Nadira -8-
Semoga suka.
Tandain typo yaaa.
Membuka hati kembali setelah lama sendiri telah kupilih. Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir 1 bulan. Harus kuakui, Magenta memang sosok laki-laki yang baik. Setelah memutuskan untuk berjalan bersamanya di sebuah hubungan dengan status yang jelas, aku merasa telah menemukan sosok yang kucari.
Magenta orang yang sibuk. Ya, bahkan sangat sibuk. Berbagai bisnis keluarga yang dibebankan padanya tak jarang banyak menghabiskan waktunya untuk fokus hanya pada pekerjaan. Menjadi anak laki-laki satu-satunya dari keluarga kaya raya tajir melintir seringkali menjadi beban untuknya, begitulah katanya.
"Kalau bukan aku, siapa yang akan melanjutkan bisnis orangtuaku? Kakak sama adekku nggak mungkin mau. Mereka nggak ada passion di dunia bisnis. Ya paling suami adekku yang ikut bantu pegang. Karena nggak mungkin aku yang handle semuanya."
"Beban sih jadi anak laki-laki satu-satunya. Aku nggak tau sebenernya beban macem apa ini. Tapi, berasa berat aja manggulnya. Kayak punya tanggung jawab besar."
Rasa tak enak selalu muncul setiap kali dia selalu berusaha untuk menyempatkan waktu menemuiku. Sudah kukatakan padanya untuk tidak terlalu memaksakan jika memang tidak memungkinkan untuk bertemu. Toh, bagiku esensi dari sebuah hubungan bukanlah tentang seberapa seringnya bertemu. Tapi, seberapa baiknya komunikasi yang terjalin. Aku benar, kan? Buat apa sering bertemu tapi malah sibuk dengan gadget masing-masing?
"Kalo aku nggak bisa nemuin kamu nggak apa-apa, ya. Kerjaan lagi nyebelin banget akhir-akhir ini. Aku harus pergi berkunjung ke beberapa kantor cabang Transtar yang ada di beberapa kota di Indonesia. Tapi, aku akan selalu usahain supaya komunikasi kita nggak terkendala."
"Sebelumnya kamu selalu nyempetin waktu untuk ketemu aku. Itu berarti kamu maksain banget,ya? Padahal kamu sibuk banget."
"Yah, ketauan deh. Masa pendekatan tuh penting banget buat aku. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin. Nanti, jangan kaget kalo aku sering keluar kota, ya."
Itu cukup bagiku. Aku tidak bisa menuntutnya lebih. Menuntut bukanlah kebiasaanku. Lebih tepatnya, aku belum berhak menuntut.
Sudah satu minggu kami tidak bertemu, dalam artian sebenarnya. Komunikasi tetap berjalan. Beruntunglah dengan adanya kemajuan teknologi di jaman ini. Telepon dan videocall berperan serta menggerus rindu yang menggebu. Aku sering merindukannya.
Selama satu minggu tak bertemu, hampir setiap malam kami melihat satu sama lain lewat videocall. Seperti saat ini.
"Yang, besok aku pulang." Kulihat Magenta sudah dalam posisi berbaring di tempat tidur dengan kaos hitam v-necknya. Wajahnya terlihat begitu lelah.
"Kamu keliatan capek banget, Nta. Banyak kegiatan ya hari ini?" ucapku. Magenta mengangguk lemah.
"Kayaknya emang aku lagi kurang mujur. Seminggu ini aku capeeek banget. Ke beberapa kantor cabang Transtar plus mampir ke beberapa cabang Transtar Retail. Aku kangen kamu, Yang."
"Kan setiap hari kita videocall. Masa sih masih kangen?"
"Ya beda dong, Yang. Besok sesampainya di Jakarta, aku harus langsung ke Kamil University. Aku dijadwalin ngisi kuliah umum bisnis di sana. Selesai malam, mungkin. Kita ketemu ya," ucapnya. Aku mengangguk.
"Kamu nggak capek?" Magenta terlihat menggelengkan kepalanya di layar ponselku. "Mau aku jemput di kampus aja?"
"Jangan. Biar nanti aku minta dianter Pak Toto." Magenta hanya akan menggunakan jasa Pak Toto, supir pribadi ayahnya di saat dia merasa sangat lelah dan tidak sanggup untuk berkendara sendiri.
