Nadira -7-

Heyyyy...apa kabar kesayanganssssss?
Baik kan?
Sehat kan?
Semoga selalu sehat yaaa.
Lama nunggunya ya?
Nggak lah yaaa. Empat hari mah nggak lama kan?

Nih, chapternya sudah update.
Semoga suka.
Enjoy yaaaaa.......

Dunia seakan berhenti berputar detik ini juga. Bagaimana tidak? Saat ini, atmosfer di ruang tamuku terasa sangat mencekam. Terlintas ucapan Papa saat dengan paniknya masuk ke dalam kamar inapku malam itu. Papa dan Mama langsung berhambur memelukku yang tengah bersandar di tempat tidur.

"Dek, gimana ceritanya kamu bisa sampe begini?" ucap Mama khawatir. Pantas kalau Mama khawatir. Karena memang aku belum pernah sekalipun dirawat di rumah sakit.

"Mama...Papa kok udah sampe? Macet?" ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan. Magenta yang duduk di sebelah tempat tidurku segera bangun dan menyalami kedua orangtuaku.

"Nggak usah ngalihin pembicaraan kalo lagi ditanya," sahut Mama dengan ketusnya. "Mama tuh kaget dapet kabar kamu dibawa ke rumah sakit."

"Maafin Dira ya, Ma...Pa."

"Kamu kenapa bisa sampe dibawa ke rumah sakit. Itu pipi kamu kenapa kok memar?" tanya Papa.

"E...anu, Pa. Anu..."

Seketika, Magenta langsung bersuara.

"Om...Tante, sebelumnya saya mau minta maaf. Nadira dibawa ke rumah sakit karena tadi ada sedikit insiden di rumah."

Papa dan Mama saling menatap. Kemudian, Papa mengambil duduk di sisi kosong dekat kakiku. "Insiden apa? Ada hubungan juga sama muka kamu yang memar-memar ini?"

Magenta mengangguk lemah. "Saya dan Barra bertengkar di depan rumah. Dan, tanpa sengaja... Nadira kena pukul."

Papa dan Mama terlihat sangat terkejut.

"Kamu sama Barra berantem?" tanya Mama. Magenta kembali mengangguk. "Kenapa? Ada masalah apa di antara kalian berdua? Nadira kena pukul? Kena pukul siapa?"

"Ma...pelan-pelan tanyanya. Satu-satu," pinta Papa.

"Tante minta maaf ya, Ta. Tante terlalu kaget dengan semua yang barusan Tante dengar," ucap Mama.

"Nggak apa-apa, Tan. Saya paham betul gimana perasaan Tante sebagai seorang Ibu. Saya yang harusnya minta maaf ke Tante."

"Bisa kamu jelasin ke kami berdua kenapa ini semua bisa sampai terjadi, Ta?" tanya Mama dan ditanggapi anggukan oleh Magenta.

"Saya dan Barra bertengkar karena memperebutkan Nadira, Om...Tante."

"Sebentar. Tante dan Om nggak salah dengar, kan?" tanya Mama. Magenta menggeleng. "Maksudnya gimana?"

"Awalnya, saya dan Barra sepakat untuj bersaing secara sehat. Bersaing secara sehat untuk mendapatkan Nadira. Itupun sudah dengan izin Nadira. Tapi, tadi Barra secara brutal langsung menghajar saya waktu liat saya jalan berdua dengan Nadira."

"Dek, Mama sama Papa boleh minta penjelasannya?" ucap Mama. Aku mengangguk lemah.

"Boleh, Ma...Pa." Kulihat Mama dan Papa menaruh semua perhatian mereka kepadaku. "Dira pernah pacaran sama Om Barra."

Papa dan Mama kompak menghembuskan napas kasar.

"Kalian pacaran? Kapan?" tanya Papa.

"Nggak lama setelah perayaan ulangtahun Yangkung yang ke-75, Pa."

"Berapa lama?" sahut Mama.

"Cuma beberapa bulan," jawabku. "Dan, akhirnya kami putus."

"Putusnya kenapa, Dek?" tanya Papa.

Kuceritakan alasan berakhirnya hubunganku dengan Mas Barra kepada Papa dan Mama. Benar-benar semuanya. Tanpa ada satupun yang kutambah ataupun kukurangi. Papa dan Mama terlihat sangat menyimak penjelasanku, sampai akhirnya...

"Jadi, itu kenapa kamu jadi sedikit menjauh dari Barra dan Zayyan, Dek?" tanya Mama. Aku mengangguk.

"Dira butuh waktu untuk pulih dari semuanya, Ma. Dan menurut Dira, dengan menjaga jarak...itu adalah pilihan terbaik."

