan pelan sambil menikmati guyuran sinar matahari yang menyengat kulit memang menjadi tantangan tersendiri. Beruntung, barang belanjaanku tak sebanyak Resti dan Tania. Aku hanya membeli beberapa potong daster batik untuk Mama, Mbak Alma dan Kak Nadia.
Aku terkejut saat seseorang menggamit telapak tangan kananku. Dan kembali dibuat sangat terkejut saat tahu siapa yang melakukannya.
"Kamu ngapain di sini?"
"Nyamperin kamu lah."
Ketiga temanku yang berjalan di depanku pun menoleh ke arahku.
"Kok lo di sini, Mas?" tanya Tania. Magenta tersenyum.
"Kok lo yang reseh? Gue ke sini nyamperin pacar gue. Bukan nyamperin lo."
"Si kampret emang."
"Kok tau kalo kita ada di sini, sih?" ucapku.
"Aku telepon orang hotel. Terus, dikasih nomer Pak Yadi. Aku telepon Pak Yadi. Pak Yadi bilang lagi ke Malioboro. Aku samperin deh."
"Berarti udah dari tadi, ya?" tanyaku lagi. Magenta mengangguk.
"Aku cuma beberapa langkah di belakang kamu. Kamunya aja nggak peka aku ikutin."
"Berarti lo denger obrolan kita dong, Mas?" tanya Resti.
"Yang mana? Kereta kuda? Pil KB?" Magenta mengabsen semua pokok pembicaraan yang tadi sempat kami singgung. "Tenang aja sih. Gue orangnya nggak judgemental. Lo udah dewasa. Tau mana salah mana bener. Sayangnya, yang salah masih aja tetel dilakuin."
"Itu namanya judgemental, kampret," timpal Resti.
Kami tiba di tempat yang dimaksud. Dari kejauhan, terlihat 2 batang pohon besar yang tertanam di tengah-tengah. Aku bukanlah orang yang percaya dengan hal semacam itu. Tapi, kalau ini hanya untuk having fun, why not?
Aku dan Magenta menjadi yang pertama mencoba dengan dalih kamilah satu-satunya pasangan di antara yang lain. Magenta sudah siap dengan matanya yang ditutup kain. Kami harus menunggu karena di ujung sana ada yang sudah berhasil menaklukan tantangan.
"Nta, Mas-mas itu berhasil lho."
"Aku bakalan bikin kita berhasil juga."
Mataku segera ditutup kain dengan bantuan seorang bapak yang bertugas di sana. Magenta menggandeng tanganku dengan cukup erat. Aku berjalan mengikuti arahannya.
Kuikuti arahannya. Mengikuti langkah kakiku.
Semoga dia yang sedang menggenggam tanganku adalah yang terbaik.
"Kamu jalannya yang bener. Jangan mencong-mencong."
"Kita kan jalannya juga gandengan, Yang."
Tak lama, terdengar riuh sorak tim hore yang ada di ujung sana. Segera kubuka kain penutup mataku. Terlihat samar punggung seseorang yang kukenal berjalan menjauh. Kutengok Magenta yang masih berusaha membuka ikat penutup matanya. Aku dan Magenta sudah ada di tengah-tengah dua pohon beringin besar. Berhasil.
Mas Barra?
Liburan telah usai. Saatnya kembali ke dunia nyata. Aku dan teman-teman pulang sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Karena masih ada yang harus dikerjakan, Magenta akan pulang keesokan harinya.
Lampu notifikasi ponselku tak berhenti berkedip. Ini masih terlalu pagi untuk dibuat terkejut. Magenta menandaiku di beberapa postingan foto di akun Instagram miliknya. Aku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa dibuat "deg-deg ser" saat membaca caption yang ditulisnya di setiap postingan foto. Fotoku dan...foto kami saat berjalan menuju pohon kembar di Alun-alun Kidul.
"Finally, I've found you."
"My woman, the love of my life @nadirasutanto ."
"Terlepas dari mitos apapun itu, aku cuma mau bilang kalo cuma kamu yang bakalan nemenin aku duduk di pelaminan nanti, Yang. I Love You."
Astaga. Dan postingan itu sudah terjadi satu jam yang lalu.
Rentetan notifikasi mulai bermunculan.
Setania
Famous ya sekarang.
Buka google, wakkkk.
Lo ketik aja "Pacar baru Magenta Kamil"
Segera kuikuti instruksi yang diarahkan Tania, walaupun merasa agak geli waktu mengetiknya di kolom pencarian. Mataku terbelalak untuk setiap headline yang terpampang.
"Magenta Kamil Segera Mengakhiri Masa Lajang?"
"Bukan Dari Kalangan Artis, Inikah Pacar Pengusaha Muda Magenta Kamil?"
"Berlibur di Jogja, Magenta "Bos Transtar Media" Kepergok Gandeng Seorang Wanita"
"Malioboro Jadi Saksi Magenta Kamil Gandeng Kekasih"
"Pengusaha Muda Magenta Kamil Akan Segera Menikah"
"Ingin Go Public, Magenta Kamil Pamer Foto Pacar Baru di Instagram"
Astagfirullah!
Punya pacar kenapa nggak bisa diajak kerja sama sih.
-To be continued-
Haiii...
Gimana gimana gimanaa?
MasBarr diliburin dulu ya.
Lagi dihire jadi tukang masak di acara kawinan anaknya Pak RW.
Muncul tipis aja punggungnya.
Ngefeel nggak?
Kalo nggak ngefeel, mon maap yaa.
Part ini, Miss buat panjang lho.
Semoga suka deh ya.
Next chapter alon-alon, ya.
See youuuuuu.
Kalo rame, Miss update cepet.
Ramein makanyaaaaaa.
miss sayang kalian banyak-banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top