"Aku jemput aja, ya," tawarku. Magenta kembali menggeleng. "Yaudah. Kalo kamu capek, ketemunya nanti aja. Gimana?"
"Kan ada kamu. Nanti bisa minta dipijitin. Aku kangen pijitan kamu di telapak tanganku." Aku memang sering memijit-mijit telapak tangannya setiap kali kami bertemu.
"Reseh banget, ih. Emangnya aku tukang pijit." Aku memberengut dan membuat kedua pipiku menggembung.
"Jangan marah, ya. Aku udah siapin oleh-oleh untuk kamu. Mau nggak?" Dia mengedipkan matanya jahil. "Kalo nggak mau, aku kasih ke pramugari aja deh besok."
"Kasih aja sana. Nggak usah nemuin aku lagi."
"Marah, ya?" godanya. Aku masih cemberut. "Bercanda, Yang. Jangan marah, ya. Kamu kayak nggak tau aku kayak gimana aja, Yang. Hobiku kan godain kamu."
Entah kenapa selama menjalin hubungan dengannya aku berubah menjadi seperti ini, sangat manja.
"Jangan dikasih ke Mbak-mbak pramugarinya, ya," ucapku pelan. Magenta tersenyum dan mengangguk.
"Aku beli ini khusus untuk kamu. Masa iya aku kasih ke orang lain. Aku suka kamu kalo lagi ngambek."
Aaaaaa. Ngeselin. Tapi...❤
"Yang, kamu kangen aku nggak?"
Aku mengangguk malu. "Kangen. Banget. Cepet pulang, ya."
"Seneng deh dengernya. Jadi bikin seger. Besok aku pulaangggg."
"Kamu udah makan belum, Nta?" Magenta mengangguk. "Makan pake apa tadi?"
"Tadi makan pesen room service aja. Biar dianter ke kamar. Males turun cari makanan. Tadi aku request Soto Ayam pake nasi anget aja sih. Males makan yang aneh-aneh. Mau pesen nasi sama telor ceplok aja, nanti diketawain orang kitchennya. Kamu udah makan?" tanyanya.
"Udah dong. Sehari ini aku makan 4 kali." Magenta tertawa.
"Kamu abis nguli dimana, Yang? Laper banget?" Aku tersenyum.
"Lagi dapet, Nta. Jadi bawaannya pengen makan terus. Beratku naik banyak nih kayaknya."
"Nggak masalah buatku. Kamu makan pake apa tadi, Yang?"
"Barusan aku makan mie goreng. Aku bikin 2 bungkus. Pake telor sama sosis goreng," jawabku.
"Jangan makan mie terus, Yang."
Magenta tidak terlalu suka mengonsumsi mie instan. Dia hanya akan memakan mie instan di kondisi "kepepet" saja. Magenta lebih suka memakan masakan olahan rumah. Terutama masakan Ibunya. Dia akan menjadi sangat bawel setiap kali tahu aku mengonsumsi mie instan.
Biasanya, aku bisa mengonsumsi mie instan 3 kali seminggu. Tapi, sekarang terasa ada jarak yang diciptakan Magenta di antara aku dan mie instan.
Syedih. Indomie goreng. Indomie rebus rasa Soto. Maaf, kita LDR, ya.
"Kan nggak sering, Nta. Kalo lagi mau aja. Aku mblenger liat makanan banyak banget di rumah. Mama lagi dapet orderan catering 1000 box."
"Wow. Banyak banget. Di rumah banyak makanan kok malah makan mie sih kamu?"
"Aku mblenger, Nta."
"Kamu boleh makan mie seminggu lagi ya, Yang. Awas aja kalo sampe aku tau kamu makan mie lagi."
See? Dia benar-benar merusak hubunganku dengan mie instan.
"Kalo kamu nggak tau berarti aman dong, ya." Aku terkekeh.
"Nggak gitu dong, Sayaaang. Yaudah, aku mau tidur ya. Besok pagi sebelum balik ke Jakarta harus ke kantor dulu sebentar."
"Beneran tidur! Jangan ngegame sampe pagi."
Bermain game online sampai pagi adalah kebiasaan buruk Magenta. Dia akan menjadi sangat lupa waktu jika sudah memainkan game online yang diunduh di ponselnya. Pernah beberapa kali kuhapus instalasi permainan itu dari ponselnya tanpa sepengetahuannya, tentunya. Tapi, dia akan kembali mengunduhnya.