"Bener kamu dah tau masalah persaingan sehat itu, Dek?" tanya Papa. Aku mengangguk.

"Om Barra pernah ajak Dira ketemu. Dia minta kesempatan. Dia nggak mengiyakan permintaan dia. Dia pesen ke dia, jangan pernah melibatkan Zayyan di masalah ini."

"Om...Tante, saya benar-benar minta maaf untuk semua yang sudah terjadi," sela Magenta.

"Kalo Papa pertemukan kalian, oke kan?" tanya Papa. Aku dan Magenta langsung saling melirik. Magenta memberikan kode untuk mengangguk.

"Saya dan Nadira nggak akan keberatan, Om. Kalo memang dengan jalan ini semuanya bisa jelas."

"Okay. Nanti Papa akan minta Barra untuk bertemu."

"Tapi, jangan sekarang ya Pa."

"Kenapa? Barra nggak masuk rumah sakit juga, kan?" tanya Papa.

"Om Barra dirawat juga, Pa. Tapi nggak di sini."

Detik ini, oksigen yang ada di sekelilingku serasa menipis. Aku duduk di antara Papa dan Mama. Sementara, Magenta duduk bersebelahan dengan Mas Barra. Keadaan mereka berdua masih sama. Masih sama-sama lebam di sana-sini.
Kuhubungi Magenta segera setelah Papa mengatakan akan mengadakan pertemuan.

Saat ini, Magenta dan Mas Barra bagaikan dua orang yang tidak saling mengenal.

"Boleh saya mulai, ya?" ucap Papa. Semuanya serempak mengangguk. "Sengaja saya mempertemukan kalian semua di sini. Saya mau tahu kejelasan tentang kejadian malam itu. Sebelumnya, Pak RT sudah menceritakan kesaksiannya malam itu ke saya."

"Mas...Mbak, aku minta maaf untuk semua yang sudah terjadi. Sungguh itu semua terjadi secara nggak sengaja. Nadira muncul tiba-tiba di tengah-tengah kami berdua," tutur Mas Barra.

"Barr, aku dan Mbakmu bukan yang berhak untuk kamu mintai maaf. Di sini ada Nadira. Kami rasa, Nadira yang paling berhak untuk kamu mintai maaf." Mas Barra terdiam dan menatapku pias. Kulempar pandanganku ke arah lain. "Kamu bisa selesaikan masalahmu dengan Nadira nanti. Sekarang, aku mau penjelasanmu. Benar kamu pernah ada hubungan dengan Nadira?"

Mas Barra mengangguk. "Iya, Mas. Pernah."

"Apa alasanmu pada saat itu untuk memulai hubungan dengan Nadira?"

"Aku sadar aku perlu seorang pendamping untuk membersamai langkahku, Mas."

"Dan, kamu lihat itu di sosok Nadira?" tanya Papa. Mas Barra mengangguk. "Kamu yakin?" Mas Barra kembali mengangguk. "Walaupun masih ada bayang-bayang almarhumah Vani di hidupmu?"

"Mas..."

"Barra, sebenarnya kalau pada saat itu kamu bilang ke aku dan Mbakmu, bukan nggak mungkin kami akan memberikan restu kami ke kamu. Kami nggak memungkiri fakta kalau kamu laki-laki yang baik dan sangat bertanggung jawab. Bertahun-tahun kami berdua mengenal kamu, nggak pernah sekalipun kamu mengecewakan kami dan keluarga besar. Tapi..."

"Mas, aku minta maaf. Aku tau ini semua murni kesalahanku. Aku yang nggak bisa pegang komitmen awalku untuk membahagiakan Nadira."

"Aku harap kamu sadar kalau sikapmu sudah menyakiti perasaan Nadira, Barr," ucap Papa. "Nggak ada satupun wanita di dunia ini yang mau dibanding-bandingkan dengan wanita lain. Bahkan kami sebagai orangtua, kami nggak pernah membandingkan anak-anak kami dengan anak-anak tetangga. Karena kami tahu, mereka punya kekurangan dan kelebihan masing-masing."

"Barr, untuk kali ini aku kecewa sama kamu." Mama mulai membuka suara.
"Aku kecewa sama sikapmu. Pernah nggak kamu berpikir kalo sikapmu itu terlalu kekanak-kanakkan?"

"Mbak, aku mohon. Maafin aku, Mbak."

"Sekarang, yang kami mau tau, apa kamu masih mencintai Nadira?" tanya Papa. Pertanyaan Papa sukses membuatku mendongak dan memperhatikan ke arah Mas Barra. Tak luput dari pandanganku, Magenta juga memandang ke arah yang sama denganku. Mas Barra mengangguk.