Aku tidak mempermasalahkan kebiasaannya yang satu ini, itu haknya. Yang kupermasalahkan adalah, jam tidurnya yang kacau karena keasyikan bermain.
"Iya. Ini mau tidur, kok."
"Inget umurmu, Nta. Kamu udah nggak muda lagi. Tidur yang cukup."
"Iya, Yang. Aku mau tidur ini."
"Good night, ya. Safe flight buat besok. Kabarin aku kalo udah landing."
"Iya, Sayang. I love you."
"I love you too."
Magenta meminta izin untuk mengganti panggilannya untukku tak lama setelah kami memutuskan untuk berpacaran. Awalnya, aku merasa agak "gimana gitu". Tapi, akhirnya aku menyetujui permintaannya.
Begitu banyak deretan panggilan yang dia ciptakan untukku. Tapi, deretan nama itu langsung kucoret karena kurang enak didengar, menurutku. Dan, akan membuatku malu jika dia memanggilku di hadapan orang lain.
"Kalo Sugar gimana?"
"Geli, ih."
"Kalo DiMiNta? Kalo ditulis, huruf D, M sama huruf N ditulis pake kapital."
"Eh, apaan tuh?"
"Dira Milik GeNta."
"Astaga, Pak. Anda bukan anak SMP lagi lho, woy." Aku bergidik geli mendengarkan penjelasannya.
"Geli banget, ya? Sampe begitu." Magenta tertawa.
"Pake nanya segala. Aduh, aku nggak nyangka kamu sealay ini, Nta. Pacarku yang alay dulu pas jaman SMP. Eh, sekarang punya pacar alay lagi."
"Kalo ini kamu pasti suka. DiSangGa."
"Apaan lagi itu? Perasaan aku nggak enak."
"Dira Sayang Genta." Aku segera menggeleng cepat.
"Ogaaaaaah."
"Ditolak lagi? Bener-bener, deh."
"Sayang aja. Mau nggak? Kalo nggak mau yaudah." Magenta langsung mengangguk semangat.
"Siap, Yang."
"Aku nggak perlu kasih panggilan ke kamu juga, kan?"
"Nggak usah. Cara kamu panggil aku sejak kita udah mulai deket aja udah bikin aku yakin kalo kamu sayang sama aku. Nta. Aku sukaaa."
"Hilih. Pede banget, Pak."
💋
Magenta mengirimiku pesan tak lama setelah pesawatnya mendarat. Dia masih harus menyelesaikan kegiatannya untuk mengisi kuliah umum di kampus milik keluarganya.
Masih ada waktu beberapa jam untukku menyelesaikan pekerjaan sebelum pergi bertemu dengannya. Tugas kuliah mulai menumpuk karena sebentar lagi akan memasuki pekan ujian. Beruntung hari ini cafe tidak terlalu ramai.
"Mamaaaa."
Segera kudongakkan kepala dan menoleh ke arah sumber suara. Mas Barra dan Zayyan.
"Eh, kok nggak bilang mau ke sini?" tanyaku.
"Zayyan ngambek ngajak ke sini. Dia telepon ke restoran. Minta aku jemput terus anter ke sini. Maaf ya, Dir."
"Nggak apa-apa, Om."
"Kamu kabari aku kalo mau pulang, ya. Nanti, aku jemput Zayyan ke sini."
Enak nggak ya ngomongnya?
"To be honest. I should go to somewhere in an hour," ucapku sedikit ragu.
"Kamu ada janji?" ucapnya. Aku mengangguk.
"Magenta baru pulang dari luar kota. Kami ada janji mau ketemu di luar setelah dia selesai isi kuliah umum di K.U, Om." Mas Barra menganggukkan kepalanya.
"Nak, Mama nggak bisa temenin Zayyan main di sini. Mama ada janji," ucap Mas Barra pada Zayyan yang dari tadi bergelendot padaku.
"Mama mau kemana?" tanya Zayyan.
"Mama ada janji, Sayang." Kuusap rambut hitam legamnya.
"Sama Om Genta, Ma?" Aku mengangguk. "Mama sama Om Genta pacaran, ya?"