"Masih. Dan rasa cinta ini selalu bertambah setiap harinya."

"Kamu yakin itu cinta dan bukan hanya sekedar obsesi?" tanya Papa.

"Iya, Mas. Aku yakin."

"Kamu bisa jelaskan apa yang terjadi malam itu?"

"Yang aku tau, malam itu...aku cemburu."

"Cemburu? Lantas kamu membenarkan untuk memukul dengan membabi-buta?" ucap Papa.

"Rasa cemburu sudah sangat mempengaruhi akal sehatku, Mas. Yang aku pikirkan malam itu hanya Nadira. Mendapatkan Nadira kembali."

"Tapi, tindakanmu sama sekali nggak bisa dibenarkan, Barr. Apalagi banyak orang yang melihat kejadian malam itu." Mas Barra hanya terdiam. "Kalian saling memukul satu sama lain. Dan akhirnya, Nadira pun kembali jadi korban."

"Pa...udah," ucapku.

"Papa tanya ke kamu, Dek. Kamu udah bisa memaafkan kesalahan Barra?" tanya Papa. Aku mengangguk.

"Udah, Pa. Dira udah maafin kesalahan Om Barra."

"Kamu sudah dengar, Barr?" tanya Papa. Mas Barra mengangguk lesu. "Sekarang, gimana menurut kamu, Ta?"

"Saya masih tetap sama, Om. Saya akan perjuangkan Nadira. Karena, sejak awal saya mengenal Nadira pun, yang saya tau, Nadira memang sedang tidak berhubungan dengan siapapun. Jadi, saya punya hak untuk mendekati Nadira."

"Baik. Walaupun sudah mendengar penjelasan dari Barra sekalipun?" tambah Papa. Magenta mengangguk.

"Iya, Om. Justru setelah saya tau jawaban yang keluar dari mulutnya malah membuat saya semakin ingin mempertahankan Nadira. Apapun yang terjadi. Tapi, saya sudah pernah bilang ke Nadira. Kalau memang bukan takdir kami berdua, sekuat apapun saya berusaha...itu percuma."

"Hari ini, saya mempertemukan kalian berdua untuk memberikan kalian kesempatan untuk saling berbicara."

"Baik, Om. Terima kasih. Saya nggak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan." Papa mengangguk. Magenta menatap Mas Barra yang duduk di sebelahnya. "Udah puas lo kemaren gebukkin gue?  Kalo belom puas, lo boleh lanjutin sekarang. Di sini."

Aduh. Nih orang bego apa gimana sih? Suka banget mancing deh.

"Magenta!" ucapku tegas.

"Tenang, Dira. Aku nggak lagi berusaha untuk memprovokasi dia, kok."

"Tapi, kedengerannya begitu."

"Kamu tenang aja," ucapnya. "Gimana, Barr? Kok diem aja?"

"Ta, jangan kayak anak kecil. Di sini asa orangtuanya Nadira."

"Yang kayak anak kecil siapa? Lo apa gue? Bukan anak kecil kalo tiba-tiba langsung ngehajar orang. Ngerasa nggak?" ucap Magenta.

"Gue tau gue udah salah malam itu," sahut Mas Barra.

"Kalo lo udah tau salah, kenapa masih lo lanjutin? Sampe jadi ada korban segala. Gue udah pernah bilang kan sama lo. Sekali gue bales, lo bakalan mati. Andai aja nggak ada mereka yang melerai kita, mungkin nanti malem di rumah lo ada tahlilan tiga harian."

"Nta..."

"Sekarang mau lo apa, Barr?" tanya Magenta.

"Bohong kalo gue jawab gue ngerelain Nadira buat lo. Karena gue nggak akan pernah rela."

"Okay. Terus, lo mau lanjutin kesepakatan kita untuk bersaing secara sehat?" tanya Magenta.

"Kalo itu mungkin, kenapa nggak. Lo keberatan?" Magenta menggeleng.

"Nggak. Keberatan? Kenapa gue harus keberatan? Justru, yang seharusnya lo tanya itu bukan gue. Tapi Diranya sendiri. Coba lo tanya pendapat Dira. Jangan seenaknya ambil keputusan." Magenta menatap ke arahku.

"Dira, kamu masih kasih aku kesempatan itu, kan?" ucap Mas Barra.

"Om, maaf. Sejak saat itu, aku nggak pernah bilang ke Om kalo aku kasih kesempatan, kan? Aku cuma mau Om jangan melibatkan Zayyan di masalah ini. Kalopun ada kesempatan, itu untuk Om sendiri. Kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya."

"Dira... Aku mohon. Aku mau memperbaiki semuanya. Aku sudah pernah bilang ke kamu, kan? Dan hubungan kita beberapa hari terakhir ini juga sudah mulai membaik."

"Dan kembali buruk lagi karena kebodohan lo," sambar Magenta.

"Om, aku nggak seistimewa itu kan sampe harus diperebutkan?" ucapku. Mas Barra menggeleng.

"Nggak, Dir. Nggak."

"Sudah...sudah. Kayaknya, makin lama makin tegang pembicaraan ini. Di sini, posisi kami berdua hanya sebagai orangtua Nadira. Kami tidak akan berdiri mendukung salah satu pihak, siapapun itu. Sebagai orangtua, kami hanya akan mendukung semua keputusan yang akan diambil Nadira nantinya. Karena bagaimanapun, Nadira juga berhak untuk bahagia. Nadira adalah putri kami. Kebanggaan  kami. Bagaimanapun tingkahnya, dia tetap putri kesayangan kami. Dan, untuk kalian berdua. Siapapun nanti yang akhirnya berjodoh dengan putri kami, kami ingin seseorang yang benar-benar bisa membahagiakan Nadira. Bukan hanya menjanjikan kebahagiaan. Dan, apabila jodoh Nadira bukan salah satu dari kalian, anggaplah ini semua hanya bagian dari perjalanan kisah hidup kalian berdua. Kalian bisa menerimanya, kan?" Hanya Magenta yang mengangguk. Sebaliknya, Mas Barra hanya terdiam mendengarkan ucapan panjang lebar yang keluar dari mulut Papa. Itulah kenapa aku sangat menyayangi Papa. Papa akan dengan sangat bijaksana menyelesaikan permasalahan. Semua ucapan yang keluar dari mulut Papa bagaikan kata-kata penyejuk hati di telingaku. Seperti saat ini.

"Maaf sebelumnya, Om. Saya minta izin untuk bicara."

"Silahkan, Genta. Ada yang mau kamu sampaikan?" tanya Papa. Magenta mengangguk.

"Selama sebulan lebih saya mengenal Nadira, kami sudah saling mengenal satu sama lain dengan sangat baik. Tapi, sayangnya sejak awal Nadira yang memutuskan untuk kami menjalankan hubungan ini tanpa adanya status. Jadi, bisa dibilang kami berdua bukan pacaran, bukan juga teman. Kami berdua saling menjaga hati. Saya mencoba untuk mengikuti apa yang diinginkan Nadira. Beberapa hari yang lalu, saya coba tanya alasan Nadira. Nadira bilang ke saya, dia perlu yakin dulu untuk berada di dalam hubungan yang berstatus."

"Terus?" sahut Papa.

"Malam itu, di rumah sakit. Beberapa saat sebelum Om dan Tante tiba, saya sudah memutuskan meminta Nadira untuk menjalankan sebuah hubungan yang mempunyai status." Ucapan Magenta sukses membuatku membulatkan Mata. Dan sekarang, giliran Mas Barra yang menatap ke arahnya.

"Maksud lo apa?" ucap Mas Barra. Magenta hanya melirik Mas Barra sekilas. Dan kembali menatap ke arah Papa dan Mama.

"Sejak malam itu, saya dan Nadira resmi berada di sebuah hubungan yang berstatus."

💋

Kilas balik

"Dir, kita jalani hubungan ini dengan status, ya."

"Maksudnya gimana, Nta?" tanyaku bingung. "Kamu lagi nembak aku?"

"Iya. Kamu mau?" ucapnya.

"Kalo aku nggak mau, gimana?"

"Ya terserah sih."

"Oh segitu aja?" sindirku.

Magenta menunjuk beberapa titik lebam di wajahnya. "Ini kurang ya untuk jadi bukti gimana cintanya aku ke kamu?"

Aku menggeleng. "Aku mau, Nta."

-to be continued-

SEMOGA TIDUR NYENYAK, YAAAA.

Gimanagimana??
Suka nggak??
Kapal siapa nih yang berlayar?
Ada kapal yang karam?
Ada yang berubah haluan nggak?

Terima kasih yaa masih setia.
Tolong bantu promote ke temen-temen kalian kalo nggak keberatan. Hehehhehehe

See you on the next chapter yaaaa.
Semoga chapter selanjutnya nggak kalah greget yaaaa.

Tim BarraDira?
Tim MagaDir?

Siapapun nanti yang jadi, semoga bisa diterima yaaa.
Miss mau jodohin Nadira sama Mang Epoy aja. Biar dapet cokicoki banyaaaaaaak.

Miss sayang kalian banyak-banyak. ❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top