"Zayyan!" Suara Mas Barra terdengar sedikit meninggi. "Nggak boleh ngomong begitu."
"Mama dan Om Genta berteman dekat."
"Kalo temen deket bisa nikah nggak nanti?" ucapnya polos. Aku salah tingkah dibuatnya. "Mama nggak bisa nikah sama Papa aja? Jangan nikah sama Om Genta."
Kulihat Mas Barra juga dibuat salah tingkah karena ucapan Zayyan. .
"Papa bilang, kalo orang nikah itu harus saling cinta. Mama cinta sama Papa, nggak?"
"Papa Zayyan kan Omnya Mama, Zayyan," sahutku.
"Mas Abi nikah sama Kakak Dia."
Mampus gue.
"Kita ke main ke mall, yuk!" Mas Barra yang saat ini kuyakini sedang berusaha mengalihkan Zayyan untuk tidak menyinggung masalah seperti ini lagi terlihat sedikit kebingungan.
Zayyan menggeser duduknya sedikit menjauh dariku. Dia terlihat kecewa. Raut wajahnya tak secerah saat baru datang tadi.
"Ayo, Pa." Zayyan meraih tangan Mas Barra dan mengajaknya pergi.
"Pamit dulu sama Mama," ucap Mas Barra. Zayyan melepas genggaman tangannya dan memilih keluar cafe tanpa Mas Barra. "Zayyan!"
"Nggak apa-apa, Om."
"Maaf ya, Dir. Kami pamit."
💋
Aku datang sedikit terlambat, setengah jam lebih lama dari waktu yang sudah kami tentukan sebelumnya. Magenta memintaku untuk datang ke sebuah restoran. Restoran mewah. Magenta menjebakku.
Fancy restaurant. Fine dining. Mati gue.
Kuperiksa penampilanku. Outfitku saat ini lebih cocok untuk diajak menikmati makan malam di sebuah angkringan ketimbang di restoran mewah seperti ini.
Bahkan, petugas yang bertugas di front office restoran inipun sampai memindaiku dari atas sampai bawah ketika aku meminta diantar ke meja yang sudah dipesan Magenta.
"Mbak, jangan begitu ngeliatin saya. Saya juga nggak tau kalo bakal disuruh ke sini. Kalo saya tau, saya bakal ke butiknya Anne Avantie dulu untuk pesen kebaya."
"Ma-maaf, Bu. Mari saya antar." Pegawai wanita itu segera memimpin jalan di depanku.
Magenta dengan tampang tanpa dosanya melambaikan tangan ke arahku.
"Sampe sini aja, Mbak. Itu badut Mampangnya udah dadah-dadah. Makasih ya, Mbak." Pegawai wanita itu tersenyum dan kemudian berjalan kembali ke tempat semula.
Sesampainya di meja, aku langsung duduk di kursi yang sudah disediakan.
"Kok lama banget, sih?" ucap Magenta.
"Masih mending aku dateng. Tau gini, aku nggak mau dateng," ucapku kesal.
"Lho, kenapa?"
"Kamu jebak aku, kan?"
"Kalo nggak begini, kamu nggak bakalan mau makan di tempat ini, Yang."
"Ya bilang, dong. Aku kan malu."
"Malu kenapa?" tanyanya sok polos. Aku yakin dia sedang berlagak sok polos.
"Nggak usah sok polos deh."
"Lho, kok aku disalahin?"
"Baru masuk aja aku udah diliatin. Berasa salah kostum. Apalagi pas masuk. Yang dateng pada pake gaun. Lha aku?? Pake beginian." Kucubit lengan kaos dan celanaku.
"Masalahnya apa?"
"Berasa kayak gembel yang dapet giveaway makan di restoran mahal."
"Sebentar. Jangan marah dulu. Aku mau ke belakang sebentar, ya."
"Kok kamu malah mau pergi? Menghindar?" tanyaku kesal.
"Aku kebelet. Kamu mau aku ngompol di sini?"
Sepuluh menit lebih aku menunggunya sendirian di meja kami. Merasa salah tingkah karena beberapa pasang mata mulai tertuju ke arahku. Kucoba untuk mengalihkan perhatianku dengan membaca buku tugas kampus yang sudah selesai kugarap.
"Aku temenin kamu jadi gembel, ya." Magenta kembali duduk di tempat duduknya.
Mataku terkejap melihat penampilannya yang berubah. Kemeja flanel, jeans dan sneakers yang biasa selalu dipakainya.
"Kamu ganti baju? Ngapain?"
"Masa iya aku tega pacarku dikira gembel. Makanya, aku temenin ngegembel bareng."
Tuh kan...kan...kan...kan.
"Kamu bawa baju?" tanyaku. Magenta mengangguk.
"Tadi, aku ke parkiran dulu. Ke mobil ambil baju di koper. Untung aja Pak Toto aku suruh nungguin. Kamu udah nggak marah lagi, kan?"
Aku hanya bisa menggeleng pelan.
Kusisakan beberapa kelopak bunga yang ada di atas piringku.
"Bunganya nggak harus dimakan, kan?" ucapku sambil menunjuk bunga yang di piringku dengan pisau dan garpu.
"Kalo kamu doyan, coba dimakan aja. Bunganya edible to eat, kok."
"Makasih deh."
Kami sudah menyelesaikan makan malam kami.
"Ini buat kamu. Aku beli sepasang. Nanti kalo ada acara dan aku minta kamu temenin aku, kita pake ya." Kubuka paperback bermotif batik yang diangsurkannya padaku. "Punyaku ada di mobil. Semoga kamu suka. Kayaknya ukurannya pas."
"Aku suka warnanya."
"Sengaja aku pilih warna itu. Sesuai namaku. Walaupun sebenarnya ku nggak suka warna itu."
"Terus kenapa kamu beli warna ini?" tanyaku.
"Biar kamu inget aja sama aku."
"Nggak mau kalah sama yang lain, ya. Ngajak pake baju couple-an." Magenta terkekeh.
"Kok kamu tadi lama banget, Yang?"
"Maaf, ya. Tadi di cafe ada Zayyan."
"Sendiri tau sama Barra?"
"Nggak mungkin sendiri dong, Nta."
"Terus?" ucapnya sedikit ketus.
"Jangan kesel gitu."
"Nggak kesel, kok. Biasa aja."
"Nggak kesel tapi bibirnya nyuing-nyuing gitu."
"Zayyan ngapain ke sana?"
"Main aja, kok. Nggal lama. Aku bilang ada janji. Terus Mas Barra ngajak dia ke mall. Tadinya nggak mau."
"Barra tau kamu mau ketemu sama aku?" tanya Magenta. Aku mengangguk.
"Zayyan juga tau."
"Terus?"
"Mas Barra ngga ada respon. Cuma ngangguk. Terus ngajak Zayyan ke mall. Kalo Zayyan..."
"Kenapa?"
"Dia tanya aku sama kamu pacaran atau nggak. Aku jawab kita temen deket."
Aku harus jujur. Itu sudah menjadi kesepakatan di antara kami berdua.
"Kamu tau kan kalo kita berdua harus saling jujur?" ucapnya.
Baru juga gue batin. Bisa baca pikiran gue nih kayaknya.
"Zayyan tanya ke aku. Bisa nggak nikah sama Papanya. Terus, dia ngelarang aku nikah sama kamu."
Magenta terlihat tenang. Sangat tenang.
"Kamu nggak marah, kan?" tanyaku ragu. Magenta menggeleng. "Kok diem aja?"
Magenta membenarkan posisi duduknya. Menggapai telapak tanganku dan menggenggam keduanya.
"Aku mau ngomong."
"Apaan? Jangan bikin aku deg-degan."
"Yang, nikah sama aku mau, ya?"
-To be continued-
Guys, sebelumnya Miss mau bilang.
Miss akan menulis apa yang Miss mau.
Miss nggak akan terdoktrin sama apapun itu.
Gimana gimana gimana ?
Suka nggak sama chapter ini?
Ayo ramein lagi.
Kurang baek gimana Miss ama kalian semua?
Nggak tega Miss kalo nyiksa kalian terlalu lama.
Kemaren di EXTRA PART 3 KalaDia rame banget, ya.
Lapak comment berubah seketika jadi ajang diskusi, forum rapat sampe cari temen satu kubu.
Semua teori bertebaran. Kreatif!
Barra -8- update kalo vote udah 500, yaaa. 💋💋
See you on the next chapter.
Sayang kalian banyak-banyak. ❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top